Masukan nama pengguna
Kenapa Susah Cari Jodoh?
Cerpen by Laras SR
Inggit harus mengalami patah hati hebat setelah hubungannya dengan Bara kandas. Tak main-main, hubungan keduanya telah terjalin selama 8 tahun lamanya, genap delapan tahun. Sampai Inggit berada diusia 28 tahun dan sekarang dia dibuat galau dengan usianya yang tak lagi muda.
Dari balik jendela Kafe, Inggit tengah memandangi turunnya hujan yang membasahi dedaunan di luar sana. Tak lama kemudian, bestienya datang sambil membawakan tray berisi dua cake rasa red velvet dan dua minuman dingin bersoda.
“Jangan ngelamun saja, Nggit. Ntar kesambet loh!” Ucap Rena, usil.
“Hem…” Inggit pun melepaskan lamunannya. Dia sedikit meluruskan kedua tangannya yang agak pegal, karena habis ikut pertandingan voli tingkat RT.
“Gue lagi galau nih, Ren.” Ucapnya, mengawali curhatannya.
“Palingan juga ngegalauin Bara. Kan cuma doi doang yang bikin lo kesal banget belakangan ini.”
“Bukan. Dia sih sudah hampir punah dari pikiran gue.”
“Bagus dong. Nah, terus, yang bikin lo galau sekarang tuh apa?”
“Nyokap gue.”
“Pasti nyokap lo nuntut lo biar cepat nikah?” Terka Rena, sambil memotong cake dengan garpu kecil. Begitu juga dengan Inggit, dan Inggit pun mengangguk, membenarkan terkaan Rena.
“Wsajar saja sih, Nggit. Soalnya, bukan lo doang yang ngalamin desakan suruh buru-buru nikah, gue juga. Kan kita sama-sama masih jomblo, sama-sama sudah mau kepala tiga, sahabatan pula. Eneg juga sih sama nih hidup. Kok kayaknya susah banget ya dapat jodoh? Perasaan, lihat orang-orang gampang banget dapat jodoh. Lah, kita? Sholat lima waktu sudah tepat waktu, rajin tahajud, rajin puasa sunah, nurut sama orang tua. Pokoknya, yang baik-baik sudah berusaha kita lakuin. Tapi, kenapa jodoh tuh masih belum juga datang? Menurut lo, kira-kira, kenapa ya sama kita?”
Inggit mengangkat tegak kedua bahunya. Pertanyaan Rena sama sekali ngga bisa Inggit jawab. Tapi, pastinya, dia juga ssudah ingin segera menikah. Dan, yang disesalkan oleh Inggit, papanya ssudah meninggal, jauh sebelum dia menikah.
Malam harinya, sepulang Inggit dari kongkow di Kafe dengan Rena. Inggit langsung mendapati mamanya yang sedang nonton acara TV kesukaannya bersama dengan adik bungsunya, Ikram.
“Ma,” Inggit mencium tangan mamanya, lalu dia duduk di samping mamanya dan menidurkan kepalanya di atas bahu kiri mamanya.
“Kamu kok baru pulang, Nggit? Bukannya pertandingan volinya sudah selesai sebelum maghrib ya?”
“Inggit habis ke Kafe sama Rena, ma.”
“Oh.”
“Kram, kamu sudah bikin surat lamaran buat ngelamar di SD, tempat rekomendasi kakak?”
“Sudah, kak. Besok tinggal aku antar surat lamarannya ke sekolah itu.”
“Hem, bagus kalau begitu.”
“Nggit, mama mau bicara.”
“Tentang apa, ma?”
“Begini, bu Suhendar tadi datang ke rumah. Lalu, dia mengatakan pada mama kalau dia berniat baik untuk memperkenalkan kamu dengan Bayu.”
“Bayu? Siapa Bayu, ma?”
“Mama juga belum kenal. Tapi, ternyata Bayu dan keluarganya tinggal di Komplek ini juga, cuma beda blok saja sama kita.”
“Ehmm…” Inggit mengangguk pelan.
“Kira-kira, kamu mau ngga dikenalin sama Bayu? Katanya, usia Bayu itu cuma beda satu tahun saja sama kamu. Dia bekerja di pelayaran kapal laut. Jadi, dia jarang pulang. Tapi, katanya anaknya baik kok.”
Inggit pun berpikir sejenak tentang pria yang akan diperkenalkan dengannya itu.
“Kalau kamu memang mau berkenalan dengannya, besok kamu bisa bertemu dengannya di rumah bu Suhendar atau kalian berdua bertemu di mana, biar lebih nyaman.”
“Mmm. Ya sudah, boleh deh, ma.” Inggit pun ngga menolak perkenalan tersebut.
Bagi Inggit, selama pria itu baik. Maka, ngga ada salahnya untuk berkenalan terlebih dahulu.
Akhirnya, besok harinya, Inggit pun janjian bertemu dengan pria yang bernama Bayu itu. Karena semalam Bayu ssudah menghubung Inggit duluan melalui chat. Jadi, mereka ngga perlu ketemuan di rumah bu Suhendar.
Inggit dan Bayu janjian bertemu di Kafe. Pertemuan mereka cukup singkat, hanya saling menyapa dan saling bertanya sekedarnya.
Inggit merasa fine ssaja jika harus berkenalan dengan pria seperti Bayu.
Secara tinggi badan Inggit cukup tinggi, di atas rata-rata cewek pada umumnya. Sedangkan, tinggi badan Bayu pas banget sama tinggi badan Inggit. Selain itu, Bayu cukup baik dan friendly untuk first impression dari awal perkenalan mereka. Tapi, Inggit ngga mau berharap banyak dengan Bayu. Dia akan mengikuti alur dari pria itu ssaja, mau dibawa ke mana kelanjutan dari hubungan mereka.
Dan, yap. Jauh di luar dugaan Inggit, kalau ternyata Bayu tertarik padanya. Bahkan di hari ke tujuh perkenalan mereka yang mulai intens berkomunikasi, Bayu ssudah langsung mengsajaknya untuk berpacaran.
Inggit yang lagi jombol dan merasa Bayu masuk kriteria pria idamannya, tentu ssaja sajakan pacaran Bayu langsung Inggit terima tanpa harus meminta waktu pada Bayu terlebih dahulu.
“Nggit, serius lo pacaran sama Bayu?” Rena bertanya dengan rasa penasarannya yang tinggi.
“Iya. Emangnya kenapa?” Inggit merespon dengan santai.
“Tuh cowok kelihatannya serius ngga sama lo?”
“Mm… belum tau juga gue. Tapi, gue mau tegasin sih ke si Bayu kalau gue ngga mau menjalani hubungan ini hanya untuk main-main. Gue sudah kapok sama Bara. Makanya, sama Bayu, gue pengen serius saja.”
“Emangnya seyakin itu lo sama tuh cowok?”
“Mm…, yaa… semoga saja, kalau ini jawaban dari Allah.”
“Ya ampun, Nggit. Mendingan lo cari tau dulu deh soal Bayu sebelum dia ngelamar lo dan lo terima lamaran dia, dan… kalian beneran jadi married.”
“Diih. Tumbenan lo se-worry ini sama gue.” Inggit pun heran dengan reaksi Rena yang ngga seperti biasanya.
“Ya bukan apa ya, Nggit. Gue cuma ngga mau lo di php-in lagi saja sama cowok. Kan capek, makan waktu pula. Secara usia lo sudah mau kepala tiga.”
“Hemmm…” Inggit menghembuskan nafas kasar yang cukup panjang. “Sibuk amet sih bestie gue ini, sampai mau repot mikirin Nasib percintaan sahabatnya sendiri. Padahal…, dia sendiri belum punya pacar juga. Hem?” Inggit menyindir halus Rena.
“Emangnya gue salah kalau gue peduli sama lo? Khawatir sama lo? Ha?”
“Ya ngga lah. Cuma lo ngga usah terlalu sekhawatir itu. Kan, gue sudah dewasa banget, Ren. Jadi, gue bakalan hati-hati dan pastinya gue bakalan ikutin saran lo untuk cari tau tentang Bayu.”
Rena hanya tersenyum renyuh mendengar ucapan Inggit yang sedang berusaha meyakinkannya.
***
Malam Minggu tiba
Inggit bakalan nge-date sama Bayu di hari ke 14 mereka jadian. Dan, ini menjadi first date mereka di malam minggu, karena biasanya mereka hanya ketemu sekejap ssaja, di tengah waktu senggang keduanya yang disibukkan dengan pekerjaan mereka.
Inggit pun berdandan cukup cantik. Dia mengenakan celana panjang dan blouse. Malam ini, mereka bakalan nonton film romantis, yang pastinya film pilihan— Bayu, bukan Inggit.
Inggit sih no problem. Meskipun, dia lebih suka film action yang lagi masuk box office.
Saat jam 7 malam, Bayu datang menjemput Inggit. Pria itu berpamitan pada mamanya Inggit dan mencium tangan mamanya. Sebuah nilai plus di mata Inggit, terutama mamanya. Karena sikap santun yang Bayu tunjukkan itu mencerminkan Bayu adalah pria yang baik.
Baru kali ini juga Inggit pacaran sama cowok yang bermobil. Meskipun mobilnya bukan mobil mahal dan masih nyicil juga. Tapi, bagi Inggit, punya pacar bermobil setidaknya ada peningkatan lah…
“Sayang, aku serius pacaran sama kamu.” Ucap Bayu, saat di perjalanan menuju Bioskop.
Ucapan Bayu tentunya membuat Inggit bahagia sekaligus tersenyum malu.
“Tapi, rencana pernikahan kita, bagaimana kalau diundur beberapa bulan?”
“Maksud kamu?”
“Aku ini kan masih nyicil mobi. Aku juga ngga mau dong pesta pernikahan kita dilakukan secara sederhana banget. Yaa… minimal di Gedung lah. Dan, rencananya, keluarga aku mau datang untuk melamar kamu seminggu lagi. Kalau kamu bersedia, aku bakalan kasih tau mama tentang niat baik aku ini.”
“Aku…” Inggit terharu mendengar niat baik yang Bayu katakan padanya.
Sebelumnya, Bara juga pernah ingin melamarnya. Tapi, itu juga Inggit yang minta. Sedangkan, dengan Bayu, justru pria itu yang mengatakannya duluan.
“Iya, aku bakalan kasih tau mama aku juga. Supaya mama aku bisa bersiap-siap, begitu juga sama keluarga aku yang lain. Semoga mereka punya waktu luang untuk datang.” Inggit berusaha mengatur nafasnya agar ngga terlalu gugup, ketika menghadapi obrolannya dengan Bayu kali ini. Obrolan yang jauh di luar ekspektasi Inggit, kalau Bayu akan melamarnya satu minggu lagi.
“Gue ngga lagi mimpi, kan?” Inggit terus mempertanyakan itu di dalam hatinya. Saking excitednya, Inggit sampai ngga sabar pengen cerita sama Rena secepatnya.
“Sayang, besok kan hari Minggu, kita olah raga pagi yuk?”
“Iya, aku mau.” Inggit semakin bersemangat ssaja dengan sajakan tersebut.
Tanpa terasa mereka ssudah tiba di area parkiran mall. Mereka turun bersama dan jalan bersama menuju Bioskop yang ada di lantai dua.
Saat mereka mau naik ke lantai dua, tanpa sengsaja mereka berpapasan dengan seorang wanita. Yang pastinya, wanita itu usianya jauh lebih tua daripada Inggit.
“Hai, Bayu.”
Wanita itu menyapa Bayu dengan ramah. Keduanya tampak akrab dan Bayu pun ngga lupa memperkenalkan Inggit pada wanit itu.
“Kenalin, Nes. Ini namanya Inggit, dia pacar aku.”
Ines langsung mengulurkan tangan ke arah Inggit dan Inggit pun menyambut perkenalan ramah dari wanita itu.
“Ines.”
“Inggit.”
“Oke deh. Have fun ya buat kalian. Aku pergi duluan. Bye!” Ines pamit. Dia pergi duluan.
Tapi, ada sedikit yang mengganjal dalam kacamata Inggit ketika dirinya melihat sorot dari kedua mata Bayu yang ngga melepaskan pandangan matanya dari sosok wanita yang usianya sekitar 40 tahunan itu. Bahkan, Bayu melebarkan senyumannya sepanjang matanya tak melepas sedikit pun dari sosok Ines.
Wsajar ssaja kalau sikap yang Bayu tunjukkan terhadap wanita itu membuat Inggit timbul rasa cemburu.
“Dia siapa, sayang?” Inggit pun bertanya, biar dia ngga penasaran.
“Bukan siapa-siapa. Hanya teman saja.”
“Teman dekat?”
“Ngga juga.”
“Tapi, kok kalian kelihatannya akrab banget?”
“Masa sih?” Bayu baru melepaskan tatapan matanya itu setelah Ines ssudah ngga terlihat lagi.
Kemudian, dia kembali mengsajakn Inggit untuk naik escalator ke lantai dua.
“Iya, kalian kelihatan akrab banget.”
“Mungkin kamu belum terlalu mengenal aku. Tapi, aku memang selalu kelihatan akrab sama siapapun walaupun kami baru saling kenal.”
“Oh, begitu ya.” Inggit sedikit mengkakukan senyumannya. Dia ngga mau bertanya lebih banyak lagi, karena dia ngga mau kalau Bayu sampai ilfeel padanya hanya gara-gara pertanyaannya yang terlalu kepo.
Kebahagiaan Inggit kembali pulih, ketika dia menerima semua traktiran yang Bayu kasih untuknya. Mulai dari tiket nonton bioskop, cemilan popcorn dan minuman dingin, dan juga makan malam yang lumayan mahal yang ada di mall.
Sedangkan, saat masih pacaran dengan Bara dulu. Dia selalu patungan. Mau ke mana ssaja, mau ngapain ssaja, dan mau makan apa ssaja. Inggit selalu ikutan bayar. Delapan tahu menjalin kasih bersama dalam suka dan duka, dan tanpa pernah adanya restu sedikit pun dari mamanya. Inggit selalu backstreet dan ngga pernah yang namanya full dibayarin sama Bara.
Jangankan dibayarin penuh, dikasih barang yang bernilai ssaja Bara sepertinya ngga pernah kepikiran sama sekali.
Semua perlakuan yang Bayu berikan padanya, semakin membuat Inggit yakin kalau Bayu adalah pria yang tepat untuk menjadi imam untuknya kelak.
Setibanya di rumah, Inggit langung bercerita panjang lebar dan detail sekali pada mamanya tentang first datenya kali ini, termasuk niat lamaran yang akan Bayu lakukan padanya seminggu lagi.
Mamanya sangat bahagia mendengar kabar itu. Mamanya pun bersemangat untuk menyiapkan segalanya.
***
Keesokan paginya, Bayu kembali datang ke rumah Inggit. Sesuai dengan janjinya, kalau dia akan mengsajak Inggit untuk olahraga pagi.
Kebetulan, Inggit memang kadang hobi diet. Dan, sejak pacaran dengan Bayu, pola makan Inggit jadi berubah drastis. Inggit sih sedikit tersiksa. Secara Bayu cukup memaksa dirinya untuk diet dan berolahraga. Meskipun yang dikatakan Bayu sangatlah benar, tapi kalau caranya agak berlebihan seperti itu sih Inggit jadi sedikit tertekan.
“Berat badan kamu sudah turun berapa kilo, sayang?”
“Mm…” Bola mata Inggit kicar kicir ke kanan dan ke kiri.
Inggit lupa timbang berat badannya. Padahal, Bayu ssudah mengingatkannya berulang kali, supaya Inggit timbang berat badan sebelum mereka bertemu kembali.
“Kamu belum timbang berat badan kamu ya?”
“Hehee…, iya.”
“Hem…” Bayu tampak kecewa, hanya untuk hal sesepele ini. “Lain kali, kamu dengerin dan lakuin ya perintah aku ke kamu, biar aku nya ngga jadi bete begini.”
“Iya, sayang.”
“Lagi-lagi soal berat badan. Gara-gara disuruh turunin berat badan, gue jadi ngga bisa makan dan minum apapun yang gue suka. Sumpah. Kadang tuh nyiksa banget kalau diginin terus.”
Hhh!!!
Inggit sedikit membanting tasnya di atas meja dang juga tubuhnya di atas single chair untuk melepaskan rasa kesalnya.
“Kenapa lo, Nggit? Kelihatan bete banget.” Ucap Rena, sambil mengerjakan sesuatu di atas meja kerjanya di kamarnya.
“Gimana gue ngga bete, kalau hari-hari gue cuma ditanyain hal-hal yang berhubungan sama diet.” Jawabnya, sedikit sewot.
“Emangnya sama siapa lo ditanya kayak begitu?”
“’Siapa lagi kalau bukan sama Bayu.”
“Wah, Bayu agak protektif juga ya sama urusan bentuk tubuh. Secara badan lo gampang banget gemuk. Ukuran sepatu lo saja agak susah carinya. Kalau lo sanggup ngadepin cowok kayak Bayu sih yaa lo go on.”
“Ya go on lah. Masa gue mau kandasin hubungan gue sama Bayu sih? Jarang banget kan nyokap gue segitu sukanya sama cowok. Meskipun gue ngga suka-suka banget sama sih Bayu, masa dibawah kata biasalah rasa suka gue ke dia. Tapi, karena nyokap gue suka banget sama Bayu y ague ngikut saja.”
“Berarti lo cari jodoh berdasarkan kesukaan nyokap lo dong? Bukan karena perasaan lo sendiri.”
“Bisa dibilang… rada bulshit ya kalau ngomongin soal perasaan untuk urusan cari jodoh buat sampai nikah. Gue sudah muak sama yang namanya cinta. Lo tau kan pengalaman gue kayak apa saat pacaran sama Bara. Gue rela tuh backstreet sama dia, gue serahin semua perasaan gue buat dia, gue jadi cewek yang sangat pengertian dari jatuh bangunnya dia beberapa kali. Tapi, apa yang gue alamin? End juga, kan?”
Rena menurunkan sedikit pandangan matanya dan mengangkat kecil kedua alisnya. Tanda dia membenarkan ucapan Inggit tersebut.
“Lo sendiri? Gimana sama Nasib percintaan lo?”
“Ya gitu deh. Masih nol besar. Belum ada cowok yang deketin gue dan belum ada cowok yang mau gue deketin.”
“Lo ngga putus asak an buat cari jodoh?”
“Ngga tau deh. Gue ngga bisa sekuat lo yang gampang buat move on. Eh, tapi bukan berarti gue ngga bisa lupain mantan pacar gue ya. Itu beda cerita.”
“Iyeee, gue tau kok.”
“Eh iya, ntar lo datang kan ke acara lamaran gue?”
“Emangnya kapan acaranya?”
“Hari minggu besok.”
“Tenang saja. Ntar gue minta jatah libur di hari itu. Masa di acara penting bestie gue, gue ngga bisa datang sih.”
“Thanks, Ren. Lo emang sahabat gue yang the best.”
***
Di hari Minggu,
Saat hari lamaran Inggit dengan Bayu pun akhirnya terlaksana dengan baik. Dua keluarga saling bertemu di rumah Inggit dengan gelaran acara yang sangat sederhana. Tak lupa, bu Suhendar, selaku orang yang cukup berjasa dalam perkenalan Inggit dan Bayu pun turut hadir dalam acara penting tersebut.
Hari penentuan pernikahan pun langsung dibicarakan juga. Pihak Bayu meminta acara pernikahan dilaksanakan tiga bulan lagi dan pihak keluarga Inggit pun setuju.
Raut wsajah bahagia terpancardari wsajah mamanya Inggit. Moment penting yang paling ditunggu oleh wanita paruh baya tersebut akhirnya terjadi. Dia memang menginginkan putri sulungnya untuk segera menikah secepatnya.
Cincin emas pun tersemat di jari manis Inggit yang dilingkarkan oleh sang mama tercinta dari Bayu.
Maka, setelah hari lamaran itu terjadi, Inggit mulai gembar gembor menceritakan kepada orang-orang terdekatnya, termasuk para guru yang ada di lingkungan tempat dia mengsajar, kalau dia akan segera menikah.
Salah satu guru yang memiliki usaha penyewaan jasa pengantin pun mulai Inggit sajak ngobrol. Mulai dari konsep, harga, dan lain sebagainya.
Intinya, Inggit benar-benar bersemangat dalam mempersiapkan acara pernikahannya yang tinggal menghitung bulan.
“Sayang, acara dibikin sederhana saja, di rumah. Biar ngga makan biaya juga.” Ucap Inggit, menyarankan. Karena dia ngga mau membebani pihak laki-laki.
“Kamu yakin mau ngadain pesta pernikahan kita hanya di rumah saja? Kalau aku sih maunya di Gedung, sayang. Kan nanti ada beberapa teman aku yang dari pelayaran bakalan datang. Malu dong kalau acara pesta pernikahan aku hanya di rumah saja. Apalagi dengan gaji aku yang lumayan… yaa… kamu taulah.”
“Iya sih.” Inggit pun jadi berpikiran sama dengan yang dipikirkan oleh Bayu.
“Sayang, maaf ya sebelumnya. Kalau aku boleh tau, nantinya, kamu mau kasih aku uang berapa ya?” Inggit memberanikan diri bertanya, mengingat dia ssudah yatim dan ngga punya uang tabungan banyak untuk biaya menikah. Gajinya sebagai guru honorer pun ngga mencapai dua juta, belum lagi uang dari kontrakan yang hanya punya 3 pintu dengan ukuran kontrakan kecil yang berada di kampung, hanya mampu membiayai kuliah adiknya ssaja.
Inggit ngga tau harus cari uang ke mana, pinjaman ke mana, kalau biaya pernikahannya harus menghabiskan dana yang sangat besar.
Mendengar pertanyaan Inggit, Bayu langsung terdiam.
“Aku ngga maksud apa-apa, aku hanya bertanya saja.” Inggit buru-buru mengklarifikasi sebelum Bayu merasa tersinggung dengan pertanyaannya.
“Jujur, aku agak kecewa sama pertanyaan kamu, Nggit. Aku ini kan punya niat baik untuk melamar kamu, mengingat usia kamu yang sudah mau mencapai kepala tiga dan aku mau ngga mau mempercepat pernikahan kita. Di samping itu, kamu juga tau kan kalau aku ini yatim sekaligus anak tunggal? Jadi, kamu tau pastinya kalau aku tulang punggung keluarga yang harus membiaya kehidupan mama aku sehari-harinya. Aku ngga mau ya nanti mama aku sampai terlantar setelah kita menikah. Karena buat aku, mama aku adalah prioritas aku. Belum lagi, kalau aku juga punya cicilan mobil. Rencananya juga aku mau ambil cicilan rumah di daerah yang strategis setelah kita menikah nanti. Jadi, aku akan kasih uang untuk biaya pernikahan seperlunya, mungkin sekitar dua puluh sampai tiga puluh juta. Cukup dong harusnya. Lagian, kamu ini cewek. Biasanya, yang mengeluarkan uang lebih banyak itu ya cewek bukan cowok.”
Inggit hanya bergeming dari semua kalimat panjang yang Bayu katakan padanya.
Mungkin, yang Bayu katakan di kalimat terakhirnya akan terdengar lebih msudah kalau ssaja papanya masih hidup.
Dikatakan seperti itu, Inggit bisa apa. Dia dilema hebat justru di hari yang paling dinantikan oleh para perempuan.
Permintaan Bayu yang sangat dan keukeuh menginginkan pernikahan dilangsungkan di Gedung, membuat Inggit merasa beban. Sedangkan, budget yang Bayu berikan padanya hanya cukup bahkan minus jika digelar di rumah.
“Aku harus pinjam uang ke mana? Barang apa yang harus aku gadaikan? Ngga mungkin kalau aku jual kontrakan papa.” Inggit membatin sedih.
Malam harinya, Inggit duduk di depan meja yang ada di kamarnya. Hanya sorot lampu dari lampu belsajar ssaja yang menerangi kamar Inggit yang ngga terlalu luas itu.
“Inggit? Ngga makan, nak?” Mamanya datang menghampiri Inggit ke kamarnya.
Lamunan Inggit pun terlepas. Dia sedikit mengendurkan otot-otot tubuhnya yang sempat tegang.
“Eh, mama? Ada apa, ma?” Inggit ngga dengar saat mamanya bertanya padanya tadi.
“Kenapa kamu ngga makan, Inggit?”
“Belum lapar, ma.”
“Perasaan, mama lihat belakangan ini kamu jarang makan deh. Kamu lagi diet ya?”
“Iya, ma.”
“Kenapa harus diet sih, Nggit? Kan ngga baik juga kalau sampai bikin kamu jatuh sakit.”
“Tenang saja, ma. Inggit ngga akan sampai jatuh sakit kok. Inggit tau, harus diet seperti apa yang menyehatkan.”
“Tapi, sejak kamu dekat dengan Bayu, kamu jadi rajin olah raga ya, Nggit.” Mama tersenyum mengatakannya.
Senyuman mamanya sedikit melegakan Inggit, tapi juga sekaligus meresahkan Inggit.
“Ma, Inggit boleh tanya sesuatu?”
“Mau tanya apa?”
“Kenapa mama menyukai Bayu? Kan, mama baru mengenalnya. Sedangkan, dengan Bara, mama sudah lama mengenalnya tapi mama tetap ngga menyukai Bara.”
“Mungkin feeling seorang ibu kali ya, Nggit. Ngga tau kenapa sejak bu Suhendar kasih tau ke mama soal Bayu, mama langsung suka saja sama anak itu. Apa kamu juga merasakan apa yang mama rasakan ke Bayu?”
“Mmm…” Inggit butuh sedikit berpikir keras. “Inggit sih jalanin saja dulu, ma. Secara Inggit kan baru kenal sama Bayu, tapi sudah langsung dilamar saja.”
“Nah. Pria yang baik memang seperti itu, Nggit. Ngga mau pacaran lama-lama dan langsung mengsajak menikah cepat. Jangan seperti Bara, yang hanya membuang-buang waktu kamu saja selama 8 tahun. Apa kamu ngga rugi waktu cuma buat pacaran sama cowok kayak Bara?”
“Tapi, kan Inggit sayang dan cinta sama Bara, ma. Waktu itu sih, sekarang sudah ngga ya.”
“Halaaahhh, sayang, cinta. Tapi, buktinya saja Bara ngga juga melamar kamu toh?”
“Itu kan karena mama ngga pernah kasih restu ke aku sama Bara.”
“Loh, kok kamu malah salahin mama sih!?”
“Ngga, ma. Sudah ah, jangan dibahas. Ntar malah jad berantem lagi.”
“Eh iya, mama juga klik banget sama mamanya Bayu, Orangnya kelihatannya baik banget, Nggit.” Mama malah sengsaja mengalihkan pembahasan tentang Bara ke Bayu kembali.
Inggit hanya bisa tersenyum mendengarkan rasa suka mama yang sering dibicarakan oleh mamanya, mengenai Bayu dan juga keluarganya.
Tanpa mamanya tau, kalau Inggit tengah dilanda kebimbangan besar mengenai biaya pernikahannya.
***
Inggit ngga punya pilihan lain lagi selain di curhat ke Rena. Meskipun dia sempat ngga mau, karena dia bakalan dapat nasehat panjang dari sahabatnya itu. Lantaran cara bicara Rena menunjukkan rasa ngga sukanya ke Bayu selama ini.
“Ren, lo punya uang tabungan ngga? Lima puluh juta gitu. Gue pinjem, ntar gue balikin nyicil.”
“Waduh. Mana mungkin gue punya uang tabungan sebanyak itu. 10 juta saja ngga ada, apalagi lima puluh juta.” Rena sampai kaget mendengar jumlah nomilan uang yang ingin Inggit pinjam padanya.
“Yaahh, gue kirain lo punya uang segitu.” Inggit langsung menampilkan rasa kecewanya. Padahal, Rena satu-satunya orang yang kemungkinan besar bisa bantuin dia.
“Pasti buat biaya married ya?”
“Iya lah. Emangnya buat apa lagi?”
“Emangnya rencanya lo ngadain pesta pernikahan lo di mana?”
“Di Gedung.”
“Maaf ya, Nggit. Gue ngga bermaksud merendahkan lo. Tapi, kenapa lo ngga ngadain pesta pernikahan lo di rumah saja? Kan disesuaikan sama budget.”
“Gue juag sih maunya begitu. Tapi, Bayu maunya di Gedung.”
“Ya kalau memang itu kemauan Bayu sih ya ngapain lo pusing mikirin biaya buat acara pesta pernikahan kalian nanti?”
“Masalahnya Bayu cuma kasih gue uang dua puluh sampai tiga puluh juta saja. Nah, sisanya, mest gue yang bayarin.”
“Idiiih, kok jadi cowok gitu banget sih? Jangan mau dong, Nggit. Itu sih namanya curang.”
“Gue juga bingung banget. Soalnya, dia punya banyak alasan yang masuk akal dan buat jadi ngga tega deh sama dia.”
“Ah, elo sih, Nggit, terlalu lemah sama cowok. Makanya, lo jadi seenakin gitu saja sama cowok selama ini.”
“Sudah deh, ngga usah panjang nasehatin dan ngomelin gue nya. Yang penting sekarang, lo bantuin gue mikir, gimana caranya biar gue bisa dapat uang sebanyak itu sebelum hari pernikahan gue nanti.”
“Hem???” Rena coba bantu mikir, sambil menyeruput minuman dingin.
Di saat Rena tengah serius mikirin cara bantu Inggit, Inggit malah asik buka-buka sosial medianya. Berawal dari hanya iseng buat hilanging kegabutannya sambil nunggu Rena kasih solusi untuknya. Tiba-tiba ssaja, Inggit malah stalking ke calon suaminya sendiri. Dia pikir, mana mungkin kalau Bayu bakalan punya waktu buat main sosial media, secara dia orang yang cukup sibuk.
Tapi, ternyata yang Inggit pikirkan selama ini salah besar. Karena tanpa sengsaja, tiba-tiba ssaja Inggit menemukan sosial medianya Bayu.
Kedua mata Inggit langsung maju, bersamaan dengan kepalanya yang langsung mendekati layar ponselnya.
Inggit ngga menyangka kalau Bayu juga punya sosial media. Bahkan, Bayu ngga buat pengaturan privasi untuk akun sosial medianya itu, yang bisa dilihat oleh banyak orang.
Inggit sih lihat sosial media Bayu biasa ssaja dan ngga ada yang terlalu menarik perhatiannya.
“Gue nyerah, Nggit.” Ucap Rena, yang mentok ngga bisa mikir lagi buat cari solusi dari permasalahan terbesar Inggit saat ini.
“Yaahhh, Rena. Terus, gimana dong Nasib gue?”
“Kenapa lo ngga bilang jujur saja sama Bayu soal keadaan finansial lo yang ngga memungkinkan untuk ngadain pesta pernikahan di Gedung?”
“Gue… ngga enak ngomongnya. Gue takut dia tersinggung.”
“Ahh, lo mah ngga tegas juga orangnya. Sekarang, lo itu harus mulai saling terbuka sama Bayu. Kan dia bakalan jadi suami lo. Bukan untuk sehari atau dua hari, tapi untuk selamanya. Lo bakalan sama Bayu terus dalam suka maupun duka. Jadi, solusi dari permasalahan lo saat ini ya cuma satu, yaitu JUJUR.”
Dengan tegas dan lugasnya Rena mengatakan itu pada Inggit. Tapi, Inggit tetap menganggap kalau Rena ngga lagi berada di posisi dia. Makanya, Rena bisa msudahnya mengatakan hal itu.
***
Setelah Inggit menemukan sosial media Bayu, Inggit malah jadi stalking sama Bayu. Bukan hanya satu sosial media ssaja yang Inggit cari tahu tentang Bayu, melainkan sosial media lainnya.
Suatu hari, tepat di hari min ke 30 menuju hari pernikahannya dengan Bayu. Tiba-tiba ssaja Bayu minta izin pada Inggit untuk ngga menghubunginya selama satu minggu ke depan. Bayu beralasan kalau dia akan melakukan pekerjaan mendadak yang akan dia lakukan selama seminggu penuh. Maka dari itu, dia ngga akan bisa berkomunikasi dengan Inggit untuk sementara waktu.
“Jadi, kita ngga akan bisa ketemu untuk satu minggu ke depan?” Inggit bertanya.
Kedua tangan Bayu langsung meraih kedua tangan Inggit. “Iya, sayang. Aku minta maaf ya, karena terpaksa harus melakukan ini sama kamu. Habis mau bagaimana lagi. Namanya juga pekerjaan, menghasilkan uang pula. Jadi, sayang banget kan kalau sampai harus ditolak?”
“I-iya, ya sudah ngga apa-apa.”
“Terima kasih ya kamu sudah mau mengerti.”
“Iya, sama-sama.”
“Sebenarnya, aku juga sedih banget harus lost communication selama seminggu lamanya dari kamu.” Bayu menunjukkan raut wajah memelasnya.
Inggit jadi merasa ngga tega. Dia pun berusaha menyemangati Bayu untuk pekerjaannya kali ini.
“Semuanya bakalan baik-baik saja. Kamu ngga usah khawatir dengan apapun. Selama kita bisa saling percaya. All will be good.”
Bayu mengangguk dengan senyuman lega. Lalu, sebuah kecupan hangat dari bibirnya meluncur manis di atas kening Inggit cukup lama.
Berselang dua hari setelah Inggit dan Bayu berhenti komunikasi untuk sementara waktu. Inggit harus menerima kenyataan pahit, ketika dia melihat sosial media Bayu, Inggit menemukan sebuah status yang Bayu buat kemarin tentang perjalanan liburannya.
Melihat status itu, hati Inggit merasa sedih. Dia merasa telah dibohongi oleh calon suaminya, yang meminta izin padanya bukan untuk bekerja melainkan untuk liburan.
Ngga sampai disitu, ada kelanjutan dari status yang Bayu buat secara terang-terangan di sosial medianya. Dalam statusnya, Bayu menunjukkan tempat liburannya yaitu di pulau Bali. Ternyata, liburan Bayu bukan untuk jalan-jalan biasa, melainkan untuk melepaskan masa bebasnya sebelum masa lajangnya dia ganti menjadi status pernikahan.
Mirisnya, Bayu pergi liburan hanya berdua dengan Ines.
“Lo tau kan, Nggit? Apa yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita, jika mereka melakukan liburan hanya berdua saja? Apa saja yang akan mereka lakukan di tempat mereka menginap? Dan, mustahil mereka pergi hanya dengan status sebatas teman. Pasti mereka telah menghabiskan banyak waktu berdua untuk melakukan…” Gumaman Inggit berhenti sampai disitu. Dia ngga sanggup untuk melanjutkan kata-katanya lebih jauh lagi.
Hati Inggit hancur sehancur-hancurnya.
Tangannya terasa lemas memegang ponselnya saat ini. Inggit pun hanya bisa menangis tanpa suara di atas tangannya yang terlipat rapih di atas kedua lututnya yang dia tekuk di atas ranjang.
“Ya Allah, kenapa Nasib percintaan aku seperti ini? Kenapa aku sangat kesulitan untuk mendapatkan jodoh? Apa salahku? Apa dosa yang telah aku perbuat sampai aku diperlakukan setega ini oleh calon suamiku sendiri? Haruskah aku melanjutkan pernikahan ini atau— mengakhirinya saja?”
“Tapi, jika aku mengakhirinya, aku sangat malu dengan tetangga dan teman-teman serta saudara-saudara yang sudah mengetahui tentang rencana pernikahan aku ini. Aku bingung, ya Allah. Aku bingung sekali. Tolong bantu aku untuk menemukan jalan keluar atas permasalahan yang sedang aku hadapi saat ini.”
Akhirnya, sehari setelah Bayu kembali membuka komunikasi lagi dengan Inggit. Inggit pun langsung mengirim beberapa pesan pada Bayu mengenai penemuannya di sosial media tentang kebohongan Bayu. Dia screen shoot semua bukti yang membuat Inggit merasa dibohongi.
Detik itu juga, Bayu langsung menonaktifkan nomer ponselnya. Pria itu seperti lenyap ditelan bumi, tanpa kabar dan tanpa ada kunjungan sekalipun untuk meminta maaf pada Inggit maupun keluarga Inggit.
Ngga hanya Bayu yang bersikap silent. Mamanya Bayu pun sama sekali ngga ada itikad baik untuk mendatangi mamanya Inggit, meskipun jarak rumah mereka ngga terlalu jauh. Hanya butuh watu sepuluh menit saja jarak rumah keduanya. Tapi, kedatangan dari keluarga Bayu tak kunjung datang.
Mamanya Inggit merasa kecewa. Tapi, Inggit merasa jauh lebih kecewa lagi. Bagaimana ngga kecewa, dia merasa telah dighosting oleh Bayu dan keluarganya. Ketika persiapan pernikahan hampir mencapai 60 persen, yang terjadi justru menghilang tanpa jejak.
Inggit sudah ngga tau lagi, siapa yang harus paling disalahkan dalam keadaan yang dia alami ini? Mamanya? Atau, jalan takdirnya yang harus menerima kepahitan seperti ini?
Sebagai manusia biasa, Inggit pun punya rasa kecewa pada mamanya. Mamanya yang selama ini memuji habis-habisan Bayu dan keluarganya, ternyata kelakuan mereka jauh lebih buruk daripada Bara yang ngga kunjung menikahinya tapi ngga pernah melakukan ghosting padanya.
Sekarang, Inggit malah terang-terang membicarakan tentang Bara, yang mendadak muncul kembali dua minggu setelah Inggit mengalami kepahitan dari gagalnya pernikahannya dengan Bayu.
Inggit ngga lagi backstreet. Bahkan, mantan pacarnya itu malah datang berkunjung ke rumahnya dan diterima dengan baik oleh mamanya.
Ya, Bara sepertinya memang diterima oleh mamanya. Inggit pikir begitu. Tapi, ternyata—
“Mama tetap ngga suka ya sama Bara. Mau kayak gimana kamu minta restu sama mama terhadap hubungan kamu dengan Bara, mama tetap ngga akan memberikan restu sampai kapanpun.”
Seolah perkataan mamanya sudah tergembok rapat tanpa bisa dibuka kembali dengan kunci apapun untuk hubungannya kembali dengan Bara.
Rasanya, Inggit sudah hilang kesabaran menghadapi mamanya yang terlalu memilih jodoh untuknya. Bahkan, sempat terbesit dalam pikiran Inggit, kalau penyebab dari dirinya yang belum juga menikah sampai di usianya sekarang, ngga lepas dari kekauan mamanya.
“Ma, usia Inggit semakin hari semakin bertambah. Dua tahun lagi Inggit bakalan berusia 30 tahun. Inggit juga sudah ingin sekali menikah, ma. Mau sampai kapan mama bersikap seperti ini terus. Kalau mama terus menolak kehadiran Bara, itu sama saja mama menutup jodoh Inggit.”
“Mama ngga menolak kehadiran Bara, mama hanya ngga mau kamu menikah dengan Bara. Kalau kalian mau berteman, silahkan saja. Asalkan, bukan untuk menikah, Inggit.” Jelas mama, menegaskan hal itu untuk yang kesekian kalinya.
“Apa mama mau kalau Inggit jadi perawan tua? Begitu, ma?”
“Astaghfirullahalazim, Inggit. Kenapa kamu malah bicara seperti itu sih, nak?”
“Inggit ngga akan bicara seperti itu, kalau saja hati mama bisa lebih luwes terhadap hubungan Inggit dengan Bara. Inggit sudah lama loh ma mengenal Bara, dan cukup buat Inggit untuk siap menikah dengan Bara.”
Mama hanya bungkam dan bergeming ketika putrinya mengatakan itu padanya.
Inggit pun ngga bisa menerka maksud dari diamnya mamanya tersebut.
“Pokoknya, Inggit akan tetap menjalin hubungan kembali dengan Bara.” Inggit pastikan itu.
Mama hanya melirik kecil Inggit, lalu mengembalikan pandangannya lurus ke depan tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Sejak saat itu, Inggit secara terbuka menjalin hubungan kembali dengan Bara. Mamanya Inggit ngga pernah berkomentar apapun pada Inggit. Wanita paruh baya itu seolah ngga mau tau tentang hubungan putrinya yang kembali lagi dengan mantan pacarnya yang ngga pernah bisa dia restui.
Inggit diperkenalkan oleh keluarga Bara. Hingga suatu hari, Inggit membahas tentang pernikahan, mengingat kalau Bara ngga pernah ngajak Inggit balikan dan yang terjadi mereka hanyalah menjalani kasih begitu saja tanpa kejelasan status.
“Bara, gue mau tanya deh sama lo.”
“Mau tanya apa?”
“Sebenarnya, lo serius ngga sih sama gue?”
“Kalau lo mau serius ya gue serius.”
“Ya jelas gue serius lah. Apalagi usia gue sudah 28 tahun. Gue pengen banget nikah loh, Bara.”
“Emangnya lo mau nikah sama gue?”
“Hah!? Pertanyaan apa itu?” Batin Inggit.
“Kalau lo mau nikah sama gue, gue ngga bisa nikahin lo dalam waktu dekat. Kan lo tau sendiri, kalau uang tabungan gue baru saja kekuras buat beli perabotan rumah tangga nyokap yang rusak gara-gara kerendam banjir. Jadi, kalau buat nikah dalam waktu dekat, gue belum punya modalnya, Nggit.”
“Oh. Lo ngga usah khawatir. Gue ngga minta dinikahin sama lo buru-buru kok. Gue juga masih fokus buat biayain kuliahnya Ikram. Dia kan bakalan lulus beberapa bulan lagi. Jadi, sambil nunggu Ikram lulus kuliah, kita bisa nabung.”
“Ide bagus tuh.”
“Jadi, beneran lo mau nikahi gue?”
“Gue kan terserah lo saja, Nggit. Mau nikah kek, mau HTS kek, mau temena doang kek. Apapun itu statusnya, gue bakalan ngikutin lo saja.”
Inggit lelah juga menghadapi sifat Bara yang ngga juga berubah dari dulu sampai sekarang.
***
“Gue kayaknya sudah hampir putus asa deh, Ren.” Ucap Inggit, sambil menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa di sebuah kafe kopi, tempat dia dan Rena biasa nongkrong.
“Hampir putus asa kenapa?”
“Kayaknya Bara memang ngga bisa diajak serius buat punya masa depan deh, Ren. Gue kirain, dia sudah berubah setelah sempat putus sama gue beberapa kali dan yang terakhir kemarin finalnya. Tapi, ngga taunya Bara tetap saja sama. Dia masih santai, malahan kayak orang yang ngga niat nikah. Menurut lo gimana? Apa gue lanjutin saja hubungan gue sama Bara atau diakhiri saja?”
“Emangnya Bara ngajakin lo balikan?”
“Dia sih memang ngga ngomong. Kita tuh kayak yang jalanin saja hubungan ini. Secara usia gue sama Bara kan sudah bukan lagi zamannya ngomong eh lo mau ngga jadi pacar gue atau sebagainya. Jadi, gue pikir ya let it flow. Gue sih memang lebih santai jalanin hubungan gue sama Bara kali ini. Cuma nyokap gue yang memang kelihatan banget masih belum kasih restu ke gue sama Bara. Gue benar-benar bingung.”
“Bisa jadi alasan nyokap lo ngga pernah merestui hubungan lo sama Bara ya karena nyokap lo tau, kalau Bara ngga akan pernah bisa serius sama lo.”
“Tapi, gue sudah capek, Ren, kalau harus menjalani hubungan lagi dari awal sama cowok baru. Gue takut cuma bakalan buang-buang waktu gue saja.”
“Emangnya lo sudah ngebet nikah ya?”
“Pertanyaan apa itu? Lah, elo sendiri? Emangnya ngga ingin buru-buru nikah? Usia kita kan sama. Ngga worry gitu?”
“Gue sendiri merasakan sendiri rasanya capek nungguin jodoh. Yaa… jadi gue pikir, ntar jodoh juga bakalan datang sendiri.” Ucap Rena, mencoba menunjukkan sikap santai padahal dalam hatinya dia selalu panik dengan Nasib jodoh yang ngga kunjung datang.
“Eh, jadi gimana nih? Baiknya gue putus saja sama Bara atau tetap lanjutin hubungan sama dia?”
“Yang jadi pertanyaan gue sekarang ke lo. Apa lo ngga bosan dan ngga capek di php-in terus sama Bara? Lo ngga ambil pelajaran gitu dari pengalaman lo pacaran sama Bara selama 8 tahun, putus nyambung. Terus, berakhir begitu saja deh. Eh, masa lo mau ulang lagi sih tuh kisah?”
Ucapan Rena buat Inggit berpikir keras. Batinnya pun berkata kalau yang Rena katakan memang ada benarnya juga.
“Kalau dipikir-pikir, setelah clbk sama Bara sudah hampir 2 bulan belakangan ini. Tapi, hubungan gue sama dia ya begitu saja. Ngga ada tuh perubahan. Ibarat sekolah, hubungan gue ngga pernah naik kelas, tetap saja di kelas satu.”
Demi bisa menjawab keresahan yang Inggit rasakan. Inggit pun kembali menjalani sholat tahaju dan juga puasa sunah senin kamis, agar dia bisa mendapatkan petunjukkan dari Allah.
Dan, ngga sampai satu minggu setelah dia khusyuk menjalani ibadahnya tersebut, hati Inggit perlahan ingin menjauh dari Bara. Dia mulai ngga terlalu membalasa pesan dari Bara dan juga ngga terlalu ingin menelpon atau menerima telpon dari Bara. Semuanya jadi terasa hambar dan membuat Inggit menganggap Bara adalah pria biasa yang hanya Inggit anggap sebagai teman saja.
Namun, di tengah kesendirian Inggit yang sudah mulai jarang sekali berkomunikasi dengan Bara atau pun berkomunikasi dengan pria lain manapun. Inggit harus menghadapi kenyataan pahit ketika sang mama jatuh sakit dan harus menjalani perawatan di rumah sakit. Bersamaan dengan itu, Inggit dan Ikram juga sakit. Tapi, kakak beradik itu ngga sampai dirawat di rumah sakit.
Dan, ngga sampai satu minggu dirawat, sang mama harus menghadapi kembali pada sang Ilahi. Mamanya Inggit meninggalkannya untuk selamanya.
Awalnya, Inggit sulit untuk menerima kepergian sang mama. Tapi, berjalannya waktu, di saat dia harus kehilangan mamanya dan dia juga harus menjalani pemulihan kesehatannya bersama dengan adiknya. Akhirnya, perlahan Inggit bisa menerima takdir yang telah Allah gariskan kepadanya.
Kini, Inggit hanya tinggal berdua saja dengan adiknya, Ikram.
Ikram sendiri masih menyusun sikripsi untuk tugas akhir perkuliahannya. Inggit pun menyibukkan dirinya dengan mengajar di dua sekolah dalam waktu yang berbeda dan juga menerima private kursus Bahasa Inggris.
Inggit adalah wanita yang tegar. Dia bisa mudah menghilangkan rasa sedihnya setelah kehilangan orang yang sangat berharga dalam hidupnya.
Terkadang, dia melepaskan rasa sedih dan penatnya dengan jalan-jalan bersama sahabat terdekatnya, Rena. Entah itu ke puncak atau sekedar nongkrong sambil olahraga pagi di pusat kota.
Meskipun Inggit ngga punya tanggungan sebanyak dulu, saat mamanya masih hidup. Tapi, Ikram tetap Inggit anggap masih menjadi tanggung jawabnya untuk membiayai kuliah Ikram sampai selesai.
Belum lagi motor Inggit yang hanya dia punya satu dan terkadang gantian dengan adiknya. Motor yang sudah hampir udzur itu sering rewel karena harus bolak-balik ke bengkel.
Kesulitan yang harus Inggit hadapi ngga hanya sampai disitu. Di mana dia harus rajin promosi untuk kontrakan sepeninggalan papanya. Beberapa orang yang ngontrak sering ngga tau diri. Banyak minta macam-macam dan ngga jarang sering minta perbaikin.
Kalau ngga banyak dan sering-sering dekat sama Allah, rasanya Inggit sudah ngga kuat menjalani hidupnya. Inggit pun hanya berpasrah diri kepada sang Maha Kuasa. Inggit masih rajin sholat tahajud dan juga puasa sunah.
Suatu hari, Inggit kembali dipertemukan oleh seorang pria. Pria dewasa yang usianya terpaut jauh darinya.
Berawal dari perkenalan ngga sengaja saat Inggit sedang menemani temannya pergi ke sebuah acara festival. Saat itu, temannya teman Inggit mengajak seseorang yang ngga lain adalah pria tersebut, yang bernama Adnan.
Kebetulan, Inggit dan Adnan ditinggal hanya berdua. Sampai akhirnya obrolan diantara mereka terjadi dan ternyata obrolan mereka saling nyambung. Pertemuan di hari pertama mereka pun ditutup dengan pertukaran nomer ponsel masing-masing. Tentunya, Adnan yang lebih dulu minta nomer ponsel Inggit duluan.
Keesokan harinya, Adnan mengirim pesan ke Inggit. Tapi, lama kelamaan, Adnan minta izin untuk menelpon Inggit. Berhubung Inggit lagi free time, dia pun ngga masalah jika harus dihubungi oleh Adnan.
Cara bicara Adnan yang dewasa dan mampu membawa kenyamanan untuk Inggit, membuat Inggit menyukai pria tersebut.
“12 tahun ya jarak usia kita?” Inggit memastikan itu, setelah dia mengetahui berapa usia Adnan saat ini.
“[Iya.]”
“Jauh juga ya.”
Adnan langsung tertarik pada Inggit, karena Adnan pikir kalau selain Inggit dewasa dalam bicara dan berpikir, Inggit juga bukan perempuan yang neko-neko.
Di malam itu juga Inggit pun mengetahui sebuah pengakuan dari Adnan tentang status dari pria itu.
“[Aku… seorang duda anak tiga.]” Adnan mengakui secara terus terang, lantaran adanya sebuah keseriusan yang ingin Adnan jalani bersama dengan Inggit nantinya.
Deg!
Seketika, jantung Inggit langsung berdegup cepat. Senyuman sumringah yang sedari tadi terlukis di wajah Inggit pun memudar perlahan. Inggit sedih, karena di saat dirinya bisa kembali merasakan kenyamanan dari sosok seorang pria, yang kenyamanannya belum pernah Inggit dapatkan dari pria manapun yang dekat dengannya selama ini. Tapi, ternyata Inggit juga harus menerima kenyataan yang bisa dikatakan cukup pahit tersebut.
“Mas Adnan sudah lama menjadi duda?”
“[Iya. Hampir satu tahun belakangan ini.]”
“Lalu, bagaimana dengan anak-anak? Mereka ikut dengan siapa?”
“[Anak pertamaku dan juga yang kedua ikut dengan aku. Sedangkan, yang paling kecil ikut dengan mamanya, tinggal di Kalimantan.]”
“Jadi, mantan istrinya mas Adnan sudah ngga lagi tinggal di Bogor?”
“[Dia sudah tinggal di Kalimantan sejak perpisahan kami satu bulan setelahnya.]”
“Oh…” Inggit cukup merasa lega dengan kabar itu. Setidaknya, Adnan ngga tinggal berdekatan dengan mantan istrinya.
“[Kamu masih sendiri, Nggit?]” Adnan mencoba membuka pembahasan lain yang ngga berkaitan dengan dirinya lagi.”
“Iya, mas.”
“[Kenapa kamu masih single?]”
“Mungkin belum datang saja jodohnya.”
“[Oh, begitu…]”
Keduanya saling menahan percakapan mereka beberapa saat.
Lalu…
“[Kalau mas mau isi hati kamu, kamu keberatan ngga?]”
“Maksud isi hati aku tuh— seperti apa ya?” Inggit sebenarnya paham maksud dari ucapan Adnan. Hanya saja dia ngga mau kegeeran duluan sebelum Adnan lebih memperjelas lagi maksud dari ucapannya.
“[Maksud mas, mas mau menjalani hubungan yang serius dengan kamu, Inggit.]”
Mendengar niat tersebut, Inggit hanya bisa tersenyum tanpa adanya debaran yang indah.
“[Gimana? Apa kamu mau?]”
“Aku bukannya ngga mau. Hanya saja, aku butuh waktu untuk memikirkannya terlebih dahulu.”
“[Mas bisa mengerti, Nggit. Mungkin status mas yang sudah duda anak tiga yang menjadi pertimbangan kamu. Maka dari itu, mas ngga akan minta kamu untuk menjawab pertanyaan dari mas secepatnya. Kamu bisa memikirkannya terlebih dahulu.]”
“Iya. Terima kasih, mas.”
“[Tapi, selama kamu memikirkannya. Mas boleh ngga kalau kapan-kapan mas ingin mengajak kamu jalan-jalan?]”
“Iya, boleh saja, kalau memang waktu aku lagi luang saat mas mengajak aku jalan.”
Kegagalan cinta, bahkan kegagalan pernikahannya yang H-30 beberapa waktu lalu. Tentunya membuat Inggit menjadi jauh lebih berhati-hati lagi. Apalagi, sekarang Inggit sudah yatim piatu. Jadi, semua keputusan yang terjadi pada hidupnya berada di tangannya sendiri. Sedangkan Ikram, adiknya terlalu praktis dan ngga rumit untuk membantunya membuat keputusan. Karena Ikram selalu mengatakan, “Apapun itu, asalkan keputusan lo bisa buat lo bahagia, gue bakalan dukung saja.”
Jadi, untuk keputusan Inggit dalam menerima Adnan sebagai kekasihnya, Inggit merasa dirinya ngga perlu minta pendapat adiknya.
Di sisi lain, saat Inggit sedang berkunjung ke rumah temannya yang sudah menikah dan kebetulan temannya itu adalah temannya Bara juga. Inggit malah harus menerima ocehan dari temannya itu.
“Ya ampun, Nggit. Lo kayak yang ngga bisa cari cowok lain saja yang sama-sama single dan belum pernah married kayak lo. Kenapa mesti duda sih yang sekarang malah lo pacarin?”
“Emangnya salahnya di mana kalau gue pacarin duda? Kan yang penting orangnya baik dan memang niat serius sama gue.”
“Ribet saja kalau harus pacaran sama duda. Secara sudah punya buntut kan, jadi lo juga harus ngurusin tuh anak-anaknya. Lah iya kalau cocok, kalau ngga?”
Ucapan teman Inggit yang satu itu pun ada benarnya juga. Inggit jadi ingin mengenal anak-anaknya Adnan yang ikut bersama dengan Adnan.
Di akhir pekan pun Adnan mengajak Inggit olahraga pagi di sebuah lapangan bersama dengan kedua anak Adnan yang sudah besar. Anaknya yang pertama sudah SD kelas 6 dan akan masuk ke tingkat SMP ngga akan lama lagi. Sedangkan, anak yang keduanya masih duduk di bangku kelas 3 SD.
Kebetulan anak keduanya Adnan adalah seorang cewek. Alhasil, Inggit malah langsung akrab sama anaknya Adnan yang kedua. Bahkan, anak yang pertama Adnan, yang seorang laki-laki pun ngga menolak keberadaan Inggit. Mereka tampak menerima kehadiran Inggit di tengah-tengah mereka.
Inggit merasa diterima dengan baik oleh kedua anaknya Adnan. First impression yang manis, sudah seperti keluarga.
Ngga sampai disitu, sepulang dari berolahraga, Adnan mengajak Inggit datang ke rumahnya. Yang kebetulang Adnan dan kedua anaknya memang tinggal bersama dengan mamanya Adnan, yang memang sudah menjanda.
Sama halnya dengan kedua anak Adnan yang bisa langsung welcome dengan Inggit. Ternyata, mamanya Adnan juga welcome dengan Inggit. Mereka ngobrol banyak, meskipun ditengah obrolan mereka ada sekelenting perkataan mamanya Adnan yang mengatakan, “Mama senang dengan perempuan yang pintar masak dan urus rumah.”
Meskipun itu memang salah satu keahlian Inggit dan Inggit ngga keberatan. Tapi, perkataan mamanya Adnan menjadi salah satu tuntutan untuk menjadi calon istrinya Adnan.
Saat siang tiba, sata waktu menunjukkan sekitar pukul dua siang lewat tiga puluh menit. Tanpa sengaja Inggit melihat ponsel Adnan berdering di atas nakas.
Inggit yang sedang menidurkan anak kedua Adnan di kamar usai dia mendongengkan sebuah cerita. Inggit pun ngga sengaja melihat orang yang menghubungi nomer ponsel Adnan. Tapi, karena Adnan ngga juga mengangkat panggilan telpon tersebut lantaran Adnan silent ponselnya. Akhirnya, panggilan telpon tersebut mati dengan sendirinya.
Dan, ngga lama panggilan telpon tersebut berhenti. Sebuah pesan langsung masuk ke nomer ponsel Adnan dan langsung muncullah notifikasi dalam layar tersebut.
Sebuah pesan yang berisi, “[Aku baru saja kembali dari Kalimantan dan berencana untuk tinggal di Bogor lagi. Aku ingin mengurus sekolah anak kita saat masuk SMP nanti. Aku harap, kita bisa bekerjasama dalam mengurus Pendidikan anak-anak kita, biar urusannya bisa cepat terselesaikan.]”
Pesan tersebut langsung bisa Inggit tebak, kalau pengirimnya adalah mantan istri Adnan.
Tak sampai disitu, pesan lanjutan pun kembali dikirim oleh wanita itu dan pesan dari wanita itu, kali ini jauh lebih mengejutkannya.
“[Aku ingin menunda surat perceraian kita ke pengadilan. Kita bisa mengurusnya nanti saja kalau urusan anak-anak sudah selesai.]”
Fix. Adnan dan mantan istrinya ternyata belum benar-benar resmi bercerai secara negara.
Rasanya, Inggit harus mengkaji ulang hubungannya dengan Adnan, haruskah dilanjutkan atau ngga.
Tapi, sayangnya Inggit sudah terlanjur kelewat nyaman dengan Adnan. Karena Adnan menjadi pria pertama yang mendekatinya dengan membawa kejujuran diawal, ngga memaksanya, dan sangat menerima apa adanya dirinya. Bahkan, Adnan benar-benar menunjukkan keseriusan menjalin hubungannya dengan Inggit.
Inggit menjadi dilema.
***