Masukan nama pengguna
Dingin angin pagi kami tembus demi bisa segera sampai ke desa tempat keluarga Mas In--suamiku--berada. Sejak awal menikah, kami memutuskan mengadu nasib dengan bekerja di ibukota provinsi. Hari ini, untuk ke sekian kalinya kami harus mengendarai roda dua menempuh jarak yang tidak dekat. 200 kilometer lebih harus kami lewati demi bisa merayakan hari raya Idulfitri bersama keluarga besar Mas In.
Jalan perkebunan yang masih berbentuk tanah kuning berbatu harus kami lewati. Namun, di perjalanan kali ini aku merasa sedikit tidak nyaman. Entah mengapa, tetapi dalam hati aku merasa ada hal beda. Gelisah, cemas, dan lelah telah mendera, padahal kami belum menempuh setengah dari jarak yang ada.
"Mas, minyak motor udah full, kan?" tanyaku pada Mas In, selepas kami beristirahat untuk sarapan di sebuah rumah makan yang menyajikan menu masakan khas Sumatera Barat.
"Iya, ini kita isi dulu sebelum berangkat lagi. Kamu belilah air buat minum nanti di jalan," sahut Mas In sambil membetulkan posisi tas di bagian depan motor karena putra pertama kami akan mendudukinya saat motor kembali berjalan.
Setelah semua siap, kami pun berlalu meninggalkan halaman rumah makan, kembali menyusuri jalanan yang semakin sepi. Hanya sesekali kami menjumpai kendaraan pribadi atau truk yang mengangkut buah sawit milik PT. Setelah kurang lebih tiga puluh menit berjalan, kami mulai melewati hutan dan belukar yang cukup lebat. Jalanan lebar hanya terdapat jejak kendaraan roda empat pada bagian kanan jalan saja. semakin jauh kami berjalan, semakin sepi dan akhirnya tidak kami jumpai satu orang pun.
"Mas, tumben sepi banget, ya?" ujarku saat merasa ada yang aneh. Walau telah terhitung tahun kami baru kembali pulang, tapi jalanan menuju ke daerah trans itu biasanya ramai oleh kendaraan roda empat dan motor, bahkan terkadang kami menjumpai warga yang berjalan menuntun ternak mereka.
"Iya, Dek. Heran juga, ke mana orang-orang, ya?" sahut Mas In.
"Iya, kan? Aneh aja masih jam segini jalanan udah sepi."
Mas In tetap memacu motor mengikuti jalan yang memang hanya satu-satunya di depan kami. Lagi-lagi aku merasa ada keanehan dengan jalan yang kami lewati.
"Mas, sejak kapan di sini ada hutan karet? Bukannya biasanya cuma sawit sama hutan biasa, ya? Ini juga, kayake jalan ini baru kita lewati." Aku kembali berbisik di telinganya.
Firasatku mengatakan jalan yang kami lewati ini salah. Namun, salah di mana? Bukankah sejak awal memang jalan itu satu-satunya yang kami lalui setelah bersitirahat satu jam lalu? Aku hanya berani mengucapkan isi pikiranku untuk diriku sendiri.
Seolah sadar, Mas In menghentikan motor, lalu mengamati sekitar kami. Bukan hanya sekali, dia beberapa kali menoleh ke kanan dan kiri jalan, lalu menoleh ke belakang, seolah memastikan jalan yang kami tempuh ini benar.
"Iya, ini jalannya, Dek. Biasanya juga lewat sini. Mungkin karena udah lama nggak pulang, jadi kamu pangling sama jalannya," jawab suamiku itu.
"Tapi, Mas ...."
"Udah. Ayo, jalan lagi. Keburu tambah siang, nanti tambah panas. Kasian anak-anak."
Aku pun menurut, tanpa bertanya, aku kembali menaiki boncengan, membetulkan ikatan kain jarik yang membungkus putra ke dua kami, lalu bepegangan pada pinggang Mas In. Entah firasatku yang peka atau memang ada hal lain, aku merasa ada berpasang-pasang mata yang mengamati kami. Namun, tiap aku mencoba mengamati sekitar, aku hanya melihat jajaran pohon karet.
Sudah lebih dua jam kami menempuh jalan lebar dengan tanah merah berkerikil, tetapi belum ada satu rumah penduduk pun yang kami temui. Lama-lama, hutan karet di kiri dan kanan jalan tidak lagi tampak terang, justru semakin lebat dan gelap. Kali ini aku sudah tidak tahu lagi harus berkata apa pada Mas In. Di boncengan, aku hanya bisa terisak dan dalam hati aku membaca doa dan surat-surat pendek semampu yang aku ingat.
Mendadak Mas In mengerem motor membuat helm kami beradu cukup kencang. Dia menghela napas, lalu beristigfar dan menoleh padaku yang sudah terisak sambil memeluk putraku yang gelisah dalam gendongan.
"Mas," bisikku sambil menatap Mas In.
"Iya, kita tersesat. Aku pikir kalau kita terus jalan, bakal ketemu jalan yang bener, tapi ternyata emang mereka mau main-main. Jangan nangis, minumlah dulu. Baca aja yang biasa kamu baca, usap air ini ke anak-anak." Mas In menyodorkan sebotol air mineral padaku, aku terduduk lemas di samping motor sambil menajamkan mata, berjaga-jaga jika melihat sesuatu yang berbahaya. Selesai membaca doa, kuminum tiga teguk air dari botol, kuminumkan juga pada anak sulung dan bayi tujuh bulan yang ada dalam dekapanku. Kemudian kutuang sedikit air ke telapak tangan, dan kubasuhkan ke wajah mereka secara bergantian.
"Mas, gimana sekarang? Di depan itu kuburan, kan? Gak ada jalan lain. Itu udah jalan buntu." Setelah rasa takutku sedikit berkurang, aku memberanikan diri bertanya pada Mas In yang diam dan menatap tajam ke arah jalan yang tadi kami lalui.
"Sebentar lagi, ya. Jangan berhenti zikir. Sebentar lagi pasti kebuka jalannya," jawab Mas In.
Aku tahu, walau dia tampak tenang, dia tidak baik-baik saja. Tampak dari keringat yang mulai menetes dari pelipisnya. Sejak awal mengenal Mas In, aku tahu dia istimewa dengan kelebihannya itu. Aku hanya mengangguk dan kembali melafalkan zikir sesuai titah Mas In. Tangan kiriku mendekap si kecil dan tangan kananku memeluk putra sulung kami yang duduk di sampingku.
"Kalian mau ke mana? Ini sudah mau malam, kenapa masih di sini?" Suara seorang perempuan membuatku menjerit karena terkejut. Mas In langsung menggenggam tanganku yang ada di bahu si sulung.
"Iya, Mak. Sepertinya kami tersesat. Makanya kami istirahat dulu sebelum balek lagi, nyari jalan lain." Mas In menjawab dengan sopan dan disertai senyum.
"Anak berdua mau ke mana? Itu, kasian bayinya." Kali ini seorang pria datang menghampiri kami dari arah makam dengan menuntun motornya.
"Mau ke Kota Baru, Atuk."
"Ayo, bareng kami aja. Nanti kami tunjukkan jalannya. Kebetulan ketemu di sini, kami tadi ke makam, lihat anak."
Mendengar percakapan suami dan pasangan tua itu, entah kenapa seluruh tubuhku meremang, seolah semakin banyak saja mata yang mengamati.
Akhirnya, Mas In menstarter kembali motor matik yang sudah hampir satu jam dia matikan. Dengan mengucap bismillah, akhirnya kami mengikuti pasangan sepuh yang lebih dahulu berjalan di depan kami. Entah kebetulan atau memang pada dasarnya memang benar jalan yang kami lalui adalah jalan sebenarnya, kami mulai melihat jajaran rumah penduduk dan jalan yang kami lalui juga tampak bersih, tidak lagi tanah merah seperti saat kami berada di sepanjang hutan karet tadi.
Setiba di simpang tiga, tampak ada jalan berbeda kondisi, di jalan yang lurus tampak sunyi dan suram, di sebelah kiri, tampak jalan lurus berbatu penuh debu, di sebelah kanan, kami melihat jalan aspal dan jajaran rumah penduduk trans.
"Anak berdua, silakan lewat sana. Itu jalan ke Kota Baru. Kami pamit, ya. Semoga kalian selamat sampai rumah keluarga kalian. Assalamu'alaikum." Pasangan tua itu menunjuk pada jalan aspal perkampungan dan berpamitan pada kami. Wajah keduanya selalu penuh senyum, tampak bijaksana.
"Terima kasih bantuannya, Amak, Atuk. Kami juga permisi, mau melanjutkan perjalanan. Wa'alaikumussalam."
Baru saja kami bersiap untuk kembali menjalankan motor, satu sapaan membuat kami mengurungkan niat. Kami pun menoleh pada orang tersebut.
"Mas sama Mbak mau ke mana dan dari mana? Kayaknya dari jalan jauh, ya?"
"Iya, Mas. Kami dari Pekanbaru, mau ke Kota Baru," jawab Mas In.
"Lho, lah ya kejauhan kalau lewat sini, Mas. Harusnya tadi Mas lewatnya jalan yang lurus waktu sampai portal kebun Lindai," ucap lelaki tersebut.
"Bukane jalannya cuma satu, ya? Aku ngikuti jalan yang ada aja, Mas," sahut Mas In.
Kami memilih menepi dan mengistirahatkan mesin beberapa saat sembari minum karena rasa haus mendera dengan sangat.
"Wah, sampeyan pasti dialihkan ini," ujar lelaki seumuran Mas In itu. "Sampeyan tadi lewat jalan merah kebun karet, kan?" Lanjut lelaki tersebut.
"Iya, Mas. Jadi beneran kami tersesat?" seruku.
"Iya, Mbak. Sudah banyak yang ngalami. Kebanyakan malah ditemukan warga dalam kondisi pingsan. Untung sampeyan berdua bisa keluar dari sana."
"Kami ketemu suami istri dari makam, Mas." Mas In menyahuti ucapan lelaki yang memperkenalkan diri bernama Wanto itu.
"Siapa lagi? Lha dari tadi aku perhatikan sampeyan cuma bedua aja, lho."
Mendengar itu, bergegas kami mengakhiri perbincangan, kami pun pamit dan meneruskan perjalanan sesuai arahan Mas Wanto. Alhamdulillah, akhirnya kami tiba di pasar Kota Lama setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tujuh jam. Waktu tempuh yang seharusnya hanya empat jam maksimal. Karena tersesat, kami menempuhnya hampir seharian.
Setelah melepas lelah dan menghabiskan makan siang yang terlewat jauh, kami meneruskan perjalanan yang masih berjarak sekitar dua belas kilo meter lagi.
☘️☘️☘️