Masukan nama pengguna
Gang kecil di Kampung Jembar gempar. Sahili, yang baru dua minggu pulang dinas dari Jakarta tiba-tiba keluar rumah tanpa busana. Pagi itu kampung sedang ramai-ramainya. Orang-orang sedang bersiap memulai aktivitas pergi bekerja atau ke pasar. Ibu-ibu berteriak histeris melihat aurat pria dewasa bertubuh atletis itu melenggang bebas di sepanjang gang. Sementara bapak-bapaknya buru-buru menutup mata istri mereka yang berteriak melihat pemandangan tidak biasa di pagi itu. Meskipun ada juga yang mencuri-curi pandang mengintip genit sehingga suami mereka begitu jengkel dan segera menyeret istrinya masuk ke rumah.
Sahili bergeming dan hanya tersenyum melihat situasi kampung begitu ramai. Ia berusaha tidak menghiraukan meskipun aksinya pagi itu menjadi tontonan warga. Mulutnya komat-kamit, giginya tidak berhenti berbunyi mengeluarkan bunyi gemerutuk yang tidak bisa dikontrol. Sementara tangan kanannya memegang gayung, tangan kirinya bergoyang-goyang tidak karuan seperti seorang penderita parkinson.
“Pak Sahili gila. Pak Sahili gila.”
Anak-anak kecil berlarian sambil berteriak menyebutnya gila. Tapi, Sahili cuek saja sama sekali tidak terpengaruh. Anak kecil tahu apa soal dunia orang dewasa. Lagi-lagi ia hanya tersenyum sambil terus berjalan dengan pandangan kosong menerawang sepanjang jalan gang.
Sampai kemudian seorang bernama Zainal melompat dari teras rumah dengan membawa kain sarung Atlas. Sigap ia segera menutup aurat Sahili yang sudah terlanjur dilihat banyak orang. Sahili terjerembab, terkaget-kaget lalu menatap kosong mata Zainal kawan baiknya itu. Sampai beberapa menit kemudian Sahili lalu menangis sejadi-jadinya dalam pelukan kawannya itu.
***
Tidak butuh lama bagi orang-orang di Kampung Jembar untuk segera melupakan aksi Sahili yang menghebohkan itu. Banyak spekulasi beredar dalam berbagai forum ghibah ibu-ibu dan tetangga. Kesimpulan yang paling tidak bisa dibantah hanya satu kemungkinan; Sahili gila. Tapi, penyebabnya apa orang-orang masih mencari tahu. Sumi, istri Sahili dan juga keluarganya bungkam tidak ada yang buka suara. Sejak kejadian pagi itu mereka memilih menutup diri. Berusaha menjaga kontak dengan tetangga yang kepo dan mengorek-ngorek aib keluarga.
Sementara Sahili, tentara berbadan tegap itu kini memiliki aktivitas baru dalam kesehariannya. Pagi hari ia akan pergi keluar rumah berjalan menyusuri gang sepanjang kampung Jembar lalu ke jalan raya menuju jalan Cempaka, menyusuri Pasar Wetan Karlis, terus ke Yudanegara lalu ke jalan Tarumanagara. Ada juga yang pernah melihat Sahili di daerah Nyantong. Di sana ada markas tentara. Entah, apa yang Sahili cari di sana.
Sore harinya Sahili akan pulang lagi ke kampung Jembar kembali melalui jalur yang sama. Dari Tarumanagara ke Yudanegara, Pasar Wetan Karlis, Jalan Cempaka, lalu kembali ke Kampung Jembar. Begitu aktivitas rutinnya setiap hari. Warga kampung pun sudah mulai tahu kegiatan Sahili sehari-hari sejak kejadian menggemparkan itu. Mereka sudah mafhum. Meskipun pihak keluarga Sahili masih tetap bungkam.
Sampai di Gang Kampung Jembar Sahili tidak pernah langsung ke rumahnya. Ia selalu mampir ke rumah Zainal. Setiap sore, ia tahu Zainal suka duduk-duduk di teras rumah dengan anak bungsunya yang bernama Bari. Ia lantas ikut bergabung ikut duduk dan sekedar bercengkrama sambil menunggu azan magrib. Sahili merasa di kampung Jembar hanya Zainal yang bisa memahami kondisi dirinya. Sementara keluarganya dan warga kampung lain hanya mencemooh dan menertawakannya di belakang serta tidak segan-segan menyebutnya sakit jiwa.
***
“Sudah makan Li?“
Zainal yang menyadari kedatangan Sahili dari arah timur gang kampung Jembar mencoba menawarinya makan.
“Belum Nal.“
“Ya sudah makan dulu.“
Bari anak bungsu Zainal dengan sigap masuk ke rumah membawa sepiring nasi dan lauk sederhana sayur lodeh, ikan asin, dan tempe goreng. Seperti sudah dididik dan diajari oleh ayahnya, Bari sama sekali tidak menunjukan rasa takut kepada Sahili. Tidak seperti anak-anak kampung lain, Bari anak 7 tahun itu memperlakukan Sahili layaknya orang biasa yang bertamu ke rumah ayahnya.
Sahili makan dengan lahap seperti baru pertama bertemu nasi seharian. Ia tidak pernah mau memakai sendok. “Takut keluarga kamu jijik Nal,“ katanya suatu hari.
Ia selalu memilih makan menggunakan tangan. Zainal hanya tersenyum melihat Sahili makan seperti kerasukan. Sendok yang dibawakan Bari ia simpan di samping tempat duduknya. Sementara lima jari tangan kanannya mengaduk dan meraup nasi sayur loder dengan lahap.
“Pelan-pelan makannya, Li.“
“Lapar Nal.“
Zainal melirik ke arah Bari yang heran melihat cara Sahili makan. Bari langsung paham kode ayahnya. Segera dibawanya minum untuk Sahili yang mulai kewalahan menelan nasi di dada dan tenggorokannya.
“Ahhhhhh...Nuhun pisan Nal, Bar.”
Zainal dan Bari hanya mengangguk, lalu Bari membawa piring dan gelas kotor bekas Sahili masuk ke rumah.
***
“Kamu itu sebenarnya kenapa Li?“
Zainal mencoba membuka percakapan setelah sekian lama mencari waktu yang tepat. Meskipun orang-orang menyebut Sahili gila, sakit jiwa, sedeng, gesrek, tapi ia tidak peduli. Baginya Sahili tetap kawan baik yang telah lama berpisah setelah sekian puluh tahun mengabdi menjadi tentara.
“Saya sebenarnya tidak sakit jiwa, Nal. Saya sakit hati.”
Zainal mencoba tidak mengintrupsi. Membiarkan Sahili bercerita menurut versinya.
“Memang jiwa itu apa Nal? Jiwa ada dimana? Memangnya jiwa itu ada di hati?“
Zainal masih tertegun mencoba memahami obrolan kawannya itu. Sementara Sahili dengan tatapan kosong serta tangan kiri yang terus bergerak tidak terkontrol memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan mendalam yang sukar sekali ia jawab. Kali ini Zainal mencoba memposisikan dirinya sebagai pendengar saja, bukan lawan debat.
“Tapi, kenapa jiwa saya yang rusak Nal? Memangnya jiwa itu ada di hati? Bukannya jiwa itu ada di jantung? Atau di otak? Di mana sebenarnya jiwa itu bersemayam.“
Mendengar pertanyaan Sahili yang bertubi-tubi, Zainal lagi-lagi hanya tertegun. Ia sama sekali tidak tahu kejadian apa yang baru saja menimpa kawannya itu.
“Kamu inget henteu Nal[1] percakapan kita waktu Operasi Pagar Betis[2] penumpasan DI/TII di Gunung Galunggung saat kita muda dulu?“
“Setelah Kartosoewirjo kabur ke Bandung?“
“Iya.“
“Terus?“
“Waktu itu urang ngajak maneh[3] masuk tentara, tapi maneh nolak dengan alasan harus menjaga dan membiayai adik-adik maneh[4] yang masih kecil.“
Zainal hanya diam menyimak, membiarkan Sahili bercerita dengan mata menerawang ke langit yang tidak berujung.
“Dulu saya menganggap kamu bodo[5]. Karena lebih memilih menginjak mimpi besarmu demi adik-adikmu. Tapi, melihat keluarga kamu bagja[6] seperti sekarang, saya iri sama kamu Nal.“
Zainal lagi-lagi hanya tersenyum. Sejenak mengenang momen-momen saat masih muda bersama Sahili ketika menjadi relawan; membantu TNI menangkap gerombolan anggota DI/TII di hutan-hutan dan Gunung Galunggung ketika Tasikmalaya menjadi basis pengikut Kartosoewirjo setelah kecewa atas keluarnya keputusan Perjanjian Renville
“Jadi kangen nasi liwet ya Li; ikan asin; sambel; nyanyi lagu Cianjuran.“
Sahili pun ikut tersenyum bahagia dalam nostalgia.
“Kamu juga seharusnya merasa bahagia juga, Li. Sudah jadi tentara. Sudah sukses.” Kali ini Zainal mencoba mengimbangi obrolan kawannya itu sambil menyodorkan sebatang Djarum Cokelat, lalu membakarnya setelah rokok itu menempel di mulut Sahili.
“Bagja timana, Nal?”[7]
Sahili hanya terkekeh mengepulkan asap rokok tipis dari mulut dan hidungnya, dengan mata yang masih menatap kosong ke atas langit.
***
Seminggu setelah Jakarta membara dengan demontrasi, kerusuhan, dan penjarahan Sahili meminta ijin pulang ke Tasikmalaya untuk menemui keluarga. Itu adalah minggu yang sangat melelahkan dalam hidupnya. Ia sengaja tidak memberitahu Sumi karena ingin memberikan kejutan kepada istrinya itu.
Sampai di rumah dibukanya sepatu pantopel hitam sejak ia menginjak teras rumah. Mengendap-ngendap ia berusaha berjalan jinjit agar kedatangannya tidak ketahuan oleh Sumi. Sebuah kalung emas seberat 5 gram sengaja ia sembunyikan di saku bajunya. Ia juga sengaja tidak memakai baju seragam agar tetangganya tidak ribut melihat kedatangannya. Di jalan sebelum menuju rumah ia sengaja mampir ke Toko Mas Kenanga di Jalan Cihideung. Tapi, suasana rumahnya siang itu begitu sepi. Sahili sama sekali tidak melihat tanda-tanda ada orang di rumah.
“Mungkin Sumi sedang ke warung,” pikirnya.
Mungkin juga karena Sahili tidak melihat ada sendal di depan rumah. Tapi, anehnya pintu belakang dapur rumahnya terlihat terbuka. Sahili geleng-geleng kepala. Ceroboh sekali istrinya itu. Pergi ke warung tanpa menutup pintu rumah belakang. "Bagaimana kalau ada maling masuk,“ pikirnya. Sahili akhirnya memutuskan masuk ke rumah melalui pintu belakang.
Di simpannya tas ransel di meja dapur. Ia lantas mengambil air teh yang terasa masih hangat dari teko almunium lalu menenggaknya hingga tandas. Perjalanan Jakarta-Tasikmalaya dengan bis kota membuat badannya tidak enak. Sepertinya ia masuk angin. Tidur di kamar sejenak sambil menunggu Sumi pulang sepertinya adalah ide bagus untuk mengganti rencana kejutannya yang gagal.
“Sumi pasti kaget pulang dari warung, menemukan ada seorang pria tidur di kamarnya.”
Sahili tersenyum lebar berbicara sendirian. Ia merasa idenya itu adalah ide briliant. Belum sampai di pintu kamar, kira-kira sekitar lima langkah jaraknya Sahili mendengar suara ranjang berderit dari kamarnya. Degup di jantung Sahili tiba-tiba memompa darah dengan kencang ke otaknya. Ia mendengar suara seorang laki-laki berbicara. Dikeluarkannya sebilah army knife dari saku belakang celananya.
“Berani sekali maling masuk ke rumahnya di siang bolong begini.“
Sahili tidak habis pikir. Namun, suara orang yang ia dengar berikutnya membuat kakinya gemetar, dadanya bergemuruh, dan jantungnya bergetar hebat. Ia merasakan darah di otaknya terasa mendidih seperti lahar magma gunung berapi. Sahili menahan diri; menahan tangis; menahan murka; menahan amarah dan menahan semua kemungkinan terburuk yang mungkin bisa ia lakukan saat itu.
Sahili lalu memilih menyelinap ke dalam lemari perabotan dari kayu jati yang berdiri kokoh di dekat kamarnya dengan menahan tangis yang membuat dadanya sesak tidak karuan. Dari balik lemari, ia bisa melihat pria asing itu keluar dari kamar istrinya lalu menyelinap pergi keluar melalui pintu dapur.
Sebelum ketahuan, Sahili memilih ikut menyelinap menyusl pria asing itu keluar rumah. Lalu, berlari sekuat tenaga untuk membuang amarahnya yang tidak mungkin bisa ia tahan lebih lama lagi seandainya ia tetap berdiam di lemari itu saat bertemu dengan Sumi. Ia tidak bisa membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa ia lakukan seandainya siang itu ia tidak memutuskan pergi dari rumahnya.
***
Azan Magrib sudah berkumandang saat Sahili kembali. Tapi, ia tidak berani masuk ke rumah. Ia hanya berdiri mematung di depan teras dengan pikiran yang melayang ke sana ke kemari setelah kejadian menyakitkan yang dilihatnya siang tadi.
“Kang Sahili pulang kenapa tidak memberi kabar?“
Sumi begitu sumringah melihat suaminya berdiri di depan teras rumah. Sahili berpura-pura lelah akibat perjalanan. Diciumnya kening istrinya itu meski dengan perasaan yang masih sakit dan masih terbakar amarah sejak tadi. Ia berusaha menyembunyikannya. Kalung emas yang dibelinya di Cihideung rupanya tidak jadi ia berikan. Saat meluapkan amarah di depan sungai Cikalang tidak jauh dari rumah tinggalnya, ia memutuskan melempar kalung itu ke dasar sungai yang sedang deras. Sumi pun heran, biasanya suaminya itu selalu membawa hadiah kalau pulang dinas, tapi kali ini seperti tidak membawa hadiah apa pun. Oleh-oleh pun tidak ada.
Hari demi hari di rumah dijalani Sahili dengan gundah dan gelisah. Ia sangat mencintai Sumi. Tapi sekarang tidak lagi. Malahan ia kini merasa jijik. Tidak mudah bagi seorang tentara seperti dirinya yang selalu berpindah-pindah dinas dari satu daerah ke daerah lain untuk bisa setia kepada satu istri. Tapi, demi Sumi kesetiaannya itu ia buktikan dengan tidak melakukan perbuatan macam-macam meskipun jauh dari keluarga ketika harus dinas ke Maluku, Sumatera, Kalimantan, dan Jakarta. Melihat kelakukan Sumi dan pria asing di rumahnya siang itu, Sahili seperti ditusuk ribuan jarum di seluruh tubuhnya; dihempaskan ke dasar jurang kemalangan paling terdalam; diinjak-injak habis harga diri dan martabat kesucian cinta rumah tangga yang selama ini ia jaga sekuat tenaga.
Sejak kejadian siang itu Sahili pun menjadi orang yang sangat pendiam dan tidak mau keluar rumah sama sekali. Sumi menduga, suaminya itu mengalami kelelahan menjalani tugas mengamankan kekacauan di Jakarta yang begitu parah. Peristiwa tertembaknya mahasiswa Trisakti saat demontrasi berubah menjadi rentetan tragedi memilukan di seantero ibu kota dan juga daerah-daerah lain di Indonesia. Sumi pun tidak pernah mempertanyakan sikap Sahili yang menjadi lebih pendiam dan banyak berdiam diri di kamar.
***
“Kang Lili kok jarang mampir ke rumah kita lagi, pak?”
Pertanyaan Bari tiba-tiba menyadarkan Zainal akan keberadaan Sahili yang dalam beberapa hari ini tidak pernah terlihat di kampungnya. Ia juga tidak pernah mampir lagi sore-sore menemuinya dan juga Bari untuk berbincang-bincang santai soal kehidupan.
Kabar yang berhembus selanjutnya, Sahili dikabarkan telah sembuh setelah dibawa oleh Sumi dan keluarganya ke Rumah Sakit Jiwa Cisarua di Bandung. Setelah menjalani terapi, Sahili dinyatakan membaik kondisinya oleh dokter meskipun masih harus minum obat dan kontrol rawat jalan secara rutin. Namun, ada rumor lain di Gang Kampung Jembar yang beredar cepat dari mulut tetangga yang satu ke tetangga yang lain sampai akhirnya sampai juga di telinga Zainal.
Kabarnya sebelum Sahili dibawa ke rumah sakit jiwa, di rumahnya Sumi dan kedua mertuanya memperlakukan Sahili dengan tidak manusiawi. Mereka memberi makan Sahili sehari-hari layaknya binatang. Kamar Sahili pun tidak pernah dibersihkan. Kalau malam hari, kaki Sahili dipasung dengan dua batang kayu besar yang diikat rantai lalu dipasang gembok berukuran besar dengan alasan untuk keamanan karena Sahili kerap mengamuk di malam hari. Sumi juga tidak segan menghina suaminya itu dengan kasar dan menyebutnya laki-laki sakit jiwa tidak berguna.
Keputusan membawa Sahili ke RS Jiwa Cisarua pun disinyalir sebagai upaya Sumi untuk membuang Sahili selamanya dari kehidupan Sumi dan keluarganya. Sehingga ketika Sahili dinyatakan membaik kondisinya setelah menjalani perawatan, Sumi dan mertuanya menjadi orang yang paling tidak senang dengan berita itu.
“Kamu jangan menyebar gosip, Ceu?“ tegur Zainal kepada Ceu Yati tetangga yang juga masih punya hubungan darah jauh dengan Sumi.
“Ini mah bukan gosip Kang Zainal. Ini mah fakta.“
Ceu Yati dengan berapi-api meyakinkan Zainal kalau ceritanya itu bisa dipercaya 100%. Tapi, mengetahui Ceu Yati dan Sumi memiliki riwayat yang tidak bagus dan tidak pernah akur satu sama lain, Zainal urung untuk langsung percaya dengan apa yang dilakukan Sumi dan mertuanya kepada Sahili kawan baiknya. Zainal sepertinya lebih fokus pada kabar kesembuhan Sahili daripada gosip tentang perilaku buruk Sumi dan mertuanya kepada Sahili. Zainal sangat mengharapkan Sahili kawan baiknya itu bisa kembali menjadi Sahili yang dahulu kala lagi.
***
21 Mei 1998. Presiden Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dalam pidato di televisi setelah sepuluh hari sebelumnya Jakarta mengalami prahara yang memilukan seluruh negeri. Namun, di Kampung Jembar ada peristiwa lain yang lebih menggemparkan daripada pidato Presiden Orde Baru yang telah memimpin Indonesia selama hampir 32 tahun itu. Warga berbondong-bondong pergi menuju rumah Sahili. Sejak shubuh tetangga paling dekat dengan rumah Sahili mendengar ada pertengkaran hebat dan juga teriakan histeris meminta tolong yang menakutkan. Tapi, setelah itu keadaan rumah Sahili menjadi sunyi membuat tetangganya itu bertanya-tanya apa yang baru saja terjadi di rumah mantan tentara itu.
Setelah tetangganya itu melapor kepada RT-RW karena merasa curiga dengan kejadian itu, warga akhirnya memutuskan mendatangi rumah Sahili pagi itu juga termasuk Zainal. Di teras rumah mereka menemukan Sahili sedang duduk tertegun dengan seringai di wajah yang aneh dan juga tatapan mata yang kosong serta tangan yang masih memegang sebilah parang yang masih basah, berlumuran darah.
Dari arah timur Gang Kampung Jembar seorang petugas linmas berteriak menambah heboh kejadian mengerikan di pagi hari itu.
“Ada mayat laki-laki di Sungai Cikalang. Ada mayat laki-laki di Sungai Cikalang.“
Sementara Sahili dengan mulut yang masih komat-kamit dan tatapan kosong ke atas langit hanya terus menyeringai dengan cara yang sangat menakutkan.***
Footnote:
[1] Kamu inget henteu, Nal? = Kamu ingat tidak, Nal?
[2] Operasi Pagar Betis = Operasi Pasukan Garnisun Berantas Tentara Islam
[3] Urang ngajak maneh = Saya ngajak kamu
[4] Maneh = kamu
[5] Bodo = Bodoh
[6] Bagja = Bahagia
[7] Bagja timana? = Bahagia darimana?