Flash
Disukai
0
Dilihat
9,881
Kala itu aku cemburu
Romantis

Bagai tulang mati rasa, kau hempaskan relung jiwa saat rindu mencuat. Bagai lilin di malam gelap temaram, terlampau sayu lemah dan tak berdaya saat alam menghembuskan napasnya. Aku hanyalah hidup untuk menatapmu sejak pertemuan kala itu. Terus terluka dan teiris setiap pertemuan selanjutnya di mulai. Mengapa aku terlalu mudah jatuh hati padamu? Pertanyaan itulah yang terus ku ulang sendiri. Tapi, sampai saat ini, belum ku temukan jawabannya. Oh ya, aku ingat, kala itu. Kala pertama kita berjalan berdampingan. Masing-masing diam. Hanya menatap lalu tersenyum. Lalu kau hapus atmosfer canggung itu dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang terus mengundang pertanyaan lainnya. Seketika nyaman menyapa. Kita pun berjalan dan terus berbincang bersama.

Namun sayang, takdir yang mempertemukan kita dalam suatu waktu dan tempat yang sama, telah sampai pada pasir terakhirnya. Kita harus pergi, harus kembali ke ruang hidup masing-masing. Sedih pun hadir tanpa izin. Menurutku saat itu, kita harus berakhir bahkan sebelum memulai. Namun, apa kau ingat ucapanmu padaku saat itu? Kau bilang, “Jangan putus komunikasi.” Aku tersentak dan mungkin mulai memerah. Kalimat yang sangat ingin ku dengar tiba-tiba kau ucap. Astaga.. apa kau bisa membaca pikiranku?

Waktu pun berlalu. Aku yang awalnya masih teguh memegang janjiku untuk terus menghubungimu, mulai kehilangan semangat. Kau yang dulu sangat manis tiba-tiba mundur teratur dan hilang. Aku tak tahu apa sebabnya. Aku hanya tahu bahwa kau sedang sibuk sekarang. Aku pun mencoba mengerti dan terus berharap kau kembali. Kemudian saat rindu ini benar-benar bergemuruh riuh, takdir kembali mempertemukan kita. Kita berjumpa sapa setelah sekian lama hilang kabar. Aku tersenyum kepadamu, mencoba mengajakmu berbicara dan bersikap ceria layaknya tak pernah disapu badai. Aku penasaran respon apa yang akan kau berikan. Dan ternyata, aku kembali tersentak. Semua yang ku kenal padamu dulu telah berubah. Kau tak lagi menatapku, kau tak lagi tersenyum padaku bahkan kau tak lagi ingin memulai pembicaraan denganku. Apa salahku? Seingatku, aku tak pernah membuat kesalahan. Justru akulah yang dulu dengan gigih ingin mempertahankanmu.

Aku lengkap dengan wajah riang sebagai topengku bersenda gurau bersama yang lain. Aku berusaha menutupi hatiku yang sudah meronta. Lalu ku beranikan diri sekali lagi mendekatimu. Aku melangkah tanpa alas kaki di atas pasir putih. Ku lihat di ujung sana kau sedang tertawa. Apa yang sedang kau tertawakan? Kenapa kau masih manis saja saat tertawa? Dan akhirnya, aku pun tak tahan. Berlari aku ke bibir pantai tempat engkau berdiri sekarang. Dan sekali lagi aku kembali tersentak. Bahkan kali ini jauh berbeda dari sebelumnya. Aku benar-benar lumpuh. Tungkai kaki yang menopang tubuhku seolah layu. Bagaikan tulang ini telah mati rasa dan tubuh ini bukan lagi milikku. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, bahwa kini kau telah berpindah hati. Semudah itukah kau melupakanku? Dan kenapa harus dia? Kenapa harus orang yang ku kenal dan dekat denganku? Oh Tuhan, kenapa dia begitu kejam. Kenapa aku harus melihat hal yang tak menyenangkan seperti ini di dalam sebuah pemandangan alam dan ombak yang begitu cantik. Aku pun berpaling tak kuasa. Masih tersenyum saat yang lain bertanya kenapa. Bukan aku tak ingin menjawab, tapi aku hanya tak tahu harus menjawab apa. Yang aku tahu aku sekarang hanya cemburu, tapi aku tak bisa menjawab aku cemburu. Karena sejak awal memang aku tak pernah punya hak untuk merasakannya. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)