Masukan nama pengguna
Ketika suara sirine bersiul mendekat dari Stasiun Bandung menuju Stasiun Padalarang. Petugas mulai membunyikan peluit untuk memberikan tanda kepada para calon penumpang. Begitu kereta berhenti, semua manusia masuk berbondong-bondong untuk mendapatkan tempat duduk yang paling nyaman, termasuk aku. Aku bersebelahan dengan seorang pemuda yang mungkin usianya lebih tua dariku. Aku menyapa sejenak dan kemudian pemuda itu pun begitu. Kami saling berhadapan. Menatap jendela. Menerawang kenangan-kenangan yang tersimpan di balik jendela itu. Setelahnya keadaan mulai senyap. Beberapa pasang mata telah ditutup. Begitu juga dengan pemuda di depanku. Mereka semua berayun mengikuti gerakan kereta yang sudah melaju.
Disaat seperti ini, aku lebih senang menuliskan yang tak bisa aku lewatkan ketimbang tidur. Kuingat sesuatu. Segala macam pikiran memang sedang berkecamuk. Hanya satu yang selalu ingin aku ingat dan aku tulis. Ini adalah tentang Jhon. Dia memang begitu manis untuk aku ingat. Aku pun tidak tahu sekarang dia dimana. Aku harap dia baik-baik saja. Aku menitipkan dia pada Tuhan. Jika sudah tiba waktunya, maka pertemukan-lah aku dengan dia. Begitulah doaku pada Tuhan.
Jhon, dialah laki-laki pertama yang telah memetik hatiku. Laki-laki pertama yang aku kenal dengan wajah riang. Begini cerita tentang Jhon.
Jhon memiliki perawakan yang tak begitu jangkung. Namun lesung pipinya sudah menjadi ciri khas dari Jhon. Anaknya tak pernah usil. Cenderung diam namun senyumnya begitu menawan. Setiap wanita melihat pasti terkagum-kagum. Begitu juga denganku. Tubuhnya harum bagai bunga kasturi. Rambutnya ikal nan hitam legam. Jari-jarinya mungil dan halus. Sudah aku pastikan, Jhon adalah laki-laki sempurna di dunia ini.
Setiap kali Jhon melintas. Wanita-wanita itu akan berteriak, Jhon!. Maka Jhon berbalik bagaikan maut. Wanita-wanita itu akan kegirangan melihat matanya yang sipit nan indah. Memang ini cerita tentang Jhon. Jhon yang aku kenal memang tidak ada dua. Mungkin semua wanita di alam semesta ini akan berpendapat sama sepertiku.
Sewaktu aku melintas. Jhon lewat dan bau badannya nyaris membuat aku melayang. Sampai dadaku terasa ringan. Aku mengikutinya kemana pun. Kemudian Jhon berhenti dan berbalik.
“Jhon?"
Jhon mengangguk.
“Kau sadar?”
Aku pun mengangguk.
“Jhon?"
Jhon mengangguk kembali. Aku hanya terpaku dengan keelokan rupanya. Semuanya aku telisik sampai menggelitik. Bibirnya, matanya, pipinya, rambutnya dan semuanya. Jhon menyeringai, lalu pergi. Cerita tentang Jhon memang tak pernah lekang oleh waktu.
Keadaan telah sepi. Sengaja aku mampir ke perpustakaan untuk meminjam buku demi keperluan tugas. Aku sendiri dan tidak dengan teman-teman. Kemudian aku melihat Jhon telah bersembunyi. Di balik meja yang terhalang oleh taplak meja. Warna taplak mejanya gelap dan lebar, sehingga Jhon dapat bersembunyi dengan baik. Namun, hatiku bertaut dan dapat menemukan Jhon yang bersembunyi.
“Jhon?” Aku lagi-lagi memanggilnya.
Dia nampak terkejut. “Biarkan aku bersembunyi dulu.” Jhon menarikku dan menyulutkan telunjuknya ke bibirku. Kami berdua kini bersembunyi dengan baik. Deru nafas Jhon dapat aku rasakan. Bahkan, aroma tubuhnya bagaikan aku dalam surga. Jhon pandai bersembunyi dan aku dapat menemukannya. Sudah beberapa kali kejadiannya begini. Dan akhirnya aku ikut bersembunyi bersama Jhon.
Kali ini aku menemukan Jhon di ruangan kosong. Sudah lama ruangan itu tidak terpakai. Alih-alih sekarang ruangan itu dijadikan gudang. Konon, katanya dulu itu adalah ruang musik. Berhubung selalu bocor sana sini, dan lagi tempatnya nyempil di pojokkan, makanya ruangan itu dijadikan gudang. Sampai terpikir oleh diriku bahwa Jhon akan menyusup ke ruangan ini.
Jhon kemudian menarikku. Lagi-lagi dia menyulutkan telunjuknya ke bibirku dan kami bersembunyi. Tidak hanya nafas, bahkan sekarang aku dapat merasakan detak jantungnya. Kemudian kami semakin lekat dan hati kami saling menjawab. Ya, ini adalah cinta.
Jhon sudah terbiasa bersembunyi dan aku dapat menemukannya. Entah apa yang membuat aku jeli menemukan persembunyian Jhon. Tapi, dengan begitu aku dan Jhon saling mengenal lebih dekat meskipun kami tidak satu generasi. Ketahuilah, bahwa Jhon adalah kakak tingkatku.
Tak membutuhkan waktu lama aku jatuh cinta pada Jhon. Aku sering menemuinya di sudut-sudut kota. Jhon terlihat asik menari dengan pena yang sering digunakan untuk menggambar. Jhon adalah laki-laki sempurna. Selain rupawan, dia juga pandai melukis objek yang ada di sekitarnya.
Waktu kami memang tak banyak. Jhon tiba-tiba saja pergi tanpa pamit kepadaku. Tanpa satu helai surat pun. Aku meratapi itu semua dan selalu menunggu Jhon di sudut-sudut kota dan tempat persembunyiannya. Andai saja aku bisa bertemu Jhon kembali. Pasti aku akan mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta padanya dari dahulu. Bukan saja dahulu, tapi sekarang pun masih begitu.
Tiba-tiba saja aku merasakan getaran hebat sampai tubuhku ikut terguncang nyaris bertabrakan dengan pemuda di depanku. Namun anehnya, semua orang mematung. Mereka semua berhenti bahkan waktu pun ikut berhenti. Mereka semua hampir terjungkal namun waktu menghentikannya. Macam-macam gerakan, namun mereka seakan tak hidup. Bahkan, aku menggoyangkan pemuda di depanku. Menggerakkan tangan ke arah matanya. Sekali saja dia tidak menyahut.
Kemudian aku berlari, siapa tahu ada satu orang yang masih normal sepertiku. Dari gerbong satu ke gerbong yang lain aku susuri semua tak terelakkan. Hanya suara samar dari angin yang berhembus menepis pelipis mata ini. Bahkan, aku goyangkan setiap orang yang aku lewati. Aku pukul, aku tampar, bahkan aku caci orang-orang itu, tapi mereka tak menyahut. Mereka benar-benar telah jadi patung yang dihentikan oleh waktu. Aku mulai panik dan berteriak. Air mata pun sudah tak terhitung jatuhnya. Namun tiba-tiba sebuah tangan menggenggamku dari belakang. “Jhon?” Tanyaku seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat.
Jhon tersenyum, dia membantuku berdiri tegak. Jhon mengusap air mataku sampai merapikan rambutku yang tergerai. Seketika rasa takutku hilang. Aku sekarang sudah menemukan Jhon yang aku rindukan. Hanya aku dan Jhon yang hidup di dalam kereta itu. Semua orang membisu tak menentu. Hanya aku dan Jhon yang bahagia saat itu. Lalu aku pun bertanya pada Jhon, “kenapa semua orang disini seperti patung?”
“Karena waktu ini adalah milik kita.”
“Maksudmu, Jhon?”
“Lama tidak jumpa. Aku rindu.”
Aku tersipu, hatiku terguncang dengan asmara yang diucapkan oleh Jhon.
“Jhon kau kemana? Aku mencarimu selama ini.”
“Aku ada. Selalu ada di dekatmu.”
“Ada yang mau aku bicarakan padamu, Jhon. Sudah lama aku memendam rasa padamu. Kau terlalu apik untuk aku kagumi. Semakin lama hatiku semakin bersuara bahwa aku jatuh cinta padamu.”
“Aku pun demikian.” Kembali aku pun terlelap dalam pelukan Jhon. Ketika aku membuka mata, tiba-tiba saja aku berada di suatu tempat yang asing. Kataku pada Jhon, “jadi selama ini kau bersembunyi disini, Jhon?”
Jhon hanya menyeringai. Jhon mengusap rambutku dan dia memelukku erat. Ah! Hangat rasanya. Rasa rinduku pada Jhon terasa terbayar. Kemudian Jhon membawaku ke suatu tempat yang indah. Bunga-bunga di sana tumbuh dengan baik. Harum baunya sampai tercium ke ulu hati. Hening tanpa warta berita yang memadati Ibu Kota. Aku dan Jhon kemudian menikmati waktu bersama. Duduk di tempat itu dengan pemandangan yang elok. Rasanya, rinduku telah rampung dengan kehadiran Jhon. Aku pun terlelap dalam pelukannya waktu itu.
Suara sirine itu kembali berbunyi dengan sangat lantang. Aku tersentak dan melihat ke arah sekitar. Tiba-tiba saja waktu berjalan kembali. Semua normal seperti biasanya. Bahkan, orang-orang tengah bersiap untuk turun dari kereta itu. Mereka hidup kembali termasuk pemuda di depanku. Aku pun bersiap mengikuti antrian untuk turun dari kereta karena aku telah tiba di tempat tujuan. Kututup buku catatanku yang aku tulis tentang Jhon di sepanjang perjalanan. Begitulah caraku berimajinasi. Pada kenyataannya cerita tentang Jhon tidak akan lekang oleh waktu. Jhon akan selalu menjadi tokoh utama dalam ceritaku dan hidupku.