Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,855
Kepada Hati itu
Romantis

Dan aku tidak pernah berencana untuk menaruh hati kepadamu, jika bukan karena Allaah Ta’ala Yang menghendakinya

“Aku hanya ingin dapat laki-laki yang cinta pada Allaah Ta’ala, apakah itu salah?" ujarku dengan suara sedikit tersekat karena menahan air mataku yang akan menetes.

“Tidak, kamu tidak salah dengan inginmu mendapatkan laki-laki yang mencintai Allaah Ta’ala, yakin saja suatu hari kamu akan bertemu dengan laki-laki yang kamu harapkan itu,” kata dokter Desti menenangkanku.

Dokter Desti adalah teman baru yang baru aku kenal beberapa bulan terakhir, usia dokter Desti yang tidak jauh dengan kakak keduaku membuatku merasa nyaman jika berbincang dengannya, ditambah lagi dokter Desti memiliki cara pandang yang sama denganku terkait kehidupan dunia yang melelahkan ini.

Dunia yang menuntut kita untuk terlihat sempurna dimata orang lain yang secara tidak langsung itu membuat kita harus mengikuti apa kata orang dan seolah-olah kehidupan kita ditentukan dengan penilaian orang. Jika orang berkata itu baik untuk kita lakukan maka itu akan menjadi baik dan jika itu tidak baik untuk kita lakukan maka itu tidak baik. Saat kita melakukan apa yang orang lain katakan kita dielu elukan atau semakin dituntut lebih untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan. Sedangkan saat kita tidak melakukan apa yang mereka katakan kita akan dijelek-jelekkan bahkan bisa diasingkan.

Dan semua hal itu membuat ku semakin tersadar tentang manusia akhir jaman yang memegang teguh agama seperti menggenggam bara api, begitu berat dan sangat menyakitkan. Padahal dia hanya sedang membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa, karena yang biasa itu belum tentu benar, tapi yang benar memang seharusnya dijadikan kebiasaan.

“Sabar ya Ayis, dulu saya juga menikah saat usia saya diatas 30 tahun. Bahkan Ibu saya sempat meragukan tentang kriteria laki-laki yang saya inginkan untuk menjadi suami saya, menganggap bahwa laki-laki seperti keinginan saya sudah tidak ada dijaman sekarang. Tapi saya yakin bahwa laki-laki seperti itu masih ada. Jadi yakin saja dengan laki-laki impianmu itu ya Ayis,” jelas dokter Desti dengan suara lembutnya sambil memegang punggung tanganku

Aku terdiam menatap lekat kearah dokter Desti, aku cukup tenang mendengar apa yang dikatakan dokter Desti hari ini. Kekalutanku hari ini cukup mereda, secara tidak langsung aku merasa bahwa masih ada yang percaya dengan keyakinanku tentang laki-laki yang mecintai Allaah Ta’ala itu masih ada dan pasti ada.

******** 

“Ayis, awal tahun depan in syaa Allaah saya ikut suami saya study ke UK. Nanti kalau kangen bisa chat saya ya,” ungkap dokter Desti sambil tersenyum simpul.

Aku hanya menatap nanar ke arah dokter Desti, aku merasa tidak tau harus merasa senang atau sedih karena sebenarnya aku akan kehilangan teman berbincang yang satu frekuensi. Beliau yang akhir-akhir ini sering aku temui dan ku ajak berbincang. Dari obrolan dengan beliau aku banyak mendapat ilmu, motivasi bahkan semangat baru, jadi aku amat menyayangkan jika harus berjauhan dengan dokter Desti, meskipun aku tau beliau hanya akan menatap 2-3 tahun kedepan, tapi itu waktu yang cukup lama menurutku.

 “Yaaaah, nanti bakalan kangen banget sama dok Desti. Bakalan bingung nanti kalau nyari teman cerita. Tapi aku ngga mau menghalangi dok Desti karena tujuannya untuk ikut suami,” kataku menanggapi pamitannnya dokter Desti kepadaku.

“Kan nanti masih bisa chat saya, saya juga disana masih belum ada teman. Jadi Ayis bisa nemenin saya sekalian lewat chat malah,” kata dokter Desti diakhiri sebuah senyuman manisnya.

“Beneran ya dok, kalau bener besok aku bakalan sering sering chat ke dokter Desti. Biar aku tetap ada teman cerita,” timpalku sumringah.

“Iyaa Ayis, beneran. Atau mau nyusul kesana?” canda dokter Desti kepadaku.

“Mauuuuu, mau banget. Bolehkah aku nyusul dokter Desti kesana?” jawabku diakhiri dengan kalimat tanya.

“Boleh, tapi harus sama mahram ya, sama suami misalnya,” canda dokter Desti lagi.

“Yaaah, sendiri dulu aja gimana dok? Nunggu punya suami belum tau kapan ini, keburu dokter Desti pulang ke Indo nanti,” bujukku supaya bisa ke UK.

 Dokter Dewi hanya mengayunkan tangan kekanan dan kekiri sebagai isyarat kalau aku tidak boleh melakukan hal itu.

 Aku tertawa atas respon dokter Desti, karena aku tahu beliau tidak akan mengizinkan aku jika aku harus bepergian jauh apalagi keluar negri tanpa mahram.

 “Besok kalau dokter Desti udah mau berangkat ke UK kita harus ketemuan dulu ya, harus ada momen kita ngobrol ngobrol dulu pokoknya dan aku harus tau kapan dokter Desti berangkat ke UK,” ungkapku begitu protektif kepada dokter Desti seolah olah aku adalah adik kandungnya.

“Siaaap Ayis, kita memang harus ketemu dulu sebelum saya berangkat, biar saya juga lega karena berpisah dengan baik dan ada kebahagiaan sebelum saya pergi,” jawab dokter Desti.

Aku tersenyum simpul, bagaimanapun aku merasa bahwa sebuah perpisahan akan tetap menjadi sebuah perpisahan yang selalu meninggalkan kesedihan seberapapun kita sadar dalam melewati perpisahan itu sendiri, dan perpisahan adalah suatu hal yang tidak akan pernah siap untuk dihadapi meskipun kita sudah mempersiapkan perpisahan itu sebaik yang kita mampu.

Begitulah adanya, dunia ini adalah tempat kita merasakan banyaknya perasaan dan kejadian yang kadang atau mungkin sering membuat kita meneteskan air mata. Karena memang dunia ini adalah tempat untuk berlelah lelah, tempat istirahat adalah akhirat.

Ah dunia, tolong bersahabatlah.

********

 Satu tahun kemudian

“Ayis, hari ini kamu akan aku perkenalkan dengan staff di klinik cabang yang satu bulan ini akan menjadi tempat training kamu sebelum akhirnya kamu akan menjadi pegawai di klinik pusat ya. Dan ada kemungkinan kamu akan dipindah ke klinik cabang jika memang dirasa perlu. Intinya klinik ini akan menjadi tempat kamu training untuk melihat kinerja kerjamu dan akan ada evaluasi apakah kamu bisa meneruskan bekerja disini atau tidak,” jelas kak Winda HR klinik tempat aku akan bekerja.

Ya, beberapa bulan lalu aku memutuskan untuk berhenti dari klinik tempatku bekerja sebelumnya dan mendaftar di salah satu klinik yang lebih besar dikota tempatku tinggal.

Aku mengangguk tanda mengerti apa yang dijelaskan oleh kak Winda, waktu sebulan adalah waktu yang cukup untuk melihat kinerjaku menurut kak Winda selaku HR klinik. Aku tidak berfikir apa-apa, aku hanya merasa bahwa jika pada akhirnya aku akan menjadi bagian dari klinik ini maka itu sudah menjadi sebuah takdir Allaah Ta’ala yang harus aku jalani, dan apa-apa yang aku ikhtiarkan dalam pekerjaanku adalah bentuk aku memenuhi amanah yang telah Allaah Ta’ala titipkan kepadaku selama aku bekerja di sini.

“Ayis, ayo ikut aku,” ajak kak Winda berjalan menuju ke sebuah ruangan.

Dengan sigap aku mengikuti kak Winda dan berjalan dibelakangnya sebelum akhirnya dia berhenti setelah memasuki sebuah ruangan, Aku yang sedari tadi masih dibelakangnya ikut menghetikan langkah yang ku punya.

“Dok, perkenalkan ini Ayis yang akan melakukan training sebulan disini sebelum nanti dia akan ditempatkan di klinik pusat,” kak Winda memulai pembicaraan dengan memperkenalkan aku kepada salah satu dokter yang ada disana.

“Ayis, beliau dokter Fardden, dokter penanggung jawab klinik cabang ya,” ucap kak Winda seraya bergeser lalu menatapku dan membiarkan aku melihat sosok dokter bernama Fardden.

Aku berdiri tepat didepan dokter Fardden meskipun jaraknya terhitung jauh namun aku bisa melihat dengan jelas sosoknya. Dokter Fardden yang sedang duduk dan melayani seorang pasien sama sekali tak menatap kearahku saat kak Winda memperkenalkanku, terlihat sangat dingin dan cuek.

Lain halnya dengan diriku, aku sempat terkesiap melihat sosok dokter Fardden yang baru saja diperkenalkan oleh kak Winda kepadaku. Aku terdiam menatapnya lekat, berharap dia akan menatap ke arahku dan akan memberikan respon atas keberadaanku, namun nihil. Dia tetap dengan kesibukannya dan tidak terlihat memiliki keinginan untuk mengalihkan pandangannya selain kepada sebuah kertas yang ternyata adalah kertas resep. Dia sibuk dengan aktivitasnya siang itu ketika aku diperkenalkan padanya.

“Ayis! Ikut saya ya, kita akan berkenalan dengan staff lainnya,” ajak kak Winda yang membuat tatapanku kepada dokter Fardden buyar.

“Oh baik kak,” jawabku sedikit tergugu.

Aku segera menyusul langkah kak Winda dan memposisikan diri dibelakang kak Winda seperti awal sebelum bertemu dokter Fardden. Aku mencoba tetap tenang agar tidak ada yang menyadari bahwa aku sempat terkejut ketika bertemu dengan dokter Fardden.

“Ya Allaah, laki-laki itu,” gumamku dalam hati saat beranjak pergi meninggalkan ruangan tempat dokter Fardden berada.

 ********

Lima bulan kemudian

“KAMU MAU NYARI YANG GIMANA LAGI SIH? DIA SUDAH MAU DENGANMU TAPI KAMU MALAH NGGA MAU. MALU DIA UDAH DATANG KE RUMAH!” seru nenekku kepadaku setelah ada seorang laki laki yang datang kerumah bermaksud untuk berkenalan denganku.

“Nek, dia datang ke rumah untuk berkenalan kan? Dan proses perkenalan itu tidak harus langsung diterima begitu saja. Nenek saja tidak memberi tahu saya siapa dia, usia berapa, karakternya seperti apa, lalu tiba tiba nenek bilang padanya untuk datang bersama keluarganya dan memintanya untuk melamar. Sedangkan Nenek tidak bertanya pada saya apakah saya suka atau tidak dengan orangnya!” ujarku tak kalah ngotot dengan nada yang sedikit meninggi.

Ya, aku tinggal dengan nenekku sejak ibuku sakit dan Ayah harus bekerja diluar kota. Dan sejak saat itu Nenek merasa berhak menentukan fase hidupku termasuk menikah. Namun, meskipun tinggal satu atap, Nenekku tak pernah benar-benar tau apa yang sebanernya cucunya ini senangi, bahkan sesepele makanan kesukaanku pun tidak tau. Yang Nenek tau, jika itu baik dimata nenek, berarti itu akan baik juga untukku.

“Usiamu sudah lebih dari 30 tahun, kamu ngga usah sok jual mahal. Diluar sana juga ada wanita usia diatas 30 tahun dan menikah dengan duda tidak masalah. Orang diluar sana hanya akan menjadikanmu bahan cibiran saat melihatmu yang usianya sudah diatas 30 tahun” Nenek tetap keukeuh dengan pendapatnya.

“Nek, siapa yang jual maha?! Apa Nenek tau, saat mas Hilmi mengajaknya untuk shalat karena sudah adzan dia memilih untuk pulang. Saya tidak peduli bagaimana kebiasannya dirumah, shalatnya mau telat atau bahkan tidak ke masjid pun saya tidak peduli. Tapi tolong, ini mas Hilmi yang mengajak, yang jika kami sudah menikah nanti mas Hilmi akan menjadi kakaknya, bagaimana bisa saya menikah dengan orang yang diajak shalat memilih pulang dan tidak mengindahkan ajakan kebaikan dari kakak saya sendiri? Bagaimana dia akan menghargai kakak saya sebagai kakak iparnya nanti, dan bagaimana saya bisa yakin dia akan mementingkan rasa cintanya kepada Allaah Ta’ala jika mendengar adzan saja dia justru memilih pulang?” aku tak mau kalah dengan Nenekku, sepertinya ini menjadi pertengakaran hebat dangan nenekku setelah aku memilih lebih banyak diam.

“Ya kamu bisa membimbing dia agar bisa menjadi lebih baik. Bukankah manusia yang terbaik itu yang bisa bermanfaat untuk orang lain? Kamu bisa ambil kesempatan disini, jadi wanita yang akan mengubah dia. Ini mumpung ada yang mau sama kamu, kesempatan tidak akan datang dua kali,” sanggah Nenekku dengan nada agak menurun.

“Nek, tidak ada yang bisa mengubah orang lain kecuali Allaah Ta’ala dan kalau dari dirinya pun tidak ada niatan untuk berubah maka tidak akan dia berubah Nek. Dan kalau Nenek membahas masalah kesempatan, mungkin kesempatan ini berlalu tapi saya yakin ada kesempatan lain yang lebih baik yang akan datang kepada saya,” ungkapku menutup pertengkaran malam itu.

Aku sangat mengerti ada kekhawatiran dari Nenek karena aku sebagai cucunya belum juga menikah diusia kepala tiga, tapi bukan berarti aku harus menerima siapa saja yang datang padaku tanpa mengetahui tentang dirinya bukan. Mungkin karena Nenekku adalah orang jaman dulu yang memang terbiasa dengan perjodohan, jadi merasa itu akan tetap bisa berlaku dijaman sekarang, padahal dunia itu semakin menyeramkan pun manusia yang tinggal didalamnya. Jika kita tidak benar benar pandai menjaga diri dengan iman, habislah kita.

Dok, apakah salah jika aku ingin pasangan yang punya cinta kepada Allaah Ta’ala. Apakah harapan mendapatkan laki-laki seperti itu adalah sebuah kesalahan dan kemustahilan?

Sebuah pesan Whatsapp aku kirimkan kepada seorang yang sedang berada di benua Eropa, setelah aku merasa lebih tenang atas sebuah tangisan senduku karena pertengkaranku dengan Nenek.

 ********

Dua bulan kemudian

Selamat malam,

Ayis, mulai besok kamu akan ditempatkan di klinik cabang untuk kurun waktu yang belum bisa ditentukan, karena klinik cabang sedang butuh bantuan untuk proses akreditasi klinik.

Salaam, Winda

Aku menatap lekat layar ponselku disepanjang perjalanan menuju klinik cabang, aku menghela nafas saat membaca pesan yang dikirimkan oleh kak Winda semalam. Padahal aku sudah mulai nyaman dan terbiasa dengan ritme kerja di klinik pusat, namun tiba-tiba saja aku harus berpindah ke klinik cabang. Itu artinya aku harus kembali menyesuaikan diri dan artinya juga aku akan bertemu dengan dokter Fardden, entah aku harus senang atau sebaliknya.

Benar-benar dunia ini sangat penuh dengan kejutan, termasuk pertengakaran Nenekku dua bulan lalu. Rasanya masih jelas ingatan tentang pertengkaran itu. Belum lagi nenek yang masih belum menerima keputusanku. Baru saja aku ingin bernafas lega, namun ternyata harus kembali menarik nafas panjang.

“Ayis!” seru seorang perempuan paruh baya seraya tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku saat mengetahui kehadiranku yang baru saja turun dari transportasi umum.

Bergegas aku mencari sumber suara, lalu membalas lambian tangannya dan segera berlari ke arahnya.

“Akhirnya kamu kesini lagi Ayis, selamat datang kembali. Aku rindu sekali padamu,” ungkap bu Eni saat aku menyalami tangannya, beliau sudah seperti ibuku selama aku berada di klinik cabang saat training kala itu.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman lalu menggandengnya yang sudah memposisikan diri untuk memasuki klinik.

“Ada banyak cerita yang harus kamu tau selama kamu tidak disini…..,” ujar bu Eni memulai pembicaraan.

Aku masih menggandeng Bu Eni dan mendengarkan dengan seksama ceritanya sambil melihat ke arahnya dan jalan yang aku lewati bersamanya secara bergantian. Hingga tiba-tiba aku menangkap sesosok yang tidak asing bagiku, sosok yang amat sangat lekat dalam ingatanku.

“Selamat datang kembali,” ujarnya tanpa ekspresi saat berpapasan denganku dan bu Eni.

“Te…..,” belum sempat aku ucapkan terima kasih dia berlalu begitu saja tanpa menungguku meresponnya.

“Udah, biarin aja Ayis. Tau sendiri kan dokter Fardden memang sedingin itu. Belum ada yang bisa menaklukkannya. Hahaha,” kata bu Eni diakhiri dengan tawa renyah.

Aku menatap ke arah bu Eni dan hanya tersenyum membalas ucapan bu Eni. Aku masih belum bisa fokus sepertinya, semua ini terjadi begitu cepat dan tiba-tiba.

Ah, lelahnya.

 ********

“Saya harap kamu mengerti dengan apa yang harus kamu kerjakan,” pungkasnya setelah menjelaskan begitu banyak hal kepadaku.

Kepalaku agak pening hari ini, entah kenapa terasa semakin berat setelah penjelasan seorang laki-laki yang berdiri disamping kursiku untuk menjelaskan kebutuhan akreditasi kepadaku. Rasanya aku sedang tidak ingin berfikir tentang apapun, tapi ternyata banyak hal yang harus aku fikirkan.

“Saya tunggu sore ini untuk kamu menyelesaikan semua ini,” tutupnya sebelum akhirnya dia bermaksud untuk meninggalkan ruang perawat dimana saat itu memang hanya aku disana.

“Baik dokter Fardden,” ucapku singkat karena tidak ingin buang-buang waktu.

Aku berniat menggambil minum karena aku merasa kepalaku terasa semakin berat dan sakit sebelum akhirnya.

Bruuuug

“Ayiiiiis!!!!” teriak dokter Fardden yang belum sempat keluar dari ruang perawat.

Teriakan itu terdengar sayup sayup karena setelahnya aku tidak sadarkan diri dan saat aku membuka mata, kini suara seorang perempuan yang aku dengar.

“Ayis, kamu sudah sadar?” tanya bu Eni yang terlihat begitu khawatir.

Aku mengangguk pelan sambil menahan nyeri kepala yang belum hilang sepenuhnya.

“Kamu kayaknya butuh istirahat Ayis, jangan dipaksakan ya. Tadi dokter Fardden yang membawamu ke ruang tindakan,” jelas bu Eni menatapku lekat namun sudah terlihat agak tenang.

“Begitu ya Bu, saya mau ke ruangan saja Bu. Tolong antarkan saya ya Bu ke ruangan,” pintaku kepada bu Eni.

“Kamu yakin mau ke ruangan? Sepertinya kamu masih agak pucat,” tahan bu Eni diawali dengan kalimat tanya.

Aku menggangguk pelan, sebenarnya aku masih menahan rasa sakit dikepalaku. Tapi aku tidak mau berlama lama ada di ruang tindakan.

“Bu Eni, tolong itu ada pasien. Apakah bisa ditangani dulu pasien yang baru datang?” pinta seorang laki-laki dengan jas putihnya

“Oh baik dok,” jawab Bu Eni dengan sigap dan bergegas beranjak

Sebelum beranjak bu Eni sempat menggenggam tanganku seolah mengatakan tenanglah, kamu istirahatlah dulu Ayis.

Suara khas itu amat sangat aku kenali, dari sejak pertama kita berjumpa segala tentangnya memang mencitpakan ingatan yang kuat untukku.

Pemilik suara tersebut berdiri disamping bed lalu menatap lekat kepadaku, tatapan yang selalu membuat hatiku bergetar. Laki-laki itu tak lain dan tak bukan adalah dokter Fardden.

 ********

Enam bulan kemudian

“Maukah aku beritahu sesuatu tentang pertemuan pertama kita dulu?” tanya laki-laki disampingku untuk memulai pembicaraan sore itu.

Aku menatap ke arahnya dan menggangguk, dia sempat menoleh ke arahku sebelum akhirnya menatap langit yang syahdu.

“Saat Winda memperkenalkan dirimu kepadaku kala itu, sebenarnya aku ingin sekali menatapmu lebih lama dan lebih lekat lalu menyapamu. Namun saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk aku melakukannya karena aku sedang sibuk dengan pasien dan disana sedang banyak orang. Aku tidak mau membuat orang lain memerhatikan kita berdua,” katanya tiba-tiba berhenti.

Aku masih menatapnya meski dia masih begitu lekat menatap langit, aku masih menunggunya untuk melanjutkan kalimatnya, meskipun aku tidak tau apakah masih ada hal yang ingin dia sampaikan atau tidak.

“Sejujurnya, pertama kali aku melihatmu kala itu hatiku terasa hangat dibuatnya. Kehadiranmu membuatku merasa tenang dan dalam hatiku berkata, ‘Ya Allaah, perempuan ini yang selama ini aku cari’,” lanjutnya sebelum akhirnya menggela nafas.

Aku masih menatapnya dengan tatapan yang sama, namun sempat bertanya-tanya atas helaan nafasnya.

“Tapi aku sempat merasa ketidak-mungkinan kita akan bersama, aku yang masih belum membuka hati dan kita sangat terbatas berkomunikasi kala itu membuat aku merasa mungkin ini akan sama saja seperti sebelum-sebelumnya, berakhir tidak menjadi siapa-siapa,” dia berhenti berbicara lalu menatap ke arahku lekat dengan tatapan yang sangat hangat dan meneduhkan.

Kini aku menghiasi wajahku dengan sebuah senyuman bahagia atas apa yang baru saja dia sampaikan.

“Dan apa kamu tau apa yang aku rasakan ketika pertama kali kita berjumpa?” kini giliranku bertanya

Kini dia menatapku lekat lalu menggelengkan kepalanya.

“Saat itu aku merasa terkejut, terkejut karena kamu adalah laki laki yang selama ini aku impikan, laki laki baik yang mencintai Allaah Ta’ala. Laki - laki yang aku pikir itu hanya ada dalam imajinasiku saja. Dan tiba-tiba saja hati kecilku berbisik pelan padaku megatakan bahwa kamulah orangnya, seorang laki laki yang selama ini aku nanti” ujarku menatapnya dengan penuh cinta.

Tatapannya semakin lekat, tatapan cinta yang aku rasa lebih besar dari yang ku punya.

“Kamu hadir disaat aku sedang tidak ingin mencari ataupun menaruh hati kepada laki-laki, karena aku baru saja move on dari laki-laki yang menyakitiku 3 bulan sebelum kita berjumpa,” lanjutku belum selesai.

Kini dia menggenggam tanganku.

“Pun aku merasa bahwa sangat mustahil kita bisa bersama karena keterbatasan komunikasi dan koneksi. Tapi sungguh Maha Baik dan Maha Kuasa Allaah Ta’ala membuat kemustahilan itu terjadi dan akhirnya kita bisa bersama,” pungkasku penuh haru.

Kini aku menyandarkan kepalaku ke pundaknya, lalu kembali menikmati suasana sore itu.

“Terima kasih sudah memilihku sebagai penggenap separuhmu,” ungkapnya.

Sungguh, menaruh hati padamu tidak ada dalam rencana hidupku, Tapi Allaah Ta’ala melembutkan hatiku untuk akhirnya tertaut pada hatimu, dokter Fardden.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)