Masukan nama pengguna
Parmidi mengayuh becaknya mengantar seorang penumpang. Dalam lajunya mengayuh becak, terselip sebuah harapan mulia untuk keluarganya. Ada sebuah keluarga yang harus tercukupi kebutuhannya, dan seorang anak perempuan yang menginjak semester empat di bangku perkuliahan. Biaya yang tak murah bagi Parmidi untuk bisa mengantarkan anaknya menjadi seorang sarjana di salah satu kampus ternama di Kota.
“Terimakasih ya, Pak Par” ucap penumpang yang turun, lalu memberikan upah.
“Sama-sama, Bu” jawab Parmidi ramah.
Selesai mengantar penumpang, Parmidi mengayuh becaknya pulang. Cahaya matahari dari barat, selalu mengiringi lelahnya kedua kaki Parmidi mengayuh becaknya pulang ke rumah. Tanpa melepas alas kaki, kaki-kaki yang mulai renta itu, kemudian melangkah masuk ke dalam rumah berdinding kayu, dan berlantai tanah tanpa tertutup marmer.
“Bapak pulang, Bu” kata Parmidi, lalu duduk di ruang tengah.
“Iya, Pak” jawab sang istri membawakan secangkir teh hangat.
“Laku semua sayurannya hari ini, Bu?”
“Syukur Pak, masih sisa sedikit”
“Syukurlah” Parmidi lalu meminum tehnya.
Sang istri---Martini, setidaknya berusaha membantu meringankan beban suaminya dengan berdagang sayur di pasar. Setiap hari keduanya mengais rezeki ketika pagi masih buta. Sayur-sayuran segar yang Martini dapat dari tengkulak kampung sebelah, dia jual lagi di pasar desanya. Sedikit saja Martini terlambat, sayur-sayuran dari tengkulak itu pasti sudah ludes terjual, dan Martini tidak kebagian apa pun untuk bisa dia jual. Setiap hari Parmidi dengan sukarela mengantar istrinya ke pasar untuk berdagang, dan di pasar desa itu pula, Parmidi mangkal menunggu seorang penumpang. Sebelum tengah hari, biasanya Martini sudah pulang, sedangkan Parmidi masih mengayuh becaknya hingga menjelang sore.
Pasar desa Sadangkewilon. Itulah tempat Parmidi dan Martini mempertaruhkan hidupnya demi sebuah kebutuhan hidup. Sebuah pasar di desa kecil yang jauh dari kota besar tempat anaknya---Syarma, menempuh pendidikan strata satu.
“Liburan semester ini, Syarma pulang tidak, Bu?” tanya Parmidi.
“Syarma belum memberi kabar pada Ibu, Pak. Semoga saja dia pulang kali ini” jawab Martini penuh harapan.
“Iya, semoga saja dia masih ingat orangtuanya di sini” kata Parmidi menghela napas.
“Bapak jangan bilang seperti itu, dia pasti ingat dengan kita” ujar Martini meredam kegundahan suaminya.
“Liburan semester lalu, Syarma tidak pulang dengan alasan kalau pekerjaannya tidak bisa di tinggal. Entah alasan apa lagi yang nantiya dia berikan?” kata Parmidi.
“Pak, sudahlah. Kita maklumi saja anak kita. Lagi pula dia bekerja sambil kuliah juga untuk memenuhi kebutuhannya sendiri” ujar Martini.
“Aku Bapaknya, dan masih mampu mencukupi kebutuhan hidupnya di kota, Bu. Bapak khawatir kalau Syarma tidak sungguh dengan kuliahnya, dan malah justru termakan gaya hidup mewah di kota. Karena itu, dia bekerja untuk memenuhi gengsinya” sanggah Parmidi.
“Kita doakan saja yang terbaik untuk Syarma, Pak” kata Martini meredam gundah Parmidi.
“Apa susahnya Sayrma pulang dan menghabiskan waktu bersama orangtuanya di kampung, Bu? Sudah lama dia jarang pulang. Dan begitu dia pulang, itu pun hanya satu atau dua hari, lalu dia kembali lagi ke kota,”
“Lebih baik Bapak istirahat, tidak usah berpikir yang macam-macam. Nanti Ibu coba telepon Syarma” ujar Martini.
***
Pulang. Anak semata wayang Parmidi dan Martini bertandang ke rumah. Betapa bahagianya orangtua bertemu anaknya setelah sekian lama tak bertemu. Raut bungah berdiam di wajah Martini ketika melihat anaknya datang.
“Kenapa kamu tidak bilang kalau hari ini kamu pulang, Nak?”
“Ada keperluan penting Buk, makanya Syarma pulang” kata Syarma kemudian mencium punggung tangan Ibunya.
“Duduk dulu, istirahat, Nak. Tunggu sampai Bapak pulang. Kemarin waktu Ibuk telepon, kamu bilang tidak bisa pulang?” kata Martini.
“Aku sempatkan pulang, Buk. Soalnya ada berkas yang aku perlukan di rumah” jawab Syarma.
Parmidi tiba di rumah. Dirinya tidak menyangka jika hari itu Syarma pulang. Matanya yang berbinar tidak bisa berbohong, pengayuh becak itu senang melihat anaknya yang kini sudah perawan menginjakkan kaki di rumah.
“Akhirnya kamu pulang, Syar” ucap Parmidi.
“Iya, Pak” balas Syarma.
Belum sempat Parmidi membersihkan diri, dirinya langsung duduk di sebelah putrinya, melepas kerinduan seorang Bapak terhadap anaknya.
“Kamu sudah tidak ada kesibukan lagi ‘kan di kota?” tanya Parmidi.
“Tidak, Pak. Tapi ada keperluan yang harus Syarma selesaikan. Soal banding uang kuliah, Syarma harus melengkapi berkas yang dibutuhkan untuk bisa dapat keringanan biaya” kata Syarma.
“Bukannya semester pertama dulu sudah pernah diurus, ya?” tanya Parmidi.
“Sekarang ada aturan baru, Pak. Tiap pergantian semester, mahasiswa yang mau mengajukan keringanan harus mengumpulkan ulang berkas-berkasnya, dan besok terakhir pengumpulan berkasnya.”
“Memang berkas apa lagi yang dibutuhkan?” tanya Parmidi
“Surat keterangan tidak mampu dari desa, dan juga harus melengkapi dokumentasi foto rumah” jawab Syarma.
“Besok Bapak mintakan ke balaidesa, sekarang lebih baik kamu istirahat dulu” kata Parmidi.
Keesokan hari Parmidi pergi ke balaidesa. Tak perlu waktu lama dirinya menunggu proses pembuatan surat keterangan tidak mampu di kantor kelurahan. Dia lantas pulang, kemudian memberikan surat itu kepada Syarma. Syarma pun juga telah selesai mengambil gambar di beberapa bagian rumahnya. Dan langkah terakhir, tinggal pengumpulan berkas supaya Syarma bisa mendapatkan keringanan biaya kuliah.
Biaya kuliah yang terlampau mahal, mengharuskan Parmidi meminta Syarma untuk mengikuti program pengajuan keringanan biaya dari awal semester, supaya Syarma tetap bisa melanjutkan pendidikannya. Jika tidak begitu, terlalu berat bagi Parmidi yang hanya bekerja sebagai pengayuh becak untuk membiayai pendidikan Syarma. Belum lagi biaya kehidupan anaknya itu yang tinggal di kota, juga tidak murah.
“Hari ini kamu langsung balik lagi ke kota, Syar?”
“Tidak, Pak. Pengumpulan berkasnya bisa lewat online kok. Tinggal aku foto berkasnya dan diupload” jawab Syarma sembari memotret satu persatu berkasnya.
“Lalu bagaimana soal pekerjaanmu di sana?” tanya Parmidi.
“Aku ambil cuti, Pak. Sebenarnya tidak boleh, tapi aku sedang tidak ingin bekerja selama liburan ini” jawab Syarma.
Parmidi begitu senang mendengar perkataan putrinya. Itu berarti, liburan semester kali ini Syarma akan menghabiskan waktunya di rumah. Hari itu, Parmidi sampai rela tidak mengayuh becaknya demi seharian bisa bersama Syarma.
Tengah hari. Martini pulang usai berdagang dari pasar. Terlihat dia membawa beberapa belanjaan di tangannya. Bukan sisa dagangan sayurannya yang tidak laku, melainkan dua kantong plastik berisi daging ayam potong dan ikan. Dua ikat daun kangkung dagangannya, juga sengaja dia sisihkan untuk masakan kudapan makan siang hari itu.
Martini sengaja membuat masakan istimewa untuk disantap bersama suami dan anaknya. Begitu kiranya wanita paruh baya itu meluapkan rasa bahagianya. Namun, selama Martini sibuk di dapur, Syarma sama sekali tidak turut campur. Tidak seperti dahulunya, Syarma yang suka sekali membantu Ibunya ketika meracik berbagai bumbu masakan di dapur.
Makanan siap disajikan, Martini membawa hidangan masakannya ke ruang tengah. Beralaskan tikar, satu keluarga kecil itu duduk lesehan bersama, menikmati kudapan makan siang. Satu bakul nasi beserta lauk pauknya; ikan nila goreng, tumis kangkung, dan ayam goreng. Tak lupa sambal terasi sebagai pelengkap yang memanjakan lidah ketika menyantap masakan Martini.
Kebahagiaan sederhana ketika bisa berkumpul dan makan bersama satu keluarga. Syarma menuang es teh manis kedalam gelasnya selesai mengisi perut. Belum selesai Parmidi dan Martini makan, Suasana harmonis di rumah itu mendadak terpecah.
“Syarma mau liburan ke rumah tante Suci” ujar Syarma memecah suasana menjadi hening sesaat.
Gadis itu lagi-lagi enggan berniat menghabiskan liburannya di rumah. Sebelum libur semester tiba, Syarma sempat berkabar dengan tante Suci, jika dirinya hendak berlibur di rumah adik dari Ibunya itu yang bertempat tinggal di Jakarta.
“Tidak bisakah sekali ini saja kamu di rumah, Syar?” tanya Martini halus.
“Buk, aku sudah janji sama tante Suci mau ke Jakarta!” kukuh Syarma.
“Tidak boleh!. Kamu tidak kasihan dengan Ibumu? Sudah jarang sekali kamu di rumah, Syar. Bapak dan Ibu cuma ingin bisa lebih lama bersama anaknya. Apa kamu tidak mengerti? Lagi pula untuk apa kamu ke Jakarta?” kata Parmidi tegas.
“Pak, aku hanya ingin sedikit menenangkan pikiran dari jenuhnya perkuliahan dan pekerjaanku. Aku ingin jalan-jalan dan menghabiskan masa liburan di rumah tante Suci”
“Jadi itu alasanmu mengambil cuti dari pekerjaan? Kamu bisa meluangkan waktu untuk dirimu sendiri, sampai kamu rela cuti dari pekerjaanmu. Tapi kenapa kamu tidak bisa meluangkan waktu untuk Bapak dan Ibumu?” ucap Parmidi menaruh kecewa pada Syarma.
“Syar, Ibu mohon, sekali ini saja kamu di rumah, ya” kata Martini memohon.
“Besok Syarma berangkat, Bu. Syarma sudah terlanjur memesan tiket bus. Lagi pula cuma dua minggu Syarma di sana, tidak lama. Setelah itu Syarma pulang ke rumah. Masih ada sisa waktu libur satu setengah bulan lagi ‘kan, buat Syarma bisa di rumah lagi?”
“Kalau kamu tetap ingin pergi, Bapak tidak bisa melarang. Tapi tidak banyak yang bisa Bapak berikan untuk uang sakumu selama di sana” kata Parmidi.
“Tidak usah, Pak. Tante Suci sudah bilang ke suaminya, dan dia bilang kalau Syarma tidak perlu bawa banyak bekal dari rumah. Tiket bus, dan semua kebutuhan Syarma selama di sana, sudah ditanggung om Edi” jelas Syarma meyakinkan.
Parmidi hanya diam memandangi anaknya. Dia lalu meminum sedikit minumannya, sekadar membasahi tenggorokan yang kering, sebab beradu pendapat untuk hal yang tidak bisa dia menangkan. Lelaki itu kemudian beranjak meninggalkan ruang tengah menuju halaman belakang rumah. Satu batang rokok dia sulut guna mengurangi kekacauan di pikirannya.
“Bahkan sebagai seorang Bapak, aku pun harus kalah untuk mendapatkan waktu kebersamaan dengan anakku sendiri. Membayar biaya kuliah anakku saja, aku harus memintanya mengajukan keringannan. Bahkan memberi uang saku pun, aku harus kalah dengan adik iparku. Maafkan Bapak, Syar. Kamu yang sekarang sudah tumbuh dewasa, dan Bapak masih belum bisa mencukupi kebutuhanmu” ungkapan kepedihan hati Parmidi.
Parmidi seakan tertampar kenyataan. Selama ini, dia berusaha susah payah membahagiakan anaknya, tetapi yang dia lakukan seolah tidak cukup untuk membahagiakan Syarma. Dia merasa seperti membawa kesengsaraan bagi kehidupan keluarganya. Menyeret Martini dan Syarma ke dalam kubangan kemiskinan. Berbeda dengan iparnya---Suci, yang beruntung menikah dengan Edi, seorang pengusaha kaya berkecukupan. Mungkin wajar jika Syarma jenuh dengan kondisi serba kekurangan di rumah, dan memilih merasakan kehidupan yang serba berkecukupan.
***
Dua minggu sudah Syarma di Jakarta. Selama itu, Parmidi harap-harap cemas menanti kepulangan anaknya ke rumah. Parmidi yang sedang mencuci becaknya, tiba-tiba di hampiri oleh istrinya. Sebuah telepon dari Syarma, disodorkan oleh Martini kepada Parmidi.
“Pak, Syarma tidak jadi pulang hari ini. Om Edi bilang, lebih baik Syarma di sini sampai menjelang perkuliahan masuk, dan om Edi janji mau membelikan Syarma handpone keluaran terbaru, jika Syarma tetap di sini sampai bulan depan” jelas Syarma dari telepon.
“Kamu janji sama Bapak, kalau cuma dua minggu kamu di sana, Syar”
“Iya, Syarma tahu, Pak. Tapi handphone Syarma yang lama sudah agak rusak, dan Syarma butuh handphone baru. Tidak mungkin Bapak yang membelikan handphone baru mahal buat Syarma, ‘kan? Bapak tidak usah khawatir, Syarma di sini baik-baik saja kok. Malahan sering diajak jalan-jalan, menginap di villa, makan enak, dan pergi ke tempat-tempat mewah, sama om Edi dan tante Suci. Syarma betah di sini, Pak. Sudah dulu, ya. Besok Syarma kabari lagi” kata Syarma lalu menutup telepon.
Kecewa. Wajah Parmidi muram ketika mengembalikan ponsel kepada Martini.
“Syarma tidak jadi pulang, Bu” keluh Parmidi.
Mungkin kehidupan seperti itu yang Syarma inginkan. Bergelimang kemewahan, pergi jalan-jalan, bercengkerama di kafe sembari mengunggah foto di sosial media agar mendapat perhatian dari para followersnya. Seperti kebanyakan anak-anak muda di zaman sekarang, yang terkadang tidak selaras dengan kehidupan orangtuanya, yang terhimipit oleh kemiskinan. Hingga membayar biaya kuliah saja, harus disertai surat keterangan tidak mampu supaya mendapat keringanan biaya. Tentunya semua kehidupan yang Syarma inginkan, tak mampu dipenuhi oleh seorang bapak pengayuh becak seperti Parmidi.
***
Dua bulan berlalu. Syarma kembali dari liburannya. Dengan becaknya, Parmidi menjemput putri kesayangannya di terminal dan mengantarkannya pulang. Kedatangan Syarma di rumah, disambut oleh Martini. Telah siap pula se-ember air hangat untuk Syarma membersihkan diri. Wajah Syarma terlihat pucat selepas dia mandi. Martini lantas menyuruh Syarma beristirahat. Ibu satu anak itu berpikir mungkin anaknya kelelahan selepas dari perjalanan jauh.
Semakin malam, keadaan Syarma semakin memburuk. Gadis itu terlihat semakin pucat, dan mual setiap beberapa menit sekali. Khawatir dengan keadaan anaknya, Parmidi dan Martini bergegas membawa Syarma ke rumah sakit 24jam terdekat. Layaknya orangtua pada umumnya, sepasang suami istri itu, rela melakukan apa pun demi anaknya. Meski saat itu, mereka harus mengorbankan uang modal berdagang esok hari untuk pengobatan Syarma.
Begitu dokter selesai memeriksa keadaan Syarma, sebuah diagnosis keluar mengenai kondisi gadis perawan itu.
“Suami dari anak Ibu dan Bapak, tidak ikut ke sini?” Tanya dokter.
“Maksudnya, dok?” Tanya Parmidi kebingungan.
“Iya, anak Ibu dan Bapak sedang mengandung janin di rahimnya” ujar dokter.
Sebuah keluarga miskin yang harus menanggung satu lagi biaya hidup untuk calon anggota keluarga baru. Parmidi dan Martini tercengang mendengar perkataan dokter. Namun, ada hal yang lebih penting. Biaya rumah sakit, tentu tidaklah gratis dan harus segera dibayar. Selayaknya sebuah fasilitas jalan-jalan, menginap di sebuah villa, makan enak, dan sebuah handphone baru. Semua itu, tentu tidaklah gratis.
-Selesai-