Cerpen
Disukai
6
Dilihat
5,013
Kandang Tikus
Komedi


Kandang Tikus


Bocah laki-laki yang kisaran umur lima tahun berlari dengan riang setelah turun dari sepeda motor ibunya. Wajah berbinar-binar itu menjadi pertanda awal suara bising, heboh, pun sosok yang tak kenal lelah di rumah.

“Aduh, nak! Lepas dulu sepatunya...!” seru Mama yang tergopoh-gopoh turun dari sepeda motor, demi menyelamatkan lantai keramik putih suci yang masih mengkilap dari sepatu kotor anaknya.

“Ah, Mama mesti. Padahal beginian bisa di-anuin... ehm, dibelciin lagi,” ujar Bocah itu.

“Lho, pagi-pagi gini kamu tega nyuruh Mama bersihin, nak?”

“Hehehe.” Bocah itu cengar-cengir, sadar akan ucapannya. Setelah sepatu dilepas, si bocah juga menyampirkan tas ransel kecilnya pada Mama, “Sekalian, ya Ma,” katanya, si Mama cuma bisa senyum melihat tabiat anaknya.

Bocah itu pun segera berlari ke peti yang bertumpukan segala macam bentuk mainan. Mainan mobil-mobilan yang berada di puncak menjadi incarannya yang pertama. Selagi si Bocah bermain, Mama menuju dapur untuk melanjutkan kegiatannya yang tertunda tadi.

Ngueng-ngueng-ngueng,” gumam si bocah sampai mulutnya mengerucut. Ia melangkah cepat dengan tanpa arah menjadikan apa yang dilewatinya menjadi lintasan balap mobil. Sampai akhirnya ia terhenti karena ada makhluk kecil dalam kandang yang membuatnya bertanya-tanya, “Apa itu? Tikus?

Si bocah semakin mendekati tikus yang berada di kandang buluk itu. Kandang tersebut diletakkan di tempat yang mendapat sinar matahari langsung, membuat warna karatnya tampak memerah jelas. Tikus itu yang menyadari kedatangan bocah terlihat panik hingga mondar-mandir menabrak kandang.

“Ma! Hewan pelihalaan mama kepanasan nih!” ujarnya.

Mama kemudian datang dan tertawa kecil, “Ini bukan hewan peliharaan Mama, nak...,” jelas Mama sambil membelai lembut bahu anaknya.

“Telus, kenapa dijemul tikusnya? Nanti mati dong, enggak dikasih makan minum juga sama Mama,” ucap Bocah itu, alisnya mengerut seakan kesal dengan perbuatan Mamanya.

Mama mengelap wajah si Bocah sambil tertawa, “sudah jangan deket-deket, nanti dia gigit kamu lho gara-gara lapar, hap-hap!” tegur Mama. Si Bocah menurut dan mengekori Mamanya yang meninggalkan kandang tikus itu.

Rembulan telah menggantikan matahari yang menyengat, maka sudah waktunya si Mama membacakan dongeng sebelum tidur untuk anaknya.

"Nak, sini... sikat gigi dulu," panggil Mama. Bocah itu datang dengan mobil mainan tergenggam rapat di kedua tangannya.

Setelah selesai, si Bocah menyadari satu hal ketika ia kembali memainkan mainan mobilnya. "Ngueng-ngueng" celotehnya, "Lho? ... tikusnya ke mana?" dalam batinnya. Ia buru-buru berlari dengan kaki kecilnya menuju Mama dan bertanya, "Mama, tikusnya kok nggak ada di kandang, lepas?"

Mama menatap sekilas kandang kosong itu, dan acuh tak acuh mengangkat anaknya seakan terbang layaknya pahlawan super, "terbaaang... pahlawan supeeer!" seru Mama.

"Waaaaah...." Bocah itu kegelian sampai mengakak tak karuan.

Ketika kamar tidur si Bocah sudah di depan mata, si Ibu menghentikan langkahnya dan membuat suara peluncuran roket, "Bersiap...!" dan wajah si Bocah ikut siap, "Satu," ucapnya sambil mulai berlari, "dua ...," suara jeritan palsu keluar dari mulut si Bocah, "tiga...! Dhuaasshhh."

Mereka pun mendarat di atas kasur dengan gelak tawa tanpa jeda.

Mama mulai menarik selimut dan menyelimuti tubuh anaknya.

Ketika suasana mulai cair, pertanyaan tahu-tahu muncul lagi dari si Bocah, “Ma, kenapa mama nggak ngelawat tikus tadi? Kan kacian, Ma....”

Mama memanfaatkan kesempatan ini dengan menjawab menggunakan dongeng yang terlintas di kepala. “Dulu, ada bocah seumuran kamu yang punya keinginan kayak kamu. Dia ngomong sama mamanya kayak gini: ‘Mama, aku nggak peduli mama ngelalang aku melihala tikus ini belkali-kali, pokoknya aku bakal ngelawat tikus ini’.”

Si Bocah memerhatikan dengan khidmat.

“Akhirnya, Mamanya mau nggak mau membolehkan anaknya memelihara tikus, nak.”

“Ah, enaknya.... Gimana ya lasanya ngelawat tikus...?” hela si Bocah.

“Dia sibuk bangeeet. Setiap dia makan pagi, siang dan malam, dia bakal menyisakan beberapa butir nasi buat tikusnya, terus dia bakal ambil selembar tisu ditekuk-tekuk dan dibasahi,” jelas Mama sambil menggerakkan telapak tangannya seakan menekuk tisu menjadi kecil. “Tisu yang basah tadi bakal ditaruh di atas kandang, terus si tikus bakal merayap kayak cicak buat minum.”

“Waaah, kalau kayak gitu sih asyik, Ma,” jelas si bocah.

Mamanya menepuk lembut hidung anaknya dengan telunjuk dan lanjut bercerita, “Tapi kemudian, dia ngasih tahu ke semua teman-temannya, alias pamer.” Mama mengubah suaranya menjadi berat seakan sedang berlakon secara langsung, “‘Hei, aku punya hewan pelihalaan lho! Dia hitam tapi lucu’.” Anaknya tertawa cekikikan karena suara Mamanya. “Tapi, habis dia pamer, dia pulang ke rumah dan malah sedih. Gegara nggak nyangka sama omongan teman-temannya.”

“Lho, emang, temennya ngomong apa?”

“Teman-temannya ngomong begini: ‘Ih, tikus kan hewan yang menjijikkan! Bisanya cuma bawa penyakit!’, terus ada yang... ‘Dih, itu banyak banget di lumahku, sualanya belisik bikin susah tidul, cit-cit-cit!’, dan ada juga yang, ‘Dia suka gigit-gigit balang dilumah, nyebelin pokoknyaaa!’.”

“Yah... kacihan, dia jadi sedih dong, Ma....”

“Iya, dia sedih banget. Sampai pada suatu malam, pas burung hantu bersuara menakutkan... dan semua orang lagi mendengkur tenang di kasur, suara kandang tikus tahu-tahu bikin berisik rumah...!” Si bocah menganga mendengarnya, ibu melanjutkan, “Suara: gedubrak, brak, pyang, pyong, prang, pring, menggema di dalam rumah. Dan pas dicek... waaah, kandangnya itu terpontang-panting nggak karuan ke sana kemari.”

“Kenapa, kenapa?” tanya si Bocah.

“Si tikus maraaah! Wajah tikusnya memeraaah! Dan badannya jadi gede bangeeet!” jelas Mama sambil mendramatiskan keadaan dengan suara yang seram.

Si Bocah menarik selimut dan digunakan sebagai penutup wajahnya. Tak lama ia mengintip dan bertanya, “Erh, ti-tikusnya kenapa ma-mal-marah sampai mel-rah? Emang salahnya apa? Kan udah dikasih makan minum....”

“Si tikus akhirnya ngasih tahu alasannya ke bocah itu: ‘Jangan sekali-kali anggap aku hewan peliharaanmu! Aku ini hewan liarrr-r!’.”

“Lho, emang kalau hewan lial-r kenapa, Ma? Kan dia udah belbuat baik....”

“Betul! Anak tadi juga ngomong begitu. Tetapi si tikus punya jawaban: ‘Baik? Hewan liar kayak kami nggak mau tahu kamu orang baik atau tidak, yang kami tahu adalah kami punya tujuan untuk menyebarkan penyakit dan perusak lingkungan, bwahahaha’.”

“Si tikus jahaaat! Udah jorok, jahat lagi,” ucap si Bocah.

“Bwahahahaha.” Tawa Mama menggelegar seolah terbawa suasana.

“Aaakh, takut,” kata si Bocah.

“Nggak lama, rumah anak itu langsung diserbu ratusan tikus. Suara cit-cit-cit, cit-cit-cit, memenuhi rumah.” Mama menggelitiki anaknya berbarengan ketika mengeluarkan suara cit-cit, “Barang-barang di rumah dilahap habis! Hap-hap! Nggak ada yang tersisa. Hap-hap!

Si Bocah tertawa riang karena tergelitik. Selepas rasa geli itu menghilang, ia berkata, “Kacian ya, Ma. Orang-orangnya jadi nggak kebagian makanan. Tikus seleeem...!”

Geruduk-geruduk!

Sontak kepala diangkat mengarah ke sumber suara gerudukan tikus yang melewati langit-langit rumah.



Cerpen : Kandang Tikus (031223)

Karya : Aldevout

Kover : Canva (disunting oleh Aldevout)



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)