Cerpen
Disukai
0
Dilihat
18,235
Kontraktor
Drama

Begitu melihat pantulan diriku di kaca jendela, kurasa peluhku meneriakkan kata ‘lelah’ lebih lantang dibanding suaraku. Kotak terakhir yang kuangkut setengah kubanting ke lantai hingga mengeluarkan bunyi debam yang cukup keras. Satu hal yang kulanggar dari pantangan seorang penderita asam lambung. Berletih-letih, jungkir balik jumpalitan demi pindah rumah untuk yang kedua belas kali sambil angkat beban perabotan yang tak habis-habis. Bayangkan saja sesak dan pusingnya seperti apa. Aturan makan tepat waktu tidak bisa diindahkan pencernaan kala otak mengirim sinyal letih ke seluruh tubuh. Intinya, tetap saja penyakitku kambuh.

“Abah, aku capek angkat-angkat terus. Masih berapa banyak barang-barang yang harus dimasukkan, sih?” seruku ngos-ngosan.

“Duduk sini duduk. Ini air putih. Istirahat dulu nanti bantu-bantu lagi, ya.”

“ABAAH!!!” Abah dan Ibu cekikikan sambil bersamaan mengangkut kardus yang ke … entahlah. 

“Santai, Mbak. Berakit-rakit ke hulu ….”

“Kulempar kamu pake rakit,” sahutku sewot saat Ridho, adik laki-lakiku lewat sembari menyeret keranjang yang dimuati panci-panci. Ia ikut cengar-cengir melihat raut jengkel yang kupasang sejak kardus ke lima belas kuturunkan.

*** 

Orang-orang memanggil Abahku dengan nama Pak Kaman. Nama julukannya adalah Kaman Kontraktor. Sesuai dengan julukannya, Abah bilang kalau keluarga kami adalah keluarga kontraktor. Tentu saja bukan kontraktor yang kerja di proyek-proyek pembangunan dan semacamnya. Yang Abah maksud adalah kami keluarga yang suka ngontrak kemana-mana. Alias tukang ngontrak. Sejak Abah dan Ibu menikah, sudah dua belas kali mereka pindah rumah sampai hari ini. Dua belas kali!!! Yang bisa kuingat hanya tujuh. Dan kata Ridho, dia cuma ingat enam. 

“Lho, kayaknya baru-baru kemarin jadi warga RW delapan. Sekarang kok sudah jadi warga RW empat?” ucap seorang ibu-ibu suatu hari di sebuah lapak sayur. Aku hanya tersenyum menanggapinya sambil cepat-cepat memilih kangkung terbaik di lapak. Dulu, orang-orang lumayan prihatin melihat kondisi keluarga kami karena harus berpindah-pindah kontrakan saat harga sewa melonjak melebihi budget. Tapi lama-kelamaan, rasa prihatin itu berubah menjadi guyonan. Kadang terdengar seperti cemoohan. 

“Dan kita sambut, Kiki kooooontraktoooooooor!!!” teriak salah seorang teman sekelas tepat di sampingku di hari setelah keluargaku pindah rumah yang ke sembilan. Aku cuma bisa meringis malu. Rasa lelah setelah pindahan belum tuntas, muncul lagi hal yang malah bikin kesal.

“Heh, mulutnya tolong dikontrol, dong. Bau toge, tauk!” balasku keki sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan muka. Sumpah, mulut temanku bau tauge. Tauge campur asam lambung kayaknya. Baunya menguar sampai jauh.

Tak hanya tetangga dan penghuni sekolah yang mengenal kami sebagai keluarga ngontrak abadi. Pegawai kelurahan, pegawai kecamatan, petugas senior yang bekerja di kantor catatan sipil dan bahkan tukang-tukang parkirnya sekaligus sudah hafal betul dengan muka Abah dan Ibu. Setiap kami pindah rumah, Abah dan Ibu rajin sekali mengurus dokumen-dokumen kependudukan. Hal yang baru kuketahui akhir-akhir ini jika tak banyak orang ngontrak yang melakukan itu. Biasanya mereka baru akan mengganti alamat di KTP lama mereka jika sudah lewat dua tahun tinggal di kontrakan baru. 

Usiaku dua puluh dua, dan hingga sekarang kami belum memiliki rumah. 

“Abah kumpulkan kalian hari ini karena ingin membicarakan sesuatu,” kata Abah seminggu setelah urusan beres-beres dan menata rumah rampung. Wajahku lesu karena masih capek. Ridho bahkan tampak lebih kurus. Aku geli melihat berat badannya turun setelah kami pindah rumah mengingat berbagai metode diet yang ia praktikkan tidak pernah berhasil. Siapa yang mengira kalau pindah rumah adalah jawaban dari kunci sukses program dietnya. 

“Eh dengerin Abah ngomong, dong!” tegur Ibu padaku dan Ridho. Kami berdua mengangguk-angguk mencoba serius mendengarkan apa yang ingin Abah sampaikan.

“Dulu, Abah tidak bisa beli rumah karena tidak punya uang. Abah dan Ibu menikah dalam kondisi miskin. Dan begitu kalian lahir, kebutuhan kita bertambah banyak dan gaji Abah sebagai buruh pabrik tidak cukup disisakan untuk tabungan membeli atau membangun rumah,” ujar Abah memulai kuliahnya. “Karena sekarang situasi mulai stabil, Kiki dan Ridho sudah selesai sekolah, kalian juga sudah memiliki pendapatan sendiri dari pekerjaan kalian, Abah akan mulai menabung untuk membeli rumah. Rumah kita sendiri,” kali ini ucapan Abah mengambil alih perhatianku dan Ridho. Posisi duduk kami menegak dan mata kami bertemu meyakinkan satu sama lain.

“Serius, Bah?” tanyaku, “Kita bakal ikut nabung kalau gitu. Ya kan, Dho?”

“Iyalah. Demi rumah kita sendiri.” seru Ridho bersemangat.

“Eh, tunggu! Tapi gaji Abah kan nggak seberapa. Memangnya kita mau nabung berapa lama biar bisa punya rumah?” selaku tertampar kenyataan. “Katanya Abah juga mau keluar kerjaan. Trus, ngumpulin duitnya gimana?” aku langsung teringat dengan kondisi kaki Abah yang pincang setelah mengalami kecelakaan kerja beberapa bulan yang lalu.

“Kalau itu sudah Abah pikirkan," jawab Abah. "Uang pesangon Abah dan uang tabungan Ibu dari usaha katering kecil-kecilan akan kita alokasikan untuk mengembangkan usaha sembako. Memang mungkin awalnya kecil. Tapi kalau kita tekuni, seharusnya usaha ini bisa jadi peluang yang cukup besar untuk mendapatkan uang lebih banyak. Syukur-syukur bisnis kita bisa langsung berjalan lancar.” kulihat Ridho mengangguk-angguk tampak mengerti. Aku pun setuju dengan usul Abah.  

“Nah, karena semuanya sudah setuju dan paham, sekarang Ibu kenalin sahabat keluarga kita mulai hari ini.” kulihat Ibu menaruh satu kantong plastik ukuran jumbo berisi sepuluh celengan plastik berbentuk ayam dan babi yang ia tumpahkan di depan kami semua. Aku terbelalak sambil refleks mengangkat kaki ke atas kursi saat salah satu celengan memantul nyaris menimpuk kuku kakiku dengan keras.

“Yang itu Jago,” tangan Ibu menunjuk celengan-celangan ayam tanpa peduli tindakannya baru saja hampir membuat kuku kakiku cedera, “… dan yang ini Ngepet.” jari-jari Ibu membelai celengan babi. Lagi-lagi aku melempar pandang pada Ridho yang sama-sama masih tidak terbiasa dengan ulah absurd kedua orangtua kami.

“Kasih sambutan dong buat mereka. Lambaikan tangan atau gimana gitu,” sahut Abah berhasil membuatku benar-benar lebih cengok dari sebelumnya. Tapi ditatap dengan penuh harap seperti itu justru membuatku tak bisa berpikir rasional. Tanganku perlahan-lahan terangkat dan melambai ke celengan sahabat kami.

“Halo … selamat datang di rumah, Jago Ngepet.” ucapku setengah bingung dan setengah ngeri sambil melambaikan tangan ke arah celengan-celengan tadi. Bibirku tertarik membentuk senyuman yang lebih mirip seperti orang tengah meringis.

*** 

Minggu-minggu berlalu menjadi bulan. Celengan-celengan kami telah menggemuk. Jago dan Ngepet tidak pernah masuk angin karena kekurangan asupan. Usaha Abah sebagai supplier beras juga melejit berkat bantuan Ridho yang memasarkannya melalui media sosial. Berkat ideku juga yang menyarankan untuk menyediakan layanan antar gratis ke toko-toko kelontong atau pembeli rumahan yang malas keluar rumah sambil menjinjing beras berkilo-kilo. Karena kami semua bekerja keras membangun usaha tanpa mengenal lelah, dalam beberapa bulan, kami mampu menyewa sebuah toko di samping pasar dan melebarkan sayap lebih panjang. Tak hanya beras saja, minyak goreng, gula, telur, hingga tepung-tepungan menjadi barang yang kami jual di toko. 

Selain membantu membesarkan bisnis keluarga, aku sendiri memiliki pendapatan yang lumayan melalui jasa desain grafis online di salah satu kanal penawaran jasa. Dibayar puluhan hingga ratusan ribu untuk satu project cukup membuatku menyumbang dua puluh lima ribu hingga ratusan ribu ke Ngepet tiap harinya. Karena itulah Jago-jago kami sudah nampak kekenyangan. Kata Ibu, ia akan membeli Jago lagi di online shop.

Memasuki tahun pertama sejak semua ramai-ramai menabung, pandemi menggoyang seluruh sektor perekonomian negara. Usaha kami sempat loyo sesaat, bermasalah dengan distribusi dari pemasok yang macet dan terhalang oleh sistem lockdown di beberapa tempat. Namun, karena beras tetap menjadi kebutuhan pokok masyarakat yang tak tergantikan, usaha sembako yang kami jalani justru jauh lebih stabil dibanding teman-teman pengusaha lainnya yang sangat terdampak dengan merebaknya wabah. Perbedaannya, meski toko kami jarang buka karena terhalang peraturan jam layanan yang ditetapkan pemerintah, orderan justru semakin deras datang melalui pesan whatssapp. Ketika yang lain memberhentikan beberapa pegawai di tempat kerja, kami malah menambah jumlah pegawai untuk mengantar pesanan sembako ke pembeli. Mengingat semua orang diwajibkan tetap berdiam di rumah, semakin banyak orang yang membutuhkan jasa antar dari toko kami. 

“Abah, ini untuk apa?” tanyaku begitu melihat tumpukan beras dan kardus-kardus bahan sembako lain yang tidak berada di raknya. “Pesanan?”

“Bukan. Itu buat dibagi-bagi ke orang-orang yang butuh. Ide Ibumu pas dengar anak-anak temannya banyak yang kena PHK,” jawab Abah sambil menulis catatan ke buku besar. “Andri, minyak sama gulanya diambil sekalian. Biar nanti bisa dibungkus sama yang kerja shift berikutnya.”

Aku tersenyum kala Abah memanggil salah seorang pegawai. Kumasukkan data transaksi hari itu ke komputer, dan kembali menyibukkan diri ke tumpukan nota yang ditusuk ke sebuah paku panjang yang dibalik dan dialasi papan kayu tipis. Satu hal yang selalu kukagumi dari Abah dan Ibu. Sesulit apapun kondisi keduanya, selagi mereka mampu, Abah dan Ibu tidak segan untuk membantu. 

*** 

Sudah setahun sejak pandemi menggulung nasib orang-orang di sekitar kami. Satu, dua kenalan yang kami tahu, tertimpa nasib malangnya masing-masing. Bahkan terkadang aku masih tak percaya, keluarga kami masih bisa berdiri dengan cukup kokoh meski roda ekonomi kami pun tak bisa dikatakan betul-betul aman. Ada saat dimana bisnis berjalan cukup sepi, atau lagi-lagi pasokan beras yang sukar didapat. Tapi kami melalui semua itu lebih baik dibanding teman atau kerabat yang kami kenal.

Bahkan di situasi sulit, laba harian dari toko masih sanggup disisihkan untuk tabungan rumah. Jago dan Ngepet tetap tak pernah berhenti menyimpan harapan yang kami impikan. Aku selalu mengelus-elus mereka seraya membayangkan rumah seperti apa yang akan kami miliki nantinya. 

Hingga di suatu sore, seorang laki-laki mengetuk pintu rumah tepat ketika aku bersiap berangkat menuju ke toko kacamata. Seharian berada di depan komputer membuat penglihatanku lama-lama bermasalah. 

“Ini benar rumah Pak Kaman ya, Mbak?” tanya laki-laki seusia Abah yang langsung kujawab dengan anggukan.

“Iya. Monggo silahkan masuk dan duduk dulu,” ucapku mempersilahkan pria itu dengan ramah. Belum sempat kupanggil, Abah muncul dari ruang tengah dan tampak terkejut sekaligus girang luar biasa begitu mengenali laki-laki yang baru saja datang.

Begitu rampung kusiapkan minum dan beberapa camilan yang ditaruh di dalam toples kaca, aku membisiki telinga Ibu, pamit pergi sebentar. Kuperhatikan wajah Abah tiga kali lebih sumringah mengobrol ria dengan kawan lamanya. Sempat kudengar namanya Gunawan. Laki-laki itu berperawakan tinggi dan gagah. Tampang-tampang orang berdompet tebal. Hanya matanya saja yang tak segagah penampilannya. Tatapannya terlihat lelah dan sayu. Senyumnya meski sama cerianya dengan Abah, ada perbedaan yang tak kentara bahwa senyumannya menyimpan rasa pahit yang sifat songongku rasakan. Kucium tangan Abah dan Ibu, lalu berpamitan dengan seluruh orang di rumah. Termasuk dengan Pak Gunawan.

Sepulangku dari toko kacamata dan kedai ayam goreng satu setengah jam kemudian, Pak Gunawan tampak berdiri di depan pintu selayaknya orang yang akan berpamitan pulang. Mataku menyipit begitu melihat tangannya tampak menjinjing sebuah tas besar yang tak kujumpai saat ia datang tadi. Senyumnya terkulum di atas masker yang ia turunkan sedagu saat berpapasan denganku di depan pagar. Aku membalas senyumnya dan mempersilahkannya lewat. Aku sengaja menungguinya hingga benar-benar pergi demi alasan kesopanan. 

“Assalamu’alaikum. Ibu, Abah,” panggilku begitu melangkah masuk ke dalam rumah setelah menunggu Pak Gunawan benar-benar pergi. Kakiku berhenti begitu melihat semuanya tengah berkumpul di ruang keluarga dengan aura yang janggal. Suasana rumah terasa begitu berat meskipun Abah dan Ibu menjawab salamku dengan senyum lebar. Ekspresi Ridho menyita seluruh perhatianku. Anak itu tidak melontarkan kata-kata jahil sama sekali. Yang ada ia terdiam tampak seperti menyimpan sesuatu jauh di dalam kepalanya dan berusaha mati-matian untuk tidak mencurahkannya.

“Ridho kenapa, Bu?” aku bertanya. “Kok pada aneh gini, sih? Oh ya, tadi aku papasan dengan Pak Gunawan. Itu temennya Abah, kan? Kok aku nggak pernah ketemu? Kan biasanya Abah suka ngajak aku sama Ridho mampir ke rumah temannya Abah trus dikenalin ….” kata-kataku terputus begitu melihat lemari Jago dan Ngepet terbuka. Lemari yang seharusnya berisi deretan celengan Jago dan Ngepet tiba-tiba tampak kosong melompong. Aku mengerjapkan mata memastikan penglihatanku hanya menderita minus saja. Bukan kebutaan. Tapi aneh juga kalau yang tak terlihat hanya celengan ayam dan babi kami.

“Abah, Jago sama Ngepetnya kemana?” tidak pernah terbayangkan di imajinasi terliarku untuk menyebut nama konyol celengan-celengan itu di situasi seserius ini.

*** 

Entah tak bisa kubayangkan lagi semarah apa aku saat kubanting pintu kamar dan melemparkan tubuhku ke atas kasur sambil berlinang air mata. Bagaimana bisa Abah dan Ibu mengkhianati mimpi kami, mimpiku, hanya dalam sekejap mata. Ekspresi bersalah dan sesal keduanya memenuhi kepalaku. Namun, hatikku tak bisa luluh begitu saja karena amarah yang menggebu-gebu lebih mengacaukanku.

“Tadi itu Gunawan. Teman Abah saat kerja di bengkel dulu sekali.” ucapan Abah kembali terputar di otakku. “Dia membuka biro wisata bertahun-tahun yang lalu. Cukup lama sebetulnya. Dan usahanya bisa dibilang sukses besar. Tapi Kiki tahu sendiri kalau banyak pengusaha yang gulung tikar sejak pandemi. Terlebih biro pariwisata. Istrinya Pak Gunawan meninggal di gelombang pertama covid merebak. Sejak itu ia tinggal berdua saja bersama anaknya. Tapi, anaknya Pak Gunawan ini punya penyakit kanker. Biasanya dia kemoterapi sekali atau dua kali dalam sebulan. Tapi karena situasi, Gunawan tidak punya uang lagi untuk membayar asuransi kesehatan bulanan anaknya. Dia minta tolong pada Abah untuk meminjamkan sejumlah uang yang bisa ia gunakan untuk memulai usaha baru dan membayar asuransi kesehatan anaknya untuk beberapa bulan ke depan.”

“Trus Abah kasihin uang tabungan kita ke Pak Gunawan? Semuanya?” gumamku, “Lalu bagaimana dengan rumah kita?”

“Kita bisa menabung dari awal lagi ...,”

“Bu, kenapa sih nggak kita rundingin dulu?" putusku, "Kenapa Abah sama Ibu ambil keputusan sendiri kayak gini? Yang ada di dalam celengan-celengan itu bukan cuma duit Abah sama Ibu. Tapi ada duit Kiki sama Ridho.”

“Ridho bilang dia nggak apa-apa,” kata Abah.

“Nggak apa-apa?!!” teriakku, “Abah nggak lihat wajah Ridho kucel begitu? Kalau Abah bisa minta pendapat Ridho ... nggak, maksudku memaksakan pendapat Abah ke Ridho, kenapa sih nggak nunggu aku bentar aja? Tanyain ke aku langsung, ikhlas nggak Kiki pinjemin uang kita ke orang lain?”

“Kiki, Ibu sama Abah minta maaf …,”

“Bodo. Udah terlanjur!”

*** 

Bertengkar dengan orangtua itu nggak enaknya nggak main-main. Salah dikit bisa jadi anak durhaka dan ancamannya masuk neraka. Kan jadi teringat komik berukuran mini yang dulu dijual di depan sekolah. Ceritanya tentang orang-orang berdosa yang dijebloskan ke neraka dan mendapat siksa yang tidak ada henti-hentinya. Tapi masalahnya kalau yang salah orangtua gimana, dong?

Wajah kusutku tidak pernah luntur sejak pertengkaranku dengan Abah dan Ibu hari itu. Tanganku memeluk celengan plastik baru berbentuk kucing yang Ibu beli di pasar. Kata si penjual, celengan ayamnya habis. Ibu baru bilang kalau dia masih gagu membeli barang di e-commerce. Jadi Ibu membeli apa saja yang ada di stok dan menamainya Mpuss. Padahal sempat kukira Ibu hendak menamainya dengan nama Garong. Entah aku yang mulai ketularan aneh atau gimana, nama Mpuss seharusnya terdengar lebih normal. Tapi bagiku nama Mpuss malah terkesan terlalu biasa selepas Jago Ngepet mengisi hari-hariku nyaris dua tahun ini. 

Setelah dua minggu tidak saling bercengkrama, aku banyak berpikir bahwa apa yang dilakukan Abah dan Ibu tidak sepenuhnya salah. Hanya saja aku terlalu kecewa karena tidak dilibatkan untuk mengambil keputusan sebesar itu. Keputusan yang mengorbankan rumah kami kelak. Sebenarnya, didikan Abah untuk saling menolong sudah mengakar cukup kuat di diriku dan Ridho. Itulah mengapa meskipun Ridho belum sepenuhnya rela memberikan seluruh uang kami pada Pak Gunawan, ia hanya bisa diam. Karena bagaimanapun juga, kondisi keluarga kami masih jauh lebih baik. Kami memang mengorbankan rumah yang kami impi-impikan. Tapi bagi Pak Gunawan, bantuan kami bisa saja menyelamatkan anaknya yang sakit-sakitan. Mau semewah apapun rumah yang ingin kami miliki, tetap tidak sepadan dengan nyawa seseorang.

Hari demi hari, minggu demi minggu, perang dingin antara aku dan Abah serta Ibu mencair. Toh seperti kataku. Sudah terlanjur terjadi. Mau di bagaimanakan lagi? Jalan satu-satunya adalah tetap bekerja seperti biasa demi memberi makan Mpuss dan Ngepet.

***

Setahun berlalu tanpa terasa. Terkadang, bayang-bayang rumah impian terlintas di kepala dan berakhir dengan helaan nafas dari mulutku. Bisnis beras masih bagus seperti sebelumnya, dan Jago hadir lagi di rumah setelah penjual celengan menyetok ulang dagangannya. Hanya saja - lagi-lagi - jika diandai-andaikan mungkin sekarang seharusnya kami sudah tidak mengontrak lagi.

“Ayo pulang,” ajak Ibu sesudahnya ia keluar dari rumah pemilik kontrakan. Hari ini adalah hari jatuh tempo membayar kontrakan untuk satu tahun ke depan. Biasanya Abah yang menemani Ibu. Namun karena kaki Abah sedang kumat nyerinya, akulah yang mengantar Ibu untuk membayar kontrakan. Setelah Ibu sempurna duduk di boncengan belakang, kunyalakan motorku dan melaju perlahan menuju rumah yang selisih empat gang.

“Bu, ambil kredit rumah aja, yuk.” kataku pelan ketika motor yang kukendarai masuk ke pekarangan rumah.

“Permisi …, ” teriak seorang laki-laki memotong pembicaraanku dengan Ibu. “... di sini rumah Pak Kaman?”

“Iya,” jawab Ibu sembari mendekat.

“Ada paket.” laki-laki itu menyerahkan selembar amplop besar pada Ibu. Ia segera pamit lalu pergi begitu Ibu membubuhkan tanda tangan penerima di ponselnya.

“Dari siapa, Bu?” tanyaku penasaran. Ibu mengamati amplop cokelat besar yang ada di tangannya dan menemukan nama pengirim paket.

“Pak Gunawan,” jawab Ibu pelan. 

*** 

Kepada Kaman, sahabatku. Ungkap baris pertama surat Pak Gunawan yang tertulis jelas menggunakan tinta pulpen. Abah membacakannya setelah memakai kacamata plus di depan kami semua.

Aku sangat berterima kasih atas semua bantuanmu. Saat aku hidup bergelimang harta, banyak orang yang mendekat padaku. Memuji-muji kesukseskanku. Dan melekat bagai dua kutub magnet yang berlawanan. Di titik itu, bahkan kita tak saling bertegur sapa. Dan teganya, aku malah melupakanmu. Jujur saja aku terlena dengan orang-orang yang kukira adalah kawan.

Namun, begitu situasi berubah, tak satu pun berada di sisiku. Berbasa-basi bertanya kabar pun tidak. Mereka hilang. Semu layaknya fatamorgana.

Belum habis kucerna kondisi yang makin menghimpit diriku, seolah Tuhan sedang menguji, berturut-turut ombak besar menggulung kehidupanku. Bermula ketika istriku tiada. Berlanjut dengan putra semata wayangku.

Ya, kau pun tahu saat akhirnya aku, dengan tak tahu malu, mengunjungimu dan bercerita tengah memperjuangkan hidup anakku. Ia pun berakhir menyusul ibunya. Tiga bulan. Berkat bantuanmu hari itu, kau memberinya harapan hidup selama tiga bulan. Tidak ada yang lebih membuatku berterima kasih atas kedermawananmu meski aku tahu, uang itu akan kau pergunakan untuk membeli rumah yang keluargamu idamkan. 

Setelah kehilangan seluruh keluargaku, sayangnya kondisi kesehatanku ikut memburuk. Kutulis surat ini cepat-cepat setelah kurampungkan cuci darah kedelapan yang harus kujalani dalam satu bulan terakhir. Takut-takut kalau aku tak sanggup lagi menulis sepanjang ini.

Saat surat ini sampai kepadamu, aku sungguh-sungguh meminta maaf karena masih tak sanggup melunasi hutang-hutangku bahkan sampai aku mati. Seorang notaris, kawan lamaku, satu-satunya orang yang tak sungkan membantuku selain dirimu sudah kupercayai untuk mengurus alih kepemilikan atas rumahku - satu-satunya sisa aset yang kumiliki - kepadamu. Anggap saja hal itu kulakukan untuk melunasi hutangku. Toh, rumahku tak akan cukup jika dimasukkan ke liang lahatku nanti. Jadi lebih baik kutinggal saja, bukan? Jangan khawatir jika kau takut rumah itu bersengketa. Karena aku tidak memiliki sanak saudara.

Semoga kau dan keluargamu sehat selalu, Kaman. Aku juga melampirkan nomor dan kartu nama notaris yang akan membantumu nanti.

Salam,

Gunawan.

Semua orang membisu di ruang tengah. Menatap setangkup kertas yang tampak disobek dari bagian tengah sebuah buku tulis. Benar-benar hening. Hanya suara nafas yang menyelingi kesunyian dan empat pasang mata dengan tatapan kosong menelaah isi surat yang baru saja selesai dibacakan. 

 “Jadi, sekarang kita punya rumah?” tanya Ridho ragu-ragu. Abah, Ibu dan aku menjawab dengan helaan nafas. Kami semua masih bingung akan bereaksi seperti apa. Rasanya keliru untuk gembira di situasi seperti ini. Tapi tidak tepat juga untuk bersedih. Akhirnya, kita memilih mempertanyakan cara Tuhan menjawab doa-doa kami saja. Apakah harus dengan cara se-ekstrim ini?




Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)