Masukan nama pengguna
"Ibu, Bapak, aku pamit. Doain Ajeng bisa jadi orang sukses."
Ajeng Kartika, ya itulah namaku. Orang-orang menyapaku dengan nama Ajeng. Aku anak tunggal, sebenarnya aku punya seorang kakak perempuan. Tapi ia sudah lama tiada akibat melahirkan anaknya yang pertama. Hari ini aku akan berangkat menuju kota Semarang, meneruskan kuliah di salah satu Universitas Negeri di kota itu.
Ya, jujur saja aku tampak asing dengan tempat dengan sebutan kota Atlas tersebut. Bagaimanan tidak, aku yang hanya anak petani di pinggiran kota bernama Purwodadi, jarang sekali menginjakkan kaki di kota tersebut. Dan kini aku harus tinggal di sana seorang diri demi belajar meneruskan cita-citaku sebagai ahli Akuntan.
Oia... karena jarak Semarang dan Purwodadi tidak terlalu jauh, aku memutuskan berangkat bersama temanku Umi, dengan mengendarai motor matic kesayanganku. Aku dan Umi teman satu SMA kami juga satu fakultas hanya beda jurusan, dia Management Bisnis dan aku memilih Akuntansi sebagai keahlianku, menurutku. He–he–he... padahal aku tidak pintar-pintar banget. Cuma terlalu percaya diri saja.
"Pie... Jeng, berangkat sekarang?" tanya Umi, semangat. Kebetulan Kami kost di rumah Bude Dari Umi.
" Ayo to, sekarang!" jawabku juga semangat.
Dengan kecepatan sedang, aku dan Umi secara bergantian mengendarai motor maticku. Hanya butuh waktu dua jam saja kami sampai di rumah Bude Tatik, Budenya Umi. Bude Tatik ini juga asli Purwodadi tapi beliau menikah dengan orang Semarang, jadi tinggal di sini. Sampai buka kost putri di tempat ini.
Suasana kost Bude Tatik sangat teduh, banyak pohon rambutan dan mangga yang rimbun, sepertinya Bude Tatik ini juga nyambi berkebun buah mangga dan rambutan kali, ya? Pikirku.
"Um... Bude Tatik peleme okeh, bisa rujakan, kita!" Aku berseru dengan mata tidak berhenti memandangi pohon mangga dan rambutan yang sudah mulai berbuah.
"Iyo... kita kalau mau rambutan atau mangga tinggal petik, ha-ha-ha," ucap Umi sambil cekikikan, akupun sama, ikut girang.
Dari kejauhan aku melihat seorang lelaki dengan pakaian aneh tampak duduk di salah satu dahan pohon mangga.
"Heh... Um, kamu liat nggak? Ada cowok ganteng. Duduk di dahan mangga," ucapku lirih sambil menajamkan mata ke arah lelaki itu.
Umi pun tersentak kaget, ia juga tampak menajamkan mata ke arah yang aku lihat.
"Endi to! Aku nggak lihat apa-apa!" pekik Umi sambil memukul pergelangan tanganku.
"Aw... sakit!" pekikku, mengusap bekas pukulan Umi tadi, lalu mataku langsung menyambar tepat di mana lelaki itu duduk membelakangi kami, tapi entah kenapa tiba-tiba ia lenyap tanpa jejak.
"Loh... kok ilang!" pekikku kaget, menengok ke sana dan kemari mencari kemana lelaki itu pergi.
"Lha emang dari tadi nggak ada, kamu itu salah lihat!" ucap Umi, mulai kesal. "Ora usah nakut-nakuti kamu, Jeng!" dengusnya semakin kesal.
"Aku nggak nakut-nakutin loh!" ucapku, masih menegok ke sana kemari.
"Ash... mbuhlah, ayo nemuin Bude Tatik!"
Umi berjalan meninggalkanku yang masih tampak bingung, dan terus menengok ke sana kemari mencari keberadaan pria tampan tadi.
"Um... tunggu!" Aku sedikit berlari untuk menyusul Umi yang mulai jauh meninggalkanku.
***
Setelah bertemu Bude Tatik, kita berdua diberi dua buah kunci kamar. Kost Bude Tatik ini berbetuk leter U, dan kebetulan memang Bude Tatik menyisakan dua kamar untuk kami bedua, maklum saja bulan ini adalah bulan di mana Mahasiswa dan Mahasiswi mulai masuk kuliah, jadi kost-kost semua penuh.
Aku memilih kamar paling ujung, karena menurutku kamar itulah paling sejuk karena pas di bawah salah satu pohon mangga.
"Aku milih sana aja deh, Um. Kita sebelahan, 'kan?" tanyaku memastikan. Umi pun menurut dan mengangguk mengiyakan pertanyaanku.
Aku meminta kunciku, dan hendak berjalan ke kamarku. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan keberdaan ular putih di depan pintu kamarku. Akupun memekik dan berteriak, berjinjit dan menjauh takut jika ular itu menghampiriku.
"Um... Um, ada ular!"
Umi langsung berlari ke arahku, mencari-cari ular itu, tapi anehnya saat Umi datang tiba-tiba ular itu juga lenyap entah ke mana.
"Loh... kok ilang!" pekikku, kaget bukan kepalang.
"Endi... mana ularnya?!" Umi siap-siap dengan membawa sapu yang ia sambar di dekat tembok, ancang-ancang akan memukul ular tersebut.
"Ilang," sahutku bingung.
"Hilang kemana?" tanya Umi, tak kalah bingung.
"Enggak tahu, tiba-tiba ilang." Aku menggigit kukuku, memindai tempat di sekitarku.
"Edan kamu Jeng! Jantungku sampai mau copot!" seru Umi kesal.
Aku menatap Umi dengan tatapan sayu, jujur saja aku takut. Tapi agar Umi juga tidak takut, aku memilih memasang wajah ceria kembali seperti biasanya.
"Aku kayaknya ngantuk deh, Um. Aku masuk, ya? Meh tidur," sahutku membuka pintu kamar, dan Umi mengangguk dan kembali menuju kamarnya.
Saat aku membuka kamarku, hawa aneh mulai masuk dan menyentuh relung sukmaku, entah hawa apakah itu, sempat juga membuat bulu kudukku berdiri karenanya. Tapi ah... kupikir itu hanya pikiranku saja, aku meletakkan tasku yang berisi pakaian-pakaian dan siap merapikannya ke lemari, kunyalakan kipas angin yang memang menjadi salah satu fasilitas di kost Bude Tatik.
Setelah semua selesai, aku membaringkan tubuhku menatap langit-langit kamarku. Tapi anehnya lama kelamaan langit-langit kamar itu berubah menjadi berwarna emas padahal awalnya berwarna putih. Tentu saja hal itu membuat aku kaget dan bangun, namun yang kulihat aku bukan berada di kamarku, tapi ada di sebuah kamar mewah dengan tema jaman kerajaan, ranjangnya berwarna emas, banyak guci sebagai ornamen dan obor-obor sebagai pencahayaannya.
Seorang lelaki muncul secara tiba-tiba dengan senyuman ramah tanpa dibuat-buat, dan aku sepertinya pernah melihat lelaki tersebut tapi entah dimana, setelah dengan susah payah mengais ingatanku, aku ingat jika lelaki ini adalah orang yang aku lihat duduk di dahan pohon mangga tadi.
"Ka–kau siapa?" tanyaku dengan suara bergetar ketakutan.
"Tenanglah Ajeng! Permaisuriku," jawabnya lembut.
Dari mana ia tahu namaku Ajeng? Aku tidak pernah menyebutkan namaku sama sekali. Lalu apa katanya, permaisuri? Apakah orang ini gila, dengan kostum aneh. Pria itu berdandan seperti seorang raja jaman dahulu, seperti lukisan yang selalu kulihat di buku-buku sejarah.
"A–aku tidak mengenalmu! Di mana ini?!" Aku memekik lagi, dan menoleh ke kanan dan ke kiri.
Lelaki itu mendekat ke arahku dan duduk di hadapanku, otomatis dengan reflek aku mundur hingga menyentuh kepala tempat tidur, dan tidak bisa bergerak lagi. Ia menarik kakiku dengan lembut, senyuman selalu menghiasi wajahnya, memang lelaki itu berparas tampan, tapi tentu saja hal itu tetap membuatku merasa takut. Ia terus menarik kakiku, akupun tidak mau kalah dan berontak, tapi sia-sia. Tarikannya begitu kuat, ia mengikatkan sebuah gelang kaki berwarna emas, gelang itu memiliki beberapa lonceng kecil, hingga saat aku menggerakan kakiku, maka gelang gelang itu akan berbunyi.
Cring... cring....
Gelang itu berbunyi saat aku gerakkan kakiku. Gelang apa ini? Aku berusaha melepaskan gelang itu, dengan menarik supaya putus tapi tidak bisa. Sepertinya gelang itu di rancang khusus agar tidak bisa ditarik dan dilepas dengan paksa.
"Percuma, kamu tidak akan bisa melepaskannya," ucapnya lembut.
"Aku mohon lepaskan gelang ini!" pekikku dengan air mata mulai menetes.
"Gelang ini sebagai tanda jika kamu adalah milikku!" sahutnya kemudian menghilang.
Aku terkejut, lalu terbangun dan duduk. Fiuh... untung saja hanya mimpi. Aku melihat kaki kananku. Aku terkejut bukan main. Gelang tadi masih ada di kakiku, aku berusaha terus melepaskannya dengan menariknya, tapi sia-sia gelang itu tidak bisa lepas, kuputuskan untuk berlari ke kamar Umi, dengan keringat yang membasahai seluruh tubuhku aku ke kamar Umi dan mengetuk pintu kamar Umi, aku melihat langit sudah mulai gelap.
"Um....! " Aku menggedor pintu kamar Umi. Tak lama Umi membuka pintu kamarnya memasang wajah kebingungan.
"Apa sih, Jeng?!" pekiknya kesal.
"Um, coba lihat kakiku!" Aku menunjuk kakiku di mana letak gelang tadi bersemayam.
"Kenapa kakimu?" Umi mulai bingung, melihat tingkahku.
"Kakiku, ada gelang!"
Umi tampak memicingkan mata mulai kesal. "Gelang apa? Aku enggak lihat sama sekali!"
Kugerakkan kakiku, gelang itu berbunyi, tapi anehnya Umi juga tidak nendengarnya.
"Kamu nggak denger?" tanyaku semakin panik.
"Enggak!"
"Um... aku takut, kamarku kayanya angker, deh. Aku mau tidur di kamarmu aja!" Aku marangsek dan memaksa masuk ke dalam kamar Umi. Sahabatku itu hanya diam dan membiarkan aku masuk.
Aku duduk di kasur Umi, kamar kami tidak jauh beda semua interiornya tampak sama saja.
"Um... aku mau pindah!" Aku berucap karena begitu ketakutan.
"Wes edan kamu!" dengusnya kesal. "Bapak ibumu udah bayar Bude Tatik buat enam bulan ke depan! Pasti nggak enak kalau mau minta lagi, terus kamu mau pindah kemana?" jelas Umi.
Akupun tersadar, bagaimana cara bapak ibuku kerja bertani jagung dan padi, dan aku hanya bisa pasrah dan membunuh rasa takutku, bersabar hingga enam bulan ke depan.
"Yo ... wes. Aku nggak jadi pindah, tapi malam ini aku tidur di sini, ya?" pintaku dengan sedikit merengek.
Umi mengangguk menyetujui permintaanku.
***
Malam itu kami tidur berdua di kamar Umi, aku mulai terlelap dengan mimpiku. Tapi aneh, ini benar-benar aneh, ketika membuka mata aku melihat kembali kamar itu, tempat yang siang tadi kusambangi, Pria itu tidur di tempat tidur dengan warna emas, ia tampak tersenyum padaku tangannya melambai lalu menepuk ke kasur, memerintahkan aku untuk tidur di sampingnya. Secara impulsif aku mundur menjauh, untuk pergi. Tapi dengan satu jentikan jari telunjuknya, ia membuatku tak kuasa, aku mendekat. Kakiku seolah hilang kendali menghampiri pria itu, tanpa di suruh aku tidur di sebelah lelaki misterius itu.
"Aku adalah suamimu, namaku Fusena yang berarti perpaduan kilau cahaya, aku akan menerangimu setiap saat," ucapnya lembut, dengan bibir ingin menyentuh bibirku. Aku seketika memejamkan mata mendapat perlakuan itu.
Apa-apaan ini, siapa laki-laki ini. Mengapa ia memaksakan kehendak bodohnya, atau mungkin mahluk apa dia. Apa yang membuatnya begini kepadaku. Pertanyaan itu terus memenuhi otakku.
Fusena lelaki itu menyentuh lembut kulitku, jari jemarinya menari dan meliuk-liuk di area sensitifku membuatku tidak berdaya.
'Apa yang akan ia lakukan'
Aku bergumam dalam hati, entah mengapa aku tidak ada daya untuk melawanya seolah kekuatan besar menuntunku untuk tetap tenang atas kuasanya. Hal itu terjadi, kejadian yang harusnya tidak aku lakukan. Mahkotaku terenggut paksa oleh lelaki dengan kostum aneh ini, aku ingin menjerit tapi aku tidak bisa. Aku ingin menolak tapi aku tak kuasa melawan. Kekuatan apa ini, Tuhan. Pikirku.
Setelah ia melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan terhadapku, ia tampak tersenyum puas lalu dengan keadaan polos seperti bayi, ia membisikkan satu kaliamat yang mampu membuatku tercengang kaget.
"Dengan bersatunya tubuh kita, maka mulai saat ini. Kamu adalah milikku, Ajeng. Kamu adalah istriku," bisiknya lembut, jarinya masih menari di atas kulitku menyentuh sejengkal demi sejengkal kulitku, lalu turun ke perutku, dan mengusap dengan lembut. "Di sini akan ada bayi, anakku akan lahir dari rahimmu," imbuhnya lagi.
'Tidak... tidak! Aku tidak mau'
Aku menjerit dalam hati, mendengar perkataan mahluk itu.
Sebuah suara memanggilku dan menggoyang-goyangkan tubuhku. Aku terbangun dengan napas terengah, keringat sebiji jagung keluar dari tubuhku.
"Kamu kenapa?" tanya Umi khawatir.
Mataku langsung memindai seluruh kamar, mencari keberadaan pria bernama Fusena. Tapi syukurlah dia tidak ada. Aku langsung memeluk tubuh Umi.
"Um... aku mimpi buruk, aku takut. Ada laki-laki bernama Fusena, ia berkata jika aku adalah istrinya bahkan dia mempe*kosaku!" pekikku.
"Apa?! Kamu cuma mimpi, Jeng." Umi menghiburku
"Enggak, Um. Dia tampak nyata untukku, dia melakukan itu padaku!"
Umi langsung mengambil segelas air putih, dan menyuruhku minum.
"Minum ini!"
Setelah minum aku bersandar di dinding kamar Umi.
"Um... aku nggak akan tidur, karena dia datang di mimpiku. Aku harus tetep terjaga, agar dia nggak datang lagi," ucapku.
"Kamu tenang, Jeng. Ayo tiduran, biar kamu sedikit tenang. Baca-baca surat pendek biar dia jauh." Umi menghiburku, meskipun ia tidak tahu apa yang aku alami.
***
Hingga subuh aku tidak tidur sama sekali, tetap terjaga agar Fusena tidak masuk ke dalam mimpiku lagi.
Karena matahari mulai meninggi, dan pasti hantu takut dengan siang hari, aku memutuskan untuk kembali ke kamarku, bersiap untuk ke kampus. Saat aku membuka pintu kamarku, sebuah tangan menarik tubuhku.
Fusena berdiri di hadapanku dengan muka marah, ia tampak mengerang seolah kemarahan tengah menguasainya.
Aku memejamkam mata karena takut, ia memaksaku untuk menciumnya, aku tidak mau, dia mencengkeramku dengan kuat sehingga aku kesakitan.
"Lepaskan aku!" teriakku gusar.
Dia melepaskanku, karena mendapat peluang. Aku pergi keluar mengambil kunci motorku, aku ingin pulang saat ini juga. Sementara Umi memanggil-manggil namaku, aku bergeming dan tetap tancap gas. Namun saat aku akan keluar dari pagar sebuah truk menghantamku dan motorku, aku terlempar tepat di bawah kaki Fusena yang entah bagaimana caranya ia sudah berdiri di sana. Ia menatapku dengan tersenyum ramah dan berkata lembut.
"Ayo pulang!"
Ia mengulurkan tanganku kepada tangannya, aku menggapainya dan berdiri. Aku menengok ke belakang, melihat tubuhku bersimbah darah dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Nyawaku telah terlepas dari ragaku, kini aku telah benar-benar menjadi istri Fusena mahluk halus penghuni kostku.
End~