Cerpen
Disukai
0
Dilihat
11,577
Jejak Aroma
Romantis

Aman tapi tidak nyaman. Sesak nafas di dalamnya. Seperti itukah kita?

Sejak beberapa menit yang lalu, ia telah dengan sengaja membiarkan asap mengepul dari dalam gelas kertasnya. Kini Cappucinno Latte, minuman yang terpaksa menjadi kesukaannya itu telah sedikit dingin. Walaupun rasanya tidak sama dengan kopi di coffee shop tapi paling tidak ia bisa meminum kopi karena tidak ada yang bisa ia mintai tolong untuk nitip. Untuk itulah ia tetap meminumnya, karena dengan minum kopi adalah satu hal yang selalu bisa menolong dirinya disaat dirinya merasa suntuk bekerja. Ia menyeruputnya perlahan dan menikmati kopi tersebut mengalir masuk ke dalam kerongkongannya. Tak berapa lama setelah kopi berada di dalam perutnya, ia mendadak mengerutkan dahinya.

Bukan karena dirinya sakit perut. Tapi karena lagi-lagi karena ia mengingat aroma itu kembali. Dalam mulut yang menghilang tertutupi gelas kertas. Kedua matanya terlihat memicing dari pantulan jendela. Kini ia melihat bayangan dirinya sendiri dengan sangat jelas terlihat. Kemeja putih dengan ID card perusahaan yang bertulisan Achmad Riko, itu terlihat rapi menggantung di lehernya ditambah dengan potongan rambut rapi seperti pekerja kantoran biasanya sudah bukan hal yang luar biasa untuknya. Pikirannya melayang di lima tahun lalu.

Langit membiru. Angin berhembus dengan hangat menerpa kulit Rania Estrarina. Rania benar-benar mencirikan perawakan perempuan Jawa seutuhnya dengan kulit sawo matang dan bermata belo belum lagi berwajah bulat sama seperti yang dimiliki masnya, Riko Adiwiguna. Tentu dengan wajah ikal. Rania terlihat sibuk di dapur bersama ibu, dan kami sedang sibuk membuat sarapan pagi. Seperti biasa sarapan kami adalah bubur ayam beserta dengan telor setengah matang kesukaan Riko. Karena tanpa telor setengah matang, masnya tidak akan mau sarapan pagi. Agak aneh memang kebiasaan yang dimiliki Riko saat sarapan. Tapi hal itu sudah sangat dimaklumi oleh dirinya bahkan ibu. Tidak itu saja, Riko bahkan harus meminum kopi terlebih dahulu sebelum memulai harinya. Hanya saja, kakinya sama sekali tidak berniat untuk ke dapur. Karena matanya masih mengajaknya bermain-main sejenak. Ia masih sangat mengantuk.

“Rania, sana liat masnya udah bangun belum. Kalau belum, bangun. Bilang sarapan bentar lagi jadi..” ibu menyahut sambil memotong batang daun bawang dan juga seledri untuk pelengkap bubur.

“Iya bu,” sahutnya dengan santai sambal menaruh botol kecap asin dan manis di atas meja.

Dan langsung bergegas keluar dari dapur. Namun belum sampai dirinya di kamar mas Riko. Ia sudah melihat Riko sudah duduk dengan tenang di ruangan tengah dengan mata terpejam. Seketika saja langsung muncul ide jail yang dimiliki Rania untuk masnya. Ia langsung menghampiri Riko perlahan lalu menggelitiki pinggang Riko.

Seketika saja Riko langsung terbangun dari tidur setengah sadarnya. Riko tersentak kaget karena ulah adiknya. Kini kedua matanya benar-benar segar. Rasa kantuknya hilang begitu saja. Bersamaan dengan tawa Rania yang begitu besar.

“Hahaahahaahahahahahaa!” Rania tertawa dengan cukup puas.

“Kamu ya!” Riko menyeru dengan sedikit agak kesal pada adiknya. Dan bergerak menyiapi strategi untuk membalas dendam pada Rania.

“Iya, ini aku. Emang kenapa? Lagian nih ya, kalau udah bangun itu mandi kek, ini mah enggak. Malah duduk di sofa mana ngelanjutin tidurnya lagi. Nanti aku bilangin ibu, lho!” Ujar Rania panjang lebar.

Riko mengangguk-angguk sambil menggeserkan tubuhnya mendekat pada Rania. Tak berapa lama Rania mendapatkan pitingan dari Riko.

“Bilang apa kamu? Coba bilang sekali lagi.” sahutnya saat leher Rania berhasil didapatkan olehnya dengan nada gemas.

Karena ia tidak menyangka adiknya kini tidak kalah bawel dari ibunya. Belum lagi dia adalah orang yang paling senang mengadu sama ibu soal apapun yang menyangkut dirinya.

“AAAAaakkk! Seketika saja Rania menjerit, “Ibuuuu buuu, mas nih!” teriak Rania saat lehernya dipiting olehnya.

Tak berapa lama suara ibu ikut terdengar melengking dari dapur, “RIKO! Jangan begitu sama adiknya.” Ibu berteriak pada Riko yang masih melakukan piting memiting leher Rania.

Sementara yang dipiting hanya mampu menepuk-nepukkan tangannya pada lengan Riko yang agak besar dari Rania.

“Mas! Lepaasss!” ujar Rania dengan sedikit memohon.

“Minta ampun dulu!” Riko mengancam dengan nada sedikit meledek.

Seketika saja sebuah jeweran mendarat di telinga Riko.

“Aaaak! Aaak!” Riko mengaduh kesakitan saat dirinya namun dirinya tidak bisa melakukan apapun karena ia tahu, ibunya sedang memberikan hukuman karena telah menjahili adiknya, “Iya, iyaaa… aku lepasin. Ampun bu.” Riko menyahut kembali.

Tak berapa lama pitingan Riko terlepas. Rania menang. Riko melihat Rania sudah mengekor pada ibu. Sejenak ia tersenyum melihat pemandangan yang tersebut. Rasanya ia tidak ingin meninggalkan mereka tapi mau tidak ia tetap harus bisa mengatakan hal tersebut pada ibunya. Dengan perlahan ia menghampiri ibu yang masuk kembali ke dalam dapur sembari mewujudkan keinginannya untuk menyeduh kopi.

“Buk!” Ia menyahut sambil membuka toples lalu mengambil gelas di sekitar rak tersebut tanpa melihat ibunya yang sibuk mengangkat sayur mayur dari kompor, “Mas, kemarin dapat email dari perusahaan yang mas lamar.” Serunya menyendokkan kopi ke dalam gelas beserta gula yang ada di toples sebelahnya disusul dengan air panas dari dalam termos yang selalu diisi oleh ibu.

Rania langsung berdiri ke sebelahnya.

“Seriusan mas? Berarti mas ke Jakarta dong? Ia berbisik bersamaan dengan suara kucuran air yang mengalir dari termos ke dalam gelas.

Bluk bluk bluk

Riko hanya menangguk sambil mengaduk kopinya dengan perlahan.

“Ibu senang kamu, diterima. Kerja yang baik yaa disana..” Ibu menyahut datar lalu meninggalkan kedua anaknya di dapur.

Seketika saja Riko dan Rania saling menatap. Mereka merasakan ada yang aneh dengan ibu.


******

“Kamu yakin akan pergi ke Jakarta?” suara ibu mendadak hadir dari depan pintu kamarnya.

Seketika saja ia langsung menolehkan pandangan dari kegiatan awalnya, yang sedang sibuk merapikan beberapa baju masuk ke dalam koper.

“Iya buk, kan semua demi ibu dan Rania.” Sahutnya tanpa menghentikan aktifitasnya menaruh baju-baju tersebut di dalam koper.

“Yasuda, hati-hati yaa kamu. Kalau nanti di sana ketemu perempuan yang bisa membuat kamu jatuh cinta, kamu enggak boleh terlalu mencintainya. Sekedarnya saja.” Ibu menjelaskan dengan nada serius.

Riko mengeryitkan dahinya. Karena ia sama sekali tidak menyangka dengan ucapan yang diberikan ibu di luar dari tujuan awal dirinya pergi ke Jakarta.

“Ih, ibu. Kenalan gimana sih? Aku tuh ke Jakarta niatnya untuk bekerja bukan nyari jodoh.” Sahutnya dengan santai.

“Yaaaa kan nanti. Bukan sekarang..” ibu menyahut dengan nada yang tak kalah santai.

Tak berapa lama ia melihat ibu sudah berlalu dari pintu kamarnya. Riko mendadak terdiam. Dan kalaupun nanti terjadi, ia akan ingat apa yang dikatakan ibu padanya hari ini.


******

Merantau kalau menurut KKBI adalah pergi ke kota lain dengan tujuan untuk mencari penghidupan, ilmu, dan lain sebagainya. Maka untuk itulah Riko nekat untuk menjajal hal tersebut. Demi taraf kehidupan adik dan ibu yang lebih baik. Walaupun selama ini, ia tidak pernah bekerja di luar kota selain di Semarang. Dengan perasaan semangat ia memulai hari pertamanya bekerja. Tapi sebelum memulai hari tersebut tentu saja, ia selalu harus mencari telor setengah matang dan kopi untuk sarapan.

Ia melangkahkan kakinya menuju sebuah coffee shop yang berada didekat kostannya. Ia berjalan penuh dengan semangat dan penuh dengan senyuman dengan baju kemeja putih yang dikenakan. Namun saat ia ingin masuk seketika saja ia bertabrakan dengan seorang perempuan berambut panjang. Yang mengenakan jaket coklat oversize. Perempuan itu berwajah tirus dan berkulit putih. Dengan senyuman yang begitu manis. Seketika saja ia terkesima dibuatnya hingga tidak menyadari kalau kopi yang dibawanya sudah mengenai baju kemeja yang dikenakannya.

“Eh..” Perempuan itu mendadak menyeru dengan panik. Karena gelas kopi yang baru saja dibelinya, langsung mendarat di kemeja putih yang dikenakannya. Dia melongo. Seketika saja dadanya berdegup cepat saat melihat wajah Riko. Namun perempuan itu mencoba untuk menyembunyikan perasaan tersebut.

“Ck!” serunya dengan panik.

“Maaf, maaf..” sahutnya.

Riko tidak mendengarkan suara perempuan tersebut karena ia fokus pada noda kopi yang diberikannya, bagaimana ini? Apa aku pulang lagi? Pikirnya. Sejenak ia melihat perempuan itu kembali sambil merasakan aroma yang dikeluarkan oleh perempuan tersebut. Sungguh, ia semakin terpikat dengannya.

“Its okay..” Riko menyahut tanpa ragu. Walaupun hatinya sendiri masih tidak yakin kalau akan baik-baik saja.

“Kok enggak apa-apa? Itu banyak banget nodanya?” serunya. Kini kedua mata perempuan itu hanya menatap noda yang melekat di pakaiannya. Tak berapa lama perempuan itu melepaskan jaket yang dikenakan, “Pakai ini saja yaa..” serunya kembali.

“Eng-” Riko berpikir sejenak. Ia ingin sekali menolak hal tersebut tapi ia sangat ingin berkenalan dengan perempuan itu. Seketika saja sebuah senyuman mengembang di sudut bibirnya, “Serius boleh menggunakannya?” tanyanya.

Perempuan itu mengangguk, “0812….” Perempuan itu berbisik di telinganya, “Itu nomor aku. Kamu bisa ngembalinnya kapanpun. Aku duluaan ya. Namaku Dinda.” Seru perempuan itu kembali.

Dengan cepat Riko langsung menyimpan nomor tersebut sambil melihat perempuan itu berlalu darinya. Tak berapa lama ia langsung bergegas menuju kantornya dengan mengenakan jaket coklat Dinda.

Tak berapa lama ia kembali menyesap kopi tersebut sembari meraih kursi di pantry tersebut. Dan terduduk sambil membuka media sosial yang dimilikinya. Kini Riko sudah sibuk melihat fotonya sendiri yang sedang berpose di samping sebuah mural dari sebelah kiri yang berada di lingkungan kantornya. Foto itu sudah diambilnya di hari kemarin. Ia menatap fotonya sendiri, dengan pose duduk terdiam di sebuah bangku yang berada di samping mural tersebut.

Dengan menggenakan masker medis berwarna biru yang berada di wajahnya. Belum lagi dengan kaos putih v-neck dan celana pendek coklat yang ia kenakan, benar-benar membuatnya seakan ingin lari dari rumah untuk melawan corona. Dari raut wajahnya, ia tidak terlihat tersenyum tidak juga terlihat marah. Ia hanya memasang wajah datar tapi tegas di dalam pose tersebut. Pose itu seakan menyiratkan kalau dirinya sedang rindu pada seseorang yang tidak bisa lagi ia miliki. Tapi jika ada kesempatan, ia sangat ingin mengulang rindu padanya.


******

Riko menatap foto yang sudah terposting selama 23 jam lalu, dan postingannya sudah langsung mendapatkan sambutan dari pengikutnya. Termasuk beberapa komentar dari para cewek. Namun ia baru saja sempat membukanya di pagi ini. Lalu jari jemarinya membalas komentar dari Tia.

66 suka

89Ricoachmad Bangun! Bangun!

Lari dari kejaran bayang-bayangmu. #singasong #justsinging

#partofbreaktime #jalanyuk

lihat semua 11 komentar

89Ricoachmad @Tia_rasari yaa, enggak gitu juga.

Tia_rasari Pencitraan doang.

23 jam yang lalu

Tak berapa lama Riko langsung cepat-cepat menyesap kopinya dan berusaha kembali untuk bekerja karena jam sudah menunjukkan jam 8 pagi. Itu artinya ia sudah tidak pantas lagi untuk memiliki perasaan sedih. Karena ada ibu dan adiknya yang harus dibahagiakan padahal dalam lima tahun lalu ia sempat lupa pada mereka. Dan ia masih ingat akan hal itu. Termasuk dengan perkenalan dengan orang yang memberikan dirinya cinta pada aroma tersebut.

Dinda berjalan dengan sangat cepat meninggalkan pria berambut ikal tersebut. Bukan karena ia sudah telat berangkat ke kantor, karena jam kantornya masih sangatlah lama. Masih dua jam lagi di jam setengah tujuh ini. Tapi ini karena seluruh perasaannya berkecamuk. Antara takut dan bahagia, ada disana. Takut kalau pria tersebut adalah orang yang tidak baik. Maka ia akan benar-benar seperti orang bodoh yang sudah dengan gampangnya ia meminjamkan jaket padanya hanya karena sebuah perasaan kasihan yang hadir padanya. Bahagia karena pria itu, kurang lebih seperti tipe idealnya. Tipe pasangan yang sedang dicarinya.

Tak berapa lama Dinda menghentikan langkah kakinya. Dinda menghembuskan nafas panjangnya berulang-ulang kali sambil tangannya mencoba menghentikan taksi kosong yang lewat di depannya. Sampai ia tidak menyadari kalau handphonenya terus berdering menunggu di angkat olehnya sejak insiden tabrakan beberapa menit lalu. Ia telah mengabaikan dua telepon dari Tia. Karena dadanya masih saja berdegup cepat. Semenit kemudian sebuah taksi berhenti di depannya.

Dengan perlahan Dinda menaiki taksi yang berhasil dihentikannya. Kini ia bisa mencoba merilekskan dirinya sesaat. Ia menarik nafas dalam-dalam agar bisa menghentikan degupan jantungnya yang ia rasa semakin cepat sambil merogoh tasnya. Dan berharap pria itu sudah mengirimkan pesan padanya. Ia langsung mengecek handphonenya. Dahinya mengeryit saat melihat pesan yang diberikan Riko padanya. Ia sangat tidak percaya kalau pria itu ternyata satu kantor dengan Tia, sahabatnya. Tanpa menunggu lama, ia langsung menelpon Tia. Orang yang sejak tadi diabaikan olehnya.

“Ti, kenapa?” sahutnya begitu saja.

“Doain ya. Ini hari pertama gue. Semoga jodoh gue mendekat.”

Tia yang baru mengangkatnya juga langsung menjawabnya tanpa basa basi. Dan inilah yang dilakukan kedua sahabat itu, karena keduanya sudah sangat paham dan saling mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun. Bahkan keduanya tidak pernah bertengkar dalam waktu yang cukup lama, karena keduanya selalu dapat berbaikan dengan sangat cepat.

“Ammmiiiinn!” ujarnya mengaminkan doa Tia, “Eh, hari ini gue bertemu jodoh gue..” ujarnya kembali pada Tia.

“Seriusan? Selamat.” Tia menanggapinya penuh dengan semangat.


******

“Elu pake parfum apa sih?” Seketika saja Reza menanyakan aroma yang menguar darinya. Saat dirinya terduduk dengan beberapa pesanan makanan yang baru saja dibawanya. Dengan santai dia membagikan makanan dan minuman yang ada di atas nampan. Sambil terus mengingat aroma parfum yang biasa digunakan oleh Riko, karena dia sama sekali tidak pernah mencium aroma tersebut dari sahabatnya, “Ganti parfum ya?” tanyanya kembali.

Riko langsung membetulkan jaket coklat yang masih melekat di badannya sepanjang hari ini.

“Enggak kok. Tapi ini aroma yang aku suka..” sahutnya dengan santai.

“Sejak kapan kamu menyukai aroma kalem gini?” Reza menanyakan dengan penuh selidik.

“Sejak tadi pagi..” sahutnya dengan penuh senyuman.

Reza terdiam beberapa saat. Lalu tak berapa lama ia mengendus. Bahkan kali ini hidungnya terlihat lebih dekat ke arahnya.

“Ngapain si elu?” Riko mengeryitkan dahinya sambil menjauhkan badannya dari Reza.

“Dari sini nih..” serunya dengan penuh penasaran. Karena Reza berhasil menemukan sumber aroma yang menguar dari dirinya, “Ini bukan jaketlu kan?” serunya kembali.

Riko hanya menganggukkan kepalanya dengan singkat. Lalu siapa sangka sejak insiden beberapa bulan lalu. Kini keduanya sudah menjadi pasangan yang paling serasi. Dan paling bucin satu sama lainnya. Bahkan keduanya tidak sungkan menghabiskan waktu cuti untuk jalan-jalan bersama. Dan cuti kali ini mereka lebih memilih untuk berwisata di Bali bersama Tia dan juga Reza. Riko lupa akan janjinya pada ibu, untuk tidak terlalu mencintai perempuan secara berlebihan. Tidak itu saja, bahkan Riko sampai lupa untuk pulang.


******

"Morning.." desisnya seakan ada seseorang di sampingnya.

Ia terdiam setelah sadar dari tidurnya. Tak berapa lama, cowok berambut ikal dengan potongan rapi itu terlihat sedang menggaruk perutnya perlahan disusul dengan rambutnya. Karena tadi malam adalah malam terakhir dirinya lembur setelah melakukan audit untuk kantornya. Sedetik kemudian, Riko menggeliat ringan di kasurnya. Baru kali ini Riko bisa tidur dengan sangat nyenyak. Ia tidak tahu, ini pengaruh dari mimpi semalam atau memang dirinya yang lagi memulai kedekatan dengan seseorang. Tapi untuk yang satu itu, tentu sudah pasti tidak mungkin.

Karena ia sedang tidak ingin menjalin kisah baru. Ia hanya sedang menikmati aroma floral yang semakin sering hadir di dalam hidupnya. Dan itu semua karena Tia yang mendadak menggunakan aroma yang sama seperti Dinda. Tetap saja, Riko terheran-heran pada dirinya sendiri. Kenapa baru hari ini ia bisa seperti itu. Padahal beberapa bulan lamanya, Riko selalu meminum obat tidur agar dirinya bisa tidur dengan nyenyak. Meskipun ia mencium aroma floral tersebut.

Apa mungkin ia mulai mencintai aroma yang sama? pikirnya sembari mengulangi menggeliat yang entah ke berapa, Riko mencoba untuk meraba handphonenya yang berada di bawah bantal dengan perlahan. Rambut ikal sebahunya terlihat sangat berantakan. Tidak itu saja sekilas terlihat bisep dan trisep yang dimilikinya karena kaos yang dikenakannya tersingkap. Mungkin kalau ada Tia atau Dinda, mereka pasti akan berteriak. Karena kemarin otot-otot itu menjadi andalannya dalam menggaet mereka.

Sebenarnya kalau boleh jujur, ia sendiri menyukai ototnya sendiri. Dalam diam dan tidak memperdulikan ototnya kembali, jari jemarinya mulai membuka aplikasi whatsapp. Disana ia melihat beberapa pesan masuk. Ia memencet dan membaca beberapa pesan yang masuk. Lalu ia menaik turunkan beberapa pesan tersebut dengan serius. Dahinya mengeryit. Beberapa detik kemudian dahinya berubah tenang. Sedetik lagi menjadi mengerut. Begitu saja, hingga akhirnya ia menghentikan aktifitas tersebut. Ia terdiam sambil menatap cermin yang berdiri di ujung kamarnya.

Kini pikirannya kalut. Bagaimana tidak, Rania, adiknya meminta dirinya pulang ke rumah. Mantan pacarnya, Dinda mendadak menghubunginya. Teman-teman kantornya, mengirimkan file kerjaan. Dan lucunya, walaupun dahinya menunjukkan reaksi, tapi tidak ada satupun yang ingin dibalas olehnya. Semuanya hanya diread oleh Riko. Ia sama sekali tidak berniat untuk membalasnya. Ia justru berdiri dan membiarkan handphonenya di kasur. Ia hanya berjalan menuju depan cermin dengan langkah gontai. Entah harus mulai dari mana. Banyak sekali yang ingin diri ini ceritakan tentangnya. Matanya menatap serius dirinya sendiri.

"Selamat pagi. Ayoo, kamu bisa untuk melakukan semua itu sekali lagi. Tidak apa, hal yang kemarin terjadi adalah hal terbaik. Its okay. Terima kasih sudah kuat. Dibalik perasaanmu yang kacau," Riko mendesis kembali sambil menepuk bahunya sendiri, lalu tak berapa lama ia terdiam menatap pantulan diri pada cermin yang berada di kamar.

Karena dari ekor matanya, ia melihat sesuatu di ujung dari kamar ini. Ia melihat sebuah foto, foto dirinya sendiri yang menunjukkan kalau dirinya sedang tersenyum dengan begitu lepas. Kalau dipikir-pikir, apa yang terjadi di hari ini sungguh berbanding terbalik dari pantulan yang diberikan olehnya hari ini. Bahkan setiap hari saja, ia harus mengucapkan kata-kata motivasi sederhana tersebut untuk dirinya sendiri. Pandangannya semakin datar tanpa ekspresi. Dan memang seperti itulah, pagi yang dimiliki Riko.

Karena kini ia tidak memiliki seorang yang bisa menjadikan dirinya rumah untuk bercerita banyak hal. Dan ia melakukan itu sudah lebih dari 3 tahun, hal yang semakin hari semakin membuatnya terbiasa. Termasuk jalan sendiri. Nonton sendiri. Bermain sendiri. Semua sendiri. Semua sudah mulai terobati dengan perlahan. Walaupun hal itu, awalnya membuat tidak terbiasa, ia tetap berusaha untuk menahan rindu yang ada untuknya. Mungkin itu sebabnya juga, ia sama sekali tidak berminat untuk membalas pesan apapun yang hadir di dalam handphonenya.

Itu semua karena pesan dari Dinda, mendadak muncul kembali di dalam notifikasinya. Matanya semakin membulat, saat dirinya makin fokus pada dirinya sendiri di depan cermin. Dilihatnya jerawat yang mendadak muncul di pipinya. Riko yang menyadari hal tersebut langsung menyentuh jerawat tersebut. Sejenak ia tersenyum dibalik perasaan sedihnya. Bahkan mencoba untuk melupakan semua janji yang ia miliki kemarin pada Dinda. Karena ia merasa dikhianati olehnya.

“Lalu untuk apa kau kembali?” Riko bertanya pada dirinya sendiri di depan cermin. Seketika saja ingatannya akan dirinya kembali.

Riko dan Reza berdiri di ujung tenda yang sudah berhasil mereka dirikan. Namun tiba-tiba saja hidung Riko mencium aroma yang begitu ia kenal di hari kemarin. Aroma kalem yang sangat ia sukai, dengan cepat ia langsung menolehkan pandangannya. Dan mencari sumber aroma tersebut. Benar saja, dari kejauhan ia melihat Dinda sedang tersenyum pada Tia yang juga hadir disana. Sungguh, ia tidak menyangka kalau dirinya bertemu dengan dirinya di tempat seperti ini. Di atas gunung Rinjani. Riko dan Dinda adalah anak pecinta alam. Keduanya sangat suka naik adventure. Dan ini bukan awal pertama kali mereka bertemu dengan Dinda. Ia melihat Dinda sebagai cewek yang begitu kuat dan begitu berambisi di dalam komunitas itu.

Sungguh, Dinda adalah karakter cewek idamannya. Dengan rambut panjang yang selalu dikuncir kuda. Wajah bulat dengan mata yang berbinar saat menatapnya. Belum lagi dengan aroma floral yang selalu dikeluarkannya. Benar-benar menenangkan jiwanya. Suaranya lembut. Ia jatuh cinta setengah mati dibuatnya.

“Ka, aku boleh pinjem ini?” Dinda bertanya dengan nada sedikit malu saat ini meminjam panci kecil miliknya.

Riko tidak mengatakan apapun. Ia hanya mengangguk dan memberikan panci tersebut pada Dinda. Tentu saja dengan malu-malu dia menerimanya. Selama tiga hari Dinda dan Riko bersama di dalam satu komunitas itu. Selama itu juga Dinda dan Riko merasakan cinta singkatnya. Cinta yang terus berkelanjutan hingga di bawah gunung Rinjani. Riko terus berusaha untuk menghubungi Dinda untuk mengetahui kabarnya dan keadaannya. Bahkan Riko tidak segan-segan menjemput Dinda.

Kini setelah dua tahun lamanya dan setelah ia pergi ke Batam. Ia baru menyadari hal yang selalu tidak pernah bisa dijelaskan oleh mereka. Semua itu berasal dari satu hal, yaitu Tia. Namun ia sama sekali tidak bisa mengatakan hal tersebut pada Tia. Karena ia sendiri tidak bisa pergi begitu saja meninggalkan pekerjaan yang memang masih dibutuhkan olehnya untuk menghidupi adik dan ibunya.

Tak berapa lama, dari pantulan cermin ia melihat handphonenya berkedip-kedip. Itu artinya ada seseorang yang sedang melakukan panggilan untuknya. Seketika saja, ia melepaskan jarinya dari jerawat yang tumbuh di pipinya. Dahinya mengeryit. Ia menatap handphonenya dari kejauhan dan sedikit berpikir, siapa orang yang ingin menganggunya di pagi hari buta seperti ini. Lucunya, ia hanya berpikir saja. Tanpa berniat untuk mencari tahu siapa penelpon tersebut.

Setelah cukup lama ia mematung hingga handphonenya berhenti mengedip, ia mengambil handuk lalu bersiap untuk berangkat kerja. Karena ia tidak akan membiarkan semangatnya yang sudah terisi full menjadi lemah tanpa alasan. Beberapa menit kemudian, ia sudah bersiap bahkan sudah berada di atas motornya dengan helm hitam full face serta sarung tangan motor kulit dan juga jaketnya. Tanpa menunggu lama. Ia langsung menancap gasnya untuk menerjang jalanan ibu kota.

“Im ready to go!” serunya dengan singkat.


******

Riko berjalan di antara lorong makanan. Hari ini adalah jadwalnya untuk mengisi stok makanan, untuk ia makan selama sebulan. Riko biasa membeli hal-hal tersebut sebanyak dua kali pertama akhir bulan lalu kedua di tengah bulan seperti ini. Beberapa makanan dan minuman instan seperti mie, spaghetti, kopi sachetan, gula, penyedap rasa dllnya. Sudah masuk di trolly belanjaannya. Sekarang kedua matanya sedang berlari-lari pada pojok lorong yang menyuguhkan beberapa buah segar. Di dalam kepalanya terngiang beberapa ide untuk mengubah buah-buah tersebut menjadi panganan dan minuman yang sangat menyegarkan.

“Melon? Jeruk? Beat? Pepaya? Hmm-”

Aroma floral lagi, apa mungkin ada Tia di sekitar sini? Pikirnya saat mendadak aroma tersebut tercium di hidungnya kembali. Riko berpikir cukup lama hingga ia tidak menyadari ada seseorang yang sudah berdiri dan berada di depannya sambil memperhatikan raut wajah Riko.

“Riko!” Dinda menyeru dengan nada yang terdengar cukup tinggi. Dan berharap Riko menyadari keberadaan dirinya yang sudah menunggu Riko melihatnya.

Seketika saja Riko langsung tersentak kaget. Ia mematung karena ia tidak percaya dengan penglihatannya hari ini. Ia sangat tidak menyangka mampu melihat sosok Dinda, persis seperti di dalam postingannya di dua hari lalu. Mimpi apa dirinya, bisa bertemu dengan Dinda di swalayan yang begitu luas sembari melihat sekeliling dengan memastikan kalau swalayan yang dikunjunginya memang luas, tidak seperti supermarket kecil yang tiap beberapa meter mudah diketemukan. Apa yang harus aku lakukan? Dan aroma ini masih sama, Pikirnya sembari melihat raut wajah Dinda yang meminta segera direspon olehnya.

“Kamu?” sahutnya dengan nada datar.

“Kenapa tidak membalas pesanku?”

Dinda bertanya dengan nada penasaran. Riko yang tadinya terlihat biasa saja. Kini terlihat malas. Karena dia mulai bertindak seakan-akan masih memiliki hubungan dengannya. Dengan cepat ia berjalan berusaha mendorong trolly belanjaannya. Dinda mengekor di belakangnya.

“Kamu masih marah padaku?” tanya kembali.

Riko berusaha untuk tidak mengatakan apapun. Padahal di dalam hatinya ingin sekali untuk mengatakan sesuatu untuknya. Ingin sekali ia memarahi, memaki bahkan memukul Dinda. Namun ia menahan semuanya. Ia hanya menarik trollynya ke kasir dengan sangat cepat. Agar emosinya tidak tersulut. Dan kini ia sudah lupa pada seluruh bayangan hidangan makanan manis dan minuman manis yang berada di dalam kepalanya beberapa menit lalu. Yang dia inginkan saat ini hanyalah menghindari Dinda.

"Riko, please dengerin aku dulu.." pintanya sambil berusaha menggapai baju Riko dengan sedikit berlari.

Orang yang dipanggilnya justru berpura-pura tidak dengar. Tak berapa lama ia mendengar handphonenya berbunyi. Ia menghentikan langkah kakinya dan dengan cepat ia merogoh saku celana jeansnya. Ia melihatnya handphonenya dengan singkat. Disana tertulis Rania calling. Sedetik kemudian telepon tersebut sudah di telinganya.

"Halloooo," sahutnya pada sang adik. Dan tentu saja, ia senang melihat hal tersebut. Karena ia tidak harus menjawab pertanyaan Dinda, "Kenapa??" Ia mengeluarkan tanya kali ini. Karena yang menelponnya, hanya diam seperti Dinda.

"Bang, kamu disuruh ibu untuk pulang."


******

Sejenak ia menatap email yang diberikan oleh HRD, di dalamnya tertulis informasi sisa dari cuti yang dimilikinya. Rico tidak melakukan apapun, ia hanya terpaku. Karena ia sangat kaget, karena cuti yang dimilikinya itu masih penuh. Itu artinya selama ini, sampai dirinya di bulan November ini, ia tidak pernah melakukan cuti. Ia selalu bekerja, bekerja dan bekerja. Padahal biasanya cuti yang dimilikinya sudah tidak bersisa.

“Kamu mau cuti?” Ungkap seseorang tepat dari belakangnya.

Dengan tenang ia membalikkan badannya. Karena ia sangat mengenal suara itu. Bahkan aromanya, dia sangat mengenalnya. Dan seperti biasa Tia selalu datang di jam 9an. Ia dan Tia seperti anjing dan kucing, awalnya. Karena kalau mereka sudah berdua selalu ada saja yang didebatkan. Maklum sejak dulu, ia sama sekali tidak menyukai tipikal orang yang suka ceplas ceplos.

Sekarang dirinya, justru harus bertemu seharian suntuk bersama orang yang benar-benar ada di depannya bahkan duduk di sampingnya sebagai rekan kerjanya. Tidak itu saja, selain ceplas ceplos ia selalu berbuat semaunya. Tidak pernah sekalipun memperdulikan perasaan orang lain. Dan tidak memikirkan dampak dari itu. Memang banyak yang seperti itu. Tapi baginya, sikap yang diberikan Tia adalah sesuatu hal yang benar-benar baru untuknya, karena ia baru pertama kali menemukan orang yang begitu santai dalam menjalani hidup seakan tanpa beban.

Padahal kalau diperhatikan secara baik-baik. Kehidupannya sangat di luar nalar hingga kesanggupan orang lain untuk melakukan hal tersebut. Bayangkan saja, rumahnya berada di Depok tapi ia rela untuk melakukan hal itu demi adik dan kedua orang tuanya. Baginya, hal itu sangat hebat. Jadi jika nanti suatu saat ada kamus yang bisa dibuat untuknya, bisa jadi akan ada seribu bab untuk memahaminya. Dan akan ia pastikan, ia menjadi pengantri pertama yang membelinya. Ia mulai penasaran dengan Tia.

“Eh, udah datang lu?” sahutnya tanpa berminat untuk menjawab pertanyaan Tia.

Tia berjalan santai menuju bangkunya. Dan terlihat tidak memperdulikan pertanyaan yang diberikan Rico. Karena dia hanya berdeham.

“Gue juga mau cuti tau. Tapi belum berani ngajuin. Kerjaan gue masih banyak yang belum kelar.”

“Ya, kelarin lah.” Riko menyahut dengan santai.

PLUK!

Seketika saja sebuah sticky notes mendarat persis di atas kepalanya. Riko terperanjat kaget. Tia kesal dengan pernyataan yang diberikan Riko. Karena bagi Tia, semua orang juga tahu kalau yang namanya diberikan tanggung jawab harus dan pasti diselesaikan. Kalau tidak bisa, ya tidak diperbolehkan keluar dari tanggung jawab tersebut. Namun sayangnya hal tersebut sama sekali tidak diungkapkan Tia.

Tak berapa lama Riko tertawa. Karena berhasil menggoda Tia.


******

“Haloo..”

Suara Dinda terdengar dari ujung teleponnya. Sedetik kemudian, ia memejamkan kedua matanya dengan kening yang mengerut. Sembari mendenguskan nafasnya. Seketika saja aktifitas bersantainya di hari ia cuti langsung terganggu. Karena ia merasa sedang melakukan kesalahan. Yang langsung mengangkat telepon tanpa melihat siapa yang menelponnya terlebih dahulu. Harus ngomong apa? Pikirnya dalam diam.

“Makasi yaa udah mau ngangkat telepon aku. Maafin aku yaaaa. Maaf, jangan diemin aku begini terus dong. Aku gak suka.” Dinda menyahut kembali dengan nada rendah.

“Aku bukan orang gampang melupakan kesalahan orang gitu aja..”

Seketika saja ia menyahut seperti itu, karena ia sama sekali tidak kuat saat mendengar Dinda meminta maaf berulang kali tanpa bisa mengintropeksi apa yang salah dan bagaimana dirinya saat Dinda melakukan kesalahan tersebut. Dan ia masih kesal dengan hal itu. Bagaimana tidak, Dinda sama sekali tidak tahu kalau dirinya kemarin sampai masuk IGD rumah sakit berulang kali dan sendirian karena tidak selera makan. Sehingga menyebabkan dirinya, jadi memiliki penyakit Gerd.

“Le, ayoo mangan disik…” Suara mama terdengar dari luar kamarnya.

“Sudah yaa, aku udah dipanggil ibu.”

“Kamu lagi pulang? Lagi cuti yaa berarti?”

Tanpa perlu menjawab pertanyaan Dinda. Ia langsung mematikan panggilan tersebut. Karena untuknya, Dinda tidak perlu mengetahui apapun lagi tentang dirinya. Pulang atau tidak, itu bukan urusannya. Itu adalah urusannya sendiri. Urusan yang memutuskan dirinya untuk pulang hanya demi memenuhi permintaan mama untuk pulang. Karena ia sendiri jarang pulang ke rumahnya. Dan itu semua karena Dinda yang setiap dirinya cuti, selalu diberikan untuknya bukan keluarganya.

Riko keluar dari kamarnya. Dari kejauhan ia menatap Rania dan mama sudah duduk rapi di depan meja makan. Sejenak ada perasaan bersalahnya pada mama. Karena selama dirinya bekerja di Jakarta. Ia jarang sekali menggunakan cutinya untuk pulang ke rumah. Tak berapa lama ia mulai menghampiri mama beserta Rania. Dan mulai duduk di meja makan tersebut.

“Bang, kok tumben sih cutinya masih ada?” Rania mulai menanyakan hal tersebut dengan tatapan curiga.

Riko yang baru saja ingin menyendokkan nasi ke piringnya langsung meliriknya. Apa harus aku bilang pada Rania kalau aku sudah putus dengan Dinda? Nanti kalau mama tahu, gimana jadinya? Pikirnya sambil berusaha untuk terus menyendokkan nasi ke piringnya.

“Kamu putus ya sama yang itu?”

Rania mulai sebal dengan abangnya karena Riko tidak mengatakan apapun sehingga dia mulai bertanya kembali. Seketika saja mama mendelikkan kedua matanya.

“Beneran?” ibu ikutan bertanya hal serupa pada Riko.

Dengan perlahan ia mengangguk sementara tangannya kini sudah mulai menyendokkan sayur sop berikut dengan bakso, sosis dan juga tulang belulang ayam yang ada di dalam sayur tersebut. Tidak itu saja, ia ikut mengambil perkedel beserta sambel terasi buatan mama berikut kerupuk udang yang sudah pasti digoreng oleh Rania. Karena kerupuk tersebut sedikit agak gosong.

“Yauda, tidak apa-apa. Cari lagi. Kalau tidak bisa baikkan saja dengannya.” Ungkap ibu dengan santai.

“Buk, aku lagi deket sama seseorang tapi aku ragu sama dia.”

Riko mulai bercerita sambil menyuapkan nasi beserta lauk pauknya ke dalam mulutnya.

“Ragu kenapa?” ibu menjawab dengan rasa penasaran.

“Karena ada kesamaan dengannya..” sahutnya bersamaan dengan mengunyah seluruh makanan yang ada di dalam mulutnya.

“Buk, setuju kamu sama siapapun. Asal kamu tidak lupa dengan keluargamu saja.” Ungkap ibu pada Riko.


******

Riko terduduk di pojok dari sebuah cafe yang mengusung konsep industrial. Sementara pikirannya masih melalang buana setelah Dinda terus menerus, berusaha untuk menghubunginya. Saat ia sedang menunggu pesanannya datang. Ia memesan secangkir kopi cappuccino hangat dan roti bakar sebagai teman bekerjanya. Semenit kemudian, ia langsung membuka laptopnya di sebuah cafe.

Lalu membuka chat kantornya di dalam laptopnya. Satu persatu tab terbuka. Kini ia sudah siap bekerja di cafe tersebut. Sejak perpisahannya dengan Dinda. Ia mengakui dirinya semakin lebih giat bekerja. Hanya agar bisa melupakan kehadiran Dinda di dalam pikirannya. Mungkin karena ia sangat bersedih dengan perpisahan tersebut sehingga berusaha untuk menenggelamkan perasaan sedihnya sendiri.

Riko membuka handphonenya lalu menaik turunkan pesan yang ia dapatkan dari Dinda. Haruskah aku membalasnya, dan mengatakan kalau aku akan memaafkannya? Pikirnya dalam diam. Tak berapa lama ia mengabaikan pesan tersebut. Karena mendadak kedua matanya melihat sesuatu yang janggal dari invoice yang sedang diperiksanya. Dengan cepat ia langsung mengirimkan sebuah chat pada Tia. Namun setelah selesai, ia bukannya mengabaikan handphonenya. Ia ingat hal yang membuat hubungan keduanya renggang.

“Ti, gue nitip roti sandwich ya-”

“Isinya telor setengah mateng, gak pake selada pake saos aja. Sama kopi latte kan? Itukan pesanan elu?” sambar Tia sebelum Riko menyelesaikan kata-katanya.

“Bener banget. Makasi yaa..” sahutnya dengan santai.

Tak berapa lama panggilan terputus di jam 8 pagi. Sejenak ia terdiam sambil memikirkan apa yang bisa ia kerjakan terlebih dahulu.

“Sayang!” suara Dinda mendadak hadir di dalam ruangan kantornya.

Seketika saja kedua matanya terbelalak tajam saat melihat kehadiran Dinda. Ia tidak menyangka kalau Dinda datang ke kantornya pagi ini. Dengan sebuah sandwich dan juga kopi. Sebuah pesanan yang benar-benar sama persis dengan pesanannya. Dan entah mengapa ia langsung berharap kalau Tia tidak datang cepat-cepat karena kalau dia datang disaat seperti ini sudah pasti Dinda akan mengamuk.

“Lah, kamu ngapain kesini? Kamu enggak ke kantor?” Riko menyahut sambil mengeryitkan dahinya. Karena selama bertahun-tahun mereka berpacaran. Dinda tidak pernah sama sekali datang ke kantor. Apalagi saat pagi seperti ini.

“Hari ini aku lagi ada kunjungan ke kantormu, jadi aku bisa sekalian mampir kesini sebentar.” Sahutnya sambil merapikan rambut Riko yang berantakan.

“Oh gitu.. Bagus dong, berarti kita bisa makan siang bareng,” sahutnya santai.

Dinda mengangguk sambil tersenyum lalu sejenak ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Yang sudah memanggil dirinya untuk segera naik ke lantai 5, pada ruang meeting di kantor tersebut.

“Aku pergi dulu yaa. Nanti jangan lupa yaa abis istirahat yaa..” sahutnya pada Riko.

Riko hanya tersenyum pada Dinda yang berjalan keluar dari ruangannya meninggalkan aroma yang sangat disukainya. Beberapa menit kemudian, Tia masuk dengan membawa pesanannya. Dia menaruhnya begitu saja di atas meja kerjanya tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Karena dirinya langsung fokus pada kerjaannya. Dan itulah yang selalu dilakukan Tia.


******

“Coba ganti kertasnya.” Riko menyeru pada Tia yang sedang duduk di depan komputer. Dan meminta Tia mengubah ukuran kertas pada opsi print di dalam komputernya, “Udah belum” serunya kembali yang masih berdiri di depan mesin fotocopy.

Tia mengklik beberapa pilihan dan memilih ukuran kertas A4 bukan Legal. Tak berapa lama dia menekan opsi print. Lalu menatap Riko yang berada di ujung sambil melihat ikon print yang berada di sudut bawah komputernya. Disana tertulis printing. Namun dari kejauhan dia justru tidak melihat ada kertas yang keluar dari dalam mesin tersebut.

“Udah. Udah gue ganti. Udah gue mulai print lagi juga..”

Riko terdiam menatap Tia sembari melihat Dinda berjalan memasuki ruangannya. Dalam diam, ia melihat Dinda langsung terduduk di bangku kosong yang berada di samping meja kerjanya. Sementara kedua matanya sudah heran melihat dua bungkus sandwich yang berada di tempat sampah serta kopi yang sama berada di meja kerja Riko. Dinda menelan ludahnya. Dia menahan emosi pada Riko. Tak berapa lama ia berjalan menghampiri komputer Tia dan mencoba mengabaikan Dinda karena saat itu Tia dan dirinya sedang dalam posisi bekerja.

“Coba liat..”

Dengan sigap Tia memberikan kursor dan mengarahkan layar komputernya pada Riko. Kedua mata Riko langsung menatapnya dan langsung memilih beberapa opsi. Lalu menekan print. Seketika saja suara mesin fotocopy berbunyi. Membuat Tia tersenyum. Bahkan baru menyadari kalau Dinda sudah duduk di bangku kosong tersebut.

“Ciyeeee, yang nyamperin pacar..” Tia menggoda Dinda.

Tapi anehnya Dinda hanya tersenyum kali ini. Tidak ada respon apapun yang diberikannya pada Tia. Tak berapa lama ia kembali terduduk dengan perut yang terasa penuh. Lalu membuah gelas kopi yang kosong di atas meja kerjanya pada tempat sampah. Kini ia sangat tidak ingin makan siang. Ia hanya ingin bekerja saja.

Karena ia telah menelan dua sandwich termasuk minum satu kopi di pagi hari tadi. Hanya saja ia sudah terlanjur janji pada Dinda. Ia tidak enak untuk menolaknya. Tapi hatinya terus menerus berdoa agar dirinya tidak ikut makan siang bersama Dinda kali. Karena dia sudah berada di ruangannya.

“Jadikan ya?” Dinda perlahan menyeru pada Riko dari kursi kosong yang berada di samping meja kerjanya.

Riko hanya mengangguk seadaanya.

“Ko, Riko! Sini deh..” seketika saja Tia menyeru memanggil namanya di depan Dinda. Dengan cepat ia langsung menolehkan pandangannya pada Dinda. Raut wajahnya mendadak berubah. Dia terlihat kesal pada Tia. Karena mendadak memanggil Riko dihadapannya, “Ini kenapa gak bisa digunain yaa?” Tia menyahut kembali.

Dengan cepat Riko langsung menghampiri Tia. Dan membantunya.

Brak!

Seketika saja, sebuah gebrakan meja terdengar dari meja Riko. Dinda sudah tidak bisa mengendalikan amarahnya. Dia sangat kesal dengan perlakuan Riko padanya. Tanpa menunggu lama Tia dan Riko, langsung menatap Dinda.

“Terus aja peduliin Tia. Kamu sadar gak sih? Kalau disini itu ada pacarmu. Orang yang juga butuh kamu peduliin..” sahutnya dengan kesal.

Riko hanya terdiam. Ia kehilangan kata-katanya.

“Aku enggak tau ya, apa yang kalian lakukan di belakang aku. Tapi baru kali ini aku ngeliat sahabat sendiri, merayu pacar sahabatnya.” Sahutnya semakin kesal.

“Ngerayu apaan sih, Din?” Tia menanyakan hal tersebut.

“Halah, jangan sok polos deh. Aku tahu, ini kopi dari kamu kan?”

Dinda mengatakan sambil mengangkat kopi yang berada di meja tersebut.

“Itu-” ucapan Riko terpotong.

“Aku kecewa sama kamu, Ko.” Dinda menyela omongan Riko dan pergi begitu saja.

Sial, ingatan itu justru hadir tanpa ampun, gerutunnya. Seperti kata mereka waktu adalah obat yang paling utama dalam menyembuhkan tapi rasanya tidak seperti itu. Kenapa semakin lama ia ingin sembuh dari perasaan ini, ia semakin terus mengingatnya bahkan jejak aromanya semakin kuat diingatannya. Dalam diam ia, mengeluarkan handphonenya dan mencoba mengetikkan nama Dinda Achari di dalam pencariaan pada media sosialnya.

Dan tanpa menunggu lama, ia langsung mengkliknya. Disana ia melihat, sebuah foto seorang perempuan berambut pendek sebahu dengan pose sedang mencabut bunga mawar yang berada di tangannya, yang telah berdarah. Sebagian komentarnya bilang bagus, cantik dan psycho tapi tidak untuk kedua matanya karena menurutnya, postingan tersebut justru terlihat aneh untuknya.

22 jam yang lalu. Tumben banget dia posting pas saat aku posting. Rambutnya dipotong? Warna bajunya dan captionnya kok kaya menjawab caption gue sih? Dia itu masih sayang atau gimana sih? Kalau sayang, kenapa dia tidak menghubungiku? Tanyanya pada diri sendiri.

350 suka

Dindachari You broke me first.

lihat semua 30 komentar

syamsulain @Dindachari Bagus estetik banget.

kokoachmad @Dindachari Cantik banget kaka.

Fasiah56 @Dindachari Anjirrrr, temen gue psycho abis fotonya.

Galihduniz @Dindachari So beautifull.

22 jam yang lalu

Semenit kemudian Riko mulai kesal karena postingan itu, dan itu membuat dirinya gelisah. Apa mungkin dia merindukanku? pikirnya. Tak berapa lama ia langsung mengerjapkan kedua matanya dengan harapan dapat mencegah ingatan-ingatan lain masuk di dalam kepalanya. Semenit kemudian, ia langsung menegak Cappucinno Late itu perlahan.

Cappucinno Latte hangat itu kini langsung mendadak ia minum sampai habis saat ia berhasil mengingat suara teriakannya sendiri di dalam kepalanya. Riko benar-benar langsung menegaknya dalam beberapa kali tegukan tanpa ampun sehingga cairan kopi tersebut, langsung dengan mudahnya memasuki kerongkongannya seakan meminum air putih. Setelah habis semuanya.

Tak berapa lama. Ia justru membuka galeri handphonenya. Jari jemarinya memilih beberapa foto di dalam galerinya. Foto yang menurutnya sangat sempurna untuk membalas postingan foto yang dilakukan Dinda. Dengan cepat ia memposting foto tersebut tanpa berpikir panjang. Mungkin ini karena perasaan gelisah sekaligus kangen itulah, sehingga membuat dorongan pada hatinya lebih besar untuk membuat sesuatu di dalam postingan Instagramnya.

Benar saja, sepulang lembur dari kantornya. Ia langsung membuka Instagramnya lalu dengan sengaja memposting sebuah foto balasan untuk Dinda. Walaupun ia sendiri tidak tahu, apakah itu untuknya atau bukan untuknya. Tapi bisa jadi itu untuknya. Karena ia baru saja menemuinya di beberapa hari lalu, di swalayan. Belum sampai lima menit, postingannya langsung mendapatkan 62 likes.

Disukai oleh Tia_rasari dan 61 lainnya

89Ricoachmad Tell me what is love. Line by line.

D.O feat JP Saxe, Maren Morris

23 jam yang lalu

Yang pertama, apa ada kemungkinan kita bisa saling berbaikkan? Apa kemarin adalah hal yang tidak boleh dibiarkan begitu saja? Tapi entah mengapa ada satu hal yang mengganjal di hatinya. Namun ia sendiri tidak mengetahui hal apa yang mengganjal itu. Belum lagi, Dinda masih menjadi perempuan yang beraroma floral paling terbaik di muka bumi. Ya, tentu ia tidak buta karena di dunia ini ada banyak perempuan yang bisa jadi beraroma sama sepertinya tapi entah mengapa tidak ada yang sepertinya sekalipun Tia yang mencoba sepertinya. Dan yang paling penting dari kedua itu adalah ketiga. Karena yang ketiga adalah ingatan tentangnya masih terlalu banyak tersimpan.

Tak berapa lama handphonenya berbunyi. Disana tertulis Tia Rasari incoming call. Dengan cepat ia langsung mengangkatnya sambil berusaha duduk.

“Hallo, itu maksud chat yang tadi apa sih?” ungkap Tia dengan lugas.

“Chat apaan? Gue ngechat apa sih mbak?” tanya dengan raut wajah bingung.

Dahinya mulai mengerut. Karena sejak tadi ia benar-benar sedang tidak ingin bekerja. Ia hanya ingin istirahat. Tak berapa lama ia melihat chatnya sendiri di layar laptopnya. Yang sejak tadi memang sudah di buka di layar laptop tapi ia tetap menggunakan handphone untuk mengirim chat pada Tia.

“Iya, yang soal pengembalian itu. Jadi gue harus ngebalikin 500ribu? Kan udah gue kasih kemarin. Udah ada invoicenya. Coba deh dicek.” jelas Tia.

“Oh itu. Nanti yaa, gue liat dulu.” Sahutnya sembari memikirkan jawaban dari pertanyaan yang diberikan olehnya di beberapa saat lalu.

“Oke.”

Dalam sekejap panggilan terputus begitu saja diiringin hembusan nafas panjang dari Riko. Riko terdiam. Sungguh, ia tidak fokus bekerja hari ini. Hatinya yang sedang gelisah dipaksa harus bekerja sama Tia. Ingin marah padanya tapi ia sama sekali tidak bisa, karena yang salah bukanlah Tia, melainkan hatinya dan juga Dinda.

Karena masalah begitu saja tidak pernah bisa diselesaikan dengan baik. Ia terdiam. Dengan cepat ia berusaha untuk memeriksa hal yang dipertanyakan oleh Tia. Di bukanya file penyimpanan yang dimilikinya. Namun pikirannya tetap berlari pada kejadian lima tahun lalu.

Sebuah mobil Jazz terhenti di depan minimarket. Dengan alunan musik yang dikeluarkan dari radio mobil tersebut. Riko dan Dinda terlihat saling diam. Keduanya sama-sama tidak mengucapkan apapun. Kecuali sibuk makan nasi goreng dengan telor dadar. Padahal hari ini adalah hari jadian mereka yang ke lima tahun.

Kalau kata orang, hubungan pacaran di tahun kelima adalah hubungan yang sangat riskan untuk berpisah. Karena akan ada kebosanan yang hadir menyapa di dalam hubungan itu. Dan itu, memang benar apa adanya, karena Dinda terlihat bosan dengan hubungan ini.

“Kamu kenapa diem aja?” tanyanya sambil menyendokkan nasi goreng terakhir dari piringnya.

Dengan perlahan ia menatap pacarnya yang masih sibuk mengunyah kerupuk yang baru saja dimasukkan ke dalam mulutnya. Tak berapa lama dia menatap Riko setelah menelan seluruh makanan ke dalam kerongkongannya.

“Enggak, cuman kesel aja sama kamu. Aku udah berusaha untuk jadi seperti yang dulu buat kamu, udah mencoba loh aku tapi sekarang justru kamu yang berubah..”

“Karena aku lembur di hari jadi kita?”

“Itu tahu.”

Seketika saja Riko tersenyum saat mendapatkan pernyataan dari Dinda. Namun yang memberikan pernyataan sama sekali tidak tersenyum. Bibirnya masih saja terlihat maju beberapa sentimeter.

“Aku gitu kan buat nabung untuk nikah kita..” Ungkapnya begitu saja.

“Tapi enggak harus di hari jadi kita juga kan?”

Dinda menyeru, kali ini nadanya terdengar lebih tinggi dari biasanya.

“Aku bisa ngerti kalau kamu sibuk beberapa bulan belakangan ini tapi seharusnya kamu juga prioritaskan aku juga.”

“Aku prioritaskan kamu kok..”

“Apa yang diprioritasin? Kamu aja udah jarang nanya aku lagi dimana? Seluruh statusku enggak pernah kamu tanya kenapa dan bagaimana aku?”

“Enggak gitu.. aku cuman gak liat doang. Aku ituuuuuu emang lagi sibuk kerja aja..”

“Sibuk kerja apa karena ada Tia?” Dinda semakin kesal dengan Riko.

Seketika saja, Riko terdiam. Ia sama sekali tidak habis pikir, mengapa mendadak nama Tia dibawa-bawa oleh Dinda. Karena menurutnya ia sama sekali tidak bersalah. Ia hanya sebatas rekan kerja saja, tidak lebih. Riko bahkan tidak pernah menaruh hati padanya.

“Tia?” Riko mengerutkan dahinya. Ia menatap Dinda dengan seksama, “Jangan bilang kamu cemburu dengan dia? Denger yaa, dia itu temen kerja aku doang. Gak lebih.” Ungkapnya kembali.

“Udahlah, mana ada orang yang selingkuh mengaku.” Sahutnya dengan ketus. Tak berapa lama Dinda bergegas pergi dan membiarkan sepiring nasi goreng tersebut begitu saja di jok mobil.

Dengan cepat Riko ikut keluar dari mobil tersebut. Ia mengejar Dinda.

“Din! Kenapa sih? Siapa yang selingkuh?” sahutnya sambil berusaha menggapai pergelangan Dinda. Namun dengan sengaja, dihempaskan oleh Dinda. Dan dia terus berjalan tanpa menghiraukan keberadaan Riko, “Terus aja, jalan! Terus! kamu jalan artinya kita putus.” Sahutnya kembali dengan lantang.

Seketika saja Dinda berjalan semakin cepat bahkan kini sudah tidak terlihat lagi punggungnya. Dia sudah menghilang ditelan ramainya kerumunan orang yang sedang berlalu Lalang di taman ini. Bayang-bayang tersebut semakin menusuk hati dan logikanya. Dan akhirnya ia menghentikan untuk mencari file yang akan diperiksa dirinya. Ia memutuskan pulang cepat. Ia tidak sanggup menahan segala emosi yang dimilikinya.


******

Setelah beberapa bulan Riko yang dihubungi oleh Dinda, akhirnya luluh juga. Riko berharap kembali padanya. Dan mereka memutuskan untuk bertemu kembali dengannya di salah satu cafe yang biasa mereka datangi. Mereka ingin mendengarkan alasan demi alasan yang akan dikeluarkan oleh keduanya. Alasan yang tidak pernah bisa diungkapkan oleh keduanya selama dua tahun.

Riko berdeham kecil di bangku pojok dari cafe tersebut. Ia sudah memesan segelas fruity peach dengan es batu yang besar-besar, sehingga membuat gelas tersebut mengeluarkan bulir-bulir air dari luar gelas tersebut. Minumannya sudah mulai berkeringat sementara Dinda belum juga datang. Padahal janjinya jam 6 sore ini, mereka bertemu di tempat ini. Dengan cemas ia mulai mencoba menghubungi Dinda.

“Hallo, udah sampe mana?” tanya tanpa basa-basi.

Dari kejauhan suara Dinda terdengar kecil di telinganya.

“Otw,” katanya begitu.

Tak berapa lama sambungan telepon terputus. Bersamaan dengan kehadiran Tia yang mendadak ada di hadapannya. Ia tersentak kaget.

“Elu?” seketika saja Riko mengeryitkan dahinya.

“Yes, I am,” ucapnya dengan santai.

Riko semakin mengeryitkan dahi. Karena yang dimaksudkan Riko adalah bertanya dan penasaran bukan bahagia melihat dirinya berada di cafe ini. Bahkan hari ini. Dengan cepat, ia langsung celingak celinguk dan berharap kalau Dinda tidak melihat keberadaan Tia yang ada di dalam cafe ini.

“Bukan, elu ngapain di sini?” tanyanya dengan penasaran.

“Lah, emang ini cafe punya bapak elu? Ampe gue gak boleh datang ke sini?” Tia justru balik menanyakan sebuah pertanyaan pada Riko.

Riko hanya mendenguskan nafas panjangnya. Ia merasa agak sulit kalau Tia sudah mengeluarkan pertanyaan balik tanpa menjawab pertanyaannya.

“Gue kesini ya karena gue mau beli makanan dan minuman kaya elu. Gue lagi sama temen-temen gue. Noh, disana.” Ungkapnya dengan santai. Seketika saja ia menolehkan pandangannya pada meja yang diberitahu Tia. Tak berapa lama, Riko menganggukkan kepalanya, “Yauda, kayanya elu gak perlu ditemenin juga. Semoga temen elu, cepet yaa. Kasian itu minuman udah hambar pasti.” Sahutnya kembali. Lalu bergegas pergi meninggalkan Riko seorang diri di mejanya.

Seketika saja ia langsung menatap minuman yang dipesannya sejak sejam lalu. Karena sekarang sudah ada lapisan air putih di atasnya.


******

Dari kejauhan Dinda melihat Riko sedang asyik duduk bersama Tia. Dan dia hanya bisa memantung memandang kebersamaan mereka. Dia sama sekali tidak berminat untuk menghampiri keduanya. Dalam diam, sebuah ingatan lama di dua tahun lalu hadir menyapanya.

Seketika saja Dinda berjalan semakin cepat bahkan kini sudah tidak terlihat lagi punggungnya. Dia sudah menghilang ditelan ramainya kerumunan orang yang sedang berlalu Lalang di taman ini. Kedua matanya mulai berair, karena dia sama sekali tidak menyangka kalau kekasih hatinya lebih memilih putus dengannya. Dibanding mengejar dirinya dan menanyakan alasan yang membuatnya marah selain karena waktu sibuknya. Tapi sayangnya, Riko sama sekali tidak menanyakan hal tersebut.

Pikirannya kalut. Yang ada di dalam pikirannya adalah saat Riko tertawa lepas bersama Tia di depan kantor beberapa saat sebelum dirinya menemui Riko. Mungkin untuk sebagian orang hal itu terlihat biasa saja. Namun untuknya tidak, karena selama mereka berpacaran, ia sangat jarang terlihat tertawa lepas seperti itu saat bersamanya. Ia juga tidak bisa menyalahkan Riko untuk hal itu, karena ketidak bersamaan itu juga karena ulah darinya sendiri. Yang meminta Riko untuk segera menikahinya. Namun karena Riko bukan orang yang berkecukupan.

Mau tidak mau, Riko semakin giat bekerja tanpa pernah mengabarkan Dinda. Dinda awalnya tidak keberatan untuk hal itu. Hanya saja, semakin lama hal tersebut tidak bisa ditoleransi kembali. Karena saat malam juga Riko tidak berhenti bekerja. Tentu saja, Dinda semakin cemas dengan hubungan yang sedang dijalani oleh mereka berdua. Belum lagi saat Dinda mendapatkan cerita dari Riko kalau ia begitu bangga dengan seseorang yang ada di kantornya.

Dinda semakin terdiam. Lalu bergegas keluar dari cafe tersebut. Dia tidak ingin diketahui oleh Riko kalau dirinya sudah datang ke cafe tersebut.


******

Sebuah pesan masuk ke dalam handphonenya. Disana tertulis Dinda.

Maaf, sepertinya aku sudah salah menilaimu. Selama dua tahun aku mencoba mengerti kamu. Mungkin bukan kamu yang salah tapi aku yang salah. Makanya aku mencoba berusaha untuk menghampirimu. Aku berusaha juga untuk tidak peduli dengan rasa sakit yang kamu alami kemarin. Kamu tahu?

Aku bahkan tahu, kalau kamu sampai masuk IGD berulang kali karena aku, Rania yang memberitahuku. Tapi hari ini, aku baru menyadari satu hal aku dan kamu sepertinya sudah tidak bisa bersatu lagi. Terima kasih untuk segala usahamu. Aku tidak bisa melanjutkannya.

Riko membaca pesan tersebut dengan dada sesak. Lagi-lagi, dadanya terasa sangat sakit kali ini. Dua kali sangat sakit, dari yang sebelumnya. Separah itukah kesalahanku? Tidak bisakah kamu memaafkanku? Riko terbangun dari duduknya dengan wajah lesu. Ia mencoba menelpon nomor Dinda namun sayang Dinda telah memblokir seluruh yang berhubungan tentangnya. Satu-satunya hal yang masih tersisa hanyalah media sosialnya. Ia masih bisa melihat dirinya, tapi tidak ada postingan terbaru dari Dinda sepanjang hari ini.

Seandainya saja dia tahu, kepergiannya masih menjadi luka terhebat baginya, yang sampai sekarang pun ia bingung bagaimana menyembuhkannya. Selama dua tahun ia berusaha, selama itu juga seakan tidak ada artinya sama sekali. Ingin rasanya ia pergi dari kota ini. Sayangnya ia sama sekali tidak bisa. Tak berapa lama, nomor kantor menelponnya. Tanpa menunggu lama ia mengangkatnya.

“Rik, besok kata bos besar elu dikasih tugas ke Batam. Untuk inpeksi audit ke cabang?” ungkap Tia tanpa basa-basi.

Seketika saja ia terperanjat kaget. Karena apa yang diinginkan mendadak terwujud. Tentu saja dengan senang hati, ia menerima penugasan itu. Tapi sepertinya tidak mungkin kalau hanya dirinya yang akan diberangkatkan ke Batam. Karena sepengetahuan dirinya, saat melakukan audit, sudah pasti ia membutuhkan team yang bisa membantunya.

“Gue sama siapa?” tanyanya pada Tia.

“Enggak tau, tapi kayanya sama gue. Soalnya gue juga disuruh pergi. Cuman gak tau kapan. Karena kan itu keputusan dari bos besar. Gue mah nunggu arahan doang.” Tia menjelaskan panjang lebar.

Riko tidak menjawab apapun. Ia langsung mematikan panggilan tersebut begitu saja. Karena ia harus segera menyiapkan barang-barang yang mau dibawanya.


******

“Rik, gue mau kesana elu mau ikut gak? Mau belanja..” Tia menanyakan Riko dari luar pintu kamarnya yang sudah terlihat kepala Riko di sela pintu tersebut.

“Sepanas ini elu belanja?” Riko mengeryitkan dahi sambil melirik matahari yang begitu bersinar dengan sangat cerah hari ini, “Yakin?” Riko bertanya kembali rambut yang masih basah. Dan hanya berbalut handuk di pinggang.

Tia hanya menangguk. Tanpa melakukan hal lain. Lalu dia tersenyum dengan sangat manis di hadapannya.

“Enggak, gue enggak mau. Elu aja!” pungkas Riko lalu dengan segera menutup pintu kamarnya. Dan tanpa menghiraukan keberadaan Tia yang masih berada di depan pintu.

Tia melongo saat pintu tertutup dengan sangat kasar, “SETAN! Biasa aja dong nutup pintunya.” Teriak Tia dari luar pintu kamarnya.

Tak berapa lama sebuah tendangan yang dilakukan oleh Tia terdengar sangat nyaring di telinganya. Dan tentu saja itu hanya membuat Riko meringis. Beberapa detik kemudian, Riko sudah berpakaian lengkap. Sudah tiga bulan, Riko berada di Batam bersama Tia di satu mess dengan beda kamar. Lucunya ia merasa sedikit baik keadaannya disini. Dalam diam, Riko terus memandang dirinya di depan cermin yang sangat berbeda dari sebelumnya.

Ia sangat tidak menyangka kalau sekarang dirinya sangat berani mewarnai rambutnya sambil terus mengeringkan rambut yang baru saja ia rubah warnanya. Kini rambutnya berwarna menjadi coklat kemerahan. Dan karena warna rambut itu kini hampir membuat seluruh perempuan menolehkan pandangannya. Karena memang terlihat cocok dengan warna kulit putih yang dimilikinya. Tentu saja, semakin membuat dirinya seperti bintang K-pop yang sedang digandrungi banyak perempuan.

Sejenak ia menghembuskan nafasnya. Pikirannya melayang kesana kemari. Walaupun yang terlihat di depan cermin, ia sangat fokus menggosokkan handuk putihnya pada rambut. Tapi kenyataanya tidak begitu. Mungkin dia tidak mencintaiku. Hanya aku saja yang mencintainya. Atau mungkin hanya akulah yang terlalu berdelusi untuk hal ini. Namun tidak, itu karena dia memang cemburu pada Tia, pikirnya. Tak berapa lama ia kembali menghembuskan nafas sesaknya sambil melemparkan handuk putih tersebut. Karena handphonenya berdering, disana ia melihat nama Tia, tercantum di panggilan.

“Rik, elu mau nitip apa?” Suara Tia menggelegar tanpa ampun di gendang telinganya. Dan tanpa sadar membuatnya menautkan kedua alisnya. “Disini ada koroko, kacang kesukaan elu, coklat, keripik..” serunya kembali dengan penuh semangat.

Sejenak Riko mengeryitkan dahinya saat mendengar suara Tia. Sungguh, Tia dan Dinda sangat berbalik. Namun mengapa dirinya sama sekali tidak pernah bisa marah pada Tia. Ia bahkan menganggap Tia biasa saja. Tidak itu saja, Riko berhasil menjadi dirinya sendiri setelah sekian tahun tidak bisa jujur pada dirinya sendiri.

“Bawel banget sih, nanya mulu.” Riko menyahut dengan nada yang terdengar kasar. Namun karena Tia adalah orang yang paling tidak peduli akan hal tersebut tidak merasa diomelin oleh Riko. Bahkan terdengar seperti sedang menjawabnya.

“Yeekan, ini mumpung lagi disini. Biar sekalian. Biar elu enggak minta-minta cemilan punya gue terus.” Jelas Tia dengan santai.

“Yauda, yauda tunggu gue. Gue susul aja. Biar gue yang milih sendiri.” Sahut Riko.

Tanpa menunggu lama ia mulai bergegas untuk berpakaian dengan sedikit terburu-buru. Sehingga membuatnya kehilangan keseimbangan saat mengenakan celana panjang hitamnya. Tubuhnya menabrak lemari. Membuat seluruh isi lemari bergetar dan tak berapa lama dengan sempurna berhasil menjatuhkan sebuah tumpukan yang berada di dalam lemari bajunya. Sebuah kaos oblong berwarna putih.

Dan bertuliskan komunitas yang pernah ia ikuti bersama Dinda, tergeletak tepat di bawah kakinya. Dengan cepat ia melemparkannya di atas kasur lalu berlalu dari dalam kamarnya. Dan wajahnya semakin kesal lebih dari beberapa jam yang lalu. Karena ia menyesal bertemu dengannya di dalam komunitas itu dan pertemuan lain. Ia kecewa pada pertemuan tersebut. Jika saja, ia bisa memilih untuk tidak bertemu.


******

Sungguh, ia pernah terlalu yakin pada aroma kemarin. Tapi hari ini, ia melepaskan aroma tersebut. Ia meragu setengah mati pada jejak aroma yang diberikan dengan penuh kehangatan beberapa hari lalu, karena telah dengan bodohnya menganggap dirinya akan kembali ke dalam pelukan. Lalu siapa diri ini baginya, yang selalu ada untuknya bahkan selalu mengertinya, adalah sebuah pertanyaan klasik yang tidak pernah mau dijawab olehnya.

Siapa kita?

Bagaimana kita?

Seorang pria dengan wajah bulat dan berambut ikal tersebut berjalan santai menjauh dari meja kerjanya. Setelah sebelumnya pria tersebut berbincang pada Reza di telepon, sahabatnya. Ia terlihat ingin berjalan menuju pantry. Di kepalanya saat ini hanya satu, yaitu menenangkan diri. Setelah beberapa kali dirinya mendapatkan pesan masuk dari orang yang paling ia benci sekaligus ia sayangi. Dan ia masih memiliki pertanyaan mengenai siapa kita? Bagaimana kita? Untuknya.

Namun hal itu sampai sekarangpun belum berhasil ditanyakan olehnya. Dari kejauhan, tiba-tiba saja ia melihat Tia sedang berjalan dengan perlahan keluar dari lift. Ia menghentikan langkahnya dan mengamati tingkah lakunya. Sekilas kepalanya terlihat mengangguk-angguk karena dirinya sedang menikmati lagu RnB yang mengalun di dalam headset yang sedang dikenakannya.

“Pagi,” ujarnya menyapa Tia dengan sedikit senyum tepat ketika Tia sudah berada tepat di sampingnya.

Tia tidak melakukan apapun kecuali melirikkan matanya. Tia melihat ke arah pria itu dengan tatapan heran. Karena tidak seperti biasanya, dia disapa olehnya. Apalagi saat ini ia tersenyum. Sungguh membuat Tia bertanya-tanya. Kini tas ransel yang masih di punggungnya mengenai lengan pria tersebut saat mereka keluar dan masuk secara bersamaan. Anehnya, ada sebuah perasaan kikuk hadir disana.

Tidak, tidak mungkin aku makin jatuh cinta padanya, pria itu mencoba menghentikan pikiran aneh yang mendadak hadir di dalam pikirannya. Kini Riko terlihat terduduk di ruang terbuka dari kantornya. Ia sangat tahu, ini memang bukan ruangannya sendiri. Tapi paling tidak, ia terlihat bisa bekerja dengan sangat fokus di meja tersebut. Jari jemarinya terlihat sangat aktif di atas keyboardnya. Sedetik kemudian, ia menekan tombol alt tab secara bersamaan saat ingin memindahkan layar ke layar yang sebelumnya. Lalu ia kembali mengetikkan sesuatu di dalamnya.

Mengubah dan mengetiknya kembali dalam waktu yang sangat singkat. Dan ini selalu dilakukannya saat Tia mendadak datang ke ruangan kantornya. Ia sengaja sebenarnya, hanya karena ia takut semakin tidak bisa berkonsentrasi dalam bekerja. Tapi sayangnya usaha dirinya untuk konsentrasi justru tidak bisa dilakukannya. Karena Tia sekarang justru menghampirinya keluar ruangan. Tia menutup pintu ruangan tersebut lalu melihat Riko dari kejauhan.

“Riko!” Tia menjerit memanggil namanya sambil menghampiri dirinya.

Lagi-lagi Tia menjerit saat memanggilnya. Kalau dihitung-hitung, tidak ada satu kali Tia memanggil dirinya tanpa menjerit. Ia sendiri sampai heran, mengapa Tia harus menjerit saat memanggilnya. Namun ia sama sekali tidak menanggapi. Tanpa diketahui oleh Tia. Ia menahan perasaan benci pada Tia. Namun Tia sama sekali tidak menyadarinya. Riko hanya senyuman datar padanya. Tapi tetap, ia tidak bisa marah dengannya.

Karena ia tahu, dibalik senyum ini ada luka yang tidak pernah sembuh. Tak berapa lama ia langsung mengambil handphonenya. Ia membuka sebuah pesan di atasnya tertulis nama media sosial Dinda. Seketika saja jarinya menjetik di atas meja bersamaan dengan kedua matanya menatap Tia yang tersenyum di depannya.

“Sayang!” seketika saja Tia memanggilnya.

Tanpa menunggu lama ia langsung membalikkan badannya. Dan menatap Tia dengan heran.

“Ih, pasti kamu lupa deh. Kan kemarin kita udah jadian. Hayuuuuk kita makan siang.” sambungnya saat sudah berada di hadapannya.

Melihat Tia tersenyum dengan begitu ceria membuatnya tersadar. Kalau hidupnya sudah pernah dirampas dunia. Ia juga sudah menyambut badai yang datang di dalam hidup ini selepasnya pergi. Sungguh, hingga saat ini ia tidak pernah lupa akan hal itu. Tapi mungkin Dinda telah melupakannya karena sebelum postingan kemarin, pundaknya telah cukup kuat melihat tawanya bersama yang lain. Jadi jika boleh diri ini memohon sekali pada yang maha kuasa. Tuhan, tolong jangan beritahu diri ini seberapa bahagia dirinya. Tak perlu diri ini tahu seberapa detail bahagianya. Rasanya lelah. Menggambarkannya.

Aman tapi tidak nyaman. Sesak nafas di dalamnya. Seperti itukah kita?

Karena diri ini hanyalah orang yang berhasil melumat bibirnya bukan hatinya. Sungguh, perpisahan di hari jadian yang kelima tahun itu memang bukan keinginan kita. Tapi semakin diri ini, melihat Dinda pergi. Ia semakin tahu kalau mencintainya bukanlah sebuah rencana melainkan sebuah bagian terbaik yang diberikan Tuhan pada diri ini.

Karena diri ini tidak ingin apa-apa lagi dengannya. Ia hanya ingin sekedar percaya dari semua hal itu. Akan banyak hari yang tidak mudah ini akan selalu bisa dihadapi untuk merelakannya. Karena perasaan itu memang tidak bisa hilang. Tapi bisa diganti dengan yang lebih baik. Ya! mulai hari ini, diri ini akan berterima kasih karena akan belajar bertahan dari hal-hal yang mematahkan. Bukan untuk menunggu tapi untuk menemukan cinta yang lain dengan panduan aroma yang sama sepertinya.

“Yuk!” sahutnya kembali. Lalu beranjak dari tempat duduknya.

Dan menutup media sosialnya. Bersama dengan niat, untuk membuka hati pada Tia.


-TAMAT-


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)