Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,344
Kesatria Gelandangan
Aksi

Setelah berpeluh terik, mengais sisa makanan pada drum-drum sampah di kota yang ia cintai. Pada malam hari seorang pria tua sedang duduk di rumah pohon reyot, sepi, dan sunyi, berada di atas bukit. Kira-kira pria tua itu berusia lima puluh delapan tahun dengan tubuh yang kurus, serta wajah bersahaja, seluruh rambut di kepala, kumis tipis, dan berewok yang tumbuh berwarna putih. Dari atas bukit yang gelap pemandangan kota Kasgatu dihiasi lampu-lampu jalan dan rumah-rumah yang berdiri kokoh nampak indah meski bintang hanya sedikit muncul di langit malam.

 

Kota Kasgatu adalah daerah kecintaan laki-laki tua. Kota kelahiran yang tidak pernah ia ingin tinggalkan selama nafasnya masih berhembus. Kota yang di penuhi pengusaha obat-obatan mujarab yang hebat karena suburnya tanah, kota kelahiran para pemburu yang tangguh, kota terciptanya strategi spionase perangkap madu yang cerdik, kota penuh hiruk-pikuk yang tidak pernah senyap dan hening barang sejenak.

 

Seringkali di malam-malam kesendirian yang terasa abadi, sebelum tidur, pria itu mengembarakan pikiranya melampau jauh pada masa lalu kehidupannya di kota tercintanya. Dahulu ketika usianya masih muda, pria tua adalah dalang perangkap madu yang mahir. Dalam waktu yang singkat ia mampu mendapatkan segala informasi dengan akurat dan sangat terperinci. Strategi yang di buatnya bagai mata tuhan yang tepat tanpa sedikitpun meleset. Dengan cerdik dan pintarnya ia selalu mampu mengatasai segala kendala untuk mencapai tujuanya dan mudah mengetahui informasi rahasia perdagangan, mampu mempengaruhi pembuat kebijakan dalam pembentuk opini guna menguntungkan kepentingan siapa saja yang berani membayarnya dengan biaya spektakuler. Dalam petualangan-petualangan spionasenya, ia tidak pernah berpikir dua kali atau pandang bulu untuk selalu melancarkan aksinya hingga tujuanya tercapai sesuai keinginanya.

 

Di masa jayanya uang adalah hal paling mudah untuk didapatkan. Ia selalu menggandeng perempuan-perempuan yang ia inginkan, tentu saja dengan mudah mampu ia dapatkan. Perempuan yang bersamanya hanya dianggapnya sebagai pakaian sehari-hari yang tidak akan pernah mau ia kenakan lagi setelah selesai ia gunakan, menutupi nafsu birahinya. Walaupun ia selalu memberikan pertolongan dengan hartanya tanpa memperhitungkan apa yang telah ia berikan kepada mereka yang memintanya karena membutuhkanya. Namun penghinaan yang terucap dari mulutnya selalu beriringan dengan uluran tanganya. Orang-orang yang bersenang-senang bersamanya, teman-teman karibnya. yang juga menikmati seluruh hasil yang mampu ia dapatkan tidak ada yang benar-benar memperdulikanya. 

 

Entah ia sadar atau tidak, ia hanya menikmati masa kejayaanya dengan bersenang-senang sesuai keinginanya tanpa memperdulikan hal lain. Meskipun keluarganya berada satu kota yang sama denganya, tidak pernah terpikirkan olehnya untuk mengingat satu pun nama keluarga dalam kepalanya. Ia menikmati hidupnya dalam kesenangan yang membuatnya terbang tinggi hingga jauh ke angkasa bagai burung yang begitu pandai mengepakan sayapnya tanpa takut angin kencang mampu menghambat lajur terbangnya, mampu mematahkan sayap kuatnya.

 

Suatu waktu ketika ia dalam sebuah misi melancarkan aksinya, berhari-hari menjalankan strateginya, mengembangkan beragam informasi untuk mencapai tujuanya. Ia telah menunggang kudanya belasan jam menuju sebuah desa yang baginya mampu memberinya keuntungan besar untuk melancarkan pekerjaanya saat ini. Seharian ia berkuda untuk sampai menuju desa, tanpa mampu ia sadari malam akan segera tiba. Ia dan kudanya merasakan lelah dan lapar karena menempuh perjalanan seharian tanpa kenal waktu hingga ketika sampai di persimpang jalan di tengah hutan pinus yang luas ia menemukan penginapan kecil.

 

Cukup lama ia memperhatikan penginapan yang berjarak belasan meter darinya. Memastikan bahwa tempat itu nyata, ia tidak berhalusinasi akibat kelelahan yang mampu melampaui kesadaranya. Ia benar-benar memastikan bahwa penginapan yang dilihatnya bisa memberinya makanan serta tempat peristirahatan. Karena sepanjang perjalananya menelusuri hutan pinus yang luas tidak ada bangunan lain yang mampu ia temui selain peginapan itu. Ketika perutnya kembali mengeluarkan bunyi yang cukup kuat ia memutuskan untuk bermalam di penginapan keci itu.


Tidak ada keraguan ketika memasuki area penginapan, di gerbang utama yang sederhana ia mampu menyadari bahwa penginapan itu terlihat lebih gelap dari yang seharusnya. Hanya sedikit cahaya lampu yang menerangi area taman kecil yang menjadi halaman penginapan. Karena tidak dapat menemukan seorang penuntun kuda, pekerja penginapan, ia mambawa sendiri kudanya ke sisi lain penginapan itu. Setelah memastikan kudanya berada dengan baik di tempat minum kuda area penginapan, ia kembali menuju pintu depan untuk memasuki penginapan itu.

 

Dengan cahaya remang lampu-lampu di ruang utama penginapan. Meskipun terlihat nampak sederhana namun bangunan penginapan itu cukup kokoh dan beraroma lavender. Tidak ada seorang pun yang mampu ia temui. Menghampiri meja kasir, membunyikan bel yang terdapat di meja untuk menarik perhatian siapa saja yang akan menyambutnya. Ketika ia membunyikan bel itu beberapa kali, seorang pria gemuk muncul dari bawah meja kasir. Dengan mata merah dan wajah yang mengantuk pria gemuk itu menyapa, nafas pria gemuk itu berbau tembakau dan cengkih yang begitu kuat, dengan suara yang serak dan berat.

 

Belasan menit berlalu. Bukanlah waktu yang cepat untuk memesan sebuah kamar dan makan malam untuk ia dan kudanya yang mampu di sajikan oleh penginapan kecil itu. Pria gemuk yang ternyata adalah pemilik penginapan itu tak henti-hentinya berbicara mengungkapkan kegembiaranya memiliki seorang pelanggan setelah berminggu-minggu tidak memilikinya. Pemilik penginpan memberitau bahwa penginapan itu hanya memiliki empat personil untuk mengurus segalanya. Orang pertama adalah pemilik penginapan itu sendiri yang menyambut dan mengantar tamu, kemudian terdapat seorang perempuan yang bertugas di bagian dapur dan mengantar makanan, serta sisa dua orang pria yang bertugas sebagai kebersihan yang merangkap pula menjadi pemelihara seluru isi yang berada di penginapan itu.

 

Ia tidak berniat banyak berbasa-basi, ia hanya mendengarkan cerita pemilik penginapan itu tanpa memotongnya meskipun ia sangat menginginkanya. Hingga ketika pemilik penginapan itu telah menyelesaikan apa yang ingin diucapkan, dan membawanya menuju ke kamar yang telah ia pesan. Tubuh yang lelah dan perutnya yang terasa lapar merayaan kemenangan.

 

Setelah menutup pintu kamar dan telah benar-benar sendirian dengan cepat ia meletakan pedangnya di meja kecil samping tempat tidur dan membaringkan tubuhnya di ranjang kamar itu. Meski kamar itu berukuran kecil dan sangat sederhana yang hanya di lengkapi sebuah meja dan lampu bercahaya remang tetapi perasaan nyaman ketika berbaring mampu membuatnya mengukir senyuman puas di bibirnya. 

 

Beberapa menit beralu ketika ia tengah berbaring dan memejamkan mata untuk melepaskan seluruh lelahnya, suara ketukan pintu mampu menyadarkan dirinya. Seorang wanita muda cantik tanpa riasan, tubuh ramping, rambut hitam panjang terjuntai sempurna, dan bola mata bulat bagaikan anak anjing berada di depan kamarnya. Wanita itu membawa nampan berisi makan malam yang telah ia pesan sebelumnya. Wanita muda itu cukup mampu membuatnya semakin terpesona ketika berbicara untuk memastikan apa lagi keperluan yang di butuhkanya. Dalam pikirnya, aku membutuhkanmu aku ingin memakan makananku dan memakanmu malam ini. Tetapi pikiran itu hanya mampu berada dalam kepalanya, meski dalam kepalanya ia berpikir bisa saja dengan mudah mendapatkan wanita itu tetapi ia tidak akan pernah ingin membuang-buang waktunya jika sedang dalam misi yang di jalaninya. Karena meskipun ia gila wanita tetapi ia selalu mengutamakan pekerjaanya dan jika mau ia bisa kembali untuk mendapatkan apa yang diinginkanya, ia bisa menunggu sampai hari itu.

 

 Duduk di lantai kamar dan menyandarkan punggungnya di sisi ranjang, dengan cepat makanan yang dibawa oleh wanita itu telah habis ia santap dan dalam beberapa detik setelah ia meneguk habis secangkir teh hangat itu, rasa kantuk benar-benar menyerangnya begitu kuat. Hingga dengan tubuh yang terasa lemas ia merangkak ke ranjang, membiarkan kegelapan mengalahkanya, dan benar-benar tertidur lelap setelahnya.

 


 

  Entah sudah berapa lama waktu berlalu ketika ia merasakan kesulitan ketika membuka matanya. Rasa pusing berdenyut hebat di kepalanya dan ia merasa tidak mampu menggerakan kaki dan tanganya. Berusaha sekuat tenaga mendapatkan kembali kesadarannya. Betapa terkejutnya ia ketika telah benar-benar mampu membuka matanya. Ia masih berada di kamar yang sama tempat ia menginap di penginapan kecil itu tetapi yang kini benar-benar berbeda adalah ia duduk terikat di bangku besi samping ranjangnya. 

 

Kedua kakinya di ikat pada bagian dua sisi kaki depan bangku besi yang ia duduki, tanganya juga di ikat kebelakang punggungnya pada sisi sandaran bangku besi. Mendapati dirinya dalam keadaan itu meski ia merasakan sakit dan kering di kerongkonganya tetapi hal itu tidak menghentikanya untuk tidak berteriak hingga membuat pita suaranya hampir putus. Ia tidak berteriak meminta pertolongan melainkan ia melolongkan kalimat makian untuk siapa saja yang berani melakukan ini padanya.

 

Setelah ia berteriak cukup keras berkali-kali seseorang datang, gemericik kunci mampu ia dengar dan pintu kamar itu terbuka. Pria gemuk, pemilik penginapan, berada diambang pintu tersenyum padanya. Melihat hal itu ia kembali menerikan makian, menatap pria gemuk dengan sorot mata tajam, mengekspresikan amarah yang menggulung dadanya. Pria gemuk tertawa terbahak-bahak ketika memberitahukan bahawa, pekerjaanya kali ini terasa begitu mudah untuk menangkap seseorang yang terkenal sangat pintar dan jeli, hanya karena ia kelelahan dan kelaparan.


Pria gemuk itu menjelaskan dengan penuh kemenangan bahwa sebenarnya ia adalah seorang yang memang di tugaskan untuk menjebaknya. Membuatnya tidak akan pernah sampai ke desa tujuanya yang dengan pasti hal itu akan mampu memberikan kesuksesan besar.

 

Dalang dari penyekapanya adalah salah satu pengusaha obat yang memang menjadi target perangkap madunya saat ini. Seorang terpandang dari sebuah kota adalah saudara dari pemilik pengusaha obat itu dan menyewa jasanya untuk mendapatkan informasi mengenai virus yang akan di sebarkan dan ramuan obat apa yang akan di pasarkan besar-besaran oleh perusahaan obat yang licik dan picik itu dalam waktu dekat ini. Ia tidak menyangka bahwa aksinya yang selalu dengan mudah berjalan lancar akan menjadi rumit seperti ini.

 

Ketika ia sendirian di dalam kamar itu. Kepalanya berpikir begitu keras untuk mampu mendapatkan ide agar bisa keluar dari tempat terukut ini. Namun tidak sedikitpun mampu ia temui cara itu. Suara gemericik kunci kembali terdengar seseorang membuka pintu kamar. Ketika pintu terbuka ia mendapati bahwa wanita muda yang sebelumnya mengantarkan makanan pada malam itu kini kembali membawa nampan dengan berisikan sebotol air dan beberapa roti.

 

Kaki dan tanganya tetap terikat di bangku. Wanita itu membantunya untuk meminum sebotol air yang sangat di butuhkanya. Ketika ia tengah meminum air itu dengan jarak yang begitu dekat dengan wanita muda, dalam gerakan secepat kilat, ia mencium bibir wanita muda hingga mereka berdua hampir terjatuh ke lantai. Ia menggigit bibir bawah wanita itu hingga berdarah, mengancam untuk melepaskanya jika wanita itu tidak ingin benar-benar kehilangan bibirnya. 

 

Meski wanita itu tersentak dan merasa kesakitan karena perilakunya namun wanita itu begitu terlatih menangainya. Wanita itu mampu berhasil melepaskan gigitan dengan baik. Dalam amarah wanita itu menyeka darah dari bibirnya dan melemparkan roti yang berada di nampan, meninggalakan kamar itu, menutup pintu keras-keras, dan menguncinya kembali. Melihat perilaku wanita itu yang tidak sesuai keinginanya membuat ia meneriaki makian keras dan kasar kepada wanita yang telah meninggalnya.

 

Entah sudah berapa belas jam berlalu hingga ia mampu tertidur dalam keadaanya saat ini. Suara gemericik kunci lagi-lagi kembali terdengar, membangunkanya. Wanita muda itu kembali dengan membawa nampan berisi sebotol air dan makanan. Kali ini wanita itu mengancam jika ia tidak berperilaku dengan baik, maka wanita itu hanya akan meletakan makanan itu di ranjang dan meninggalkanya tanpa membantu menyuapinya. Membiarkannya mati kelaparan dan dehidrasi. Dengan perasaan yang penuh amarah ia hanya meneriaki cacian kepada wanita itu dan membuat wanita itu benar-benar melakukannya. Meninggalkanya begitu saja. 

 

Wanita itu selalu datang sesuai jadwal sarapan, makan siang, dan makan malam. Membawakannya senampan makanan dan meninggalkannya begitu saja. Hingga ia benar-benar tidak tahan lagi menahan rasa lapar dan haus, sungguh ia akan benar-benar mati kelaparan dan dehidrasi. Hal itu membuatnya menyerah dan berperilaku baik kepada wanita itu.

 

Ketika wanita itu membantu menyuapi makanan untuknya, wanita itu memberitau bahwa ia telah tertidur selama dua hari efek dari obat penenang sejak pertama kali mereka bertemu. Mendengarnya ia berhenti mengunyah makanan yang ada di mulutnya dan wanita itu tertawa kegirangan bagai seseorang yang memenangkan lotre dengan hadiah yang sangat besar. Wanita itu menjelaskan bahwa makanan yang saat ini disantapnya tidak di campur dengan obat apapun.

 

Wanita itu selalu datang untuk memberinya makanan dan minuman. Seringkali kali ia meminta wanita itu berkerja sama denganya, untuk melepaskanya, dan menjanjikan bayaran yang tinggi namun sesering itu pulang wanita itu hanya tertawa dan tidak sedikitpun menanggapi permintaanya. Hubungan mereka hanya sebatas seorang pelayan yang mendapat tugas memastikan sandranya tidak kelaparan.

 

Entah sudah berapa belas hari berlalu ia telah di sekap. Sampai suatu pagi ia terbangun dengan linglung, telinganya mengelurkan darah dan lendir yang terasa sangat menyakitkan. Kepalanya pun terasa pusing membuatnya semakin tidak karuan. Ia berguling-guling di kasur, berteriak, merintih, menangis karena rasa sakit itu hingga ia kembali tak sadarkan diri karena begitu tersiksa merasakan rasa sakitnya. 

 

Ketika ia kembali terbangun untuk yang kesekian kalinya setelah berkali-kali pingsan. Telinganya kini terasa berdengung hebat namun rasa sakitnya telah mereda dan betapa terkejutnya ia ketika mampu menyadari bahwa saat ini dirinya telah berada di kamar tidur rumahnya sendiri, kota tercintanya.

 

Cukup lama hingga ia mampu terbangun dari ranjangnya. Ketiak ia berdiri dan hendak berjalan, ia kesulitan memijakan kakinya dengan benar hingga ia harus mencoba beberapa kali untuk melatih kembali ketahanan kakinya agar kokoh untuk berpijak dan berjalan.

 

Bejalan tergopoh-gopoh menuju dapur untuk mendapatkan segelas air. Setelah ia minum dengan rakus dan berjalan kembali menuju ruang utama rumahnya betapa ia terkejut ketika mampu menyadari segalanya hingga membuat gelas yang berada di genggamanya jatuh dan pecah begitu saja.

 

Beragam pedang koleksinya yang sangat berninlai dan berharga serta perabotan rumahnya tidak ada pada tempatnya. Tidak mampu ia temukan juga brangkas yang menjadi tempat penyimpanan perak, emas, batu rubby, topas, merah delima, uang tunai, seluruh harta yang ia miliki di dalam brangkas itu hilang tanpa jejak dari rumahnya. Dengan frustasi ia lemparkan barang-barang yang masih tersisa yang berada di dekatnya dan betapa ia merasa hampir gila karena tidak mampu mendengarkan suara-suara jatuhnya barang-barang yang berserakan di lantai. Ia pun tidak mampu mendengar suara eraganya yang meraung tak karuan. Telinganya haaya berdengung hebat dan itu semakin membuat perasaanya kacau-balau.

 

Hampir satu hari penuh setelah ia mengalami beberapa kali keterkejutan, merasakan tubuhnya begitu sakit terutama di bagian telinganya, dan memastikan semua kenyataan gila ini bukanlah mimpi. Dengan perasaan yang tidak mampu di jelaskan dan amarah yang memuncak ia keluar dari rumahnya untuk mendapatkan makanan mengisi perutnya yang kelaparan dan mencari tau apa yang sebenarnya tengah terjadi padanya.

 

Hari sudah sangat larut ketika ia keluar dari rumahnya. Ia datangi resto bar mini yang dimiliki salah satu temanya. Saat ia memesan makanan, ia mampu membaca ekspresi seorang pelayan terlihat keheranan dan ia menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung lain. Mampu menyadari bahwa ia telah berbicara sangat keras kepada pelayan itu yang sebenarnya ia tidak mampu mendengarkan apapun selain dengungan pada telinganya sendiri yang begitu hebat.

 

Setelah berusaha keras membaca gerak bibir untuk berinteraksi dengan pelayan dan mendapatkan pesanan yang ia inginkan. Betapa hidangan dalam piring itu berpindah cepat ke dalam perutnya dan ia merasa sedikit puas karena satu masalah pokoknya telah terselesaikan. Duduk dengan lelah di bangku restoran, memejamkan matanya untuk menyaring segala hal yang terjadi. Beberapa menit berlalu ia merasakan tangan seseorang menyentuh pundaknya mampu membuatnya kembali membuka mata dan membuyarkan apa yang sedang ia pikirkan dalam-dalam. 

 

Pemilik resto bar yang tentu saja adalah temanya duduk dihadapanya dan memandanginya dengan ekspresi penuh tanda tanya. Ketika temanya ingin mulai membuka mulut untuk berbicara, dengan cepat, ia menghentikanya dan memberi isyarat bahwa mereka harus berbicara tanpa lisan melainkan dengan tulisan.

 

Melalui secarik kertas dan pena yang diberikan temanya, ia menceritakan bahwa dirinya sedang sakit yang mengakibatkan memiliki masalah dengan telinganya, serta tidak melupakan kejadian mengenai rumahnya telah di rampok, dan melewati kejadian bahwa dirinya telah disekap. Karena apapun yang terjadi dan resiko dalam pekerjaanya ia telah bersumpah bahwa itu adalah rahasia.

 

Tatapan prihatin kini mampu ia lihat tercetak dari wajah temanya. Hingga ketika temanya mulai memberitaukan sebuah berita hangat dari kota lain. Tiga hari yang lalu pada waktu dini hari terjadi kebakaran di sebuah rumah besar milik orang terpandang di kota itu yang membumi hanguskan seluruh isi dan pemilik rumah tanpa sisa sedikitpun. Jasad pemilik rumah ditemukan mati mengenaskan seorang diri. Dengan sedikit gemetar membaca apa yang ditulis temanya itu, ia menulis pertanyaan dengan antusias mengenai indentitas pemilik rumah yang terbakar dan nasip para pembantu yang berada di rumah itu. Tubuhnya membeku dalam beberapa detik ketika ia kembali membaca apa yang dituliskan temanya bahwa tidak ada jasad lain yang di temukan dan identitas pemilik rumah yang mati mengenaskan itu adalah orang yang menyewa jasanya untuk memata-matai perusahaan obat yang menyekapnya.

 

Dua hari berlalu setelah ia mengetahui berita di resto bar. Ia berusaha memulihkan dirinya dengan cepat, mendapatkan pinjaman uang untuk kebutuhanya sehari-hari dari teman-temanya yang merasa iba akan perampokan yang menimpanya. Seluruh kota telah ia telusuri untuk mampu mendapatkan petunjuk mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas perampokan rumahnya. Namun tidak satupun jawaban yang mampu memberinya sebuah petunjuk. Hingga ia benar-benar menyimpulkan bahwa peristiwa di balik perampokan rumahnya adalah perusahaan obat yang menyekapnya. Ia berencana untuk membuat perhitungan dengan pemilik perusahaan obat itu.

 

Dengan keterbatasanya saat ini, ia benar-benar bergerak sangat lamban untuk melancarkan aksinya. Ia kini mengalami keheningan total. Daun telinga yang ia miliki saat ini hanya sebatas pajangan ditubuhnya namun tidak mampu menjadi indra pendengaranya. Meskipun ia merasa sangat kacau akan hal itu namun dengan segenap tekad dan seluruh anggota tubuh lain yang masih berfungsi dengan baik. Alih-alih bersedih dan terpuruk, ia melakukan aksinya dengan gelora amarah dan pembalasan dendam.

 

Tidak akan pernah mungkin namanya mampu harum dikalangan perancang madu jika ia tidak memiliki segudang rencana dan akal yang cerdik. Kemanapun ia kini, tak pernah sekalipun sakunya kosong dengan kertas dan pena. Itulah caranya berkomunikasi saat ini. 

 

Telah berminggu-minggu dengan istirahat yang kurang membuatnya cukup kelelahan. Namun segala kerja kerasnya membuahkan hasil. Mebawanya sampai pada tengah malam di rumah pemilik perusahaan obat yang menyekapnya, merampok rumahnya, dan membuatnya cacat. Ia siap untuk membuat perhitungan yang sepadan.

 

Nafasnya menggeru karena kemarahan. Tatapan matanya tajam penuh dendam. Ia mengarahkan pedangnya kepada orang yang tengah terlelap di kamar yang besar dan nyaman, pemilik perusahaan obat. Ketika ia mulai mengalunkan pedangnya untuk menebas kepala pemilik perusahaan obat, pintu kamar itu terbuka dan dengan gerakan cepat seseorang membuatnya terjatuh, tubuhnya dibuat bertiarap tak berkutik dan kepalanya di bungkus dengan kain hitam yang membuatnya gelap gulita.

 

Ia di geret dengan kasar. Didudukan pada sebuah bangku besi, tangan dan kakinyaa di ikat. Mampu membuatnya merasakan perasaan familiar. Ketika kedua pergelangan kaki dan tanganya telah terikat ke bangku besi itu ia dipukuli habis-habisan hingga membuatnya menjerit karena rasa sakit yang teramat hebaat yang ia rasakan. Setelah beberapa menit menerima pukulan bertubi-tubi kain hitam yang membungkus kepalanya di lepaskan. Darah segar mengucur dari mulut dan hidungnya, matanya bengkak akibat hantaman pukulan, dan kepalanya terasa pusing tak karuan.

 

Dengan pandangan yang berkunang-kunang ia mampu melihat ruangan kosong bercat hitam dengan cahaya remang. Dua orang pria berbadan besar dan berdiri cukup tegap berada di sisi kanan dan kiri dirinya, menatapnya dengan pandangan yang mematikan. Pemilik perusahaan obat yang berada beberapa meter tengah duduk di sebuah kursi besi di hadapanya, sedang tertawa. Meskipun ia tidak mampu mendengaar suara tawa itu tetapi ia mampu menyadari bahwa pemilik perusahaan obat itu sedang menikmati pertunjukan yang terjadi dan membaca gerak bibir itu yang mengucapkan kalimat kepadanya, dasar bodoh.

 

Salah satu pria bertubuh tegap menjambak rambutnya dengan kasar. Memaksanya membaca selembar kertas. Kertas itu adalah miliknya yang entah kapan mereka mampu mengambil dari sakunya dan menuliskan beberapa kalimat disana.

 

Aku sudah berbaik hati tidak membakarmu. Kau terkenal cerdik dan pintar tetapi begitu bodoh kerena tidak mengenali siapa lawanmu. Aku adalah dalang dari wayang-wayang sepertimu. Kau hanyalah seorang pecundang tak tau diri. Dan kau harus membayar karena telah berniat membunuhku.

 

Ia sangat berusaha untuk fokus dan tetap bernafas di setiap kata yang ia baca. Usai membaca, ia mendongakan kepalanya dengan sorot mata penuh ketakutan menatap pemilik perusahaan obat itu. Nafasnya tercekat ketika pemilik perusahaan obat itu berdiri, tersennyum penuh makna, melambaikan tangan tanda perpisahan, dan pergi meninggalkan ruangan. Dalam detik yang sama salah satu pria bertubuh tegap membuat kain hitam itu untuk kembali menutup matanya. Ia beusaha berontak ketika kain itu hanya membukus matanya, kepalanya ditahan kuat-kuat agar tidak bergerak, dan ia di paksa membuka mulutnya. Ia mampu merasakan salah satu pria lain kini menarik lidahnya dengan paksa hampir membuat lidah itu putus dan dalam detik yang sama ia berteriak kuat-kuat atas rasa sakit tak terhingga yang ia rasakan.

 

Membuka matanya dengan ketakutan yang menyerangnya, rasa sakit di seluruh tubuhnya terutama teramat sakit di bagian mulutnya. Ia meringkuk dan menangis dengan keheningan total di ranjang miliknya, kamar tidur, rumahnya sendiri. Ia menangis tidak henti-henti begitu menyedihkan mendapati bahwa lidahnya telah di potong. Ia saat ini adalah seorang yang tidak bisa berbicara dan mendengar.

 

Berhari-hari ia hanya berada di ranjangnya. Tidak makan dan minum. Berharap maut menjemputnya namun ia tetap selalu terbangun dari tidurnya, memberi mimpi buruk yang nyata untuk dirinya. Hingga akhirnya ia menyerah untuk memohon kepada malaikat maut menjemputnya. Ia berdiri tergopoh-gopoh dan memulai hidupnya dengan penerimaan atas dirinya saat ini dengan segala yang masih ia miliki saat ini.

 

Beberapa bulan berlalu setelah kejadian tragis menimpanya. Kini setiap orang mengasihaninya tetapi tidak benar-benar peduli dan membantunya. Resto bar tidak lagi memberinya makanan gratis secara cuma-cuma, sekarang seringkali ia mendapati dirinya diusir dari sana dengan cacian dan makian. Teman-teman karibnya yang dahulu selalu ada di sekelilinya, di masa jayanya, kini mereka tidak pernah lagi sudi menemuinya. Ia juga selalu mendapatkan hinaan dari orang-orang yang pernah ia berikan uluran tanganya, sungguh balasan yang sepadan. Dengan terpaksa ia menjual rumahnya untuk mampu memenuhi kebutuhanya. Seluruh kota tidak ada yang berkenan memperkerjakan seorang cacat seperti dirinya. Meski ia kini sering memohon dan tidak mempermasalahkan jika hanya di bayar sepiring makanan. 

 

Dengan perasaan penuh malu dan tak berdaya, ia kembali ke kediaman keluarganya yang selama ini tidak pernah sedikitpun ia pikirkan. Namun ketika ia kembali yang mampu di dapatkanya hanyalah segudang penyesalahan yang membuat hatinya bagai tertusuk seribu pisau yang sakitnya tak tertahankan.

 

Ia di usir dan tidak diharapkan untuk kembali oleh saudara kandungnya. Ia mendapati kenyataan bahwa dua tahun yang lalu, dalam masa jayanya, ibu sangat merindukan kepulanganya hingga jatuh sakit dan meninggal. Kala itu ia memang mendapatkan kabar bahwa ibunya jatuh sakit namun dengan tamak ia hanya menghiraukanya dan tidak pernah berniat berkunjung untuk pulang. Ayahnya sungguh kecewa dengan perilakunya dan memutuskan untuk tidak lagi berurusan denganya, keluarganya yang lain pun tidak berniat memberitau berita duka itu kepadanya karena perasaan kecewa. Setahun setelah itu ayahnya pun menyusul mendiang ibunya dan saat ini tidak ada satu keluarga pun yang ingin menganggap dirinya bagian dari mereka.

 

Udara malam semakin dingin menusuk tulang. Pria tua yang duduk di rumah pohon reyot itu tersadar dari lamunanya. Membuatnya kembali ke masa kini dari pikiranya yang telah membawanya mengenang masalalu. 

 

Masa lalu yang di alami pria tua itu memberinya pelajaran yang teramat berharga dalam hidupnya bahwa apa yang mampu dimiliknya di dunia ini tidak bersifat permanen. Seluruh hal yang telah diraihnya dengan ketekunan selama seperempat hidupnya bisa saja hilang dalam waktu semalam. Tidak itu tidak akan berarti apa-apa, hanya kehampaan yang tersisa jika apa yang telah mampu dimiliki tidak bermanfaat dengan baik. Tidak ada waktu yang mampu pria tua itu putar kembali untuk memperbaiki dirinya yang selalu bersikap begitu tamak dan sombong hingga membuatnya memperlakukan orang lain dengan semena-mena. Pada akhirnya pria tua itu hanya mampu menerima segala hal, buah dari perilakunya di masalalu dengan penuh penyesalan tiada akhir. 

 

Pria tua membendung kekecewaanya dengan keheningan total dan tanpa mampu terucap oleh kata dan orang lain yang sudi bersamanya. Jika pria tua itu tidak bisa meminta maaf kepada setiap orang yang telah tersakiti dan menederita akan perilakunya di masalalu. Pria tua hanya mampu berharap bahwa penderitaanya saat ini mampu menebus rasa sakit yang dirasakan oleh orang tuanya karena dirinya, orang-orang yang telah ia hina, dan dirinya sendiri karena begitu bodoh dan terlena oleh masa jayanya. 

 

Di sisa hidupnya pria tua berharap mampu bermanfaat dan membantu siapapun dengan apa yang bisa dilakukanya, meski kini, segalanya terbatas dan pria tua itu tidak memiliki apa-apa. Namun pria tua akan tetap berusaha terutama untuk tidak merepotkan orang lain atas segala kesulitan dan keterbatasanya saat ini. Baginya hal itu mampu membuatnya mati dengan tenang, membebaskan penyesalan yang menggerogoti dirinya.



Sekian, selamat memaknai.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)