Masukan nama pengguna
Daftar isi
1. Prolog : kenangan lama
2. Awal Mula
3. Mengerjakan Tugas Bersama
4. Pesta Persahabatan
5. Pahlawan Wanita Pemberani
6. Kehilangan Dompet
7. GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
8. Diikuti
9. Tsunami
10. Epilog: Kakek Bersorban Putih Misterius
Bab 1
Prolog : Kenangan Lama
“Mama sepatuku mana?” Seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun mondar-mandir tak karuan.
“Mama gak tahu sayang! semalam letak dimana?”
“Kagak ingat ma!” dia mengaruk pelipisnya. “Dik! Kamu lihat sepatuku tak!” Dia bertanya pada adiknya
“Gak tahu abang.”
Di tengah mencari sana-sini sebuah album jatuh dari atas lemari.
Anak lelaki itu penasaran akan album itu. Dia pun membuka album itu dan menyaksikan semua foto ibunya yang masih kuliah, termasuk foto lelaki misterius yang selalu berada di sebelah ibunya.
“Nak! Dah ketemu sepatunya!”
“Belum! Mama ini foto siapa?” anak laki-laki itu menunjukkan album yang ditemukannya.
“Ini kan album lama ibu! Dari mana kamu temukan nak!” tanyanya
“Ini tadi ada di atas lemari itu ma.” Ucapnya sambil menunjuk.
“Mama pikir album ini sudah menghilang...ini adalah foto saat mama masih kuliah dulu...” ucapnya sambil memandangi foto-foto lamanya.
“Abang! Mama! Lagi lihat apa?” sang adik mendekat sambil memeluk boneka beruang Teddy.
“Lagi lihat foto mama kuliah dulu.”
“Ini siapa ma yang mirip bule.”
“Itu Amelia.”
“Kalau yang ini ma?”
“Itu Ros dan Ini susanti mereka bertiga adalah kawan dekat ibu saat masih kuliah.”
“Kalau yang laki-laki itu siapa ma?” anak laki-lakinya kembali bertanya.
“Itu masa lalu mama! Orang yang pernah mengambil hati mama sebelum ayah kalian.” Ucapnya perlahan.
“Mama bisa ceritakan masa lalu mama! Arie mau dengar!” tukasnya penasaran.
“Lisa pun mau dengar ma.” Sang adik ikut menambahkan.
“Ini adalah kisah yang panjang... berawal saat mama usia sembilan belas tahun...”
Bab 2
Awal Mula
Namaku Diana putri, umur 19 tahun. Aku anak tunggal. Ayahku seorang inspektur polisi. Sedangkan, ibuku tidak bekerja. Aku sering kali membantu pekerjaan rumah ibuku.
21 Agustus 2004 aku berangkat ke Banda Aceh untuk mengenya pendidikan yang lebih tinggi. Sebelum berangkat ibuku mengingatkan untuk berhati-hati karena kondisi Aceh sudah tidak seperti dulu lagi.
23 Agustus 2004 aku masuk kuliah. Aku bertemu banyak teman baru walau beberapa di antara mereka tidak memakai jilbab. Beberapa di antara teman baruku berasal dari luar negeri. Unsyiah, itu kampus yang aku masuki.
Pukul delapan pagi aku masuk ruang, lima menit kemudian dosen datang. Jurusan yang aku ambil adalah sastra bahasa Indonesia. Sejak kecil aku sudah suka membaca, karena itu kuputuskan mengambil jurusan sastra bahasa Indonesia.
Dosen menjelaskan, ternyata kebanyakan kosa kata bahasa Indonesia di ambil dari bahasa Portugis. Memang sebelum Belanda, Portugis sudah lebih dulu menginjakkan kaki dibumi nusantara ini.
Assalamualaikum.
Suara salam terdengar di depan pintu kelas. Seorang anak laki-laki masuk sambil minta maaf karena terlambat. Dosen memaafkannya karena hari pertama masuk kuliah.
Anak laki-laki itu diduduk di bangku paling belakang. Dosen kembali melanjutkan penjelasannya tentang bahasa Indonesia.
Dua jam berlalu tanpa terasa, aku mengemas barangku yang berupa pena dan buku tulis—memasukkannya ke dalam tas. Aku berjalan melewati koridor kemudian turun melewati anak tangga, tiba-tiba aku tergelincir. Beruntung aku di tangkap oleh anak laki-laki yang terlambat masuk kelas tadi, rasanya seperti di gendong ala tuan putri seperti dogeng kerajaan-kerajaan di Eropa. Tak lama petugas kebersihan datang sambil membawa tanda licin, dia meminta maaf atas kecerobohannya.
“Nak tak apa-apakan.” Dahi petugas itu kerut.
“Saya gak apa-apa.”
“Syukurlah.” Petugas menghembuskan nafas lega, “Saya benar-benar minta maaf.” Tambahnya.
“Saya maafkan, lagi pula saya tidak apa-apa.”
“Kalau begitu saya permisi dulu, ya nak.” Petugas berlalu.
Aku ingin berterima kasih kepada orang yang menangkapku sebelumnya. Namun, aku tidak dapat menemukannya lagi. Dia menghilang seperti embusan angin.
Itu adalah pertama kalinya aku melihatnya.
Bab 3
Mengejarkan Tugas Bersama
28 Agustus 2004 pukul dua siang aku duduk di sebuah Cafe dekat kampus di kawasan Darussalam bersama teman-teman baruku. Sudah tiga hari berlalu sejak aku berkenalan dengan mereka. Tujuan kami duduk bersama di cafe ini adalah untuk mengejarkan tugas yang diberi oleh dosen waktu itu.
“Diana gimana ni awak sudah beres ke.” Tanya Ros.
“Gak ini lagi di kerjain.” Jawab Diana.
Ini Ros Junita, aku bertemu dengannya tiga hari yang lalu saat hari pertama masuk kuliah. Dia bukan orang Aceh ataupun orang Indonesia di daerah lainnya, ia adalah orang Malaysia yang berhasil mendapatkan beasiswa ke Indonesia.
“Susah kali ni awak same sekali gak ngertilah bahase Portugis ni.” Ucap Ros.
“Tenang ada Alice.” Jawab Diana.
“kamu ngerti bahasa Portugiskan Lic?” Diana memandangi Alice dengan penuh harapan.
“Iya aku ngerti bahasa Portugis.” Ucap Alice pelan.
“Orang Australia memang hebat.” Puji Diana dan Ros.
Alice senang dengan pujian itu. Ia dengan semangat mencari kosa kata bahasa Portugis yang mirip bahasa Indonesia.
Alice Amelia, aku pertama kali bertemu dengannya tiga hari yang lalu, dia orangnya cepat belajar. Dia bukan orang Australia asli, ayahnya adalah orang Aceh Rayek yang kerja kontrak ke Australia. Dia banyak menceritakan kehidupannya di Australia yang sangat berbeda dengan Indonesia, aku mendengarkan cerita dengan baik. Kami jadi kawan dekat sejak itu.
“Halo, apakah sudah lama menunggu?” seorang gadis dengan jilbab warna kuning, dan memakai jaket kuning tua datang mendekat.
“Lama sekali kamu Sih kamu Sus.” Ketus Ros.
Ini Susanti. Tapi, kami sering panggil dia Sus. Dia orang Aceh Pidie, ayahnya bekerja sebagai petani sementara ibunnya bekerja sebagai guru di desa terpencil di kabupaten Pidie. Sama seperti Ros dan Alice aku pertama kali bertemu dengannya tiga hari lalu.
“Maaf! Maaf! Aku tadi beli gorengan sebelum sampai kesini.” Susanti menjelaskan alasannya sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
“Sudah! Sudah! Mari kita selesaikan tugas ini dulu.” Diana menenangkan Ros.
“Benar tuh! Jangan Cuma aku yang mengerjakan semua tugas ini.” Alice ikut bicara.
“Tapi, Lic hanya kamu yang ngerti bahasa portugis.” Ucap Ros.
“Bukannya kami tak mau ikut bantu. Hanya saja kami tak tahu bahasa Portugis.” Tukas Diana.
“Iya! Iya! Biar aku saja yang kerjain. Tapi, kalian harus bayar minumanku, ya.” Pinta Alice.
“Oke, kami bertiga akan bayar minumanmu.” Ucap mereka sepakat.
Alice dia itu orang yang sangat berbakat sejak kecil dia sudah diajari tiga bahasa yaitu, bahasa Portugis, Inggris, dan Indonesia. Namun, sayangnya dia tidak begitu mengerti bahasa Aceh. Iya maklunlah dia lahir di Australia. Dia juga pernah cerita ternyata Australia tidak punya bahasa resmi. Tetapi, bahasa Inggris menjadi bahasa nasional disana. Sedangkan, minoritas masyarakat Australia menggunakan bahasa portugis. Sementara, aku jangankan bahasa Portugis bahasa Inggris pun hampir tak bisa.
Dua jam kemudian. Alice selesai mengerjakan semua tugas sastra bahasa Indonesia. Sekarang tugas kami hanya menyalin semua yang sudah dikerjakannya. Rasanya tidak enak jika kami hanya membayar minumannya, maka kami perselikahkan dia memesan makanan. Dia memesan nasi goreng kampung. Aku dan Ros memesan mie goreng, sedangkan Susanti memesan martabak.
Satu jam kemudian kami membayar semua tagihan, termasuk tagihan Alice. Kami pamit pulang ke kontrakan masing-masing. Sebelum pulang aku mampir ke super market untuk membeli persediaan air. Aku masuk mengambil sebotol air bermerek akua besar. Selain akua, aku juga mengambil beberapa camilan untuk di makan di waktu malam saat menatap laptop, kalau bahasa gaul sekarang mungkin bisa di bilang ngemil.
Setelah selesai memilih camilan aku menuju kasir, aku melihat seorang penjaga kasir sedang sibuk membuka buku kuliahnya. Aku pun memanggil kasir itu. Dia menoleh, sontak aku tertegun.
“Mbak gak apa-apa.” Dia bertanya padaku.
“kamu yang waktu itukan!” aku menunjuknya.
“Siapa mbak?” kebingungan.
“Kamu yang nakap saya saat saya terpeleset di anak tangga kampus, kan!”
“Oh mbak yang waktu itu, ya.” Dia teringat.
“Terima kasih, ya sudah menangkap saya waktu itu.” Ucapnya sambil tersenyum manis.
“Iya sama-sama mbak.” Tersipu.
“kamu punya waktu sekarang.” Tanyaku.
“Sekarang saya punya.” Sahutnya sambil melepaskan celemek kasir. “Sit saya sudah selesai, itu orang yang menggantikan saya.”
Seorang peria datang menghampiri kami, dia mengambil celemek anak laki-laki itu dan duduk di kursi kasir.
Aku membayar semua barang yang kuambil.
*****
“Mbak mau ajak saya ke mana?” Tanyanya.
“Ke warung dekat sini, kamu mau makan apa?” tanyaku.
“Apa aja yang mbak suka.” Sahutnya.
Karena dia jawab begitu, maka aku ajak dia makan pecal lele. Aku sangat suka ikan lele, mereka memiliki protein yang baik. Kebanyakan orang mungkin tidak suka ikan lele, karena ikan lele juga bisa dipelihara di tabung kotoran. Jadi sulit membedakan ikan lele hasil dari tabung kotoran dengan ikan lele peliharaan kolam. Tapi, dia sama sekali tidak terlihat tidak menyukai ikan lele, malahan dia menyantapnya dengan lahap.
“Terima kasih mbak sudah traktir saya pecal lele, saya suka sekali ikan lele.” Tukasnya ceria.
Ternyata kami menyukai makanan yang sama. Waktu sudah pukul enam sore, dia berdiri hendak ingin pergi ke suatu tempat.
“Saya izin pamit dulu, ya mbak. Mau ke Masjid Raya Baitulmal. Sebentar lagi waktu Shalat magrib.” Dia berlalu.
Aku belum sempat menanyakan namanya bahkan nomornya teleponnya. Tapi, dia membuatku sadar akan sesuatu. Entah sudah berapa lama aku tidak shalat, entah berapa lama aku telah meninggalkan tuhanku. Pada hari ini dia membuatku sadar dan malu di hadapan Tuhanku! Allah SWT.
*****
Setelah sampai di kontrakkan aku segera mengambil wudhu dan mukena untuk melaksanakan kewajibanku sebagai hamba Allah SWT. Aku menangis dalam hati karena melupakannya dan terlalu sibuk dengan urusan dunia.
Keesokannya aku tidak pernah lagi melupakan kewajiban-kewajibanku sebagai hamba Allah SWT.
Bab 4
Pesta Persahabatan
3 Agustus 2004 aku berangkat ke pantai Ulee Lheue untuk merayakan pertemanan kami.
“Susanti!” pekik Ros.
“Apa?” dia menoleh.
“Itu ikannya jangan terlalu lama dibakar sebelah! Nanti gosong!” jelas Ros.
“Iya! Iya! Aku tahu!” dia membalikkan panggangan.
“Bagaimana semuanya sudah beres?!” Alice datang tiba-tiba, “ni aku beli minuman soda.” Dia letakkan di atas meja.
“Bukan beres! Tapi hampir gosong!” Tukas Ros agak tinggi.
Alice terkekeh sambil menutup mulut.
Aku juga sedikit tertawa. Sedangkan, Susanti tanpa cemberut dengan candaan Ros. Tapi nanti juga baikkan lagi.
Aku duduk menekuk lutut di bibir pantai. Angin mengusap seluruh tubuh, rasanya nyaman sekali seolah seluruh beban sudah terangkat di punggungku. Mentari juga hampir terbenam di ujung cakrawala.
“Diana! Ikannya sudah mateng ni!”
Ros meneriakiku sambil melambai-lambaikan tangan. Aku bangkit dari duduk berjalan kaki mendekatinya.
Kami pun kumpul bersama menyantap ikan panggang yang hampir gosong. Jujur aku kira gosongnya lebih parah. Tapi, ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Ikannya masih kelihatan enak.
Kami menyantap ikan panggang itu sampai tandas. Tak lama azan dikumandangkan, aku mengajak mereka semua mencari SPBU atau mesjid terdekat untuk shalat magrib.
Hari-hari pun berlalu kami berempat banyak menghabiskan waktu bersama, kami bermain, mengerjakan tugas, dan kadang menginap bersama hingga tak terasa satu bulan sudah berlalu. Walau begitu aku sama sekali tidak bisa melupakan lelaki itu, dia terus saja muncul di kepalaku. Apakah ini pertanda cinta? Atau hanya nafsu remaja? Apa yang harus hamba lakukan ya gusti Allah? Apakah hamba harus mengungkapkan perasaan hamba? Atau memenangnya sampai akhir hanya? Hanya kepadamu hamba bisa meminta pertunjuk?
Bab 5
Pahlawan Wanita Pemberani
“Kasihan Cut Nyak Dhien! Dia bahkan tidak di kebumikan di negerinya sendiri! Aceh!” Ros terisak.
“Apa yang dapat kita lakukan! Kaum berdarah biru sangat kuat waktu itu! Cut Nyak!...dia pahlawan terakhir yang memimpin peperangan dengan kaum penjajah...” tukasku.
Ros mengusap matanya.
Kami sedang berada di museum Aceh yang terletak di jalan sultan Mahmudsyah No. 10, Peuniti, kecamatan Baiturrahman
Kami menatap lukisan Cut Nyak Dhien sambil mendengar cerita—yang di ceritakan oleh petugas museum.
Cut Nyak Dhien lahir di desa Lam Padang Peukan Bada di wilayah Vl Mukim, Aceh Rayek. Pada tahun 1862 dia menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga dari kaum bangsawan Aceh, Ulee Balang. Pada tahun 1878 suaminya meninggal. Saat itu dia bersumpah akan menghancurkan Belanda dan meneruskan perjuangan suaminya. Pada tahun 1880 dia dipersunting Teuku Umar. Mulanya dia menolak. Namun, lelaki itu mengizinkannya ikut perang sehingga ia menerima pinangan Teuku Umar.
Mereka pun berjuang bersama melawan bangsa Belanda. Taktik perang yang di gunakan Teuku Umar adalah pura-pura tunduk pada Belanda demi pasokan senjata yang kelak akan dipakai oleh rakyat Aceh untuk melawan kolonial. Taktik ini berhasil bahkan salah satu petinggi Belanda, Jenderal Jakobus Ludovicus Hubertus Pel terbunuh oleh pasukan gerilyawan Aceh. Pada tahun 1899 dia kembali kehilangan suaminya. Namun, masih turus melanjutkan perlawanan hingga tiba saat ia mulai kehabisan makanan, uang, dan pasokan senjata. Kondisi kesehatannya juga kian menurun, matanya mulai rabun dan tubuhnya encok.
Pada tahun 1904 perjuangannya harus berakhir karena salah seorang penghianat. Tempat persembunyiannya bocor ke Belanda, ia terkepung. Pada tahun 1907 dia di asingkan ke pulau Jawa di Sumedang berama tahanan politik Aceh lainnya. Belanda takut akan kehadiran Cut Nyak dapat menciptakan semangat perlawanan rakyat Aceh kembali. Setahun kemudian dia menghembuskan nafas terakhirnya pada usia enam puluh tahun.
Nah, begitulah cerita yang kudengar dari petugas itu
“Diana! Ayo cari minum aku aus ni.” Tukas sambil menepuk bahuku Ros.
“Ayok.” Sahutku.
Bab 6
Kehilangan Dompet
Oktober 2004 aku menjadi asisten dosen. Aku kira aku tidak akan bertemu lagi dengannya. Namun, takdir berkata lain. Pada hari itu aku bertemu dengannya lagi.
*****
Kring-kring.
Suara telepon terdengar mengganggu, di saat aku sedang duduk bersama tiga temanku.
“Diana angkat itu telepon. Suaranya mengganggu banget.” Ketus Ros.
Aku pun terpaksa mengangkat telepon dan seperti yang aku duga dosen yang menghubungiku. Aku mengangkatnya. Tamat sudah hari bersama teman-temanku.
“Diana! Kenapa lama sekali angkatnya?!” tukas dosen yang agak meninggi.
“Maaf pak! Tadi saya habis dari toilet!” bohongku.
“Pergi kemejaku ambil berkas yang berisi dokumen! Lalu bawa berkas itu ke tempat biasa!”
Tanpa menunggu jawaban dosen itu sudah menutup teleponnya.
“Maaf semuanya aku harus pergi.” Aku menutup telepon.
“Iya pergilah! Kami mengerti!” sahut Alice.
Aku pun pergi meninggalkan mereka dengan berjalan kaki menuju kampus yang tak jauh dari warung yang sering kami duduki.
*****
Aku memasuki ruangan dosen, menuju mejanya. Aku menemukan berkas yang berisi dokumen yang dibutuhkan. Kemudian disaat aku menuju ke tempat biasanya dia mengajar aku bertabrakan dengan seseorang. Semua bekas yang kupegang terbang berserakan.
“Aduh!” ucapku.
“Mbak gak apa-apa?” tanyanya sambil mengusap dahinya yang tertabrak barusan.
“Aku gak apa-apa.” sahutku.
Dia membantuku berdiri. Aku pun memandangi wajahnya. Sontak aku tergun. Aku kira, aku tidak akan bertemu dengannya lagi.
“Mbak yang waktu itukan.” Dia teringat.
“Jangan panggil aku mbak...tapi, panggil aku Diana.” Ucapku tak sadar.
“Diana.” Sebutnya.
Pipiku merona tak karuan.
“Biar saya bereskan bekas yang bersesaran itu.”
Aku tersadar dari lamunanku, aku juga merapikan berkas itu. Aku mengumpulkan semuanya, dia juga menyarahkan semua bekas yang dikumpulkan.
Aku izin pergi lagi menuju ke dosen yang menelepon tak tepat waktu. Tapi, jika dipikir lagi aku juga beruntung bisa bertemu lagi dengannya.
*****
“Sejak Fatahilah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa! Di gantilah namanya menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan yang gemilang.” Ceritanya, “Jadi nama sunda kelapa diubah menjadi?”
Assalamualaikum.
Aku masuk keruang mengajarnya.
“Akhirnya kamu sampai juga.” Dia melihatku.
“Ini berkas yang anda minta.” Aku menyerahkannya.
“Terima kasih. Kamu sudah boleh pergi.” Aku meninggalkan ruangannya.
Sekarang aku bisa ke tempat mereka bertiga lagi.
“....”
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Dompetku menghilang, aku mencarinya di semua tempat yang aku datangi. Namun, aku tidak dapat menemukannya. Aku menyerah dan kembali ke tempat teman-temanku.
“Kenapa wajahmu?” tanya Susanti.
Aku tidak menjawab.
“Ini pasti ulah dosen yang gak ada akhlak itu.” Ros bangkit dari duduknya—sepertinya dia mau menghajar dosen itu. Namun, Alice menahannya.
“Ini bukan salah dosen itu....” ucapku perlahan.
Ros menghentikan langkahnya.
“Aku kehilangan dompetku!” ucapku parau.
“KAU KEHILANGAN DOMPETMU!” Seru semuanya serentak.
“Maaf mengganggu.” Seorang laki-laki tiba-tiba muncul, “Ini dompetmu Diana! Tadi terjatuh di koridor!” tambahnya lagi.
“Alhamdulillah! Terima kasih ya Allah!” ucap semua teman Diana serentak.
“Terima kasih...” aku mengambil dompetku, “Anu...Namamu siapa?” tanyaku yang sudah penasaran dari dulu.
“Rahmat! Rahmat Zulikram itu namaku! Sampai jumpa!” dia berlalu.
Itu pertemuanku dengannya yang paling terasa.
Bab 7
GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
Sudah satu minggu sejak dia mengembalikan dompetku. Aku sama sekali tidak bisa tidak memikirkannya, dia terus melintas di dalam kepalaku.
“Diana kenapa bengong begitu.” Ros menepuk bahuku.
Aku tersadar dari lamunanku.
“Dia pasti memikirkan cowok ganteng yang mengembalikan dompetnya itu.” Goda Susanti.
“Yang bener Sus!”
“Iya. Coba kamu lihat wajahnya yang merona itu.” Tunjuk Susanti, “Tenang Diana! Aku punya kontak cowok itu! Apakah kamu mau?!”
Aku tidak menjawab karena malu mengakuinya. Tapi, dia tetap mengirikan kontak itu walau aku tidak menjawab pertanyaannya.
*****
Tiga hari kemudian aku duduk di Lapangan Gelanggang Mahasiswa dekat kampus, aku sudah janjikan dengan Rahmat lewat kontak yang dikirimkan Susanti tiga hari yang lalu.
“Apa kamu sudah menunggu lama?” dia muncul tiba-tiba.
“Tidak! Aku baru saja sampai!” aku tersipu.
“Kalau begitu ayo jalan.” Aku bangkit dari duduk.
Dia membawaku ke motornya. Aku naik merangkul erat tubuhnya. Baru pertama kali ini aku merasa nyaman bersandar pada seorang laki-laki.
“Kita mau ke mana?” tanyanya.
Aku mulai berpikir, “Bagaimana kalau Museum Sejarah.” Tukasku.
“Kamu maniak sejarahnya.” Tanyanya lagi.
“Tidak! Hanya saja...itu tempat kesukaanku.” Sahutku pelan.
Hari-hariku terasa sangat ini pada saat itu....hingga tak terasa sudah berlangsung satu bulan....yang paling indah adalah saat kami berkunjung ke pasar malam.
Namun, saat itu aku tidak menyadari bahwa bahaya sedang mengintaiku....
*****
“MENYERAHLAH! KALIAN SUDAH DI KEPUNG!” Pekik inspektur polisi.
Semua petugas mengepung sebuah gubuk tua di pinggiran kota Bireuen.
DOOR!
Peluruh meluncur ke arah seorang petugas, mengenai rompi anti peluruh yang dikenakannya. Tubuhnya terpental sejauh satu meter.
“SEMUA UNIT! TEMBAK!” Seru inspektur polisi tersebut.
DOOOOORRRRRR!!!
Ribuan peluruh meluncur ke gubuk tua tersebut. Setelah di rasa aman, peluruh pun berhenti ditembakkan. Beberapa orang petugas mendekat ke gubuk untuk memeriksa. Di temukan tiga orang tewas dan satu luka-luka berat, di temukan juga banyak senjata api.
Keesokannya inspektur polisi bernama Muhammad Salma masuk berita utama. Dia menjadi pahlawan karena berhasil menggerebek gudang senjata organisasi GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Dia bahkan diberi penghargaan oleh BUPATI Bireuen.
Sementara itu, di suatu tempat yang tidak di ketahui—di markas utama gerakan Aceh merdeka (GAM).
“Inspektur sialan!” tangannya menghantam meja yang tak bersalah. Entah apa yang dirasakan meja itu, kalau meja itu hidup dia pasti akan berkata, apa salahku tuan.
“Sabar bos! Sabar! Tuhan suka orang sabar!” seseorang mendekat—mencoba menenangkannya.
“Na ka tupu kah! Dup na ka digagalkan gerakan geu tanyo!” wajahnya merah padam.
“Lon tupu hai bos! Tapi, kiban tapeget man.” Dia mengurut-urut pundak bosnya.
“cari akal!” bentak bosnya.
Dia mengusap-usap janggutnya—mencoba berpikir. Tiba-tiba bola lampu keluar dari kepalanya.
“Saya punya ide bos!” serunya.
“Katakan!” ucapnya keras.
“Bagaimana kalau kita culik putri semata wayangnya itu.” Ucapnya mantap.
Bosnya hanya menganguk-nganguk, “Loh gilanya!” tangannya menghantam kepala bawahannya, “Coba pikir! Dia itu anak inspektur polisi! Pasti setiap saat dia berada dalam pengawasan!” tambahnya.
“Tenang bos! Menurut mata-mata kita, putri telah jauh dari pengawasan.” Ucapnya bak menang undian.
“Terus ke mana pergi putri semata wayangnya itu?”
“Koeta Radja! Banda Aceh!” serunya.
“Hubungi pasukan kita yang berada di Koeta Radja! Targetnya Diana Putri! Tangkap dia hidup-hidup!” dia bangkit dari duduk—mengambil jasnya dan bersiap berangkat ke Banda Aceh.
Bab 8
Diikuti
25 Desember 2004 aku duduk di kantin dekat kampus bersama teman-temanku. Akhir-akhir ini aku merasa seperti diawasi oleh orang-orang misterius yang tak beradap.
“Kenapa Diana? Kamu terlihat lesu? Gak kayak biasanya?” tanya Alice.
“Mungkin dia tak bisa berhenti memikirkan si Rahmat itu.” Cemooh Susanti.
“Hei, kamu ini.” Alice memukul bahu Susanti.
“Akhir-akhir ini aku merasa di ikuti.” Sahutku pelan.
“Diikuti... mungkin itu Cuma perasaanmu kali!” Ucap Ros asal-asalan.
“Sudah berapa kali kamu merasa di ikuti?” tanya Alice.
“Sudah tiga hari aku merasa diikuti.” Sahutku pelan.
Kring-kring alarm berbunyi. Semua mahasiswa yang masih punya kelas masuk kampus.
“Kami bertiga masuk dulu, ya Diana.” Ucap Susanti.
“Kami tak bisa menemani kamu pulang hari ini.” Jelas Alice, “Tapi, jika ada apa-apa nanti hubungi kami, ya.” Tambannya.
Alice, Susanti, dan Ros masuk kampus. Sedangkan, aku memutuskan pulang naik transkoetaradja. Namun, lagi-lagi saat aku berjalan sendiri aku merasa sepasang mata terus mengikutiku. Aku mempercepat langkahku. Sial! Dia menyadarinya! Sepasang kaki mengejarku dari belakang. Aku berlari sekuat tenaga. Namun, kejarannya lebih cepat di bandingkan diriku. Tak lama dia menangkapku. Saat itu aku merasa tak berdaya melawannya.
“lepaskan! Mau apa kamu?!” pekikku.
“Diam!” bentaknya.
PPAAAAAAKK!!
Sebuah pukulan menghantam kepalanya.
“Aduh.” Dia mengusap-usap kepala botaknya, “Siapa loe?”
“Aku Rahmat! Seorang mahasiswa.” Seru Rahmat kayak MC di dunia komik bertema pahlawan.
Mereka saling mengadu tinju. Namun, kemampuan Rahmat lebih tinggi dari pria botak itu. Setelah dua menit pertarungan berlangsung pria botak itu merasa tak akan menang, jadi dia pun lari terbirit-birit.
“Kamu tak apa-apa?” tanya Rahmat halus.
“...aku... tak apa-apa.” Ucapku putus-putus karena syok barusan.
“Demi keamanan. Apa kamu mau kuantar?”
Aku hanya mengangguk sebangai jawaban.
*****
“Toiletnya dimana.” Tanya Rahmat.
“Diluar sebelah pojok tembok.” Sahutku pelan.
Aku tiba kukontrakkan dengan selamat. Dalam hati aku sangat berterima kasih padanya. Namun, aku terlalu cepat lega. Saat sepasang tangan memegang kain mendarat di wajahku, aku tak sadarkan diri lagi. Aku dibawa paksa, penglihatanku jadi buram, tubuhku lemas tak berdaya.
Sementara itu, Rahmat yang baru keluar dari toilet menyadari Diana telah menghilang. Dia keluar dari kontrakan—melihat sekelilingnya—dia mendapati Diana dibawa masuk ke mobil jeep oleh pria misterius.
Bab 9
Tsunami
“Halo! Apa ini polisi?” Tanya Rahmat.
“Iya. Kami dari kapolres Banda Aceh! Ada yang bisa kami bantu.
“Tolong lacak lokasi ponsel saya pak.” Pinta Rahmat.
“Kenapa?” Tanya kapolres terheran-heran.
“Teman saya diculik pak! Saya berhasil mengejarnya! Tapi! Saya tidak tahu nama lokasi yang Ini pak!” jelas Rahmat.
“Baik! Kami akan lacak lokasi kamu!”
“Makasih pak.” Rahmat menutup telepon.
Rahmat tak tahu lokasinya yang diketahui adalah Diana diculik dan disekap di termagma yang sudah terlantarkan.
Rahmat menunggu beberapa jam. Namun, polisi tak kunjung tiba. Rahmat pun memutuskan menyelinap ke dalam.
Brooook!
Tinju Rahmat menghantam kepala botak penjaga pintu dermaga. Rahmat memperhatikan orang yang di tinju barusan, ternyata dia adalah orang yang di hajar Rahmat tadi sore. Rahmat mengambil pistol yang berada di pinggang celana pria botak itu.
“Oi! Siapa loe?!”
Sial! Seseorang datang meneriaki. Rahmat langsung menembak orang itu tanpa pikir panjang, beruntung tembakan Rahmat mengenai kepalanya. Tapi, puluhan orang lain berdatangan. Rahmat terpaksa berlarian sambil menembaki mereka.
*****
Kembali ke beberapa jam lalu.
“Akhirnya kamu sadar juga.”
Aku berusaha membuka mata, kepalaku masih terasa pusing saat suara orang misterius menguman di kupingku.
“Siapa kamu?” tanyaku parau.
“Namaku Sarul. Ini pertemuan pertama kita.” Ucap orang misterius tersebut.
“Kenapa kau menculikku.” Tanyaku parau.
“Pertanyaan bagus! Ini semua karena ayahmu yang selalu menggagalkan gerakan-gerakan pasukanku!” dia terkekeh, “Tapi, kau tak perlu risau karena targetku pembunuhanku adalah ayahmu bukan kamu! Kamu hanya umpan untuk memancing inspektur Salma itu!”
*****
Kembali ke beberapa hari yang lalu.
“Kita sudah sampai?” tanyaku.
“Belum.” Sahut Rahmat yang fokus mengemudikan motor.
“Kamu mau ajak aku ke mana sih?” tanyaku penasaran.
“Rahasia.” Sahut Rahmat lantang.
Lima menit kemudian kami sampai ke tujuan. Rupa Rahmat mengajakku ke pasar malam yang terletak di bawah jembatan Lamnyong, jalan Teuku Nyak Arief.
“Kita naik kora-kora yuk!” ajak Rahmat semangat.
“Ayuk.” Sahutku pelan.
Kora-kora berkepala naga yang kami naik meluncur cepat ke depan dan belakang. Setelah selesai aku harus pergi ke selokan untuk muntah, kepalaku pusing sekali akibat naik wahana itu.
Rahmat melihatku muntah. Sepertinya Diana tidak suka wahana seperti itu! Aku tidak akan lagi mengajak dia naik wahana itu! Begitulah yang ada dalam pikiran Rahmat.
Aku dan Rahmat berkeliling pasar malam. Pandanganku tertuju pada ikan mas koki yang berada dalam permain tangkap ikan.
“Kita ke sana yuk.” Ajakku sambil menunjuk.
Belum sempat Rahmat menjawab aku langsung merangkul lengannya dan menariknya ke tempat tujuanku.
“Permisi pak! Kami ingin mencoba permainan ini!” ucapku lantang.
“Silakan duduk!” ucapnya, “Ini jaringnya!” dia menyerahkan jaring pada kami.
Aku mencoba berkali-kali tapi, ikannya berhasil kabur hingga jaringnya rusak. Aku hanya menghela nafas. Aku menyerahkan jaring itu kepada pemiliknya. Aku berniat mengajak Rahmat meninggalkan tempat ini. Namun, aku tertegun ketika melihat ember Rahmat sudah penuh dengan ikan mas koki.
“Kamu sangat ahli permainan ini, ya?” tanyaku tajuk.
“Aku sudah terbisa memainkan ini saat masih kecil dulu.” Terang Rahmat, “Kamu bisa ambil semua ikan ini kalau mau.”
“Yang bener.” Tanyaku memastikan.
“Iya! Lagi pula aku gak punya akuarium di kontrakanku.” Jelas Rahmat.
Aku menerima pemberian Rahmat dan berterima kasih padanya. Setelah itu aku mengajak Rahmat masuk rumah hantu. Rahmat terlibat ragu-ragu saat aku mengajaknya masuk rumah hantu. Namun, akhirnya dia masuk juga.
Suasana dalam rumah hantu sungguh mencekam. Kami mendengar suara tikus yang berlarian. Kami terus melangkah berapa meter ke dalam hingga sesosok bayangan putih muncul, kami mendekati sosok bayangan putih itu.
HIHIHIHIHIHI!
Sesosok kuntilanak berwajah seram muncul mendadak. Rahmat langsung sembunyi di belakangku.
“Jangan bila kamu takut hantu.” Tanyaku memastikan.
“Iya.” Sahutnya parau.
Aku menepuk jidatku.
“Kenapa mau saat kuajak masuk rumah hantu?”
“Aku sulit menolak ajakan.” Terang Rahmat malu-malu.
“Pegang tanganku.” Pintaku
Rahmat memegang tanganku. Tangan pria rupanya sangat besar dan kasar.
Ternyata tangan cewek sangat lembut, batin Rahmat.
Sebagai penutup kunjungan pasar malam mereka. Mereka memutuskan naik bianglala. Perakperlik kota terlihat saat bianglala naik ke atas.
*****
“Diana! Kamu gak apa-apa!” tanya Rahmat khawatir sambil melepaskan ikatan.
“Aku gak apa-apa.” Sahutku serak.
“Syukurlah! Ayo kita tinggalkan tempat ini.”
Rahmat membuka pintu. Tiba-tiba ada orang yang langsung muncul. Rahmat dengan cepat meninjunya dan mengambil pistol yang berada pada orang itu.
“Ayo cepat! Kita kabur!” seru Rahmat.
Kami menyelinap melewati orang-orang yang berpatroli di dermaga itu. Sial! Kami ketahuan.
“Mereka kabur!” pekik orang itu.
Puluhan orang mengejar kami. Rahmat dengan sigap menembaki mereka, mereka juga membalas tembaki Rahmat. Sementara, aku berlindung di kontainer.
Saat sudah aman Rahmat memanggilku. Aku melihat bahunya keluar darah, dia sepertinya menahan sakit. Tiba-tiba tanah berguncang kuat. Aku dan Rahmat mencoba berdiri walau sulit.
“Aku tak akan membiarkan kalian pergi dari sini!” sarul muncul tiba-tiba.
DOOOR!
Peluru melesat ke arahku. Aku kira saat itu tak akan melihat besok lagi, Rahmat dengan cepat mendorongku. Peluruh itu mengenai dadanya. Rahmat membalas tembakan Sarul, mengenai kepalanya.
Kemudian sebuah gelombang setinggi tiga puluh meter menghantam dermaga dan kami. Aku terbawa hanyut. Tapi, masih terus kupegangi tubuh Rahmat hingga kulit sebuah perahu hanyut di depanku. Aku menanjak naik dan kuangkat Rahmat bersamaku.
“Rahmat! Bangun! Jangan tinggalkan aku!” aku terisak.
Uhu-uhuku.
Rahmat batuk.
“Sakit...maafkan aku Diana... sepertinya hidupku tak lama lagi...” suara Rahmat terdengar parau.
“Jangan bilang begitu! Aku masih ingin bersamamu!” hatiku terasa sakit—sangat sakit belum pernah merasa sesakit ini.
“Ada hal yang harus kukatakan padamu... mendekatlah...”
Aku mendekat terutama kupingku.
“..aku menyukaimu...Diana...”
Aku menciumnya.
Rahmat meninggal dengan senyuman.
Kemudian gelombang kedua datang—lebih tinggi dan lebih besar dari sebelumnya. Menghantam kami. Aku kehilangan tubuh rahmat karena gelombang kedua itu. Namun, Rahmat selalu ada di dekatku. Dia berada dalam hatiku.
Begitulah kisah cintaku berakhir.
*****
“Begitulah akhir kisah mama...”
“Arie ini jadi kayak lelaki itu! Dia kuat, berani, dan tangguh.”
“Lisa pun.”
“Dik kan cewek. Mana bisa.”
Lisa cemberut.
Diana tercekikik melihat kelakuan anak-anaknya.
“Dah siap semuanya?”
Seorang laki-laki mendekat.
“sepatu Arie hilang ayah!”
“Mana ada hilang! Semalan ayah masukan di belakang lemari supaya cepat kering.
“Iya, kah.” Arie pergi mengambil sepatunya.
“lagi lihat dia, ya.” Lelaki itu bertanya pada Diana, “dia membuatku iri.”
“Kenapa?” tanya Diana.
“Karena dia berhasil mendapatkan hatimu sebelum diriku.”
Diana tersipu sambil senyum manis, “Papa bisa aja.” Ucapnya manja.
“Pa! Kita berangkat sekarang yuk.” Tukas Lisa.
“kejap! Arie dah ketemu sepatunya!”
“Dah!”
“Ayo berangkat! Sebentar lagi karnaval di mulai!”
Bab 10
Epilog: Kakek Tua Bersorban Putih Misterius
Hari cerah pada waktu itu. Tapi, ada satu hal yang aneh waktu itu. Burung-burung liar terlihat panik di angkasa, mereka terbang tak menentu arah. Tak lama di kawasan simpang mesra, muncul kakek tua bersorban putih misterius. Dia berkeliling kampung sambil meneriaki.
“Haik anue-anue lon segera taubat hana trip le kiamat! Hana trip le!”
Namun, orang-orang tidak ada yang menghiraukannya. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tak lama setelah kakek itu menghilang, ombak setinggi tiga puluh meter menghantam daratan. Diawali dengan gempa bumi 9,1 skala Richter. Jumlah korban meninggal saat itu mencapai 230.000 jiwa, 500.000 orang kehilangan tempat tinggal, hingga Presiden RI saat itu, menetapkan tiga hari sebagai hari berkabung.
Selain di Indonesia bencana tsunami itu juga berdampak pada negara Malaysia, Thailand, India, Maladewa, Sri Langka, Bangladesh, Tanzania, Myanmar, dan Somalia