Masukan nama pengguna
Diyar mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, sambil melempar pandangan keluar jendela disebelah kirinya. Mendung putih tampak betah diatas sana menurunkan rintik air hujan. Ini jam sepuluh pagi yang basah. Mungkin cuaca di luar juga yang membuat tempat ini berisi sedikit lebih penuh dari biasanya. Tempat dimana orang-orang memesan hanya secangkir kopi dan kemudian duduk berjam-jam tanpa perlu malu tidak memesan cangkir kedua. Kita, manusia, memang senang menghabiskan waktu dengan bermacam tujuan. Diyar mengalihkan pandangannya ke kopi hitam di atas mejanya yang tidak lagi mengepulkan gumpalan putih halus. Sudah dingin. Lalu memegang-megang cangkir porselen bermotif salur putih sederhana itu tanpa ada keinginan untuk menyeruputnya.
Lost Without You dari Robin Thicke masih mengalun meningkahi atmosfer di coffee bar lantai tujuh ini. Di antara pikiran-pikirannya, ia mengikuti lirik lagu tersebut, hanya di dalam hati. Ya tentu saja itu lebih baik daripada harus menerima tatapan kesal orang-orang di ruangan itu karena terganggu dengan suaranya. Setidaknya ia bisa sedikit menghalau bosan yang mulai datang setelah hampir setengah jam menunggu.
Bunyi telepon genggamnya membuyarkan semua pikiran-pikiran tidak bermakna tadi. Ia tersenyum melihat nama yang muncul di layar telepon genggam itu.
"Hei..." Diyar menjawab teleponnya.
"Aku udah nyampe, udah didepan juga. Kamu udah didalem kan?" wanita itu menjawab dengan kalimat nyaris tanpa jeda.
"Sud..." belum sempat Diyar menjawab, Naya sudah berjalan kearahnya sambil tersenyum dengan melebarkan kedua tangan hendak memeluk ditambah mimik lucu khasnya.
Diyar berdiri dengan senyum lebar menyambut Naya, dan kemudian Diyar sudah memeluknya dengan erat.
"Ahh..kangen betul aku sama kamu!" ucap Diyar setelah melepaskan pelukan.
"Oh you have no idea. I miss you sooo much!" Naya membalas sambil mencium pipi Diyar.
Diyar mempersilahkan Naya duduk di depannya dan kemudian ia melambaikan tangannya memanggil seorang pelayan yang berdiri disalah satu sudut. Kini mereka berhadap-hadapan dan keduanya masih tetap saling pandang dan tersenyum.
Nayara Benedicta. Diyar mengenalnya saat dulu mereka tergabung di Senat Mahasiswa. Kebersamaan yang intens saat dulu memang menjadi penyebab kedekatan mereka. Gayanya yang sedikit cuek dan ucapan-ucapannya yang argumentatif tanpa berusaha lebih hebat dari laki-laki, adalah dua hal yang selalu membuat wanita ini terlihat pintar di mata Diyar. Selalu menyenangkan mengenal sosok seperti Naya, tidak membuat laki-laki terintimidasi. Dua hal yang tak urung membuat Diyar pernah jatuh hati saat itu, namun nyatanya dia atau mungkin juga Naya, terjebak di dalam zona persahabatan tingkat akut.
"Saya mau latte ya mas. Dry. Makasih" Naya memesan kopinya.
"Sekalian kopi saya ini diangkat saja, mas. Saya minta yang baru" Diyar berkata pada pelayan tadi.
“ Itu belum diminum kan sepertinya?" tanya Naya.
“ Iya belum diminum. Aku lupa karena dari tadi sibuk ngeliat jam. Nggak sabar ketemu kamu" jawab Diyar.
"Aww..so sweet" Naya menjulurkan lidahnya.
Diyar tetawa sambil tak lepas memandang wanita di depannya ini yang sekarang jadi terlihat sangat wanita. Kulitnya sekarang tampak lebih bersih, tidak putih, tapi terlihat sehat. Iklim di luar negeri mungkin ada andil untuk kulitnya. Rambut kuncirnya yang hitam tebal terlihat sangat sesuai dengan paras cantik Naya. Kemeja satin putih lengan panjang dan celana khaki berpotongan pipa yang dikenakannya adalah komposisi sempurna pertunjukkan Naya dimata Diyar. Cantik. Entah kemana dulu kecantikan ini bersembunyi.
"So. Playboy..." Naya mengerling pada Diyar.
"Hahaha... coba lihat aku. Aku sama sekali gak punya potongan jadi playboy" jawab Diyar.
"Hmm.. ya aku kan cuma berasumsi dari cerita kamu di email"
"Asumsi? please don't"
"Iya sih. Kamu terlalu flat untuk bisa jadi seorang playboy yang biasanya terlihat atraktif"
“ Cool aja lah, terdengar lebih keren"
"Hahaha Kamu emang keren kan. Tapi kamu… flat “
"Okay, mungkin aku lupa kalau hari ini adalah hari penilaian untuk aku ya?"
Keduanya tertawa lepas, sebelum kemudian mereka tersadar kalau saat ini mereka masih seruangan dengan banyak orang. Ini memang pertemuan yang direncanakan sejak seminggu lalu. Naya yang kini menjadi seorang penulis besar dan banyak menghabiskan waktu dengan menetap di Kanada, memang sedang pulang kampung sekaligus melakukan promo novel barunya. Komunikasi Diyar dan Naya sendiri baru terjalin lagi sekitar sebulan ini. Segala mimpi atas nama cita-cita mereka dulu telah menjauhkan dua orang sahabat ini untuk waktu yang panjang.
Kalau memang sudah waktunya pasti memang terjadi. Seperti Diyar yang tanpa sengaja membaca profil Naya di sebuah harian pagi yang tergeletak diatas meja kerja rekan kerjanya. Di situ ia baru mengetahui Naya adalah seorang penulis yang sudah menghasilkan novel yang katanya laris manis. Ya selain Diyar bukan pelahap novel, namun tak urung membuat ia berpikir apa saja yang dilakukannya dalam menjalani hari-harinya selama ini, sampai-sampai ia tidak pernah mengetahui kalau sahabatnya itu sekarang telah menjadi orang terkenal. Dan ya, ia memutuskan untuk mengirim email yang tertera di profil Naya. Hasilnya, hari ini mereka kembali bertemu dengan banyak hal yang berbeda sejak terakhir kali mereka bertemu tujuh belas tahun lalu.
Naya mengeluarkan sekotak rokok dan pemantik yang terbalut perak dari dalam tas hobo-nya. Tas berbahan beludru hitam dengan aksen kulit berwarna coklat muda itu terlihat sangat lembut, dan bahkan cukup nyaman untuk digunakan sebagai bantal barangkali, atau untuk dipeluk saat butuh kehangatan dari seseorang. Baiklah, itu terdengar sangat putus asa. Batin Diyar.
"Aku masih tidak percaya hari ini bisa bertemu kamu Di. Email-email dari kamu semakin membuat aku tidak sabar bertemu kamu. Terutama tentang cerita cinta kamu yang edan itu dong hahaha..." Naya tertawa bersamaan dengan Diyar.
"Aku anggap itu pujian hahaha... Yah sayangnya mesin waktu itu wujudnya belum pernah ada. Kalau benar-benar bisa diciptakan, aku akan menjadi salah satu orang yang berada dalam antrian dihari pertama mesin itu dijual “ kata Diyar.
"Ajak aku jangan lupa" jawab Naya cepat.
"Hey aku tidak menyangka kamu perlu mesin waktu juga. Seberapa kacau? maksudku, bukannya semua berjalan mulus untuk kamu, kan?" Diyar tanpa bermaksud menyelidik bertanya kepada Naya.
“ Itu pengakuan secara tidak langsung betapa kacaunya hidup kamu ya Di? hahaha… Aku tidak bilang hidupku tidak berjalan mulus, tidak selalu sempurna sih iya. Jadi kalaupun aku butuh mesin waktu, itu untuk mengulang hal-hal terbaik dalam hidupku. Begitu mas Diyar Harianto yang sekarang tendensius" Naya mencibirkan bibirnya.
"Oh begitu ya mbak Naya, hahaha… Tapi bener sih Nay, apa yang aku dapatkan sampai hari ini adalah bagian dari perjalanan hidupku. Itu kalau pikiran sok wise-ku yang bicara ya. Kalau ngikutin pikiranku yang sangat manusia, ya itu. Aku tetap berharap mesin waktu itu bisa dibuat untuk tidak menjalani semua. Semua yang dulu itu" Diyar meminum kopinya.
"Bagaimana sekarang ini hubungan kamu dengan mereka semua Di?" Naya bertanya santai meski kesan serius tertangkap dari pertanyaannya.
"Kamu perlu tahu kalau semua itu tidak pernah aku maksudkan untuk terjadi seperti itu. Aku tidak pernah ingin menyakiti siapapun, Nay. Tentang rasa, tentu bermula karena aku sayang dengan mereka. Mungkin aku jadi terlihat seperti seorang bajingan. Dan kalau memang hal itu yang terlihat, aku tidak punya kuasa merubah hal tersebut, terlebih dari orang yang merasa aku sakiti. Aku memilih untuk tidak lagi hadir di hidup mereka “
"Artinya kamu tidak pernah berhubungan lagi dengan mereka?"
"Ya bisa dibilang begitu... Tapi sejujurnya aku tidak terlalu menutup rapat pintu itu “
"Bukannya itu berarti kamu lari dari kenyataan yang harus kamu jalani?"
"Kenyataannya kan sudah sudah jelas. Semua hal yang terjadi adalah kenyataan itu sendiri, dan aku menerimanya. Aku tidak berlari dari apapun. Tidak ada yang tidak terselesaikan. Ini hanya tentang cara aku melangkah kedepan. Nay, aku meminta maaf pada mereka, dan juga meminta maaf pada diriku sendiri… “
"Yakin?"
"Tentang?"
"Bahwa kamu sudah melangkah ke depan tanpa disertai semua cerita lalu ini"
"Aku berusaha"
Naya tersenyum kecil sambil memperhatikan wajah Diyar. Dia pikir waktu memang luar biasa. Bagaimana waktu mampu merubah begitu banyak hal, termasuk Diyar dan tentu saja dirinya sendiri. Semua ingatan-ingatan tentang Diyar kemudian menjadi hal yang remeh temeh, karena ternyata Diyar bukan lagi seperti yang dia ingat. Dulu seingatnya Diyar memang bukan tipe yang meluap-luap, tapi tidak flat seperti ucapannya awal tadi. Cenderung menjadi pemerhati dan pendengar. Namun di balik itu Diyar adalah pribadi yang hangat. Seorang serius dan pendiam tapi bisa melakukan hal-hal konyol. Kombinasi yang aneh.
"Halooo..." Diyar melambaikan tangannya di depan wajah Naya.
"Astaga... udah berapa hari aku ngelamun?" Naya berpura-pura kaget dan tertawa.
"Nah, Naya. Bagaimana dengan kamu? Di email kamu tidak banyak menceritakan tentang kehidupan kamu sekarang ini"
"Hmm.. nggak banyak sih Di" asap rokok merambat perlahan keluar dari bibir Naya. "Nanti lah. Hari ini aku pengen denger cerita tentang kamu. Lagian aku juga masih akan kembali ke Indonesia, kan?. Masih banyak waktu" lanjutnya.
"Apa lagi yang ingin kamu dengar?"
"Masih banyak. Tentang... siapa itu? Alena?"
"Alena"
“ Dari cerita kamu lewat email aku merasa nama ini yang paling dominan dicerita kamu. Bagaimana wanita ini bisa begitu memiliki tempat di hati kamu?"
"Tidak hanya Alena, mereka semua tetap ada di hatiku. Hanya saja Alena memang meninggalkan jejak yang dalam dan aku bisa pastikan dia tidak akan pernah hilang bahkan sampai aku mati" Diyar berhenti dan mengalihkan pandangan ke jendela kaca di kirinya. Gerimis masih terus menari pelan bersama angin di sana.
"Alena adalah doa yang terjawab. Dia menyembuhkan hatiku saat Vira menikah dengan laki-laki lain. Sementara demi Vira aku memutuskan hubunganku dengan Liana. Kampret!" Diyar tidak sadar bahwa ternyata dia masih marah saat menceritakan hal ini lagi. Itu cerita lima tahun yang lalu padahal. "Alena menjadi penyemangat yang hebat saat itu. Dan ya, aku jatuh hati dengan dia. Sepanjang itu pula ada kata yang tidak pernah terucap, karena aku kira kami berdua sama-sama menyadari ada garis yang tidak bisa kami lewati" sambung Diyar.
"Dan kalian berdua menyudahi?"
"Apa yang disudahi? karena tidak pernah dimulai, tidak secara verbal. Semua berjalan sangat alami waktu itu. Tiba-tiba ada kekecewaan yang hadir. Dia pergi, dan aku juga pergi. Aku tidak tahu sedalam apa luka yang aku buat untuknya, tapi dia juga tidak tahu seberapa hebat dia sudah melukaiku. Bukan tentang impas tentu saja. Tidak pernah seperti itu"
"Dan kalaupun kemudian kalian masih berkomunikasi, itu karena kalian adalah dua orang dewasa yang mencoba dewasa?"
"Aku kira begitu. Yang jelas, aku tetap menyayanginya"
"Gila. Kalian gila…" Naya tersenyum dan menyandarkan punggungnya di sofa kain dengan dasar putih dan motif garis-garis vertikal biru.
“ Dan kamu lebih gila Diyar. Menyediakan ruang di hati kamu untuk semua cerita lalu sampai saat ini" Naya menyambung ucapannya dengan cukup pelan dan ekspresi nyaris datar. Sementara Diyar hanya menggerakkan kedua bahunya. Entah apa yang dimaksudkan dengan gerakan bahu itu. Mungkin secara tidak langsung Diyar ingin mengatakan bahwa dia sendiri tidak tahu kenapa ia masih memberi tempat bagi masa lalu.
Semenit. Dua menit. Tiga menit. Diam menjadi topik untuk Diyar dan Naya saat ini. Naya masih saja tidak menyangka bahwa laki-laki ini adalah Diyar yang dulu. Naya terlanjur merekam sosok Diyar masa lalu yang kuat. Sosok mahasiswa yang dikenal di kampus dulu, sehingga selalu dikelilingi banyak teman. Tapi hari ini, Diyar terlihat rapuh saat bercerita tadi, ada luka di situ. Luka yang mungkin sama dengan miliknya.
*****
Kerlip lampu bertumpang tindih seperti sekumpulan titik yang menyajikan pemandangan cantik di bawah sana. Sementara itu jajaran gedung yang menjulang sombong ikut meningkahi suasana malam yang baru saja dimulai. Diyar berdiri menatap diam pemandangan sepaket itu sambil memainkan rokok di tangannya. Pikirnya, apakah ketika ia terjun bebas dari tempat berpijak ini semua gemerlap yang terlihat masih tetap bisa ternikmati oleh matanya sepanjang perjalanan ke bawah? Atau ia hanya akan menikmatinya dengan mata terpejam rapat?. Ia tidak tahu. Namun setidaknya itu akan menjadi kematian dengan cara yang spektakuler untuknya, walau jelas itu cara yang sama sekali tidak kreatif karena sudah jamak.
Tapi tentu Diyar tidak merasa perlu melakukan atraksi dipikirannya tadi. Tanpa itupun sebenarnya ia merasa sudah lama mati. Dan soal mati ini mengingatkannya pada seorang wanita yang tidak pernah mencintainya, Arini. Kalimat; lebih baik aku mati, adalah rangkaian kata kegemaran wanita itu setiap kali Diyar merasa sudah saatnya membebaskan Arini dari pelukannya yang ternyata tidak cukup hangat untuk wanita itu, sehingga perlu mencari pelukan lain. Atau saat Diyar memutuskan untuk melepas Arini agar wanita itu bahagia dengan melanjutkan hubungan diam-diamnya dengan laki-laki yang bisa membuatnya tertawa, tanpa harus berpura-pura kepada Diyar bahwa dia tidak menikmati lelucon yang keluar dari mulut laki-laki lain.
Bahkan kemudian Diyar menyadari bahwa ketika ia mengejar kebahagiaan, Arini mengejar kekayaan. Arini tidak pernah mencintainya, dia hanya ingin memiliki Diyar. Tidak lebih. Mungkin itulah kenapa ternyata sampai hari ini Arini masih hidup, tidak melakukan hal terbodoh di planet manapun, bunuh diri. Itu bagus, pikiran sehat Arini pasti sudah meyakinkannya untuk tidak mati demi orang yang sama sekali tidak ia cintai. Walau tidak berarti Diyar ingin melihat Arini mati, karena sesungguhnya ia membenci wanita itu sebesar ia pernah menyayanginya.
"Ngelamun…" Farah sudah ada di belakang mencium pipi Diyar. "Ngelamunin apa sih?" lanjutnya.
Diyar membalas ciuman di pipi Farah. "Arini. Tadi aku tiba-tiba ingat dia" jawab Diyar.
"Setahun dan tiba-tiba kamu ingat dia?. Kangen?. Kamu mau balikan lagi sama dia?" Farah mencolek ujung hidung Diyar dan kemudian berjalan ke arah lemari baju di kamar tidur bernuansa hijau pucat itu dan kemudian membuka kedua pintunya.
"Bukan semua itu…" jawab Diyar pelan.
"Trus?"
"Tentang dia yang selalu bilang lebih baik mati"
"Ooh... itu... Kamu masih ingat kan, seperti yang aku bilang. Yang namanya orang kalo suka gembar-gembor, termasuk urusan mau mati, itu nggak akan pernah terjadi. Mau bunuh diri kok bilang-bilang!" panjang lebar Farah berkata sambil menyibak-nyibakkan baju yang tergantung di dalam lemari.
"Nah..nah kamu kok jadi marah sih, sayang.." gantian Diyar sekarang yang memeluk dari belakang. "Aku cuma ingat. Bukan karena apa-apa. Lagipula kamu tau aku tidak pernah lagi berhubungan dengan dia" Diyar berkata tepat di telinga Farah dengan setengah berbisik.
Farah berbalik dan tersenyum. Sementara tangan Diyar ada dipinggangnya, kedua tangan Farah ia gelayutkan di leher belakang Diyar. "Aku nggak marah, sayang. Malahan aku mungkin harus berterimakasih dengan dia. Kalau bukan karena dia, mana mungkin kita bisa bersama dengan hubungan yang aneh ini" kata Farah.
"Dengan hubungan yang aneh ini?"
"Dengan hubungan yang aneh ini. Tentang kamu yang saat itu baru mengakhiri hubungan kamu dengan dia dan sedang terluka, lalu dengan terang-terangan bilang ke aku kalau kamu mau kita jadi lebih dari sekedar teman. Hanya untuk mewujudkan tuduhan Arini dulu saat kalian masih bersama bahwa kamu selingkuh sama aku, padahal justru dia yang berselingkuh dengan laki-laki lain, dan tidak bisa melihat bahwa kamu sangat mencintai dia. Padahal saat itu kamu sudah meninggalkan dia, entah untuk apa kamu mewujudkan tuduhannya. Kamu tidak menang, kamu bodoh dengan menambah masalah dalam hidup kamu, sayang. Lalu aku yang kemudian mengiyakan ajakan kamu, dan merasa tidak ada masalah walau hubungan kita hanya sebatas ini. Kamu dan aku. Dua orang aneh. Dua orang bodoh" Farah tersenyum dan melepaskan gayutan tangannya sambil memandang Diyar yang berhasil ikut tersenyum walau itu pasti salah satu senyum terburuk yang pernah dibuatnya. Farah kembali berbalik dan kembali memilah baju di dalam lemari, dan Diyar memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi.
Jadi benar jika menurut penelitian wanita mengucapkan lebih banyak kata dalam sehari dibandingkan dengan laki-laki. Ya beberapa orang memang sedikit kurang kerjaan sehingga merasa perlu menghitung kata per kata antara laki-laki dan wanita. Farah adalah contoh nyata hasil penelitian tadi pikir Diyar. Dengan hanya sedikit pemicu, Farah bisa mengeluarkan kalimat panjang lebar nyaris tanpa jeda. Diyar memang kerap lupa untuk pintar-pintar memilih bahasa atau menyaring mana yang perlu dan tidak perlu disampaikan. Padahal sebenarnya dia cuma ingin Farah hanya menenangkan dirinya tadi, bukan untuk membuat bahan pembicaraan yang malah membuat suasana jadi canggung sekarang ini. Ironisnya, baru sekira satu setengah jam yang lalu mereka bercinta. Tapi jika kemudian ekspektasi tidak selalu berjalan lurus dengan kenyataan, maka inilah yang terjadi. Diyar melihat wajahnya di cermin dan merasa dungu sekonyong-konyong.
"Di..maaf.." Farah sudah berdiri di depan pintu kamar mandi di belakang Diyar.
Diyar tersenyum dan berjalan mendekati Farah, kemudian menyentuh wajah Farah dan memeluk wanita itu. Erat. "Aku mengerti.." bisik Diyar di telinga Farah.
"Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan meminta lebih dari hubungan kita. Tentang hati, itu hal yang biasa dan bisa dinegosiasi buatku" balas Farah.
Diyar tiba-tiba merasakan sakit di jantungnya. Bukan, ini bukan serangan jantung. Ini karena ucapan Farah barusan. Diyar tak sepaham lagi tentang anggapan bahwa wanita itu lemah. Mereka lebih kuat. Setidaknya berlaku untuk Farah. Sementara Diyar kewalahan untuk tetap berada didalam skenario bikinannya, Farah tetap enteng menjalani perannya.
Ini semua bukan lagi permainan, tidak ketika ternyata Farah benar merasuk kehatinya. Seandainya bisa, ia pasti sudah menjadikan Farah sebagai istrinya setahun lalu. Tapi tidak bisa. Ada laki-laki lain yang sedang menghitung hari untuk kembali kedalam kehidupan Farah. Kenyataan bahwa Farah bertahan untuk tidak meninggalkan laki-laki itu bukan karena setia tentu saja, tapi ini tentang keinginan yang sungguh omong kosong untuk tidak menghancurkan perasaan laki-laki yang sudah hancur itu.
Diyar dipaksa melepas pelukan karena telepon genggam di saku celananya berbunyi.
"Siapa?" tanya Farah.
“ Oh, ini...WA… dari Naya" jawab Diyar.
"Oh. Kamu pulang sana. Udah malem" Farah berlalu meninggalkan Diyar yang melongo dan reflek menepuk dahinya sendiri sambil didalam hati mengumpat kebodohan dirinya, "Kampret!".
*****
Type : Text message
To : Nayara Benedicta +62 814-9999-888
Sent : 21:12
Diyar memastikan balasan pesan singkat yang dikirimnya ke Naya benar sudah terkirim. Hari begini maju tapi ia dan Naya memilih SMS ketimbang WA. Atas nama nostalgia atau cari aman? entahlah. Yang jelas sudah dua jam lebih tapi Naya belum membalas juga. Salah satu hal yang paling menyebalkan di dunia ini memang menunggu. Pilihan lain sebenarnya ada, Diyar bisa langsung menghubungi Naya, tapi tetap saja itu tidak dilakukannya. Meskipun ini sedikit gawat darurat, demi tuhan ia sedang butuh oksigen. Jadi begini, sejak bertemu di coffee bar siang hari tadi, hingga pesan singkat yang dikirimkannya, Naya dirasakan Diyar bagaikan oksigen. Menyusup dalam tiap tarikan nafasnya, membuat pikiran dan hatinya lega. Terlebih beberapa jam yang lalu perasaannya dibuat kusut oleh Farah. Jadi, jika sekarang ini Diyar tidak sabar menunggu balasan Naya, itu karena ia sudah kecanduan oksigen yang disuplai Naya untuknya.
Ya ya, ini sedikit impulsif memang, efek euforia pertemuan dengan Naya setelah tujuh belas tahun. Pikirnya, masa iya sih dia jatuh hati lagi dengan Naya?. Tapi siapa peduli. Diyar sudah meniatkan dirinya harus bahagia dengan cara apapun dan dengan bagaimanapun. Bahkan jika itu harus menipu dirinya sendiri. Sudah terlalu sering dia membahagiakan parasit kebahagiaan yang bertransformasi menjadi manusia, sekarang gilirannya. Lalu kemudian seperti sebotol wine yang semakin banyak melewati masa akan semakin terasa nikmat, maka dengan bertambahnya waktu ia harap pada suatu hari nanti, setelah bahkan mungkin bertahun lagi, semua cerita dulu dan kini ini bisa ia nikmati saat sendiri pada suatu minggu pagi.
Diyar mulai merasa keinginannya untuk menunggu balasan Naya mulai tak sinkron dengan matanya yang memaksa untuk tidur. Seperti ada yang menarik-narik kelopak atas matanya untuk tertutup. Kesal mulai datang merusuh di kepalanya dan jam sudah tepat di angka dua belas. Seperti zombi, Diyar sedari tadi hanya menatap kosong siaran televisi yang entah sedang menayangkan acara apa. Ia meraih remote TV disampingnya dan menekan tombol program dengan berulang-ulang. Sedikit lagi, ia masih bisa menahan kantuknya. Sedikit lagi untuk Naya.
...dari jenazah korban, diduga korban sudah berulang kali mengalami kekerasan dengan adanya bekas luka di sepanjang lengan dan beberapa bagian tubuhnya. Pelaku sekaligus pelapor adalah suami korban dan berkewarganegaraan asing, saat ini masih dibawah pengawasan pihak berwajib dan ahli kejiwaan rumah sakit POLRI. Demikian Blaz News.
Diyar mengerjapkan matanya, dan mendadak kaku menyaksikan tayangan yang tanpa sengaja tersaksikan olehnya barusan. Tangannya sontak bergerak meraih telepon genggamnya, membuka inbox, dan membaca pesan singkat yang dicarinya.
Nayara Benedicta +62 814-9999-888 21:03
Hey, aku tiba2 pengen bikin cerita yg isinya tentang kamu. Boleh kan? :D
mmm..satu lagi, sekedar berandai2, mungkin gak sih kamu jth hati sama aku? dgn kondisi berbeda tentu saja :)
Diyar berdiri dari tempatnya duduk, telepon yang dipegangnya jatuh menghempas. Persis seperti dirinya yang terhempas pada kenyataan yang baru saja harus ia hadapi. Tubuhnya terasa ringan sekali saat ini, sambil berjalan menuju kamar tidur dan lalu membuka pintunya. Diyar menutup pintu itu dengan perlahan. Ia bisa merasakan tubuhnya basah oleh keringat dingin, dan ia merasa lidahnya kelu sekarang ini.
Ia nyaris limbung dan ini sakit sekali rasanya. Sisa tenaga yang masih berkumpul dikakinya berhasil membawa ia sampai di tempat tidur. Diyar merebahkan tubuhnya di sisi kanan tempat tidur dan kemudian meringkuk ke kiri sambil memeluk tubuh yang tengah terlelap, tangis patah hatinya pecah dipelukan itu.
"M..mas?. Kenapa?? kamu kenapa?!" Resty, istri Diyar, terbangun kaget.
*****