Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,432
Janji di ujung senja
Romantis


Janji di Ujung Senja

Taman Lestari sore itu cukup sepi. Angin berembus pelan, menyapu dedaunan kering yang berserakan di jalan setapak. Gena duduk termenung di salah satu bangku taman, menatap kosong ke arah tempat yang tak lagi diisi oleh seseorang.

"Sudah lebih dari tiga tahun aku duduk sendiri di bangku ini," gumamnya lirih. "Tempat kamu dulu duduk di sampingku. Aku terus datang, menunggumu mengisinya kembali."

Ia menghela napas pelan. Matanya memandangi bangku kosong di sebelahnya, lalu terpejam sejenak. Kenangan itu kembali berputar, hadir tanpa diundang.

Flashback

Taman yang sama, waktu yang berbeda. Sore itu, Deren, laki-laki yang Gena anggap spesial, duduk di sampingnya.

"Kamu terlihat serius sekali, Deren," ucap Gena sambil melirik ke Deren.

Deren menghela napas, lalu menoleh padanya. "Ada sedikit masalah."

"Are you okay?" Gena menatap khawatir.

"Yah, hanya masalah keluarga." Deren tersenyum kecil, mencoba menenangkan.

"Aku harap semuanya selesai dengan baik," ucap Gena, tersenyum menyemangatinya.

Deren hanya mengangguk.

"Lihat senja," ujar Gena, mengalihkan perhatian. "Mataharinya mulai terbenam."

Deren mengikuti arah pandangnya. "Indah sekali."

"Sangat indah. Aku suka sekali melihatnya."

"Aku juga," Deren menoleh. "Apalagi melihatnya bersama orang yang spesial."

Gena melirik cepat, lalu tersenyum. "Di mana kamu belajar kata-kata gombal begitu?"

Deren tertawa lepas, memamerkan lesung pipinya. "Itu tulus dari hati, loh."

Gena tertawa kecil. "Baiklah, aku akan percaya itu."

Deren menatapnya lekat. "Dan kamu harus percaya bahwa aku serius padamu."

"Iya, Deren. Aku percaya."

Hening sejenak.

"Tapi, jika suatu hari aku pergi atau menghilang... kamu bakal nunggu aku?" tanya Deren, kini lebih serius.

Gena terdiam, terkejut. "Pergi? Menghilang? Apa maksudmu?"

Deren menarik napas panjang. Ia berbalik menghadap Gena, menggenggam kedua tangannya.

"Masalahku serius, Gen. Aku enggak bisa cerita detailnya sekarang. Tapi kamu harus tahu satu hal, aku sayang kamu. Dan aku ingin kita tetap bersama."

"Kalau kamu harus pergi… janji bakal kembali?" tanya Gena dengan mata sendu.

Deren mengangkat kelingkingnya. "Janji."

Gena membalas kelingking itu dengan tangannya. "Dan janji harus ditepati."

Senja sore itu menjadi saksi janji mereka… dan pertemuan terakhir.

Kembali ke Masa Kini

Tanpa sadar, air mata Gena jatuh membasahi pipinya. Ia berdiri pelan, menatap bangku yang tetap kosong itu.

"Hanya janji... dan senja yang tersisa," bisiknya, lalu memejamkan mata, membiarkan rindunya berbicara dalam diam.

Kini matahari telah berganti menjadi bulan, cukup lama Gena duduk sendiri di bangku itu. Ia berdiri memutuskan kembali ke kosnya. Kosnya cukup dekat dari taman itu, jadi Gena memutuskan berjalan saja.

Di tengah perjalanan, Gena melihat sepasang pasangan yang saling bercanda tawa di sebuah kafe kecil di ujung jalan yang dia lewati.

Bunga mawar merah yang dipegang wanita itu membuatnya teringat dengan Deren yang selalu memberikan bunga tulip saat bertemu.

"Bunga tulip ini adalah lambang ketulusan cinta dan setiap kita bertemu aku akan selalu membawakannya untukmu," ucap Deren saat itu.

Gena menunduk, menarik ujung bajunya. Perasaannya pada Deren belum berubah.

Meski tidak ada hubungan resmi di antara mereka, cinta Deren tulus pada Gena, karena hubungan mereka lebih dari itu, sebuah komitmen yang mereka buat lebih bebas tapi tetap dengan tujuan yang sama dan perasaan yang sama besarnya.

Siang itu, Gena sudah berada di sebuah kafe tempatnya bekerja. Ia bekerja sebagai penulis sekaligus editor lepas, dan Cafe Kita adalah tempat ternyaman baginya untuk bekerja. Di sudut ruangan, dekat jendela besar dengan pemandangan jalan dan cahaya matahari siang menyorot hangat, Gena duduk menatap layar laptopnya.

Tangannya lincah mengetik, namun terkadang terhenti karena pikirannya melayang ke tempat lain. Ke seseorang yang seharusnya sudah kembali tapi tak pernah lagi terlihat, bahkan bayangannya pun terasa jauh.

Tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya.

"Gena," ucap laki-laki itu, lalu langsung duduk di depan Gena tanpa diminta.

Gena menoleh, mengalihkan perhatiannya dari laptop ke wajah laki-laki itu.

"Dion? Enggak biasanya kamu baru datang jam segini," ucap Gena sambil mengerutkan dahi.

"Ya, tadi mobilku ban nya kempes," jawab Dion santai sambil memberi kode ke barista untuk memesan seperti biasa.

"Terus gimana tuh? Sekarang aman?"

"Aman, sudah dibawa ke bengkel." Dion membuka laptopnya sambil tersenyum tipis.

"Kamu sendiri, gimana kerjaannya?" tanyanya, tepat ketika kopi latte pesanannya datang.

Gena menyandarkan punggungnya ke kursi. "Hampir selesai," jawabnya singkat.

Beberapa detik berlalu dalam diam, hanya suara mesin kopi dan lagu instrumental dari pengeras suara yang terdengar samar.

"Oh iya... kemarin aku lihat kamu di Taman Lestari. Kamu masih sering ke sana?" tanya Dion sambil menatap Gena serius.

Pertanyaan itu menghentikan gerak jemari Gena. Ia terdiam sejenak. "Iya... aku masih sering ke sana."

Dion mengangguk pelan. "Kamu ngga capek nunggu?"

Gena menarik napas panjang, matanya menerawang jauh. "Aku ngga tahu."

Sejak hari itu, hari terakhir ia bertemu Deren di taman, semuanya berubah. Deren tiba-tiba menghilang. Tak ada pesan, tak ada panggilan, bahkan media sosialnya pun lenyap begitu saja. Gena mencoba menghubungi, tapi nomor itu tak lagi aktif.

Ia sempat menunggu kabar berhari-hari, lalu berminggu-minggu. Hingga sekarang, sudah tiga tahun berlalu, dan dia masih duduk di bangku taman itu, seolah berharap waktu bisa mundur.

Banyak kemungkinan menghantui pikirannya.

Apakah Deren sakit? Kecelakaan? Atau mungkin sengaja pergi?

Tapi Gena tetap memegang janji itu, janji yang mereka buat di bawah senja: "Aku akan kembali."

"Kamu yakin?" Dion bertanya dengan khawatir sekaligus rasa berharap. Dion yang menyimpan perasaan dalam diam pada Gena dan selama ini selalu memberikan perhatian meski Gena menganggapnya hanya teman. Dion berharap Gena melihat ke arahnya.

Gena mengangguk pelan, mencoba yakin dengan apa yang dia tunggu tak pasti.

Dion tersenyum akan semangat dan harapan Gena yang tak pernah padam.

"Kamu sepertinya butuh sesuatu yang manis sekarang." Dion memesankan cheesecake untuk Gena pada barista.

"Makasih ya, kamu selalu buat aku merasa baik."

"Aku senang jika kamu bisa merasa baik."

Dion mendekatkan wajahnya di meja dengan kedua tangan di atas meja. "Gimana kalau nanti malam kita ke pasar malam?" Tanya Dion menatap lekat Gena.

Gena menaikkan alisnya sambil berpikir. "Hmm... Gimana ya?" Gena mengetuk meja dengan jemarinya sambil menatap wajah lucu Dion yang menunggu jawabannya.

"Ayolah, kita perlu refreshing otak." Dion membujuk Gena dengan mencondongkan badannya, terlihat serius menunggu jawaban Gena.

Gena mengangguk dan sambil tersenyum, membuat Dion tersenyum lebar.

"Aku jemput nanti malam," ucap Dion sambil memberikan cheesecake pada Gena saat pesanannya datang. "Ini untuk tuan putri."

Gena tertawa pelan mendengar candaan Dion. "Terima kasih pangeran," ucapnya membalas candaan Dion.

Gena merasa bersyukur punya teman sebaik Dion yang peduli padanya dan selalu membuatnya tersenyum dan tertawa.

Pasar malam itu ramai, penuh lampu warna-warni dan tawa anak-anak kecil yang berlarian mengejar balon. Udara terasa lebih dingin dari biasanya membuat Gena menggosok tangannya.

"Ini pertama kalinya aku datang ke pasar malam lagi setelah... lama banget," ucap Gena pelan, matanya menatap lampion yang digantung tinggi di atas.

Dion melirik ke arah Gena sambil tersenyum, "Mungkin ini tandanya kamu harus lebih sering diajak keluar."

Gena tertawa kecil, lalu mengangguk. "Mungkin."

Dion menarik lembut tangan Gena, membawanya menyusuri area pasar malam.

Mereka terhenti di stan penjual es krim. Dion merogoh dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang. "Rasa vanila 2, Kak," ucapnya pada penjaga stan es krim itu dan menyerahkan beberapa lembar uang itu saat pesanannya sudah jadi. "Terima kasih." Dion mengambil 2 es krim itu.

"Rasa vanila kesukaan kamu." Dion memberikan 1 es krim pada Gena.

Gena tersenyum menerimanya. "Kamu masih ingat saja."

"Tentu aku ingat," timpal Dion sambil memakan es krim itu.

Mereka berjalan-jalan di area pasar malam sambil menghabiskan es krimnya, mereka berjalan dengan obrolan yang selalu membuat Gena tersenyum dan tertawa.

"Main permainannya yuk," ajak Dion saat es krimnya sudah habis lalu menarik tangan Gena ke stan permainan.

Mereka berhenti di depan permainan menembak boneka.

Dion kembali merogoh dompetnya dan menyerahkannya pada penjaga stan. "Kalau aku menang, bonekanya kamu simpan, biar ingat aku terus."

"Kalau aku enggak simpan?" Gena menantang sambil tersenyum.

"Kamu tetap harus ingat aku," balas Dion cepat, terdengar bercanda tapi sorot matanya terlalu serius untuk dianggap bercanda.

Gena terdiam sejenak, tapi sebelum sempat ia menjawab, Dion sudah mengambil senapan mainan dan mulai menembak.

Satu, dua, tiga dan dia berhasil menjatuhkan boneka kelinci putih yang menggantung paling atas.

"Untuk kamu." Dion menyerahkan boneka itu, ekspresinya bangga tapi juga penuh harap.

Gena memeluk boneka itu pelan. Di dadanya, ada perasaan yang sulit dijelaskan, campuran antara hangat dan gugup.

Mereka mencoba sebagian permainan pasar malam itu, dan berjalan ke arah stan makanan setelah merasa lelah dan lapar.

Dion berjalan memesan 2 nasi goreng dan jus alpukat lalu duduk di hadapan Gena. "Aku sudah pesan nasi goreng dan jus alpukat."

"Makasih ya, Dion."

"ngga perlu makasih."

Dahi Gena berkerut mendengar ucapan Dion.

"Karena aku juga senang jika kamu merasa senang." Dion tersenyum menatap lekat Gena.

Gena balas tersenyum, merasa hangat.

Tak lama pesanan mereka datang.

"Tapi kamu terlalu baik sama aku," ucap Gena sambil mengaduk jusnya lalu meminumnya pelan.

"Karena pasti ada sesuatu," balas Dion cepat lalu menyuapi sesendok nasi goreng ke mulutnya.

Gena bingung lalu bertanya kembali. "Sesuatu apa?"

Dion tidak menjawab, hanya melanjutkan makannya.

"Dion jawab, kamu buat aku penasaran tahu, enggak?" tanya Gena kesal.

Dion tertawa sambil menyeka mulutnya dengan tisu.

"Makan dulu, nanti aku kasih tahu," ucap Dion serius sambil mendekatkan piring nasi goreng Gena.

Gena cemberut sambil memakan nasi gorengnya. Dion kembali tertawa kecil melihat ekspresi Gena.

"Serius, aku kasih tahu pas sudah makan ya," ucap Dion dengan lembut lalu meminum jusnya.

Setelah makan, Dion mengajak Gena ke tempat stan sosis bakar lalu memilih duduk di tempat yang lebih sepi, hanya terlihat beberapa pasangan dan beberapa remaja yang juga.

"Di sini lebih seru, bisa lebih santai duduknya dan enggak ada anak kecil lari-larian," ucap Dion sambil duduk di tikar. Mereka duduk di tanah dengan alas tikar.

Gena ikut duduk. "Sudah kan, sekarang jawab pertanyaan aku tadi." Gena kembali menagih ucapan Dion.

Dion tersenyum. "Kamu siap dengarin?"

Gena mengangguk, terlihat antusias dan penasaran.

Dion merasa gugup, ia menghela napas sebelum memulai bicara. "Aku bakal jujur, aku dari awal ketemu kamu, aku merasa kamu spesial." Dion menatap lekat mata Gena.

"Aku sudah lama mau ngomong ini, tapi aku selalu takut semuanya bakal berubah. Dan sekarang mungkin waktunya aku bicara hal ini," lanjutnya.

"A-aku suka kamu, Gen. Bukan sebagai teman, tapi lebih dari itu. Seseorang yang kamu sukai sebagai pasangan."

Dion kembali menghela napas melihat Gena yang terdiam mendengar ucapannya.

"Aku tahu kamu masih menunggu dia... Tapi aku ada di sini. Selalu ada. Nemenin kamu di tawa-tawa kecil yang kamu pikir cuma candaan. Tapi buat aku, itu berarti banyak."

Gena masih terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena sedih lebih karena hatinya akhirnya mendengar sesuatu yang selama ini dia hindari untuk percaya.

"Makasih sudah jujur, Dion. Tapi aku enggak tahu harus gimana sekarang," ucap Gena menunduk.

"Kamu enggak perlu jawab sekarang, aku bakal nunggu," ucap Dion, dia tidak mau Gena merasa terbebani dengan perasaannya.

"Aku sudah lega bilang jujur sama kamu, dan itu sudah cukup buatku sekarang," lanjutnya tersenyum.

Gena menatap Dion, merasa bersalah tapi tidak bisa apa-apa karena perasaan tidak bisa dipaksa.

"Aku akan yakinkan perasaanku, dan mungkin aku butuh waktu untuk itu." Gena meremas ujung jaketnya.

Dion mengangguk. "Aku paham dan aku selalu nunggu jawaban kamu."

"Aku harap kamu enggak berubah sikapnya ya, tetap jadi Gena yang selalu tersenyum dan tertawa dengar leluconku." Dion menatap Gena penuh harap.

Gena tersenyum. "Tentu."

Dan malam menjadi malam di mana Gena kembali bimbang dengan perasaannya. Ia bingung haruskah dia menunggu seseorang yang tak pasti atau harus memulai dengan orang baru yang perhatian dan tulus padanya.

Gena masih sering ke taman itu sambil meyakini perasaannya. Hubungannya dengan Dion juga masih berjalan seperti biasa. Dion masih sering bercanda dengannya dan membuatnya tertawa dan merasa hangat.

1 minggu, 2 minggu, hingga 1 bulan Gena belum juga memberi Dion jawaban, tapi Dion tetap saja baik padanya.

"Gapapa Gena, aku siap nunggu kapan pun kamu siap jawab."

Dion tidak membebaninya untuk menjawab dengan cepat, tapi tetap saja dia merasa menggantung Dion dengan sesuatu yang tak pasti. Seperti dia yang merasa digantung hubungannya dengan Deren yang tiba-tiba hilang.

Sore itu Gena kembali ke taman itu, taman yang selama 3 tahun dia kunjungi, ia duduk di kursi yang sama, menatap sekeliling mencari sosok yang dia tunggu, karena hari ini adalah hari terakhir dia menunggu kehadiran Deren, dia berpikir dia tidak bisa menunggu sesuatu yang tidak pasti dan ia tak bisa terus terjebak dalam penantian tanpa ujung.

Apalagi sekarang ada Dion yang menunggu keputusannya, seseorang yang mencintainya dan dengan sabar menunggunya membalas cinta itu. Membuatnya selalu merasa hangat dan menemani harinya.

"Kamu di mana Deren? Ini terakhir kalinya aku menunggumu di sini, jika kamu tidak muncul, aku akan anggap kita selesai," ucap Gena lirih, dengan pandangan mencari sosok Deren di taman itu.

Gena bersandar pada kursi, ia menghela napas panjang, memejamkan matanya.

Matahari kini sudah berganti bulan dan Gena masih di tempat itu.

"Sudah cukup aku menunggu, aku harus melanjutkan hidupku tanpa bayang-bayang masa lalu. Terima kasih Deren, kenanganmu tetap akan aku ingat," ucap Gena tersenyum memutuskan akhir dari sebuah penantiannya yang tidak ada hasil.

"Aku harap kehidupan berjalan dengan baik di mana pun kau berada. Dan aku harap jika kita bertemu suatu hari nanti kamu sudah punya seseorang yang lebih baik dariku."

Gena berdiri dari duduknya, ia merasa sedikit lega atas perasaannya. Gena berjalan meninggalkan taman itu. Dengan perasaan yang lebih baik dan lega, Gena berpikir mungkin semua hal tidak berjalan baik, tapi kita hanya perlu bertahan dan menjalaninya. Dia dan Deren memang dekat dulu tapi semua ada masanya, begitulah kisahnya dengan Deren. Meski ada janji di ujung senja yang pernah terucap, tetap saja janji hanyalah janji yang bisa saja teringkari dengan sengaja atau tidak sengaja. Kita punya keinginan, tapi kita juga punya takdir yang sudah ada.

Berbeda dengan hari biasanya, kini Gena merasa lebih bebas, perasaan terasa beda, ia tersenyum dan sepertinya Dion akan mendapatkan jawabannya besok. Gena harap dia adalah takdir yang telah Tuhan kirim untuknya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)