Masukan nama pengguna
Bocah lelaki berambut ikal itu terus berlari. Daun ilalang meninggalkan baret-baret di lengan dan kakinya. Duri tumbuhan putri malu turut memberikan rasa sakit di telapak kaki. Tapi, ia tidak peduli. Ketakutan, kebencian, dan rasa muak telah mengalahkan rasa sakit. Ia terus menerobos ilalang mencari tempat persembunyian. Sayang, saat lelah tidak mampu lagi membohongi dirinya, ia belum juga menemukan jalan keluar. Ia tersungkur. Napasnya kembang kempis. Matanya membasah. Sesekali mulutnya mengaduh.
Bocah itu lalu duduk dan meletakkan kepalanya di antara dua lutut. Tangannya mencabuti duri-duri yang menancap telapak kaki. Mulutnya meringis setiap kali mencabuti duri-duri itu. Sebuah luka yang tidak berarti dibandingkan dengan apa yang ia alami selama ini.
Tindakan ayah tirinya seminggu yang lalu setelah ibunya meninggal adalah awal bencana. Setiap hari ia disekap di kamar, tidak boleh dikunjungi siapa pun. Hanya ayah tirinya yang hampir setiap malam memasuki kamarnya. Setiap datang ayah tirinya berubah menjadi serigala haus darah. Mencucup setiap inchi tubuhnya. Menggores kulit halusnya dengan kuku-kuku tajam. Menyuntikkan racun ke dalam darahnya tanpa rasa kasihan. Hingga ayah tirinya melenguh dan melolong. Lalu, terkapar tanpa rasa berdosa.
Bocah lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari kantong baju.
“Ini hadiah dari ibu. Biar kamu tidak tersesat!” Matanya berbinar saat diberi benda itu. Sebuah kompas. “Untuk tahu arah mata angin, kamu hanya perlu tahu arah utara. Kemana pun hidupmu berjalan, kamu hanya perlu satu pegangan. Satu prinsip.”
Ia masih ingat kata-kata ibunya, meskipun tidak paham. Dalam keadaan genting seperti sekarang, bocah itu berharap benda di tangannya mampu memberi keajaiban. Ia memejamkan mata. Tangannya mengusap-usap permukaan kompas dengan penuh harap. Tidak terjadi apa-apa.
Bocah itu merasa tidak tahu harus pergi ke mana lagi. Pulang ke rumah jelas tidak mungkin, setelah pagi tadi ia menancapkan gunting di perut ayah tirinya.
Bocah itu mendongak saat bayangan hitam menerpa. Awan hitam menggelayut. Sesaat kemudian hujan turun begitu deras diikuti angin kencang yang merobohkan ilalang di sekitarnya.
Bocah itu bersujud. Membenamkan wajah di antara dua telapak tangan. Pasrah.
*****
Lelaki kekar berdiri di dekat jendela. Memandang lalu lintas di bawah gedung tempat ia berada. Hujan deras mengguyur Jakarta sore itu. Sesekali ia mengusap wajah. Meskipun terhalang kaca, ia merasa hujan lebat kali ini telah menampar wajahnya.
Ia memutar tubuh. Memandang bocah lelaki yang duduk memeluk lutut di atas kasur berseprei putih. Tanpa pakaian. Si Bocah memandang lelaki itu dengan sorot ketakutan. Matanya membesar saat lelaki di depannya berubah menjadi seekor serigala. Mencakar dan mencabik sekat-sekat kepantasan. Lalu, serigala itu melenguh dan melolong sebelum kembali menjadi lelaki kekar.
“Om sayang kamu!” Lelaki itu mengusap kepala bocah dan mengecup keningnya. Diambilnya dompet di meja kecil. Beberapa lembar uang merah disodorkan kepada bocah. “Berikan pada ibumu biar kamu tidak disiksa lagi. Dulu, Om juga merasakan dan mengalami apa yang kamu alami ini.”
Bocah kecil itu mengangguk. “Terima kasih,” ucapnya lirih.
“Pulanglah!” Lelaki itu mengambil pakaian dan memberikannya pada bocah itu.
Lelaki itu kembali ke dekat jendela. Hujan mulai reda. Ia mengambil sesuatu dari dalam saku. Sebuah kompas yang telah menemaninya selama hampir seperempat abad.
Pamulang, 11 April 2021