Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,805
Keadilan bagi seluruh penghuni tanah ini
Drama

Aku masih ingat saat di perjalanan menuju kesini. Naik pesawat, selfie sana sini seakan sedang berwisata saja. Ya pamer sedikit, meski dalam rangka bekerja. Tapi jarang bukan kau merasakan naik pesawat seminggu sekali atau bahkan dua kali? Mengunjungi berbagai tempat yang baru. Pulau-pulau terluar di negeri sejuta pulau ini.

Ngantor di Alor pakai kolor, itu yang kukatakan pada teman-temanku setiap mereka bertanya, entah itu di medsos atau menelpon langsung. Meski menelpon adalah hal yang jarang kulakukan disini. Mana ada sinyal kalau sudah berada di lokasi kerja.

Saking susah sinyalnya, sampai-sampai aku pernah merogoh kocek Rp 100.000,- hanya untuk menyewa ojek dan minta turun ke dekat kantor kuwu melewati dua desa lain karena hanya di tempat itulah terdapat sinyal telepon. Itupun agak unik karena sinyal yang dimaksud hanya bisa didapatkan kalau aku berdiri di bawah sebuah pohon beringin.

Sesumbarnya aku pada keluargaku sih luar biasa. Bilang kerja kayak jalan-jalan, makan dibayarin sama kantor, tidur di hotel mewah, makan lobster besar yang kalau di Jakarta harganya jutaan. Begitu mercusuar rasanya gayaku. Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di lapangan.

Di sini uang akomodasi yang kudapatkan hanya cukup untuk makan dan mengupah orang Distamben yang mengantarkanku dan temanku ke lokasi kerja. Utnuk tidur bagaimana? Ya seea kost-kostan lah apa lagi. Sewa hotel harganya lumayan, paling murah Rp 100.000,- per malam, dalam satu kunjungan bisa 2-4 malam di lokasi. Anggaplah aku menginap cuma 2 malam karena sisa harinya aku sudah berada di lokasi. Rp 200.000,- melayang cuma untuk tidur. Lebih murah sewa kost-kostan, Rp 150.000,- untuk seminggu full, kadang ditawari sarapan juga oleh ibu kost. Kalo hoki, satu lokasi kost-kostan sama cewek-cewek malam yang merantau dari Jawa juga. Malemnya ketawa-ketawa bareng, cuma mengobrol koq sambil cuci mata.

Di bilang susah, bukan, dibilang bergengsi juga bukan. Ini kerjaan bener cuma lebihnya karena bisa pergi ke banyak tempat tanpa keluar biaya. Ya anggap saja jalan-jalan dibayarin, ya kan?! jadi sedikit ada rasa syukur.

Tapi rupanya rasa syukur itu datang bukan cuma dari faktor dalam diri. Hal seperti itu bisa muncul dari membuka mata melihat sekitar. Owh yeah, menyadari bahwa di Jawa kamu harus bayar biaya hidup yang tidak sedikit itu kadang menyebalkan. Namun, kalo belum pernah kan punya uang tapi barangnya enggak ada. Mau beli mie aja harus ke kota, atau mencicipi bensin botolan untuk mengisi tanki mobil sampai full dan harganya Rp 20.000,- per botol.

Mau protes gimana, begitulah hidup di sini. Segalanya serba langka kalau sudah sampai di pelosok desa, yang padahal koranya saja sudah terasa seperti pelosok.

Namun serius, itu belum ada apa-apanya dibanding apa yang kulihat di hadapanku ini. Seorang bapak dan istrinya dengan enam orang anaknya tengah makan dengan lahap seakan mereka belum pernah makan seenak itu. Bu kuwu hari ini memasak daging ikan kuah kuning yang ikannya didapatkan oleh pak kuwu. Ikan Gergen namanya kata pak kuwu. Ikan yang besarnya seukuran anak umur delapan tahun kira-kira. Saat kucoba mengangkatnya tanganku menyerah sebelum berhasil. Dan keluarga ini tengah dengan lahap menyantap masakan ikan yang mereka dapatkan dari barter dengan dua karung berisi caisim.

"Wah kasihan ya Bang, mereka sepertinya kelaparan," ujarku bersimpati pada apa yang kulihat di hadapanku.

"Ah segini sih belum apa-apa Bang! masih beruntung mereka dapat boleh makan dari kepala desa," balas Bang Maltulesi Masae.

"Lho, harusnya kan dapat uang baru bisa disebut beruntung," ujarku yang tidak tahu apa-apa.

Pasalnya, aku tahu ketika menuju kesini bahwa orang-orang ini yang ternyata berasal dari desa-desa lain, datang dengan berjalan kaki, sebagian besarnya bertelanjang kaki, pakaian lusuh, untuk sekedar menjual hasil panen mereka di pasar pelabuhan ini seminggu sekali.

Lengkapnya begini, di desa ini karena terletak di satu-satunya pelabuhan di pulau ini, seminggu sekali akan ada pasar kaget. Orang-orang dari kota akan datang di hari kamis setiap minggunya untuk membeli hasil panen warga desa. Mereka membayar dengan uang tentu saja. Entah berapa harga masing-masing barangnya. Pasar ini cuma ada di hari kamis, hal itu dikarenakan pada hari jumat umat Muslim ada ibadah solat jumat, dan sabtu minggunya giliran umat Kristiani yang beribadat. Kalau Senin sampai Rabu, para pemilik kapal memilih mengangkut hasil kopra yang bayarannya lebih besar daripada mengangkut warga yang cuma membayar Rp 25.000,- per kepala.

Orang-orang ini berjalan amat jauh, melewati bukit-bukit, semak-semak, hingga belantara hutan bersama keluarga mereka. Kata kepala desa, mereka harus menempuh perjalanan hingga dua hari lamanya untuk membawa hasil panennya ke pasar ini. Mereka harus menginap di hutan. Untungnya beramai-ramai bersama seluruh warga desa. Mereka membawa serta anak-anak mereka, kenapa? karena ayah dan ibu meteka harus membawa hasil panen yang cukup banyak ini. Tidak mungkin juga kalau harus meninggalkan anak-anak mereka sementara orang tua mereka pergi selama itu.

Panas-panasan mereka berjalan membawa hasil panen yang beragam. Sungguh sebuah perjuangan yang luar biasa dari orang-,orang ini untuk sekedar menyambung hidup.

"Ya belum tahu ya Bang kalau ada yang pernah dibayar pakai sebungkus garam dapur," ucap Bang Maltulesi.

"Maksudnya, caisim tadi di tukar garam satu bungkus?" tanyaku berusaha memperoleh informasi yang jelas.

"Iya betul Bang, satu karung angkut sayur ditukar garam satu bungkus," jawabnya.

"Alamak, siapa yang tega begitu?" tanyaku begitu penasaran.

"Itu nenek tua Cina yang punya warung," jawab si Abang menunjuk dengan wajahnya.

Pandanganku tertuju pada sebuah warung kecil di sudut desa. Warung kelontong milik seorang keturunan Tionghoa yang merantau ke sini. Si wanita tua itu hidup sendiri, ia menjanda setelah ditinggal mati suaminya. Anak-anaknya? entah.

Aku tahu karena sempat berbincang saat membeli saus sambal yang ternyata sudah kadaluarsa. Bukan culas sepertinya, hanya karena memang barang kebutuhan sehari-hari adalah hal langka di sini. Mungkin itu stok satu-satunya yang dia punya.

"Yaa, bukan salah si nenek tua sih Bang. Dia juga buat apa beli sayuran banyak. Dua hari saja bisa busuk kalau tidak ada lemari es," tambah Bang Maltulesi.

"Miris ya Bang, negeri sekaya ini, subur makmur tapi rakyatnya masih menderita," ucapku entah kemana maksud arah pikiranku ini.

"Negeri ini memang subur Bang, tapi belum bisa dikatakan makmur," balas Bang Maltulesi.

"Iya sih, pendidikan juga susah, sekolah desa hanya berupa bangunan kayu dengan dinding seng. Kayu dna mejanya sudah tua dan lapuk," ujarku.

"Abang tahu tidak kalau warga d sini pernah dapat bantuan anak sekolah ... apa itu namanya yang empat ratus ribu?" tanya Bang Maltulesi.

"Ah iya, saya juga lupa tapi saya tahu bantuan yang dimaksud," balasku yang memang tahu hanya tidak hapal namanya.

"Warga yang dapat harus mengambil ke kota, menyeberang Bang pakai kapal sewaan. Dipatok harga lima puluh sekali jalan, kalau pulang pergi ya seratus. Di kota mereka ambil di kantor pos, lalu naik mobil umum ke pasar pusat di tengah kota. Uang yang mereka dapat dibelikan alat tulis, buku, sembako ... ya apa yang mereka butuh saja."

"Malamnya mereka menginap,menumpang di ruamh warga dekat pelabuhan. Biasanya memberi uang tinggal lima puluh , besoknya baru kapal datang menjemput mereka lagi," Bang Maltulesi menyelesaikan ceritanya.

"Lho jadi uang bantuan senilai Rp 400.000,- itu terpotong menyeberang seratus, lalu menginap lima puluh? berarti yang mereka belikan kebutuhan sekolah hnaya Rp 250.000,-?" tanyaku menyimpulkan.

"Lebih sedikit lagi Bang, kan butuh untuk obgkos mobil ke kota lalu makan selama di kota," balasnya.

Tertegun aku mendengar cerita Bang Maltulesi. Benar-benar uang tak begitu berarti di sini. Untuk sekedar menyeberang saja sudah begitu besar. Sepertinya merasa berdoasa aku kalau merasa bahwa apa yang kualami adalah hal yang paling buruk. Di sini, tiap mereka harus berjibaku dengan kerasnya kehidupan. Berjalan berhari-hari melewati hutan dan perbukitan hanya demi menjual hasil panen mereka. Itupun kalau laku dan tidak bersisa. Kalau bersisa, audah beruntung dapat ganti makan satu kali dari ibu kepala desa, kalau ditukar sebungkus garam??

"Pendidikan itu penting ya Bang?" ujarku pada Bang Maltulesi.

"Iya, makanya saya e ...rela bekerja siang malam demi anak saya bisa berkuliah di kota besar," balas Bang Maltulesi.

"Iya Bang, siapa nama anak Abang? bersekolah dimana?" tanyaku mengubah pembicaraan kami jadi sekedar basa-basi.

"Yemima, Yemima Masae, e sekarang sedang ambil jurusan hukum Bang di Bandung. Minta berkuliah di bidang hukum," jawab Bang Maltulesi.

"Syukurlah, saya doakan semoga anak Abang sukses dan bisa mengharumkan nama desa serta kedua orang tuanya," ujarku.

"Terima kasih Bang, semoga Abang juga sukses," balasnya padaku.

Negeri ini butuh keadilan, keadilan yang bukan cuma merata tapi juga hakiki. Semoga dalam sisa umurku, aku bisa sempat melihat keadilan ditegakkan di atas muka bumi ini.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)