Masukan nama pengguna
Salju berjatuhan seperti hujan berwarnakan putih yang menawan. Kilaunya bagai menggantikan matahari yang sedikit redup pagi ini. Aku yang belum terbiasa dengan negara ini pun dengan bodohnya semalam tidur mengenakan baju tipis. Meski sudah menggunakan penghangat, tapi tetap saja dingin. Rupanya aku sudah meremehkan suhu musim dingin di sini yang bahkan bisa mencapai minus.
Kukenakan sandalku yang tergeletak di lantai. Buru-buru kuganti piyama tipisku dengan baju dari wol yang hangat. Piyama ini selalu bekerja di negara asalku yang cukup panas, tapi tidak di kebekuan musim dingin yang tak pernah berbelas kasih. Hangat tapi masih dingin, perasaan yang sedikit aneh.
Tapi kepedulianku pada dingin itu seakan terhenti sejenak saat memandangi jendela kamar yang berembun. Kuhampiri jendela itu, kupandangi pemandangan yang samar-samar tampak. Kugeser kuncinya lalu kudorong terbuka. Kini, di mataku adalah sebuah pemandangan yang luar biasa. Hamparan putih menutupi jalan. Pohon-pohon yang tak lagi berdaun memiliki pesonanya sendiri. Tak ada burung yang biasa bernyanyi di pagi hari, tapi hembusan angin silir seperti menggantikan merdunya. Ketika aku mengedarkan pandangan, tertangkap olehku dua anak yang sedang bermain salju. Mereka terlihat sangat gembira meski masih sepagi ini. Aku jadi tertawa sendiri membayangkan mereka yang bangun pagi-pagi sekali mendesak orang tuanya agar diizinkan bermain keluar.
Kututup lagi jendela itu. Tapi pikiranku tetap tak bisa dilepaskan dari salju yang menawan. Kulangkahkan kakiku keluar kamar, kucari Ibu yang sedari tadi anehnya tidak terdengar suaranya membangunkanku.
"Ibu?" panggilku.
"Di sini, Nara!" Suaranya datang dari arah dapur.
Ketika kuhampiri dapur, aroma yang sangat enak menusuk hidungku. Aroma ini sangat khas, aroma masakan daging buatan Ibu. Kulongokkan kepalaku ke arah kompor. Benar saja, Ibu sedang memasak makanan favoritku. Tangannya sangat lihai menabur setiap bumbu seperti sudah tahu takarannya tanpa melihat resep. Dari baunya saja aku sudah bisa merasakannya di lidahku.
"Nara mau langsung makan?" tanya Ibu lembut. Diambilnya seonggok daging dengan sumpit. Tak lupa ia meniupnya sebelum menyodorkannya ke mulutku.
Sambil mengunyah, aku berkata, "Aku makan sebentar lagi, Bu."
"Apa? Tidak enak, ya?" Bibir Ibu langsung mengerucut.
"Ah, bukan begitu. Masakan Ibu mana pernah tidak enak," aku buru-buru menjelaskan dengan panik. Jangan sampai perasaan Ibu tersakiti. Ragu-ragu aku berkata, "Sebenarnya... aku mau main salju."
Ibu menaikkan alisnya. Di luar dugaanku, matanya berbinar. Dia terlihat senang.
"Kalau begitu, pakailah mantel, syal, topi dan sarung tangan. Jangan sampai kamu kedinginan. Ibu masih ada pekerjaan, jadi tidak bisa menemani pertemuan pertamamu dengan salju. Ki o tsukete ne," kata Ibu sambil tersenyum.
Mendapat restu Ibu, aku segera kembali ke kamar. Kupakai perlengkapan musim dingin yang baru dibeli minggu lalu. Ketika melihat tas belanja yang di atasnya tertera nama mall tempatku membeli, aku tersenyum sendirian. Sulit dipercaya, seminggu yang lalu aku masih di Indonesia, sekarang sudah ada di Jepang, negara impianku. Aku tidak akan melupakan tanah airku dengan berjuta kenangan yang akan selalu membekas, tapi aku juga berharap bisa membuat kenangan indah di sini.
'Dan mungkin...' Kupandangi salju di luar jendela. 'Kenangan indah pertama itu akan membekas di salju. Aku harap begitu.'
Setelah pamit sekali lagi pada Ibu, kubuka pintu yang menjadi pembatas rumah yang hangat ini dan dunia luar. Baru dibuka sedikit saja anginnya sudah menerpa jemari yang kugunakan untuk membuka pintu. Begitu dibuka sepenuhnya, angin itu menerpa wajahku. Tepat sekali sedang ada hembusan yang cukup kencang. Beberapa helai rambutku menari gemulai.
Jalan di depan pintu pun tertutup salju. Saat aku mengambil langkah pertama dan meninggalkannya, bisa kulihat terbentuk jejak sepatuku di sana. Konyol sekali memandangi jejak kaki satu-persatu, tapi harus kuakui ini menyenangkan.
Puas melangkah, aku berhenti sejenak. Kutengadahkan kepalaku ke langit yang terang tapi tak memancarkan cahaya. Kututup mataku, ingin memaksimalkan indra lainnya untuk menikmati suasana. Deru terdengar jelas sekali di telingaku. Jemariku di dalam sarung tangan bisa merasakan hembusan lembut yang bisa membuat beku. Aroma yang belum pernah kucium sebelumnya memasuki hidungku. Rasanya segar sekali.
Kubuka kembali mataku dan kuedarkan pandangan. Tampak dua anak yang kulihat tadi sedang bermain perang bola salju. Tampak seru sekali. Aku jadi ingin bermain bersama mereka. Tanpa sadar, jejakku sudah membekas jauh dari tempatku berdiri tadi.
"Permisi. Boleh aku ikut main?" tanyaku dengan bahasa Jepang yang kuharap benar. Aku baru mulai mempelajari bahasa Jepang tahun lalu, jadi belum terlalu fasih.
Kedua anak itu berhenti bermain dan serempak menoleh ke arahku. Aku yang pemalu pun sedikit gugup saat ditatap begitu.
"Mochiron, onee-san! Ayo masuk timku!" seru anak yang laki-laki dengan bersemangat.
"Aaaa, tidak bisa begitu, Riku! Kakak, kan, perempuan, jadi masuk timku!" bantah anak yang perempuan, tidak setuju.
"Kakak berada di sampingku sekarang, jadi dia di timku!"
"Timkuuu!"
Aku tertawa melihat pertengkaran dua anak yang imut itu. Pertengkaran yang murni dan indah.
"Jangan bertengkar. Kalian suit saja. Kakak akan masuk tim yang menang," saranku sambil tersenyum.
"Oke, siapa takut!" seru anak yang perempuan percaya diri.
Mereka bersiap dan langsung suit. Kertas melawan batu. Rupanya anak perempuan yang menang.
"Yattaaaaa! Aku menang!" serunya gembira.
"Yaaahhh, sayang sekali," keluh anak laki-laki yang bernama Riku dengan kecewa. Tapi dia segera kembali bersemangat. "Baiklah, aku akan mengalahkan kalian berdua!"
Perang bola salju pun dimulai. Mereka melempar bola salju dengan bersemangat sambil tertawa dan mengejek lawan jika kena. Aku menahan lemparanku agar tidak terlalu kuat supaya tidak menyakiti mereka. Sangat menyenangkan.
"Terima ini!"
Anak perempuan itu melempar dua bola salju besar ke kedua kaki temannya secara bersamaan. Riku kehilangan keseimbangannya dan terjatuh. Dia menertawakannya.
"Riku kalah!" seru si anak perempuan dengan senang. Dia menoleh ke arahku. "Onee-chan, kita menang!"
"Yaahh, aku kalah," kata Riku yang masih terduduk di salju. Dia tidak terlihat marah sama sekali. Malahan, senyumnya itu sangat tulus.
"Haha, iya." Aku tertawa bersama anak perempuan yang manis itu. "Oh, iya. Siapa namamu?"
"Namaku Ichigo," jawabnya dengan senyum seperti bunga yang sedang mekar.
"Ichigo... Stroberi..." gumamku tanpa sadar. Pipinya itu memang terlihat seperti akan keluar selai stroberi jika digigit.
Kami terus bermain, berlemparan bola-bola salju. Rasanya menyenangkan sekali. Musim dingin masih panjang dan aku sudah membayangkan main salju selama itu. Bukan hanya perang bola salju, kami juga membuat boneka salju dan berbaring di salju. Aku membuat bentuk seperti sayap kupu-kupu dengan tangan dan kakiku. Sedikit dingin, tapi menyenangkan. Memandangi langit yang mataharinya redup sambil berbaring di hamparan putih ini rasanya sangat ajaib. Aku merasa seperti sedang menghidupi mimpiku.
Tanpa sadar, mungkin sudah sekitar satu jam kami bermain tanpa kenal waktu. Aku pun baru menyadarinya saat perutku berbunyi minta diisi.
"Oh, iya! Dagingku!" seruku begitu mengingat masakan Ibu tadi pagi. Barulah aku menyadari aku belum makan. Sekarang aku ingin segera menyantap daging itu. Makanya aku langsung berdiri dan mengedarkan pandangan mencari kedua anak itu.
Ternyata Ichigo dan Riku juga sedang berbaring di salju tidak jauh dariku. Mereka mengobrol sambil tertawa, entah apa yang mereka bicarakan. Meski sedikit menyesal, aku menghampiri mereka.
"Ichigo, Riku. Kakak pulang dulu, ya," kataku pada mereka.
"Kakak mau pulang? Aaaa, jangan dulu, dong, Kak. Kita main lagi, ya?" pelas Ichigo.
"Kita bisa main lagi besok, kok," balasku sambil tersenyum. Musim dingin masih panjang. Salju ini akan sama setiap hari.
"Tidak bisa besok," keluh Riku.
"Apa? Kenapa?"
"Karena—"
"Ichigo! Riku!"
Aku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata seorang laki-laki. Dia mengenakan mantel cokelat yang terbuka, dengan pakaian wol di dalamnya. Wajahnya terlihat lembut. Sorot matanya hangat. Dan dia sedang berjalan menghampiri kami.
"Onii-chan!"
Ichigo dan Riku berlari ke arah laki-laki itu dan memeluknya. Imut sekali mereka hanya bisa memeluk kakinya karena tinggi mereka. Aku tertawa kecil sambil mengikuti mereka, mendekat kepada pria itu.
Pria itu tersenyum. Dia berlutut di hadapan mereka berdua dan menepuk kepala keduanya.
"Sudah, ya, mainnya. Kita harus pergi ke bandara," kata pria itu. Suaranya tenang, lembut, dan hangat. Jujur saja, hatiku sedikit tergelitik mendengarnya.
"Ichigo masih mau main sama Onee-chan," rengek Ichigo, cemberut.
"Onee-chan?"
Pria itu mendongak. Mungkin baru saat itulah dia benar-benar menyadari keberadaanku. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa, jadi aku hanya tersenyum manis.
Pria itu berdiri. Dia mendekatiku. Aku bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan. Rupanya ia mengulurkan tangannya.
"Arigatou. Ichigo dan Riku adalah adikku. Hari ini kami akan meninggalkan Jepang dan pesawatnya pergi sebentar lagi, jadi kami harus segera ke bandara. Apakah Anda bermain dengan mereka tadi?"
Aku yang pemalu ini tidak tahu harus bagaimana. Aku mengulurkan kedua tanganku untuk mendekap tangannya di antara keduanya. Kuberikan senyum lagi. Jujur saja, aku menunda menjawab sebentar supaya bisa fokus menatap wajahnya sejenak. Bulu matanya yang panjang memayungi mata hitamnya yang menyorotkan kelembutan. Pipinya sedikit merona. Bibirnya merah seperti darah. Ada tahi lalat kecil di bawah mata kanannya.
"Namaku Nara. Ichigo dan Riku, keduanya adalah anak yang sangat imut. Terima kasih sudah membiarkan mereka bermain. Aku jadi bisa bertemu mereka."
Pria itu tersenyum. "Akulah yang seharusnya berterima kasih, Nara."
Saat dia memanggil namaku, harus kuakui, jantungku sedikit bergetar. Tak pernah kubayangkan suara itu akan menyebut namaku.
"Omong-omong, siapa namamu? Dan kalian mau pergi ke mana?" tanyaku penasaran.
"Tangan..."
"Tangan?"
Reflek pertamaku adalah melihat ke tanganku. Rupanya aku menekan tangannya terlalu keras dengan kedua tanganku.
"Ah! Gomen nasai!" seruku panik. Aku buru-buru melepas tangannya dan buang muka karena malu. Aku tahu telingaku memerah, mungkin semerah rona pipinya. Atau mungkin pipikulah yang semerah bibirnya yang lembab.
Pria itu tertawa terbahak-bahak. Entah mengapa, tawanya sangat menyenangkan didengar. Apakah sedikit aneh jika kukatakan tawanya bisa membuat orang yang mendengarnya ingin membuatnya bahagia agar terus tertawa?
"Ki ni shinaide, Nara-san. Oh, dan namaku adalah Kaito. Takahashi Kaito. Senang berkenalan denganmu."
Kupandangi pria yang baru kuketahui namanya itu. Salju berjatuhan di rambut hitamnya, sekeping bahkan jatuh di bulu matanya yang panjang. Aku tanpa sadar hendak mengulurkan tanganku untuk menyingkirkannya. Tapi Kaito sudah berkedip duluan, menyebabkan kepingan salju itu jatuh. Kutarik tanganku kembali, memikirkan apa maksud gerakanku barusan.
"Kami bertiga akan pindah ke Indonesia mengikuti Ayah dan Ibu yang sekarang bekerja di sana. Sebenarnya saya dan kedua adik saya tidak ingin pindah, tapi ada baiknya kami sekeluarga tetap bersama. Jujur saja, keputusan ini rasanya berat sekali. Aku akan merindukan Jepang." Kaito memasukkan tangannya ke dalam mantel. Matanya memandangi sekitar seolah kenangan itu sendiri terukir di udara. "Negara ini adalah tanah airku, tempat aku dibesarkan, tempat jutaan memoriku akan tertidur lelap."
Kupandangi Kaito yang kini sorot matanya terlihat sedikit sedih saat menonton Ichigo dan Riku yang sedang bermain dengan riang tanpa memedulikan kami. Tapi dia cepat-cepat menghapusnya dan tersenyum padaku.
"Kaito-san," aku memanggilnya tanpa sadar.
"Ya, Nara-san?"
Aku ingin sekali memintanya untuk tidak menatapku dengan paduan sorot mata dan senyum itu. Tapi di saat yang sama aku juga ingin melihatnya terus-menerus. Aku ingin sekali waktu berhenti detik ini.
"Apa kalian tidak akan ke Jepang lagi?"
Saat itu, angin berhembus kencang. Helai rambut menempel di wajahku. Entah aku berdelusi atau tidak, tapi Kaito terlihat seperti ingin menyingkirkan helaian itu.
"Sepertinya tidak," jawab Kaito dengan senyum yang sama.
Diam-diam, sedikit kekecewaan muncul di hatiku. "Ah, begitu ya. Ngomong-ngomong, aku adalah orang Indonesia."
"Aku sudah tahu."
"Kau sudah tahu?"
Aku yakin aku belum memberitahunya sama sekali. Aku belum mengatakan sepatah kata Bahasa Indonesia pun kepadanya.
"Wajahmu itu." Kaito berjalan selangkah lebih dekat. "Terlihat seperti gadis Indonesia yang cantik."
"Apa?"
"Kimi wa kirei da ne."
Wajahku memerah, aku tahu itu. Rasanya hangat. "Ah... Anata mo kirei desu."
Kaito tersenyum lagi. Senyum itu lagi dan lagi. Aku tak akan pernah bosan melihatnya, tapi entah mengapa, hatiku bergetar. Mungkin karena dia akan pergi dan kami tak akan pernah bertemu lagi.
"Kalau begitu, kami pergi dulu, Nara-san. Takutnya tertinggal pesawat," kata Kaito setelah keheningan selama beberapa saat.
"Oh, iya. Selamat tinggal." Kukira kata itu akan tersangkut di leherku tanpa bisa keluar, tapi ternyata terucap begitu saja. Rupanya perpisahan tidak sesakit itu. Mungkin karena aku baru berkenalan dengannya. "... Kaito."
Kaito terlihat sedikit terkejut. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya senyum itu. Lagi-lagi senyum dan sorot mata itu.
Tapi, kemudian...
"Sayōnara, Nara."
Saat itu, akulah yang terkejut. Entah efek cuaca dingin atau bukan, telinga pria itu jelas memerah.
Mereka bertiga berpamitan padaku. Rasanya hampir seperti keluargakulah yang akan pergi. Ichigo dan Riku terlihat sangat tidak rela. Untungnya, Kaito menghibur dan meyakinkan mereka. Dia sepertinya sangat handal dalam urusan anak-anak. Ichigo dan Riku jadi bisa melepasku dan negara tempat mereka tinggal dengan senyum bahagia.
Begitulah bagaimana aku yang tersesat di hembusan angin dingin ini memandangi punggung mereka yang kian menjauh. Yang tersisa hanyalah jejak kaki di salju yang tebal. Salju kembali berjatuhan. Mereka bertiga menaiki mobil yang sudah terparkir di pinggir jalan sedari tadi. Ichigo dan Riku melambai kepadaku dari jendela mobil. Aku melambai balik pada mereka. Sementara, di bagian paling depan, ada Kaito. Dia juga menatapku dan melambai padaku dengan senyum indahnya. Aku balas melambai padanya. Aneh, matanya membesar saat aku melakukannya.
Mobil melaju mulus membelah jalanan yang sudah dibersihkan dari salju pagi-pagi sekali oleh para petugas. Kupandangi mobil hitam itu sampai menghilang di cakrawala jingga. Entah bagaimana, suasananya tiba-tiba berubah. Aku baru sadar sedari tadi aku merasa hangat seperti di rumah. Sekarang aku kembali menyadari kakiku yang berdiri di tengah salju yang turun. Putihnya menghiasi pandanganku. Gumpalannya menumpuk di kepalaku. Hembusan angin dinginnya menerpa kulitku.
Ketika aku memegang wajahku untuk merasakan suhuku, kulit wajahku terasa sedikit aneh saat diusap. Aku yang penasaran pun membuka sarung tangan kananku dan menyentuh wajahku lagi dengan tangan secara langsung. Lengket. Seperti bekas air mata. Ada juga bagian yang masih sedikit basah.
"Jadi karena ini dia seperti terkejut, ya..." gumamku. Aku sendiri juga tidak tahu mengapa aku menangis. Konyol sekali.
Kupasang lagi sarung tangan itu. Kubiarkan saja wajahku lengket karena air mata. Aku kembali memandangi sekitar. Sedang hujan salju meski tidak terlalu lebat. Salah satu butirnya jatuh tepat di depan mataku. Aku jadi bisa melihat bentuk kristalnya yang indah. Cantik sekali.
'Jejak-jejak kaki itu pasti akan hilang tak lama lagi,' pikirku saat melihat kembali bekas langkah sepatu mereka di salju. Salju akan menimbunnya, menghilangkannya seolah tak pernah ada.
Jejak kaki itu tidak hanya ada di jalan menuju kepulangan mereka. Ada juga bekas dari saat kami bermain tadi, tempat kami bicara, dan jejak kaki yang berlawanan arah dengan jalur kepergian mereka yang dibuat oleh Kaito saat ia pertama kali datang. Ketika kulihat lebih jauh lagi, masih ada lebih banyak bekas kami bermain tadi. Beberapa bola salju yang belum sempat dilempar, benteng kecil buatan Riku, dan boneka salju buatan Ichigo.
'Rupanya aku sudah membuat kenangan manis pertamaku,' batinku dengan senyum tersungging. Akan kuingat hari ini sebagai hari yang sangat menyenangkan. Untunglah kenangan pertamaku sangat indah.
Sial, malah kutatap kembali tempat itu. Ada dua pasang bekas sepatu yang berhadapan. Bekas sepatu itu lebih dalam dari yang lain, menandakan kedua pemiliknya sempat berdiri di sana cukup lama. Yah, mungkin mereka membincangkan hal yang tidak penting, membicarakan hal-hal yang bukan urusan mereka. Mungkin juga sempat ada perasaan aneh yang menyela pembicaraan itu. Sayangnya, perasaan seringkali lewat, pergi, lalu datang kembali dan malah melekat sampai mati.
"Sial," umpatku sambil menendang salju. "Sekarang aku tidak akan bisa melihat musim dingin dengan cara yang sama lagi."
Kenangan itu akan terus ada. Salju yang menjadi saksi pahit-manisnya tak akan bisa kunikmati dengan leluasa. Mungkin ini salahku karena telah bertemu dengannya pada musim dingin. Tidak ada larangan, memang, tapi tidak seharusnya kami memiliki kenangan yang tak akan pernah kembali pada waktu yang akan terulang selama tiga bulan setiap tahun. Tiga bulan menjalani waktu yang mirip tapi tak sama dengan satu momen yang teringat jelas itu seperti menonton film tanpa pemeran utama. Sekarang, setiap musim dingin, aku tidak bisa tidak teringat dengannya, dengan pertemuan singkat yang seharusnya tak berarti apa-apa.
Mungkin ini salahku karena telah jatuh cinta di musim dingin.