Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,842
Kiai Salim: Rumah itu Hatimu
Religi

 

ALKISAH, datanglah seorang pria ke hadapan kiai. Pria ini datang mengadukan hidupnya. Sulit ini dan sulit itu. Semisal selalu dikhianati teman sendiri, ditipu rekan bisnis sendiri dan dirinya pun, tak tahu mengapa sebabnya semua itu bisa terjadi dan terus terjadi. Seolah hidupnya selalu ditimpa kesialan dan keburukan dari hari ke hari. Padahal, sebelumnya, bisa dibilang ia pria yang kaya lagi dermawan. Bahkan, ia juga selalu berbuat baik. Sedekah ia rutinkan. Puasa sunah pun dikerjakan. Malah, sudah tak terhitung banyaknya orang-orang yang sudah dibantu olehnya. Umumnya orang-orang yang datang itu kesulitan ekonomi dan, selagi bisa bantu, ia pasti membantu.

Tapi belakangan, ia heran mengapa hidupnya seperti ada yang kurang. Ia gelisah dan lantaran gelisah itu, hidupnya kian merosot dan kini, ia makin terseok-seok. Yang dulu apa-apa mudah kini mendadak sulit. Yang sebelumnya lapang mendadak sempit. Ruang gerak dan bernapas saja rasanya sulit. Beban hidupnya seolah-oleh bertumpuk-tumpuk menindih dirinya.

Lantaran itu, pria ini menghadap kiai. Berharap mendapat pencerahan dan petunjuk untuk mengobati apa yang perlu diobati. Setelah diceritakan duduk perkaranya, kiai terdiam sambil menatap pria itu dengan tenang dan khidmat. Dan, setelah menghisap rokok, kiai akhirnya bertanya.

“Lalu sekarang, apa yang kamu inginkan?”

Mendengar pertanyaan macam begitu, pria itu tertegun. “Bagaimana, maksudnya, kiai—maaf…”

Loh—iya, kan kamu tadi bilang kalau dulu kamu kaya. Kalau dulu kamu hidup serba cukup, bahkan enak. Terus, kemudian mendadak jadi seperti sekarang ini, kan?”

“Iya,” Pria itu menjawab.

“Pertanyaannya, apakah kamu mau kaya lagi? Mau hidup enak dan gampang lagi? Kayak yang kemarin-kemarin itu? Atau yang bagaimana?”

“Justru, sebetulnya saya datang kesini mau minta petunjuk kiai. Soalnya saya sendiri bingung … tapi kalau ditanya begitu, saya sekarang rasa-rasanya ... cuma mau hidup tenang, Kiai…” Pria itu menjeda omongannya. Lalu meneruskan, “Saya mau tobat, Kiai.”

Oalah, kalau mau tobat ke Gusti, gampang itu. Asal ada niat dan usaha mesti bisa… Gusti tu Maha Pengampun. Tapi kalau tobat ke tuhan kamu, saya justru tidak tahu bagaimana caranya.”

“Memang tuhan kita beda, Kiai?”

“Iya tobat itu kan, artinya kembali.” Sambung kiai. “Makanya saya tanya dulu, kamu mau kembali ke mana?”

Sekilas, obrolan kiai dan pria itu memang jelimet. Tapi justru memang itulah yang mesti dikatakan. Pria itu seketika terdiam, seolah apa yang ada di dalam hatinya begitu tampak jelas di hadapan kiai. Ia harus mengakui bahwa benar, memang jauh di lubuk hatinya, ia hanya ingin hidup seperti dulu. Kaya raya dan hidup serba mudah tak pelik-ringsek seperti sekarang. Pria itu membenarkan apa yang disampaikan kiai barusan, ternyata ada tuhan lain di dalam hatinya yang tersentil kiai dengan begitu lembut dan halus.

Kemudian kiai bertanya, meneruskan apa yang perlu diteruskan. Pria itu pun tersadarkan dan kembali mendengarkan. “Begini saja, kamu punya rumah?” Tanya kiai berterus terang.

“Iya, punya kiai.”

“Kira-kira, kalau rumah kamu setiap hari dipakai buat mengaji. Buat zikir. Buat tadarus. Buat kajian-kajian kebaikan. Buat yang bagus-bagus, intinya… Terus, kira-kira, bakalan ada tidak orang yang datang cari pelacur di rumah itu?”

Pria itu tersenyum. Spontan berkata, “Tentu tidak, Kiai.”

“Tapi, kalau misalkan, rumah itu dipakai buat pesta minuman keras, dipakai buat transaksi narkoba, dipakai buat judi. Atau kumpul-kumpul zina, dan sebagainya… yang jelek-jelek pokoknya. Nah, kira-kira, yang datang ke rumah itu orang yang bagaimana? Apakah mungkin ada orang yang ujug-ujug datang terus mengaji di sana?”

Sekali lagi pria itu tersenyum. “Tidak mungkin, Kiai.” Namun, pria itu termenung-menung hebat. Seakan mendapat sesuatu yang lain dari apa yang dikatakan oleh kiai. Ada sesuatu yang merembes ke lubang hatinya. Dadanya bergetar hebat dan untuk pertama kalinya, logikanya sendiri yang menghancurkan dirinya. Sebab apa yang disampaikan kiai memang bisa diterima dan masuk nalar dengan mudahnya. Rumah yang baik akan didatangi kebaikan dan rumah yang buruk akan didatangi keburukan, demikian pria itu menyimpulkan di dalam benaknya.

“In ahsantum ahsantum li anfusikum wa in asa’tum falaha …” Kiai menukil ayat dan membunyikan juga artinya. Yang segera menghancurkan seluruh pertahanan pria itu. Pria itu menangis di hadapan kiai dan tersungkur tak berdaya. Seolah semua pakem kebaikan yang dulu ia lakukan runtuh seketika—porak-poranda, ketika ia menyadari bahwa selama ini, dirinya telah silap dengan harta dan kebaikan yang begitu banyaknya yang memang, ia lakukan demi status sosial. Ia macam terlena dengan status dermawan yang dielu-elukan orang-orang.

Seperti memandikan bocah yang pulang main di sawah, kiai kemudian mengguyur lagi dengan kalimat laksana air yang membilas segala kelalaian yang begitu halus di balik dadanya. Ketika kiai berkata, “Rumah itu adalah hatimu. Rumah yang baik mesti dimasuki kebaikan. Sebaliknya juga demikian. Sebab yang baik akan selalu berpasangan dengan yang baik pula. Itulah mengapa, kita jangan hanya berbuat baik di luar rumah tapi lupa dengan kondisi dalam rumah kita sendiri.”

Pria itu menangis dan rembulan yang menggantung di langit malam itu, menjadi saksi bahwa seorang kiai telah menunjukkan seberkas kotor di sudut ruang di dalam rumah seseorang yang datang kepadanya. Dan sejak malam itu, pria itu menjadi murid kiai dan hingga akhir hayatnya, pria itu menghabiskan seluruh hidupnya untuk membersihkan setiap inci dari rumahnya. Luar dan dalam hingga, meninggal di dalam kamar yang paling bersih di atas kasur yang paling empuk dan nyaman. Ternyata ada di dalam bukan di luar. Sebuah tempat paling nyaman yang banyak dicari orang-orang; sebuah ruangan yang disebut—ketenangan.

 

 

*) QS: Al-Isra, Ayat 7


 ________

Terima kasih, semoga ini cocok untukmu yang mencari ketenangan di dalam hidup. Sebab namanya hidup pasti ada masalah, tapi tak semua yang hidup itu bermasalah. Yang tentu kita semua tahu ada masalah pasti ada yang salah, dan demikianlah perjalanan panjang ini menuntut kita untuk senantiasa memperbaiki diri. Sebab bukan seberapa banyak dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat, melainkan seberapa berani kita mengakui dan bersegera kembali. Tak ada manusia yang tak punya dosa, namun mengakui dan menerima segala kekeliruan nyatanya... bukanlah perkara yang mudah. Di bawah ini adalah cerita tentang seorang yang mencari apa sebetulnya yang salah dalam hidupnya selama ini. Semoga bisa kamu nikmati dengan senang hati, dan semoga cerita yang akan kamu baca akan memberikan sesuatu yang selama ini kamu cari-cari: ketenangan.

Terima kasih telah mampir dan membaca karya sederhana ini. Semoga kalian selalu dalam kebahagiaan lahir dan batin, mari beri dukungan dengan memberikan komentar dan jangan lupa follow... Tabik!


 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)