Cerpen
Disukai
6
Dilihat
5,623
Kekasih Rahasiaku
Romantis

Felicia tampak senang hari ini. Sejak pagi ia menjejakkan kakinya ke sekolah ia tersenyum manis. Teman-temannya heran akan hal itu dan menanyakannya, namun Felicia hanya tersenyum dan berkata bahwa tidak ada sesuatu yang besar.

Di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan, dengan keempat jurusan berbeda di dalamnya, di sanalah Felicia menempuh pendidikannya, dengan jurusan Tata Boga. Hari ini hari Kamis, minggu pertama bulan ini. Felicia sudah tidak sabar menunggu sang kekasih yang telah membuat janji dengannya hari ini. Ketika bel istirahat kedua berbunyi, Felicia bergegas meraih botol minumnya dan beranjak dari bangkunya. Dita yang melihat itu sontak berseru.

"Mau ke mana kamu? Ikut!"

Felicia mengangguk mengiyakan, ia menyeringai dalam hati. Mereka berdua berjalan menuruni tangga untuk menuju tempat pengisian air minum di parkiran sekolah bagian dalam. Felicia tersenyum menatap ponselnya sebelum memasukkannya dalam saku dan mulai mengisi botol minumnya. Felicia sedang memutar tutup botolnya rapat-rapat ketika Dita menepuk-nepuk lengannya dan berbisik tidak sabar.

"Hei, Cia ... Cia!"

"Apa sih??" Felicia mengernyit heran dan menoleh ke samping.

Sekelompok senior kelas 3 berjalan ke arah tangga dengan bersenda gurau. Nampak mereka semua mengenakan kemeja putih dengan jas hitam, sangat menonjolkan ciri khas jurusan Perhotelan. Salah satu dari mereka menoleh ke arah Felicia seolah sedang mencari sesuatu. Pemuda kurus berkacamata yang kebingungan itu terkesiap dan tersenyum sumringah ketika melihat Felicia di hadapannya. Dita yang sudah gemas dan menepuk-nepuk pundak Felicia itu heran ketika temannya hanya diam. Felicia meletakkan botolnya di lantai dan melangkah mendekat pada pemuda tersebut dengan memanyunkan bibirnya. Pemuda itu terkekeh dan merentangkan kedua tangannya.

"Bang Arfeen ... Aku kangen ...." Felicia mendekat dan menggenggam kedua tangan pemuda tersebut.

"Abang lebih kangen!" Sang pemuda menggenggam tangan mungil gadis itu erat-erat, menyalurkan kerinduannya.

Arfeen, pemuda yang merupakan kekasih Felicia itu berada satu tingkat lebih tinggi dari Felicia. Ia sedang menjalani praktik kerja lapangan selama 6 bulan, dan sebulan sekali ia datang ke sekolah untuk melakukan absensi rutin. Karena ia sering pulang malam ketika mendapat shift siang, ia hampir tidak punya waktu untuk bertemu sang kekasih. Sehingga waktu absensi ke sekolah inilah yang dijadikannya sebagai kesempatan bertemu Felicia. Keduanya merahasiakan hubungan mereka, namun tetap menjawab 'sudah punya pacar' bila ada orang yang mendekati mereka secara romantis. Felicia memanggil sang kekasih dengan sebutan 'Abang', masih sama ketika ia masih merupakan calon paskibra.

"Biasakan manggil senior cowok 'bang', senior cewek 'kak', ya, adik-adik?" ucap Divtra, senior yang berada satu tingkat lebih tinggi dari Felicia.

"Siap, iya, bang!"

"Abang ke ruang guru dulu, ya?" Felicia mengangguk ketika sang pemuda mengusap puncak kepalanya sebelum pergi menyusul teman-teman rombongannya.

Felicia kembali ke wastafel dan meraih botolnya yang masih berada di lantai. Ia tersipu ketika melihat Dita yang menatapnya ternganga. Felicia tersenyum bangga dan segera berjalan menuju kelas diikuti Dita.

"Heh, Ly! Apa-apaan tadi?? Jawab Ly!" tanya Dita tidak sabar. Dirinya dibuat heran oleh kejadian barusan karena sejauh yang ia tahu, Felicia hanya menyukai Arfeen dalam diam. Tidak pernah juga ia melihat Felicia mengobrol dengan pemuda tersebut. Felicia hanya diam dan tersenyum dengan wajah memerah.

"Udah, kamu balik ke kelas sana ...." ucap Felicia.

"Dih, ngusir lu?"

"Mas Dani ga datang hari ini, nanti kamu bosan kalau ikut aku." Dita tertegun sejenak ketika nama gebetannya disebut. Felicia sengaja melakukannya mengetahui fakta bahwa Dani tidak berteman dekat dengan Arfeen.

"Bentar, emang kamu mau ngapain?"

"Nunggu abang." jawab Felicia singkat.

"Demi apa??"

"Demikian. Dah, ah ... Nanti aku cerita, balik kelas sana!"

"Terus aku ngapain di kelas? Bosan tau!"

"Kan kita jamkos, terserah kamu lah mau ngapain,"

Dita mengangguk pasrah dan berjalan kembali ke kelasnya. Ia berjalan sembari mengingat kembali ketika Arfeen belum berangkat praktek kerja lapangan.

"Shh! Ada abangku." Felicia terpaku di tempatnya.

"Sapa dong!" ujar Dita tidak sabar. Namun Felicia menggeleng gemas.

"Engga, ah! Aku mau mengagumi dia dari jauh aja."

"Mereka ada hubungan, kah?" gumam Dita.

Pada akhirnya, Dita kembali ke kelas sementara Felicia menunggu di kantin. Jam istirahat kedua telah berakhir, sehingga kantin begitu sepi. Felicia menyalakan ponselnya dan memberi kabar pada Arfeen bahwa ia menunggunya di kantin. Tidak lama setelah itu, Felicia mendengar suara langkah kaki dari sebelah kirinya, arahnya dari tangga dapur kelas Tata Boga. Gadis itu menoleh, tersenyum ketika ia melihat Arfeen berjalan ke arahnya.

"Abang," panggil Felicia dengan lembut. Arfeen mendekat dan menggenggam kedua tangan gadis itu erat-erat.

"Kangen ...," lirih Arfeen.

"Aku juga kangen Abang ...."

Felicia menoleh ke sekelilingnya, memastikan tidak ada orang lain. Ia tersenyum dalam hati melihat kantin sekolah yang sangat sepi, karena sudah melewati jam istirahat kedua, orang-orang yang berjualan pun sudah pulang. Terlebih, ia masih mau menjaga hubungan rahasia mereka.

"Kita resmi pacaran, ya, ini?" ucap sang pemuda sembari memegangi belakang lehernya karena gugup. Ia masih tidak bisa percaya bahwa gadis manis ini telah menjadi kekasihnya.

"Ta-tapi, bang ...." Arfeen terdiam melihat gadis itu tergagap. Ia memiringkan kepalanya menatap sang gadis.

"Ada apa?"

"Bukannya anggota paskibra sekolah ngga boleh pacaran, ya?" bisik Felicia.

"Siapa bilang?"

"Waktu aku masih pelatihan, pelatihnya bilang begitu,"

"Begini, Cia. Bukan ngga boleh pacaran ... Boleh aja pacaran, tapi dengan syarat harus bisa profesional, dalam artian ngga mengaitkan pacaran dengan kegiatan paskibra. Contoh, aku ada masalah sama pacarku, trus aku kebawa emosi sampai ngga fokus pas latihan, nah, itu yang ngga boleh." jelas Arfeen dengan lembut.

"Tapi nanti gimana pendapat orang lain kalau Abang pacaran sama aku? Abang kan populer nih ... Sedangkan aku anak biasa, yang bahkan mantan anggota paskibra."

"Pertama, aku ngga sepopuler itu. Kedua, kan kamu ngga lanjut sampai ikut ekskul paskibra sekolah?"

"Tapi aku takut Abang kena masalah kalau orang tahu Abang pacaran sama aku. Soalnya aku sendiri kan juga ngga punya relasi yang baik sama teman-teman paskibra dulu. Gimana kalau nanti aku dibully?" Arfeen tersenyum maklum melihat gadis yang baru saja menjadi kekasihnya itu. Ia menggenggam tangan sang gadis erat-erat.

"Kamu jangan overthinking duluan, dong ...," ucapnya.

"Ada aku di sini. Aku yang akan maju kalau ada apa-apa."

"Tapi kalau ada yang menyerang aku saat Abang ngga ada di samping aku, gimana? Atau sebaliknya, gimana kalau Abang dijauhi teman-teman karena pacaran sama aku??" Felicia semakin pesimis. Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benaknya mengenai hubungan mereka.

"Tenang dulu," Arfeen berusaha menenangkannya.

"Ada benarnya sih yang kamu bilang. Hmm ... Untuk saling menjaga, mau kita rahasiakan kah hubungan kita?" Mata sang gadis berbinar mendengarnya, ia menatap sang pemuda penuh harap.

"Setuju."

Mereka duduk berdampingan di bangku kantin, dengan Arfeen menyandarkan kepalanya di bahu Felicia untuk melepas lelah sejenak. Keadaan kantin sunyi sepi, dan tidak ada seorangpun kecuali mereka berdua disana ketika Felicia memainkan jemarinya di helaian rambut Arfeen.

Panggilan abang-adik, terkesan seperti saudara, tentu saja. Beberapa orang bisa saja berpendapat mereka aneh, tapi keduanya tidak ada niatan untuk mengubah panggilan tersebut. Mereka tidak peduli apa kata orang tentang hubungan mereka. Sejak pelatihan capaskibra, Felicia sudah terbiasa memanggil Arfeen dengan sebutan 'Abang'. Sekalipun sekarang Felicia tak lagi menjadi anggota paskibra sekolah, Felicia tetap lebih nyaman menggunakan panggilan 'Abang' untuk para seniornya yang merupakan paskibra sekolah.

"Gimana kerjaannya hari ini?" tanya sang gadis dengan lembut. Arfeen segera duduk tegak, sekalipun sebenarnya ia ingin berlama-lama dalam posisi bersandarnya.

"Aku suka kerjaannya. Tapi capek tau harus berdiri terus. Aku 'kan kerjanya di bagian front office. Udah gitu, seniorku jutek banget hari ini, jadi baterai sosialku terkuras habis." keluhnya manja. Felicia hanya tersenyum maklum mendengarkan.

"Begitu, ya ...."

"Tapi ketemu sama kamu itu ngisi tenaga aku lagi, tau." Felicia tersenyum manis, pemuda ini selalu bisa menenangkannya.

Jam istirahat memang sudah selesai, namun jam kosong selama 2 jam pelajaran, dalam artian 80 menit ini tidak mau Felicia sia-siakan hanya dengan duduk manis di kelas. Sebenarnya ia bisa belajar atau menggambar, namun berhubung Arfeen ada di sini, ia memanfaatkan waktu ini untuk bersama dengan kekasihnya. Sepasang kekasih itu saling bercerita, mengoceh tentang hari-hari mereka, rencana masa depan, bahkan kejadian masa lalu.

"Abang tahu tidak? Pertama kali aku tertarik sama abang tuh waktu sudah dekat hari pengibaran, lho." celetuk Felicia tiba-tiba.

"Iya?! Masa sih?"

"Iya, bang. Terus semakin jatuh lagi dan akhirnya memutuskan buat suka sama abang itu tepat tanggal 16 Agustus, di malam karantina itu."

"Waktu itu aku belum kenal kamu ya..?" tanya Arfeen membuat Felicia tertawa kecil sembari mengangguk gemas.

"Kok kamu bisa tertarik sama aku, sih?" Arfeen bertanya tiba-tiba.

"Ih, abang tuh lembut banget orangnya! Aku sudah capek dikasari terus, bang. Tapi kalo sama abang, rasanya amaaan banget. Abang juga ngga pernah bentak kami waktu latihan dulu."

"Terus, abang itu menghargai orang lain banget, aku salut sama abang! Maksudku, aku cuma kasih abang hasil gambar aku, tapi reaksi abang tuh bikin aku ngerasa dihargai banget!" celoteh Felicia.

"Bicara soal gambar, abang jadi ingat waktu kita jadian dulu." Arfeen menatap langit-langit kantin, pikirannya melayang ke 5 bulan lalu, ketika ia belum menjalani praktik kerja lapangan.

"Iya kan?? Itu abang gemesin banget!!"

"Doa terbaik buat abang. Izinkan saya menggambar abang sekali lagi." ucap Felicia dalam pesan pribadi di Instagram, tepat di hari ulang tahun Arfeen.

Pesan itu hanya disukai dan diunggah ulang oleh Arfeen tanpa sepatah kata pun baik di kolom percakapan, maupun di unggahannya. Hal itu membuat Felicia senang sekaligus sedih karena sebenarnya ia ingin Arfeen melihatnya. Ia ingin memberikan hasil karyanya pada sang pemuda. Sampai tiba keesokan harinya Felicia dikejutkan oleh pesan dari Instagram Arfeen.

"Gambarnya boleh buat saya?" pinta Arfeen. Felicia tersenyum lebar sembari mengirim pesan balasan.

"Boleh banget! Kelasnya abang dimana?"

"Ruang teori 20, dek." Felicia memekik pelan menyadari kelas Arfeen hanya berjarak 3 ruangan dari kelasnya. Segera ia berlari dengan mendekap kertas hasil gambarnya.

"Abang, saya di depan." Felicia mengirim pesan teks pada Arfeen.

"Bentar, ah, aku mau ketemu adik kelas ini, loh!" Gadis itu dapat mendengar suara seniornya dari balik pintu.

"Haii!!"

"Selamat ulang tahun, Bang Arfeen!" Felicia tersenyum manis ketika ia menyodorkan selembar kertas yang berisi hasil karyanya pada sang pemuda.

"Terimakasih, yaa! Ya ampun! Ini bagus banget! Jauh lebih bagus dari yang kemarin, lho!" Felicia tersipu mendengarnya

"Masa, sih?"

"Iya!!" Arfeen mengangguk gemas.

Tiba-tiba saja Arfeen menarik pergelangan tangan Felicia supaya gadis itu mendekat padanya. Sang pemuda tersenyum penuh arti, menatap Felicia dalam dalam. Wajah gadis manis yang tidak biasa ditatap itu memerah perlahan-lahan. Felicia baru akan menanyakan sesuatu ketika Arfeen berujar,

"Dek, boleh tidak aku jadi pacarmu?"

"Hah??" Felicia ternganga. Ia bergumam dalam hatinya, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

"Pacaran sama aku, yuk?"

"T-tapi, bang ...,"

"Kamu mau, tidak?" tanya sang pemuda dengan lembut. Ia tidak berniat memaksa gadis di hadapannya.

"Mau."

Felicia menunduk ketika mengatakannya. Ia tidak berani menatap Arfeen. Ia begitu gugup, tidak menduga bahwa orang yang disukainya sejak lama ternyata mau berpacaran dengannya. Apakah ia sedang bermimpi?

"Seriusan, dek??" Felicia berdebat dalam hatinya. Pemuda ini serius atau tidak, sih? Tetapi ketika ia mendongak dan melihat senyum manis Arfeen yang melebar dengan pipi yang memerah sampai ke telinga, sepertinya pemuda ini tidak main-main.

"Random banget, sih, bang?" kekeh sang gadis berusaha menutupi rasa gugupnya. Arfeen tidak bisa tidak ikut tertawa melihatnya.

"Tapi beneran, nih, dek?"

"Iya, abang."

"Kita pacaran sekarang?" bisik sang pemuda dengan Felicia menunduk tersipu menatap tangannya yang masih berada di genggaman hangat Arfeen.

"Iya, bang. Sudah, saya malu!" Felicia menutup wajahnya dengan satu tangannya.

Arfeen tertawa dengan wajah yang memerah padam, lalu menarik tangan Felicia yang masih digenggamnya. Ia mendekat hendak memeluk gadis itu, tetapi ia mengurungkan niatnya. Arfeen hanya menarik gadis itu untuk menyandarkan kepalanya di atas kepala sang gadis. Tangannya masih memegang tangan Felicia, ia tak berani menyentuh Felicia lebih jauh dari itu. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia bertanya-tanya dalam hati apakah Felicia dapat mendengar degup jantungnya. Sementara itu Felicia menyembunyikan wajahnya di bahu Arfeen, dengan tangan mungilnya meremat kemeja sang pemuda.

"Lucu banget, ya, kalau diingat-ingat!" Arfeen terkekeh.

"Mana waktu itu aku belum tahu namamu juga!" sambungnya diiringi tawa.

"Sekarang kita udah pacaran. Aku mau simpan nomor WhatsApp kamu, dong." ucap Arfeen sembari mengeluarkan ponselnya dari saku celana.

"Ah? Aku sudah simpan nomor Abang, aku coba chat Abang, ya." Gadis itu mengangguk dan menyalakan ponselnya. Jemarinya bergerak di atas layar untuk mengirip pesan kepada Arfeen supaya pemuda itu bisa menyimpan nomornya.

"Mm-hm, sudah masuk. Sebentar ... Anu, dek ...," Arfeen berhenti sejenak, ia memegangi belakang lehernya, meringis. Felicia mengangkat alisnya menyiratkan 'ada apa?'

"Namamu siapa?" Satu pertanyaan Arfeen yang membuat gadis itu membelalak tidak percaya, ia ternganga menahan tawanya.

"Hah?" Felicia sontak tertawa lepas sampai terduduk di lantai. Bagaimana bisa pemuda yang baru saja menjadi kekasihnya ini tidak tahu namanya? Arfeen memanyunkan bibirnya dan berjongkok di hadapan Felicia kemudian menggenggam ujung lengan seragam sang gadis.

"Ihh, aku lupa! Maafin aku. Habisnya kamu waktu pelatihan dulu diem aja ... Aku jadi ngga begitu perhatian sama kamu," Sang gadis semakin tertawa mendengarnya.

"Namamu siapa?" tanya Arfeen sekali lagi, menyodorkan ponselnya supaya gadis itu bisa mengetikkan namanya, tetapi sang gadis menggeleng.

"Felicia, Abang. Tapi kalau mau panggil Cia juga boleh."

"Kalau aku panggil kamu pakai nama yang belum pernah dipakai orang untuk manggil kamu, gimana?" tanya Arfeen sembari mengetikkan nama 'Felicia Cantikku' di ponselnya.

"Hmm ... Nama yang belum pernah dipakai ... Ada sih, tapi aku ngga yakin bakal cocok sama aku, sih."

"Apa tuh?"

"Elena."

"Elena dari mana? Nama belakangmu, kah?"

"Ehm ... Itu nama yang aku buat berdasarkan nama belakangku." Kekeh sang gadis.

"Boleh aku panggil kamu pakai nama itu?"

"Jangan di hadapan orang lain, ya?" Felicia mengacungkan jari kelingkingnya, kemudian dibalas oleh sang pemuda yang menautkan jari kelingkingnya juga, membuat janji.

"Maaf, ya, abang."

"Kenapa minta maaf?"

"Habisnya, aku kan ngga pernah pacaran, pasti membosankan banget kalau sama aku ...." Felicia menunduk dan tersenyum sedih ketika ia meremat rok seragamnya. Arfeen menghela nafas dan menatap Felicia dalam-dalam.

"Kamu kenapa, sih? Hm?" tanya sang pemuda dengan lembut sambil bergeser mendekat pada sang gadis.

Arfeen menyelipkan rambut Felicia ke belakang telinga. Jemarinya sibuk bermain di helaian rambut Felicia yang tergerai. Arfeen membiarkan keheningan menyelimuti mereka untuk beberapa saat.

"Tumben rambutmu diurai? Ngga dimarahin guru?"

"Karena abang lebih suka rambutku diurai." Arfeen tertegun mendengarnya. Ia tidak menduga Felicia mengingat hal sekecil itu.

"Iya, mau dibuat bagaimanapun kamu tetep cantik banget, kok" ucapnya acuh.

"Rambutmu lagi bagus, ya, ini? Kalo rambutnya diikat nanti tidak bisa aku elus begini," Arfeen terkekeh dengan terus memainkan jemarinya menyusuri helaian rambut sang kekasih. Sesaat kemudian Arfeen berhenti dan menarik dagu Felicia agar menatapnya.

"Dengar, ya, sayangnya abang ...." suara lembut Arfeen membuat Felicia merasa begitu aman.

"Abang suka sama kamu. Ngga ada manusia yang sempurna, dek. Abang sudah pernah pacaran sebelumnya, kamu belum pernah, tapi itu ngga akan jadi masalah yang besar buat hubungan kita, kok. Abang lho juga masih belajar, dek ...,"

"Kita belajar sama-sama, ya? Belajar cara berpacaran yang baik, belajar komunikasi, menghargai, semuanya akan kita lakukan sama-sama,"

"Paham?"

"Siap, paham, bang."

"Ngga usah formal gitu, ah." Felicia tertawa kecil mendengarnya.

"Sudah, ya? Ngga boleh minder!" Arfeen mencubit kedua pipi Felicia dengan gemas.

"Aduh, abaang! Iyaa, bang!"

Kedua remaja SMK itu melanjutkan pembicaraan mereka. Bersenda gurau, mengomel, serta mengungkapkan isi hati mereka, karena mereka amat jarang bertemu seperti ini.

"Abang, katanya awal Mei nanti paskibra sekolah ada lomba ke luar ya?"

"Iya, LKBB satu kota ini."

"LKBB itu apa, bang?"

"Lomba Keterampilan Baris-Berbaris. Kamu pasti lihat waktu abang latihan PBB variasi buat November kemarin, 'kan? Itu yang dilombakan."

"Ohh, yang abang pakai seragam merah-merah itu, 'kan?"

"Nah, iya! Waktu itu, dek, abang tuh--" ucapan Arfeen terpotong oleh dering ponselnya.

"Angkat dulu, bang," Felicia tersenyum lembut. Arfeen mengangkat panggilan tersebut dan menunjukkan raut murung setelah ia selesai bicara.

"Ada apa?" tanya Felicia.

"Disuruh balik ke hotel ...." Arfeen menggembungkan pipinya kesal.

"Nanti lanjut lagi, abang ... Kita video call, ya?"

"Aaa, ngga mauu ...."

"Aduh duh ...." Felicia mengulurkan tangannya mengusap lembut punggung pemuda itu.

"Malas." gumam Arfeen sambil mengusapkan wajahnya di bahu Felicia. Ia masih ingin menghabiskan waktu dengan sang kekasih, akan tetapi waktu berjalan begitu cepat ketika ia bersama dengan gadis kesayangannya itu.

"Tidak apa-apa ...." Felicia terkekeh melihat manjanya Arfeen saat bersamanya.

Dengan berat hati Arfeen berdiri, hendak segera berangkat mengingat jarak dari sekolah ke hotel tempatnya bekerja cukup jauh.

"Sabtu mau ketemuan, dek?"

"Abang tidak sibuk?"

"Tergantung bisa minta cuti apa engga, sih ...,"

"Sudah, tidak apa-apa ...." bujuk sang gadis.

"Adek antar ke gerbang?" tawar Felicia dan dibalas gelengan kepala oleh Arfeen.

"Adek balik ke kelas aja ... Nanti kelihatan sama orang, gimana?" ucap Arfeen meyakinkan. Felicia mengangguk patuh.

"Hati-hati, ya, abangku sayang ...." gumam sang gadis dengan rona merah di wajahnya.

"Hm??"

Kalau kau bertanya-tanya, Arfeen mendengarnya. Namun pemuda itu berpura-pura tidak mendengar kalimat barusan dan mengangkat alisnya heran. Felicia segera memasang senyum manisnya.

"Hati-hati, abang ...." Arfeen mengangguk dan tersenyum. Wajah memerah Felicia itu tidak dapat berbohong padanya.

"Semangat belajarnya, ya." Arfeen mengacak-acak rambut Felicia dengan gemas sebelum berbalik dan pergi.

"See you again, I hope soon ...."

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)