Masukan nama pengguna
JATUH
Oleh : Zia Arshavina
Seorang gadis terlihat bingung dan cemas. Daritadi ia berjalan tak tentu arah menelusuri lintasan jalur Gunung Salak. Matanya yang bulat tak berhenti mencari-cari sesuatu. Sambil sesekali melirik ke arah jam di tangannya. Masih pukul sebelas siang.
Kali ini ia berjalan lebih jauh. Masuk ke dalam hutan. Tak peduli rasa lelah, bahkan keringat sudah mengucur membasahi alis matanya yang hitam lebat.
Ia tidak tersesat. Semenit yang lalu ia masih tertawa riang berjalan bersama rombongannya menapaki lintasan yang cukup curam. Namun, di tengah perjalanannya, gadis itu mendengar suara teriakan. Seperti meminta tolong. Karena penasaran, gadis itu memutuskan untuk memisahkan diri dari rombongannya.
“Zia, kamu yakin?” Tanya salah seorang dari rombongan itu.
“Iya. Kalian duluan aja. Aku pengen istirahat bentar,” begitu jawabnya
“Tapi kamu bawa hp, kan? Kalau ada apa-apa hubungi aku, ya!” Pinta orang tadi, menatap cemas pada Zia.
Yang ditatap mengangguk cepat lalu mengeluarkan handpone dari saku. Mengangkatnya sejajar dengan wajah lalu menggoyang-goyangkan benda tersebut, sambil cengengesan pula,
“Aman kok.”
Tanpa merasa curiga, rombongan yang berjumlah tujuh orang itu pun melanjutkan pendakian mereka. Meninggalkan Zia di belakang.
Saat itulah Zia mulai berjalan keluar dari lintasan. Ia memfokuskan pendengarannya sambil melangkah ke mana pun mengikuti sumber suara. Entah kenapa ia tidak merasa aneh ataupun takut. Padahal bisa saja suara itu hanya halusinasinya semata.
“Hey! Aku di sini!” Teriak seseorang, suaranya terdengar jelas sekarang.
Zia berjalan mendekati sebuah gundukan tanah dimana suara itu berasal. Awalnya ia sempat ragu. Apa iya ada seseorang di baliknya? Atau haruskah ia pergi saja?
Namun rasa penasaran mengalahkan semuanya. Langkahnya masih saja bergerak mendekati gundukan itu. Hingga akhirnya ia melihat sebuah lubang yang cukup besar dengan diameter kurang lebih 2 meter. Dan ternyata benar, ada seseorang di sana. Seorang laki-laki yang penampilannya terlihat lusuh. Bajunya kotor terkena lumpur. Kedua lengan bajunya yang panjang sengaja disingkap, menampilkan banyak luka goresan. Sementara salah satu lututnya menganga. Memperlihatkan darah segar mengalir mengotori jeans biru nya.
Zia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Bukan karena lubang itu yang terlalu dalam. Tetapi karena keadaan di Gunung saat itu memang tengah berkabut. Membuat siapa saja akan kesulitan untuk melihat dalam jarak jauh.
Karena masih penasaran dengan laki-laki itu, Zia kembali mendekat. Hingga tanpa sadar, ia terpeleset jatuh ke dalam. Ya, kini ia jatuh ke tempat lelaki itu.
Sementara si laki-laki sempat terkejut mendapati gadis yang dilihatnya barusan, jatuh tepat di hadapannya. Ia pun mengulurkan tangan, membantu gadis itu yang merintih kesakitan. Ada raut panik dan takut di wajahnya.
“Jangan khawatir. Ada aku di sini.” Ucapnya lembut.
Zia menatap wajah lelaki itu. Kini, barulah ia bisa melihatnya dengan jelas. Tatapan mata yang tegas dan meneduhkan. Senyum manis sangat sesuai dengan garis mukanya yang berwibawa. Ada ketenangan dalam hati gadis itu ketika menatapnya.
“Namaku Jenius.” Ucap lelaki itu.
Sekilas, Zia merasa seperti pernah mendengar nama itu. Namun wajahnya terasa asing. Belum pernah ia melihatnya.
“Kamu Zia, kan? Kita satu kompleks perumahan. Kamu tinggal di blok C-4. Kalau aku yang tinggal di blok C-9. Wajar kamu ‘nggak kenal aku. Soalnya baru seminggu yang lalu kami pindah ke sana.” Jelasnya lagi seperti paham dengan apa yang dipikirkan gadis itu.
Tiba-tiba saja Zia teringat bahwa ia memang pernah sesekali melihat lelaki itu secara tidak sengaja. Ia juga pernah mendengar omongan-omongan orang yang mengatakan bahwa Jenius adalah lelaki yang sering mempermainkan hati wanita. Mungkin tak terhitung lagi berapa banyak yang sudah ia sakiti hatinya.
Merasa tak mendapatkan respon dari gadis itu, Jenius berdehem pelan, ”Namamu Zia, kan?”
“Eh, iya.” balas Zia salah tingkah, “Kapan-kapan aku mampir ke rumahmu, deh, boleh?”
“Boleh” lelaki itu tersenyum singkat.
Mereka lanjut berbincang sambil sesekali diselingi tawa. Awalnya Zia pikir lubang itu tidaklah dalam. Tapi ketika sudah berada di sana, ternyata ia salah. Dengan kedalaman kurang lebih empat meter. Cukup sulit untuk memanjat ke atas tanpa bantuan tali.
Handpone Zia pun tiba-tiba saja lowbat. Sedangkan Jenius tidak membawa handpone. Jangankan handpone, perlengkapan penting seperti carrier saja tidak dibawanya. Mau tak mau, mereka harus menunggu sampai ada rombongan lain datang membantu.
“Kok bisa kamu sampai jatuh ke sini?” Tanya Zia. Tangannya sibuk mengobati luka-luka di lengan dan lutut Jenius dengan obat-obatan yang ia bawa.
“Tadi aku mau cari tempat untuk buang air. Karena gak tahan banget, eh gak sadar ada lubang sebesar ini, hehe,” jawab laki-laki itu sambil terkekeh.
Zia menanggapinya dengan tertawa ringan. Kali ini tangannya mulai membalut luka-luka itu dengan perban. Ia melakukannya dengan sangat terampil. Tak butuh waktu lama, proses pengobatan pun selesai.
“Gimana caranya kita keluar, nih? Udah lama banget kita disini.” Keluh Zia. Ia khawatir. Dilirik arloji di tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore.
“Tenang. Kita akan cari jalan keluarnya bersama-sama. Aku gak akan ninggalin kamu. Cukup percaya aku, simpel kok. Oke?” Jenius mengelus kepala Zia lembut.
Gadis itu tersenyum tipis lalu mengangguk pelan. Ditatapnya Jenius, lalu dengan yakin gadis itu bekata,
“Oke. Aku percaya kamu. Aku gak bakal ninggalin kamu juga. Kita harus keluar bareng-bareng!”
Beberapa menit kemudian, terdengar sekumpulan orang yang meneriaki nama Zia. Gadis itu pun bangkit dari duduknya. Ia menyaut panggilan itu dengan semangat.
“Ternyata kamu disini!” Seru salah seorang dari rombongan itu.
Mereka pun mulai mengeluarkan tali dari carrier yang mereka bawa. Tali itu cukup panjang dan kuat. Hanya saja, kondisi Jenius yang tidak memungkinkan membuat ia tak cukup kuat untuk memanjat. Bahkan untuk mengangkat kedua lengannya saja tidak mampu. Hal itu membuat Zia merasa khawatir jika harus meninggalkan lelaki itu sendirian.
“Tidak apa teman-teman. Aku disini bersama Jenius. Kalian turun aja duluan. Lalu laporkan kepada pihak berwajib.” Ucap Zia.
“Jangan bodoh! Kamu kan ‘nggak kenal dia! Ayo naik! Nanti kita cari cara untuk membantunya.” Sahut salah seorang dari rombongan itu lagi.
“Nggak! Aku tetap disini.” Zia tetap menolak.
Akhirnya rombongan itu pergi. Mau tak mau ia mengikuti apa kata Zia. Gadis itu memang keras kepala. Sekali ia mempercayai sesuatu, sangat sulit untuk meruntuhkan pendiriannya. Bahkan teman-teman terdekatnya pun tak mampu menembus benteng pertahanannya.
“Makasih. Aku senang kamu disini. Aku senang kamu percaya aku” Bisik Jenius.
Zia hanya tersenyum. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba datang. Perasaan yang membuat gadis itu memilih untuk tetap disana. Perasaan yang membuat dirinya merasa aman dan nyaman. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta?
Malam pun datang. Untungnya saat itu kabut hilang. Suasana jadi tidak terlalu gelap. Bintang-bintang di langit mulai terlihat. Indah, sangat indah. Apalagi bagi Zia yang kini sedang berbunga-bunga.
Obrolan demi obrolan yang terjalin membuat malam itu terasa cepat berlalu. Kini jam menunjukkan pukul delapan malam. Jenius sudah tidur saat itu. Dengan hanya beralaskan jaket abu-abunya. Tanpa bantal ataupun selimut. Beberapa kain yang sempat Zia bawa di dalam carrier ternyata tertinggal ketika mereka memutuskan untuk berkemah pada malam sebelumnya. Untung saja Jenius masih bisa tertidur nyenyak meskipun tubuhnya meringkuk kedinginan.
Sementara Zia masih menatap langit. Dalam hatinya ia merasa bersyukur bertemu dengan Jenius. Tak pernah ia merasakan perasaan semenyenangkan ini sebelumnya.
“Pssst! Zia!” Panggil seorang perempuan.
Lamunan Zia buyar. Ia menoleh ke atas dan mendapati Laras dan Amar, dua dari anggota rombongannya.
“Kami bawa tali. Ayo naik! Sudahlah tinggalkan laki-laki itu!” Seru Laras.
“Aku tau dia, Zia! Dia bukan laki-laki baik. Tidak seharusnya kamu bertemu dia!” Kini gantian Amar yang berbicara.
“Kalau kalian kesini cuma untuk membicarakan yang buruk tentang Jenius, maka pulang saja! Kalian tidak tahu seperti apa dia, kan?” Sahut Zia malas. Ia mengalihkan pandangannya ke langit. Kesal dengan dua temannya itu.
“Zia! Ayolah. Jangan begitu.” Bujuk Amar sekali lagi.
Zia tak menjawab. Ia malah pura-pura tidur. Sebenarnya ia ingin keluar dari lubang itu secepatnya. Tapi, jika ia keluar, sama saja dengan meninggalkan Jenius sendirian. Belum lagi kondisi lubang saat itu dikelilingi oleh tanah bekas galian. Khawatir jika Zia naik ke atas, tanah-tanah tersebut akan longsor dan menimpa Jenius.
Merasa tak diperdulikan, Amar dan Laras akhirnya pergi. Tak terdengar suara-suara yang memanggilnya lagi. Bujukan untuk ikut bersama mereka juga tak lagi mengusik gadis itu.
Paginya, masih dalam keadaan setengah tertidur, Zia mendengar percakapan antara dua orang. Jenius dengan…? Siapa? Seorang perempuan!
Refleks Zia memaksa dirinya terbangun dan betapa terkejutnya ia melihat Jenius sudah berada di atas sana. Tidak tahu bagaimana caranya naik ke atas. Dan, ia tidak sendirian. Melainkan bersama dengan seorang perempuan. Cantik. Sangat cantik. Perempuan itu diam. Menunduk. Mungkin tak berani menatap Zia, gadis lain yang diketahuinya sempat menemani Jenius. Sementara Jenius, laki-laki itu tampak tenang mengusap bahu perempuan tersebut lalu beralih menatap ke bawah, ke arah Zia yang memandangnya penuh tanya.
“Maaf Zia. Ini salahku. Aku bohong dan ingkar padamu. Tidak akan kuulangi lagi. Aku janji!” Begitu ucapnya.
Zia terdiam. Hanya bisa menatap mereka dari bawah. Ia mengerti sekarang. Bahwa ternyata selama ini, ada seseorang yang ditunggunya. Bahwa sebenarnya Jenius tidak membutuhkan bantuan Zia. Jika diingat-ingat lagi. Sejak awal, Jenius memang tak pernah meminta tolong padanya. Bahkan ketika Zia menemukannya pertama kali di lubang itu, tidak ada sedikitpun kata ‘tolong’ yang keluar dari mulut Jenius. Karena ternyata bukan kehadiran Zia yang diharapkan. Ada sosok lain yang ditunggu kehadirannya. Yang diharapkan akan menolongnya. Dan seseorang itu adalah gadis cantik yang saat ini berdiri di sebelahnya.
Kemudian Jenius pergi begitu saja dengan perempuan itu. Tanpa kesempatan bicara meski sepatah kata, tanpa uluran tangan yang kemarin dijanjikannya, bahkan tanpa sedikitpun rasa peduli akan perasaan yang kini Zia rasakan.
Lalu? Bagaimana dengan Zia? Ia sakit. Bukan sakit di lutut atau lengannya yang lecet. Tapi hatinya. Terluka perasaanya. Ia kecewa. Percayanya dikhianati. Meskipun tidak ada air mata yang menetes. Namun matanya berbicara bahwa sorot kecewa gadis itu tidak pernah dan tidak akan pernah hilang. Seharusnya, ia memikirkan resiko jika tetap bersama dengan lelaki itu dari awal. Dan tak disangka rasanya akan sesakit ini.
Tidak akan ada yang peduli dengan nasibnya sekarang. Ia sudah dipandang bodoh oleh orang-orang. Karena kemarin saat banyak yang datang ingin membantunya. Ia menolak. Saat banyak orang memperingatinya, mati-matian gadis itu membelanya.
Menangis pun kini tidak ada gunanya. Permintaan maaf itu juga percuma. Tidak akan mengembalikan apapun. Sia-sia rasa percaya yang gadis itu berikan. Sia-sia perasaan yang entah apa itu namanya, diberikan dengan tulus pada laki-laki itu.
Tapi yang lebih menyakitkan adalah, tidak ada yang bisa disalahkan. Sebab, perkara hati memang tidak ada yang salah. Zia tidak bisa memaksa Jenius untuk balik menyukainya. Juga tidak bisa menyalahkan perempuan itu yang ternyata menjadi tautan hati si Jenius. Zia. Ya, gadis itulah yang patut disalahkan. Ia salah karena datang di cerita dua insan yang sebenarnya saling menunggu. Ia salah mengartikan perasaan Jenius selama ini. Tentang perhatian dan kasih yang diberikan olehnya, mungkin hanya sebatas menjaga selayaknya laki-laki menjaga perempuan.
Kini gadis itu hanya bisa menunggu. Bukan menunggu untuk ditolong naik ke atas. Ia cukup mampu untuk memanjat. Zia bukanlah gadis lemah dalam hal itu. Hanya saja, ada sesuatu yang harus disembuhkan. Dan hanya waktu yang bisa menyembuhkan, mungkin. Ia lelah. Sangat lelah. Ingin rasanya istirahat. Kalau bisa istirahat yang tak akan pernah lelah lagi.
The End
Kisah ini hanyalah perandaian akan realita yang sering terjadi. Dimana saat ini, banyak sekali kasus percintaan yang rasanya tak masuk akal, namun bagi mereka yang merasakannya menganggapnya sebagai hal yang biasa.
Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa seseorang yang sedang jatuh cinta, akalnya seperti tak berfungsi, membuat tiap nasihat baik sukar untuk diterima.
Cerita pendek ini dibuat sesuai dengan apa yang saat ini kerap terjadi. Rasa percaya tak lagi dihargai. Pengkhianatan dimana-mana. Padahal rasa percaya itu sangatlah berharga. Saking berharganya ia, jangan sampai kita salah menaruhnya. Karena sekali salah, maka bersiaplah untuk merasakan pedihnya kekecewaan. Cerita ini bukan hanya ditujukan untuk hubungan percintaan. Melainkan juga dalam hubungan keluarga, saudara juga teman. Penulis juga ingin menyampaikan untuk tidak bergantung pada siapapun. Jangan mudah untuk menaruh harapan. Percayalah, kamu cuma butuh dirimu sendiri.