Cerpen
Disukai
0
Dilihat
14,584
Kala Bumi Merajuk
Drama

Bumi, 2518 M

Semburat cahaya terang yang berasal dari kapsul kaca berukuran satu meter menjadi satu-satunya penerangan di gelapnya ruangan. Dari pancaran sinar tampak tabung-tabung serupa berjejer rapi. Gelembung-gelembung udara bergerak ke atas cairan menimbulkan bunyi 'glubuk, glubuk, glubuk' secara konstan dengan sesuatu bergerak-gerak gelisah di dalam sana. 

Tak lama seorang wanita berpakaian hazmat lengkap mendekati tabung itu dengan langkah pasti. Sesaat ia mengamati kondisi tubuh kecil yang dipenuhi berpasang-pasang kabel dan berucap pada rekannya di ruangan lain, "Projek Bayi 76939 pada tanggal 23 Juli 2518 M dalam kondisi optimal dan siap dilahirkan."

"Proses kelahiran Projek Bayi 76939 disetujui dan akan ditangani oleh Dokter Dweny." Suara tawa kecil terdengar di kepala wanita itu, anehnya kegugupannya berkurang walau tidak berpengaruh banyak. "Ini pengalaman pertamamu tanpa Chief Miggert, Dokter. Sebisa mungkin kau harus santai, oke?"

"Oke." Dan pada tarikan napas ketiga, Dweny memulai operasi perdananya.

~

"Masih mencoba melawan takdir, Dwen?" Mina menunjuk kedua matanya, bergurau, seraya menyodorkan segelas coklat panas menuju Dweny.

Dokter muda itu tersenyum sendu lalu menyeruput coklat pemberian sahabatnya. "Kau masih merasa aneh dengan mataku?" Dweny mengembuskan napas lelah dan mengamati wajahnya dari permukaan cairan coklat. Pupilnya yang putih menjadi satu-satunya perhatian Dweny, juga perhatian semua orang yang pernah berpapasan dengannya.

"Biasa saja, mungkin karena kita sudah lama bersama?! Ayolah, jangan muram begitu!" canda Mina.

"Entahlah, Mina. Aku hanya merasa salah dengan semua ... teknologi ini," gumam Dweny.

Mina terdiam di kursinya. Tersadar jika tak seharusnya ia mengungkit masalah ini. Mina selalu merasa Tuhan salah melahirkan Dweny di masa ini. Saat semua orang menikmati pemandangan kupu-kupu indah beterbangan bebas, aneka ragam bunga bermekaran, dedauan pohon tersapu angin juga cahaya mentari yang membawa kehangatan, sahabatnya malah melepas Utopia—kontak lensa untuk mengakses segala panorama itu—dan membiarkan dirinya terkungkung dalam kesedihan.

"Sampai kapan kau sanggup bertahan tanpa Utopia, Dwen?" batin Mina miris.

Keduanya saling berdiam diri, sibuk dengan benak masing-masing hingga Dweny mengeluarkan kotak kecil dari saku jas laboratoriumnya. Ia membuka kotak itu dan sebuah kontak lensa berwarna hitam yang tersambung kabel-kabel kecil menyembul dari dalam. Nampak terawat dan jarang digunakan. Baru saja Dweny akan mengembalikan kotak itu ke tempatnya, Mina segera merebutnya dari tangan Dweny.

"Orang tua bayi itu telah mengambilnya sejam yang lalu. Mereka menitipkan salam untukmu," Mina menunjukkan sebuah cip memori di hadapan Dweny lalu menyisipkannya di lubang kotak kontak lensa itu. "Juga kenang-kenangan dari abad kedua puluh!"

Tergambar jelas perubahan ekspresi Dweny dari keheranan menjadi berbagai campuran emosi. Haru, kaget hingga sukacita. Pun coklat panas kesukaannya dibiarkan mendingin tak digubris.

"Kami sempat berbicang, sudah lama mereka menunggu kelahiran bayi itu." Operator rumah sakit itu meniup kopinya pelan dan menyeruputnya santai. "Mereka pasti—"

"Aku harus pergi!" Belum selesai ucapan Mina, Dweny segera berlari meninggalkan sahabatnya. Namun, sebelum menghilang di balik pintu masuk, Dweny berteriak, "Thanks! Kau yang terbaik, Mina!" 

Chip yang baru saja diberikan Mina padanya merupakan ingatan seseorang dari abad lalu yang menjadi konten eksklusif dan tidak disebarkan pada khalayak umum. Tampilannya dengan Utopia memabg mirip, tetapi bagi Dweny esensi keduanya sangat jauh berbeda.

Melihat semangat Dweny, Mina teringat saat ia pertama kali menanyakan perihal matanya. 

"Demi Tuhan, itu hanya hologram yang ditanam di kontak lensa kalian! Kita bahkan tak bisa menyentuh mereka! Aku yakin kalau kau pernah melihat wujud asli kupu-kupu saat ini ... kau tak akan bisa lagi melihat mereka dengan tatapan yang sama dari matamu itu!"

Mina memandang kepergian Dweny dengan senyuman hangat, sehangat kopi tanpa gula di genggamannya, "Padahal biasanya coklat di cangkirnya tak bersisa setetes pun."

~

Dweny bergegas menuju lantai teratas rumah sakit dengan semangat. Beberapa sapaan yang menghampiri bahkan dibalas lebih antusias dibanding biasanya, membuat sebagian dari mereka menatap heran. Degup jantung terus berdentam kuat dan betis yang terasa kebas baru terasa saat angin dingin menabrak tubuh kecilnya, membuat jas labnya terkepak-kepak nyaring.

Dokter muda itu menelusuri seluruh objek yang dapat tertangkap indera penglihatannya. Bangunan-bangunan yang menjulang tinggi hingga menembus awan sampai lubang bekas galian jauh ke dalam inti bumi. Namun, pada 14 tahun masa hidupnya, Dweny tetap memandang sedih pada kegelapan yang setia menyelimuti bumi.

Puncak kejayaan teknologi manusia adalah saat ditemukannya mesin waktu di abad ke-23. Ditambah penemuan lainnya yang makin pesat membuat manusia mengganti hampir semua instrumen alam menjadi buatan mereka. Seakan merekalah penguasa yang tidak butuh apapun dari bumi. 

Seperti hukum alam, segalanya yang telah mencapai puncak akan mengalami kemunduran. Hal itu terjadi seabad kemudian. Kini giliran bumi yang menghukum manusia. 

Terjadi distorsi waktu hingga berakibat pada ketidakstabilan bumi. Spesies tumbuhan maupun hewan banyak yang punah, kemudian diikuti kuantitas air yang menyusut tajam. Atmosfer terkoyak dan tak bisa disembuhkan. 

Sontak rantai makanan hancur-hancuran. Jumlah manusia ikut berkurang drastis karena tak sanggup beradaptasi dengan kondisi bumi. Sebagian lagi bahkan mencari hunian baru di luar angkasa sana.

Sayang beribu sayang, tak ada yang bisa bertahan sekuat planet ini. Tak butuh waktu lama, mereka kembali.

Hingga saat ini, manusia sangat membutuhkan sokongan teknologi untuk membantunya hidup. Fisik manusia melemah hingga hal dasar seperti menghabiskan waktu di bawah sinar mentari menjadi suatu kemustahilan. Hingga melahirkan pun tak ada yang berani melakukannya secara normal sebab hanya akan membawa kematian. Manusia hanya bisa bergeming di balik teknologinya yang sedikit membawa rasa aman.

Di sinilah peran Utopia menjadi sangat krusial karena mampu meningkatkan masa hidup meski usia manusia tak pernah melewati angka 40 tahun lagi. Pun evolusi yang terjadi pada manusia tak lagi bisa kembali seperti abad-abad sebelumnya.

Dweny pernah memberitahu Mina jika manusia mampu bertahan karena delusi dari kontak lensa dan sedikit belas kasihan bumi. Namun, hanya dibalas tertawaan.

Perasaan gugup membanjiri benak Dweny. Setelah bertahun-tahun penantiannya, akhirnya ia bisa melihat abad terdahulu yang berhasil diabadikan. Perlahan Dweny memasang kontak lensanya dengan jari gemetar.

Ketika lensa buatan miliknya terpasang sempurna, saat itu juga air mata Dweny mengalir deras. Ia bisa melihat anak-anak yang berlarian di taman dengan bebas. Seekor anjing menggosok puncak kepalanya agar terus dibelai tuannya. Sepasang kekasih yang asyik bersenda gurau. Dan berbagai aktivitas yang tak bisa Dweny dapatkan di masa ini. Semua terlihat nyata, berbeda dengan Utopia.

Dweny berputar-putar dalam khayalnya, seakan ikut merasakan kebahagiaan orang-orang itu dan bercampur kepedihan dari hatinya.

"Maaf ... maaf bumi, tak seharusnya kami menyia-nyiakan pemberianmu."

Dan dalam beberapa saat, lamat-lamat tubuh Dweny terkikis gas kimia. Berubah menjadi butiran-butiran debu lalu diterbangkan angin.

Sama seperti akhir hidup yang dipilihnya ketika melepas Utopia dari matanya. Melihat kehidupan di abad sebelumnya, jauh dari perlindungan teknologi yang selama ini menyokong tubuhnya. Merasakan kebebasan bersama embusan angin malam.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)