Cerpen
Disukai
2
Dilihat
6,466
Izinkanlah Aku Memakan Hatinya
Aksi

Diy, ini sulit. Bagaimana jika kedua kakimu masih ada namun kedua kaki itu tidak dapat digunakan lagi? Apakah seperti ini rasanya? Dapatkah kau merasakan apa yang kurasakan? Ketika semua pengharapan hancur bersamaan tiada tersisa. Benar, aku masih bisa bernafas, namun yang kurasakan hanyalah hampa. Hidup tiada makna ketika yang kulakukan semua sia-sia. Orang-orang yang kusayangi telah tiada. Lalu untuk apa semua ini? Diy, begitu sulit rasanya ketika kau memiliki semua hal namun kau sendiri merasa kosong tiada arah. Hidupku seperti mayat hidup, berjalan tanpa nyawa.

Lamunanku terputus oleh suara pintu yang diketuk dari luar. “Masuk”, kataku singkat sambil berdiri merapikan jasku. “Tuan, semua sudah menanti anda. Podium sudah kami siapkan.” Aku mengangguk tanda mengerti. Segera ia menutup pintu kembali dan meninggalkanku seorang diri diruangan hening ini. Aku membetulkan letak dasiku lalu menyeduh minuman itu untuk yang terakhir kalinya. Kuraih map bahan presentasiku lalu berjalan meninggalkan ruangan. Di sepanjang lorong menuju ruangan konferensi pers, aku dikerumuni banyak wartawan dan mahasiswa. Aku berjalan diiringi dengan lima pengawal sehingga masih memiliki ruang untuk berjalan dengan leluasa. Berbondong-bondong pertanyaan dilontarkan kepadaku namun tak satupun yang kutanggapi. ”Nanti saya akan membahasnya di forum”, jawabku singkat.

Ketika aku mendorong pintu itu, seketika banyak kamera yang menyorot dan memotret kearahku. Dengan langkah sigap aku menuju podium dan mengeluarkan sekumpulan kertas yang sedari tadi aku sisipkan rapi didalam map. Seisi ruangan tampak hening mendengarkan ketika aku mendekatkan bibirku kearah mikrofon.

Entah bagaimana kisahnya hingga aku bisa sampai di titik ini. Semua tampak begitu cepat. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan bergilir musim. Musim bergilir tahun, dan seterusnya. Tak terasa usiaku sudah menginjak empat puluh lima tahun. Hai. Perkenalkan, namaku Czarin. Aku hidup seorang diri. Ya, benar, seorang diri. Kau tidak sedang salah baca. Aku kehilangan keluargaku sejak aku masih berusia delapan tahun. Bagaimana aku bisa selamat? Waktu aku dan adikku bermain diluar, orang-orang itu berbondong-bondong menyerbu rumahku. Entah apa yang terjadi, aku dan adikku terus berlari dan berhasil meloloskan diri dengan menyelam di danau yang didalamnya dipenuhi dengan alang-alang hijau. Tetapi mereka tidak berhenti disitu. Mereka terus menembaki kita didalam air dan berharap kita mati. Aku dan saudaraku berenang terus lebih dalam berharap peluru itu tidak dapat menembus volume air. Beberapa peluru nyaris mengenai lengan dan kakiku. Tumit kiriku tergores oleh peluru yang sekali lagi berhasil menembus volume air itu. 

Dengan cadangan oksigen seadanya, aku terus mengenggam tangannya dan menyelam lebih dalam lagi menghindari tembakan peluru-peluru itu. Seketika kurasakan tubuhnya yang semakin lama semakin berat. Aku terhenyak ketika menyadarinya telah terkena beberapa tembakan dan tubuhnya mengeluarkan darah merah. Dengan berat hati aku melepaskan genggamanku pada tangannya dan membiarkan tubuhnya tenggelam. Dada terasa sesak menyaingi sisa-sisa oksigen yang masih ada. Ia gagal melewati semua ini. Kulihat didasar sana ada lubang. Sepertinya itu mengarah ke sisi lain danau ini. Dengan segan aku berenang memasukinya dan mengikuti arus air kemanapun ia membawaku pergi. Disisa-sisa oksigenku, aku menyembul keluar dari air dan kulihat tempat yang belum pernah aku datangi sebelumnya. Sebuah pemukiman terpencil yang tertutupi oleh pegunungan dan lembah. Hanya terdapat beberapa jiwa saja disana. Itulah hari terakhirku melihat satu per satu wajah keluargaku. Sejak saat itulah aku mengganti nama belakangku untuk menghilangkan jejak menyadari sesuatu hal yang ganjil.

Jadi seperti itulah desain pesawat ini. Evgenij, nama yang akan saya tulis pada badan pesawatnya.” Aku menunjuk pada layar proyektor yang terpampang lebar disisi kanan. Semua orang menatap layar dengan takjub. “Saya telah bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan untuk bersama-sama membuat desain pesawat ini menjadi kenyataan agar segera dapat dimanfaatkan untuk perkembangan ilmu pengetahuan antariksa kita. “Silahkan jika ada pertanyaan, saya beri kesempatan untuk tiga orang saja karena saya ada rapat dengan beberapa CEO perusahaan.” Aku menunjuk seorang pemuda yang duduk dibelakang. Ia mengenakan baju panjang kebawah menyerupai jubah yang ketat dengan bagian bawahnya yang menjuntai ke lantai. Warna bajunya berwarna abu-abu teduh dengan kerah baju yang berdiri menyentuh rambut belakangnya yang berwarna putih, mungkin lebih tepatnya berwarna perak. Tatapan mata ungu menyalanya menyorot langsung kearahku. “Terimakasih atas kesempatannya. Perkenalkan nama saya Jascha. Saya mahasiswa ilmu penerbangan di Universitas Recht Berg. Pertanyaan saya adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga pesawat siap untuk diuji coba? Sungguh, saya akui bahwa penemuan anda ini sangat amat bermanfaat dan berguna demi kemajuan pengetahuan antariksa kita.” Aku tersenyum simpul lalu menjawab, “Setidaknya dengan banyaknya dukungan dari perusahaan pesawat yang turut serta berkontribusi, pesawat ini akan rilis secepatnya dalam beberapa hari kedepan. Ini akan menjadi sejarah terbesar umat kita.” Ketika aku akan menunjuk penanya kedua dan ketiga, tiba-tiba asistenku naik keatas podium dan membisikkan sesuatu padaku. “Maaf sekali atas waktu yang terbatas ini, konferensi pers kita akhiri sampai disini dikarenakan baru saja terjadi kecelakaan kecil di pabrik. Mohon maaf sekali lagi atas ketidaknyamanannya. Begruysung.” “Begruysung.” Semua orang diruangan berdiri lalu membungkukkan badan tanda memberi salam.

Orang-orang mengenalnya sebagai Czarin. Tuan Czarin. Seseorang dengan daya kejeniusannya yang tak ada bandingannya. Entah terbuat dari apa isi kepalanya itu. Ini adalah kali pertama aku bertemu dan memandang sosoknya yang berdiri tegap diatas podium. Setelah berlarian dan berdesak-desakan diantara wartawan serta mahasiswa lainnya, akhirnya aku mendapatkan tempat didalam dan menyaksikannya secara jelas presentasinya yang membuat takjub semua orang. Sosoknya yang berdiri tegap, tatapan mata ungunya yang menyala-nyala dengan api semangat tampak begitu berkharisma. Jubah panjangnya mengikuti irama ketika ia melangkahkan kaki menguasai panggung. Jemari putihnya sesekali menyibak ujung-ujung rambut putih yang terjuntai didepan daun telinganya yang runcing. Sesekali kacamatanya memantulkan cahaya dari lampu ruangan sehingga membuat logam itu mengkilat.

Pesawat luar angkasa bernama Evgenij adalah mahakarya terbarunya. Pesawat berbentuk piringan hitam dengan diameter yang cukup besar. Aku sangat amat tertarik dengan semua hal mengenai dirinya. Pada sesi tanya jawab, aku mengangkat tanganku. Tuan Czarin pun sempat memandang kearahku. Namun seketika seseorang naik keatas podium lalu membisikkan sesuatu pada beliau. Kemudian, beliau menutup konferensi pers tersebut. Sedikit kecewa sejujurnya, tapi tak apa. 

“Bagaimana keadaan mereka?”, tanya lelaki paruh baya itu pada salah satu staf kepengawasan. Terlihat jelas raut wajahnya yang cemas. “Semua baik-baik saja tuan Czarin. Mereka hanya mengalami luka ringan. Terjadi sedikit masalah pada listrik ketika mereka bekerja lalu seketika listrik itu menyambar kearah mereka.” Hening sesaat. Wajah dan telinga tuan Czarin yang putih itu memerah karena menahan amarah. “Aku berharap bahwa aku salah mendengarnya. Namun akan kucatat itu baik-baik. Seperti itu kau anggap sebagai luka ringan? Segera hubungi keluarga mereka dan katakan bahwa perusahaan akan bertanggung jawab sepenuhnya atas kejadian ini.” Puluhan mata yang semula menunduk seketika terangkat memandang laki-laki paruh baya yang bernama Czarin itu. “Dan sepertinya anda memerlukan waktu untuk liburan, akan aku urus itu secepatnya.”

Ia kemudian kembali ke ruangannya dan mengusap keningnya. Dipejamkannya kedua matanya yang terasa panas itu. Satu hari lagi yang melelahkan kembali terjadi. “Tidak, tidak usah. Biar aku saja yang merapikannya nanti. Aku tidak terburu-buru”, seketika ia bangun dari duduknya ketika asistennya hendak merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas mejanya. “Baik tuan. Tadi pak Gri menyampaikan permintaan maafnya kepada anda. Ia merasa bahwa ucapannya sungguh tidak pantas.” “Aku hendak istirahat dulu sambil menanti kedatangan tuan Kar.” Tuan Czarin tidak menanggapinya.

“Kenapa kita selalu berpindah-pindah, ayah?” Ayahnya tampak meletakkan koran yang dibacanya lalu menatap putra sulungnya yang tengah menatapnya dengan tatapan sendu. “Dengarlah, Czarin. Fomk, nama yang tertera diakhir nama kita adalah nama yang sudah tertuliskan di kitab ramalan mereka sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Kita diburu. Mereka menginginkan sesuatu dari kita. Maka dari itu kita harus bersembunyi.” Ia menggaruk daun telinga runcingnya yang tidak gatal tanda tidak mengerti apa yang sedang diucapkan oleh ayahnya. “Kenapa kita tidak melawan?” “Karena ayah tidak ingin kehilangan satupun dari kalian. Pertarungan adalah cara yang pengecut. Pertumpahan darah, kita tidak perlu melakukannya. Ayah harap kau akan memahaminya suatu hari nanti. Nama-nama fomk di era sebelumnya telah ditaklukan. Hanya kita yang tersisa. Bahkan kakek nenekmu tertangkap tanpa perlawanan. Mereka gugur dengan sangat mulia. Namun sampai detik ini pembunuh-pembunuh itu masih belum mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka terus memburu Fomk-Fomk lainnya.” Ayahnya menyentuh lembut dada putranya.

“Ayah, aku tidak bisa tidur.” Diy keluar dari bilik kamarnya. Ujung-ujung rambut putihnya tampak tak beraturan. Beberapa terjuntai kedepan menutupi alis putihnya. Terlihat senyuman simpul ayahnya lalu menoleh kearah Czarin. “Maukah kau membantu ayah menyelesaikan misi tersulit dan berbahaya?” Anak kecil itu mengangguk antusias. Mata ungunya terlihat berbinar-binar. Laki-laki paruh baya itu mendekatkan bibirnya ke telinga putranya. “Temani Diy tidur.” Seketika wajah Czarin berubah bersungut-sungut. “Itu sungguh misi tersulit dan berbahaya. Diy akan tetap terjaga selama dua jam dengan celotehnya yang membosankan lalu tertidur dengan kaki yang menendang ke segala arah.” Ayahnya tertawa terbahak-bahak. “Lakukan kapten.” Ayahnya mendorong pelan punggung putranya. “Iya…. Iya”, Czarin menuju kamar adiknya dengan langkah gontai. 

Ia terbangun dari mimpinya ketika seseorang menyentuh pundaknya. “Tuan Karl sudah datang, pak. Beliau sekarang menanti anda di lobi.” Laki-laki paruh baya itu mengusap-usap kedua matanya yang masih mengantuk. “Baiklah. Lima menit lagi aku akan turun.” Laki-laki berumur tiga puluhan itu pamit setelah membungkukkan badan. Tuan Czarin menghembuskan nafas pelan dan menutup kedua matanya sejenak ketika menyadari apa yang baru saja dimimpikannya. Mimpi itu datang untuk kesekian kalinya. Terlihat begitu nyata. Ingatan itu berputar sangat sempurna. Ia bangkit dari duduknya dan merapikan rambutnya. Siang itu berjalan lancar. Tidak ada masalah yang berarti antara tuan Czarin dan tuan Karlis. Mereka tampak sangat bersahabat dan komunikasi berjalan dengan sangat baik. Diakhir diskusi mereka, tuan Karlis tampak mendekatkan bibirnya ke telinga tuan Czarin. “Anda harus menyimpan baik-baik jimat itu. Banyak orang yang akan memperebutkannya hingga mempertaruhkan nyawa.”

Planet telah bergulir dan cahaya semakin malu untuk menerangi. Jam dinding menunjukkan pukul lima sore ketika tuan rumahnya membuka pintu. Dirumah yang terdiri dari tiga lantai itu ia hanya tinggal seorang diri, tanpa istri, tanpa anak dan bahkan tanpa pembantu sekalipun. Ia melakukan semuanya seorang diri. Banyak yang menyebutnya sebagai laki-laki yang kesepian. Namun itu tak menjadi masalah baginya. Itu adalah makanan publik yang bebas untuk disantap. Ia sekalipun tidak pernah hidup dibawah omongan orang. Ia selalu hidup sendiri diatas kaki sendiri. 

Diy, apa kabarmu? Bagaimana kehidupanmu disana? Apakah kau bisa tidur nyenyak setiap malam? Aku disini berbeda, Diy. Hidupku hampa walau semua hal telah ada digenggamanku. Semua ini hanya ilusi semata dan aku terus menyelam didalamnya. Kosong, sepi, hampa. Itulah yang kurasakan. Diy, ketakutan itu datang lagi. Aku takut, Diy. Aku takut. Apa yang harus kulakukan?

“Yang harus kau lakukan hanyalah meletakkan kedua tangan diwajahmu lalu tutup kedua matamu, pasti semua akan hilang. Seperti sihir.” Diy tersenyum geli mempraktekannya. Saudaranya mendorong pundaknya pelan menyadari lelucon itu. “Tidurlah sana. Aku akan kembali ke kamarku.” Czarin beranjak turun dari kasur. “Hey kapten, ingat apa misimu?”

“Misi….. Misi…. Misiku…..”, bibir laki-laki paruh baya itu tampak berkomat-kamit didalam tidurnya. “Misiku…. Evgenij….” Lampu kamar itu telah dimatikan dua jam yang lalu. Ia baru bisa tidur pada dini hari setelah membaca-baca proyeknya. Buku-buku tebal berserakan diatas meja nya. Bahan bacaan yang sulit. Kedua matanya yang panas membuatnya menutup semua bahan bacaannya dan membiarkan tergeletak begitu saja diatas meja. Ia akan melanjutkan membacanya besok pagi. Ia turun ke lantai dua untuk mengambil minuman dingin di kulkas. Matanya terasa begitu lelah namun otaknya tidak mudah untuk diajaknya istirahat. Air dingin itu sedikit mampu menenangkan syaraf-syarafnya yang tegang. Sejenak diletakannya gelas kaca itu, lalu ia teringat akan perkataan tuan Karl beberapa jam yang lalu. “Jimat”, ia menerawang jauh menatap ruangan dapur yang lenggang didepannya. “Bagaimana dia bisa tau itu?”

Segera ia meraih handphone yang berada di saku celananya lalu menelusuri nomer-nomer itu. Tibalah ia pada satu nama lalu ia menekannya. Tak disangka-sangka, hanya berselang dua detik telepon langsung diangkat dari seberang sana. “Begruysung. Sebelumnya saya meminta maaf telah mengganggu waktu istirahat…..” kalimatnya diputus dengan segera oleh lawan bicaranya. “Tidak apa-apa tuan Czarin. Saya telah menduga bahwa anda akan segera menghubungi saya cepat atau lambat. Saya telah menanti-nanti telepon dari anda seusai pertemuan tadi.” Tuan Czarin masih bergeming, tidak menyangka. Kemudian suara itu terdengar lagi. “Dan saya tau bahwa ada hal yang sangat ingin anda ketahui. Apakah saya benar?” Masih belum ada tanggapan dari tuan Czarin.

Kemudian terdengar gelak tawa pelan di seberang sana. “Sepertinya anda terkejut sekali, tuan. Baiklah saya tidak akan basa-basi lagi. Saya akan memberitahu anda. Sebenarnya sedari awal saya telah mengetahui bahwa anda adalah seorang Fomk. Orang-orang pilihan yang sedang diburu. Fomk adalah darah yang sangat mulia tetapi dunia bergulir dan mereka berubah menjadi santapan mewah. Sungguh picik mereka, penuh kebencian dan iri dengki sehingga rela saling membunuh sesamanya. Namun anda jangan khawatir. Aku bukan bagian dari mereka. Aku tidak tertarik pada jimat anda. Seperti yang aku katakan bahwa aku masih ‘waras’. Percayalah padaku, tuan Czarin. Aku tidak akan pernah menyelakai anda. Aku hanya memperingatkan anda bahwa masih banyak orang-orang yang tidak ‘waras’ diluar sana. Maka dari itu, sembunyikan rapat-rapat rahasia terbesar anda.”

“Si-siapa kau?”

“Aku hanyalah seseorang yang juga merasakan kehilangan atas kematian orang-orang Fomk, tuan. Aku juga sangat prihatin atas kematian keluarga anda. Semoga nasib anda lebih baik dari mereka. Doa saya selalu menyertai anda. Begruysung.” Setelah telepon terputus, ia merasakan kedua kakinya lemas lalu jatuh berlutut diatas lantai.

Pagi telah datang dan sinar kuning itu telah mencuat keluar. Ia dibangunkan oleh suara alarm disamping tempat tidurnya. Mimpi itu datang lagi. Mimpi tentang adik laki-lakinya. Diy, sosok terakhir yang dilihat didalam mimpinya tadi malam. Matanya masih belum terbuka ketika bunyi alarm itu tiba-tiba berhenti. Entah siapa yang mematikannya. Perlahan tuan Czarin membuka mata unggunya. Pandangannya masih belum sepenuhnya terbuka dan dilihatnya samar-samar sesosok anak kecil yang sedang berjongkok memandang kearahnya dengan seulas senyuman manis. 

Kemudian terdengar gelak tawa pelan darinya. “Bangun, Czarin. Ayo kita main.” Anak kecil itu menarik lengannya sehingga membuatnya bangkit lalu berjalan mengikuti tarikan anak laki-laki didepannya. Tuan Czarin masih mengusap-usap kedua matanya yang masih mengantuk itu. “Kita mau main apa, Diy? Ini masih terlalu pagi. Aku mengantuk.”

“Kau selalu mengantuk kapanpun itu.” Terdengar gelak tawa dari anak kecil itu lagi. Czarin mengikuti langkah kaki kecilnya yang menuruni anak tangga hingga tiba diruang tengah. Diy segera menyalakan TV lalu meraih mainan favoritnya dan duduk bersila diatas karpet. Czarin juga mengikutinya duduk diatas karpet sambil bersila. “Aku bosan dengan mainan itu. Kau selalu kalah denganku.” Czarin menatap langsung kearah mata ungu Diy dengan seulas senyuman. 

Diy berdecak lidah kesal, “Kita lihat saja nanti. Kau yang akan menang atau aku.” Bersamaan dengan itu didengarnya suara pembawa berita di TV yang mengulang kembali konferensi persnya kemarin. 

“Kemarin tepat di tanggal 26, tuan Czarin Yegor telah mengadakan konferensi pers berkaitan dengan pesawat luar angkasanya.” 

“Lagipula aku sangat ingin memainkannya lagi denganmu. Aku merindukannya”, kata Diy yang masih menyusun balok-balok kecil itu. 

“Kalian semua pasti sangat menantikan pesawat yang dinamakan Evgenij itu.” 

“Kita sudah lama tidak bermain bersama bukan?” 

“Pesawat yang di elu-elukan akan menjadi mahakarya sepanjang sejarah itu akan kita saksikan perwujudannya tidak lama lagi yang dikomandoi langsung oleh tuan Czarin Yegor.” 

“Lama? Kita kemarin juga bermain bersama, seperti hari-hari biasanya. Ingat bagaimana kau membuat kesal ibu? Itu sangat menyenangkan”, Czarin tersenyum geli menatap mata ungu Diy.

“Iya benar. Tetapi sekarang kau terlihat tua, Czarin”, terdengar gelak tawa Diy. 

Seketika seperti adanya aliran listrik yang menyentak ke otaknya. Ia mengerjapkan beberapa kali kedua matanya. Gelak tawa Diy masih terdengar. Seketika ia mengangkat pandangannya, namun tidak ada siapa-siapa. Balok-balok kecil itupun menghilang, memang tidak pernah ada. Hanya ia seorang diri yang duduk didepan TV. Ia menghembuskan nafas panjangnya lalu memandang jauh kedepan. “Aku berharap itu semua nyata. Aku berharap semua baik-baik saja.”

Sisa pagi itu ia habiskan dengan membaca sisa bahan bacaannya. Ketika siang sudah menyapa, ia sudah siap dengan jas panjangnya dan dasi merahnya. Ia menyisir rambut putihnya dan melihat dirinya didepan cermin. Ia terjebak pada masa lalu untuk kesekian kalinya. “Kau terlihat sangat tampan”, ucap ibunya sambil mengelus rambut putih putranya. “Diy juga”, ucap Czarin spontan. Ibunya tersenyum simpul lalu menggeleng. “Dia berbeda”, ibunya menyentuh lembut dada Czarin kecil. “Apanya yang berbeda? Hidungnya sama, bibirnya sama, alisnya sama, matanya sama.” Terdengar gelak tawa ibunya. Kemudian ia mengelus lembut telinga runcing Czarin yang memerah. “Sepertinya kau digigit nyamuk.” “Lihatlah, siapa yang manja”, Diy mengintip dari balik pintu dengan senyuman mengejeknya. “Ayo tangkap aku, anak manja.” Diy mengacungkan pedang mainan yang terbuat dari kayu pada Czarin. 

Seketika Czarin mengejar langkah Diy lalu meraih pedang mainan kayu satunya yang tergeletak dilantai kamar itu. “Awas kau”, Czarin tersenyum simpul. Sesekali Diy bersembunyi dibalik sesuatu lalu lari lagi ketika Czarin menemukannya. “Diy, aku melihatmu”, ucap Czarin dengan nada mengejek ketika melihat jemari kaki Diy yang tidak tertutupi oleh juntaian kain tirai. Terdengar gelak tawa yang tertahan oleh Diy. Czarin masih memainkan pedang kayu di genggamannya dengan melangkah perlahan. “Ketemu kau!” 

Beberapa menit kemudian mereka sudah berkumpul di meja makan. Ayahnya masih sibuk melahap sarapannya. “Czarin, Diy, perang itu tidak baik. Melukai satu sama lain seperti hewan yang tidak mempunyai budi pekerti.” Kata ibunya lembut menatap kearah dua anak laki-lakinya yang masih sibuk melahap sarapannya. Mishe tersenyum simpul sambil menunjuk-nunjuk kedua kakak laki-lakinya, “Hewan.” Bisiknya pelan. Ibunya meliriknya dan ia langsung diam menundukkan pandangannya. “Kita hanya bermain”, sahut Diy sambil mengunyah makanannya. “Iya, kita hanya bermain. Tidak ada yang terluka dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Iya kan, Diy? Apakah kau terluka?” Lawan bicaranya menggeleng cepat. Ibunya menghembuskan nafas pelan. “Kapan kalian akan mengerti.” “Entahlah. Mungkin besok, mungkin juga lusa. Bagaimana pendapatmu kapten yang tampan?” celetuk Diy sambil tersenyum jail pada Czarin.

“Entahlah. Mungkin besok, mungkin juga lusa. Bagaimana pendapatmu kapten yang tampan? Entahlah, Mungkin besok, mungkin juga lusa. Bagaimana pendapatmu kapten…….? Mungkin besok, mungkin juga lusa. Bagaimana pendapatmu…..? Mungkin besok, mungkin lusa…. Bisakah kita selamat… Bagaimana pendapatmu?” Kalimat itu berdengung-dengung di telinganya. Ia mengusap wajah putihnya yang tersapu angin. Ia segera menutup jendela kaca besarnya. Kemudian ia berbalik dan memandang suatu ruangan yang terkunci rapat. Ia tak pernah membukanya setelah kejadian itu. "Dia masih disini. Dia selalu bersamaku." Terlihat sebuah cahaya biru yang redup dari arah ruangan itu seperti membalas ucapannya.

Czarin, aku dekat dengannya sejak kami masih berusia delapan tahun. Lebih tepatnya sejak dia menumpang dirumahku. Entah ada apa gerangan di kehidupan sebelumnya. Di siang itu ia datang seorang diri dengan baju yang basah kuyup dan tumit kakinya yang berdarah-darah. Ia mengetuk pintu rumahku yang pada waktu itu hanya aku seorang diri dirumah karena kedua orang tuaku sedang bekerja di ladang. Kondisinya sangat mengenaskan. Dengan sigap ia mengusap air matanya yang sesekali menetes. Dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk menghilangkan aura sedih pada paras tampannya. Entah apa yang membuatnya sedih. Ia tak pernah sekalipun menceritakannya pada kami. Namun aku sungguh paham bahwa perasaannya sangat hancur kala itu. Ia hanya berkata pada kami bahwa ia yatim piatu. Siang itu kita tidak berbicara lebih. Setelah kuperban lukanya dan kupinjami bajuku, ia hanya menunduk sambil sesekali mengusap kedua matanya yang basah. Aku hanya menanyakan namanya, sisanya kami hanya terdiam sambil sesekali aku menepuk-nepuk bahunya pelan. Ia seperti malaikat yang rapuh kala itu. Dan tentu saja bagi kedua orang tuaku ketika kedatangan malaikat seperti dia, mereka langsung menerimanya apa adanya, terhipnotis akan wajah rupawannya. 

Meski sekarang ia sudah berubah menjadi orang yang sukses tetapi kepribadiannya tidak berubah sama sekali. Sikapnya kepada kedua orang tuaku dan kepadaku tidak berubah. Tetap seperti Czarin kecil yang waktu itu mengetuk pelan pintu rumahku. Gaya hidupnya tidak berubah. Saat ini, ia mempekerjakanku di perusahaan miliknya. Oleh karenanya aku bisa mengangkat perekonomian kedua orang tuaku. Walau kita satu perusahaan, namun kita jarang sekali bertemu di kantor. Aku hanya bisa bertemu langsung dengannya ketika aku mengunjungi rumahnya atau dia mengunjungiku. Sekitar lima hari yang lalu aku bertemu dengannya dirumahnya. Kehidupannya berjalan dengan baik walaupun ia tinggal seorang diri disana. Berulang kali ia mengatakan padaku bahwa ia mampu mengatasi semuanya seorang diri tanpa istri ataupun pembantu. Entah apa yang membuatnya tidak tertarik pada wanita. Ia lebih tertarik pada buku-buku tebal dan bahan bacaannya yang setiap kali berhasil membuatku pusing tujuh keliling. Ia telah menikahi buku-buku itu. Mereka adalah cinta pertama dan terakhirnya. Ia merasa sangat nyaman tinggal seorang diri. Itu benar. Ia membuktikannya. Namun kerap kali aku melihat kedua mata ungu itu yang menerawang kedepan dengan tatapan kosong. Entah apa yang berputar-putar dibenaknya. Apa kerisauan yang dialaminya. Semuanya telah ia miliki, namun tetap saja kurasakan hatinya yang kosong dan hampa.

Aku, Vov. Pemuda biasa saja dari keluarga kecil yang sederhana. Siang ini aku mempunyai kesempatan untuk bertemu dengannya lagi. Kali ini kami akan bertemu di kantor, lebih tepatnya ia akan memberikan pengarahan pada kami. Maka secara tidak langsung aku dapat melihat sosoknya pada kesempatan itu. Aku sudah siap dengan jas hitamku dan dasi yang bertengger rapi pada kerah kemejaku. Sekali lagi kulihat jam tangan yang menunjuk pada angka dua itu. Aku sangat tidak sabar bertemu dengannya. Ingin sekali aku memeluknya. Di ruangan ini terdapat lima puluh lebih pekerja, aku adalah salah satunya. Mereka datang dari berbagai golongan. Ada yang dari golongan menengah, tak sedikit pula dari golongan menengah kebawah. Terutama orang yang duduk tepat disebelahku ini. Ia sedari tadi berbicara panjang lebar pada dua lawan bicaranya yang juga duduk disebelahnya. Dapat kudengar samar-samar pembicaraannya. “Sebelum bekerja disini, perekonomian keluargaku sungguh buruk. Aku sempat putus asa dan depresi. Istriku dan kedua anakku mau diberi makan apa. Hingga suatu hari aku beralih profesi menjadi pencuri. Sangat beruntung aku ketika tuan Czarinlah yang menjadi korban pertamaku. Bukan karena dia orang terkaya, tetapi karena dia mempunyai hati yang sangat murni dan bersih. Sangat panjang ceritanya hingga aku bisa berada disini. Awalnya ketika kita berdua berada di kereta, aku berhasil meraih dompet yang berisi lipatan-lipatan uang. Sungguh kaya orang ini, pikirku saat itu. 

Ia tak menyadarinya hingga saatnya ia turun terlebih dahulu di stasiun. Kugunakan uangnya sebaik mungkin untuk kehidupan keluargaku dan beberapa minggu setelah itu aku menjalankan ‘pekerjaanku’ lagi. Tetapi suatu ketika aku melihat brosur di koran bahwa dibuka lowongan kerja di sebuah perusahaan. Aku sangat pesimis saat itu. Apakah mereka akan menerimaku. Tetapi istriku sangat mendukungku daripada tetap melakukan ‘pekerjaan lamaku’. Dengan membulatkan tekad aku tiba diruangan dingin itu untuk melakukan interview. Ada beberapa orang dibelakang meja putih itu. Namun, terkejutlah aku ketika kulihat orang yang kucopet juga duduk dibelakang meja bersama dengan orang-orang lainnya. Ia tersenyum padaku ketika aku melangkah masuk ruangan. Tangan dan kakiku bergemetar tak karuan. Apalagi saat kuketahui bahwa ia adalah pemilik perusahaan ini. 

Aku duduk mematung di kursi itu. Hanya bibirku saja yang dapat digerakkan. Jantungku berpacu cepat sekali. Kulirik dia yang sesekali menulis lalu memandang teduh kearahku. Singkat cerita aku lolos pada interview itu dan aku ditempatkan pada posisi terendah di perusahaan. Itu sudah lebih dari cukup bagiku. Namun sesaat tuan Czarin menyelanya dan berkata bahwa ia menginginkanku pada posisi yang lebih tinggi atas dasar pengalaman kerjaku yang banyak walau sering di PHK karena perusahaan-perusahaan yang bangkrut itu. Berminggu-minggu setelah itu aku tidak pernah melihatnya lagi di perusahaan. Aku sangat ingin mengatakan sesuatu padanya. Ucapan maaf dan terimakasih. Kerap kali aku datang keruangannya dengan banyak alasan agar dapat menemuinya. Namun asistennya menolakku mentah-mentah dengan mengatakan bahwa tuan Czarin sedang sibuk. Ia juga tidak pernah memberitahukanku dimanakah tuan Czarin berada. 

Namun suatu hari aku nekat duduk berlutut didepan pintunya dari pagi hingga malam walau asistennya berulang kali mengusirku. Beberapa ajudan yang mendorong paksa badanku untuk pergi sempat aku pukul wajahnya hingga hidungnya berdarah. Aku berkata, “Apakah salah jika pekerja yang hina ini bertemu dengan bosnya? Kalian bahkan tidak pernah menyampaikan niat baikku pada tuan Czarin. Aku yakin betul itu.” Mereka seketika terdiam lalu meninggalkanku seorang diri. 

Tuan Czarin. Aku masih sangat ingat pada malam yang sama saat itu. Ia datang ke ruangannya dengan langkah yang tergesa-gesa. Lampu seketika dihidupkan dan terdengar suaranya yang sedang berbicara di telepon. “Iya, tidak apa-apa. Kau tidak usah kesini. Ini adalah kesalahanku karena meninggalkan map itu. Aku sudah sampai. Lima menit lagi aku akan kembali kesana. Siapkan saja segala sesuatu yang diperlukan untuk rapat. Map warna apa untuk proyek besok?” Tap, tap, tap. Suara langkah sepatunya. Aku yang saat itu menyandarkan punggungku pada tembok seketika berdiri dan merapikan bajuku yang sudah lusuh. Ia tampak kaget menyadari keberadaanku. Tuan Czarin masih mengenakan pakaian formalnya. Tampaknya ia baru datang dari perusahaan lain untuk rapat. “Bukannya jam kerja sudah selesai? Kenapa anda masih disini?” Sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya, ia mempersilahkanku masuk dan duduk diruangannya yang hangat itu. Bahkan aku belum sempat berkata satu patah kata, ia menyuguhkanku minuman serta kudapan kecil diatas meja untukku. Aku sangat tersentuh dan membuatku tak bisa bicara apa-apa. “Anda pasti menantiku cukup lama. Silahkan dinikmati terlebih dahulu. Setelah itu anda bisa menyampaikan kepentingan anda kepada saya. Jangan sungkan, anggap saja dirumah sendiri.” Kudengar nada bicaranya yang teramat sangat bersahabat. 

Aku masih menunduk tidak berani memandang kedua mata ungunya. Perlahan airmataku menetes. Kusegera menghapusnya, namun air mata selanjutnya sangat cepat jatuhnya secara bergantian. Nada bicara tuan Czarin menunjukkan kekhawatirannya. “Apakah anda sakit? Apakah saya perlu menelpon rumah sakit? Soal biaya biar saya yang urus.” Aku segera mengusap kedua mataku. 

“Tuan Czarin, pertama-tama saya ingin meminta maaf yang sedalam-dalamnya pada anda. Saya akan menerima hukuman apapun yang akan anda berikan. Sebelum saya melanjutkannya, saya juga ingin mengucapkan terimakasih yang tak terkira karena anda saya bisa bekerja disini dan masih bisa menghidupi keluarga kecil saya. Jika tidak, saya beserta keluarga saya pasti sudah menjadi gelandangan yang tidak jelas tempat tinggalnya dan bahkan mungkin tidak makan selama berhari-hari.” Diujung kalimatku, terdengar suara handphone tuan Czarin yang berdering. Ia meminta maaf padaku lalu mengangkat panggilan itu. “Silahkan dimulai dulu rapatnya. Tolong kau catat poin-poin nya. Aku akan menyusul nanti karena aku masih ada sedikit urusan disini.” Tanpa menunggu jawaban, tuan Czarin segera memutuskan panggilan itu lalu mematikan handphone nya. “Maaf. Silahkan dilanjutkan.”

“Lain kali saja saya menemui anda lagi. Sepertinya rapat itu sangat penting untuk perusahaan. Maafkan saya, tuan”, aku berkata sopan padanya lalu bangkit hendak meninggalkan ruangan. 

“Rapat itu bisa diulang kembali. Tetapi saya tidak mau mengulang keresahan para pekerja yang bekerja dibawah naungan perusahaan saya. Silahkan dilanjutkan kembali.” Katanya dengan ramah. Lalu tuan Czarin mempersilahkanku duduk kembali. Dengan segan aku kembali duduk di sofa panjang itu. Setelah aku mengakui semuanya, kulihat ia bergeming tak bersuara. Tatapan matanya kosong mengarah kepadaku. Bukan tatapan kemarahan tetapi lebih kepada tatapan kekecewaan. Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan sampai detik keempat, ia masih tak bersuara. Aku semakin merapatkan dagu kedadaku. 

Kemudian terdengar suaranya yang berubah menjadi serak, “Ini kali pertama saya salah dalam merekrut pekerja. Kepercayaan adalah simbol perusahaan ini. Kejujuran adalah hal utama di dalam moto saya. Dari sini dapat dilihat bahwa anda telah menghancurkan poin pertama.” Sampai disini aku sudah terisak menangisi kesalahan fatalku. Harusnya aku tidak mengatakannya. Harusnya aku menyimpannya rapat-rapat. “Tetapi, anda sudah berkata jujur pada saya. Saya sangat amat menghargai itu. Mendengar apa yang telah anda ceritakan, saya bisa melihat bahwa anda tulus meminta maaf dan saya dapat melihat tekad bulat itu.” Kemudian ia tersenyum simpul lalu bangkit dari duduknya. Akupun ikut bangkit, terkejut. “A-a-anda tidak memecat saya?” ia berbalik memandangku lalu menepuk pundakku pelan. “Jangan telat besok.”

Tuan Czarin datang memasuki ruangan luas itu. Berselang jam kemudian, sesi pengarahan berjalan lancar. Semua pekerja memahami apa yang diarahkan olehnya. Sebentar lagi peluncuran pesawat itu akan segera diresmikan dan siap untuk penerbangan perdananya. Nama Evgenij juga sudah tertera di badan pesawat. Kesiapan sudah sembilan puluh persen. Semuanya dihitung dengan sangat matang dan detail. Ketika ia hendak membuka pintu ruangannya, seketika seseorang memanggilnya dari arah belakang. Suara yang sangat dikenalnya. Vov. Sebelum Czarin sepenuhnya membalikkan badannya, lawan bicaranya itu seketika memeluknya. “Hei, apa kabarmu?” sapa ramah Czarin. “Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Kau nampak lebih kurus dari sebelumnya.”

Di waktu yang sama di tempat yang berbeda, terlihat beberapa orang tengah berdiskusi dengan ekspresi wajah yang serius di ruangan yang sempit dan pengap itu. Hanya sedikit cahaya saja yang berhasil menerobos masuk. “Serahkan tugas ini padaku.” 

Didalam rumah, diruangan yang terkunci itu, buku diary kembali terbuka dan mengeluarkan cahaya biru yang teduh. Perlahan muncul sebuah huruf yang membentuk kata demi kata. "Czarin, cepatlah pulang. Kau dalam bahaya. Cepatlah pulang. Berlindunglah. Aku tidak mau kau berakhir sama denganku."

Malam harinya sekitar jam sepuluh, tuan Czarin baru saja menyelesaikan urusannya di kantor. Ketika ia melangkah meninggalkan ruangannya, seketika ada benda tumpul yang menghantam kepalanya. Ia jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Keesokan harinya entah pukul berapa, cahaya pagi itu telah menyongsong tinggi diatas. Dirasakannya sakit yang bukan kepalang pada bagian kepalanya. Ia mendapati dirinya yang diikat terduduk dikursi kayu di ruangan sempit dan pengap itu. Hanya ada satu fertilasi udara diatas sana. “Hei! Apa yang kalian inginkan?!” teriakan tuan Czarin menggema diruangan gelap itu. Tak lama kemudian, seseorang membuka pintu besi itu. “Selamat pagi, tuan Czarin. Bukankah mengesankan sambutan dari kami? Kami sudah menyiapkan secara khusus kejutan ini untuk anda.”

“Siapa kau! Sungguh beraninya!” tuan Czarin meludahi kaki lelaki tua itu. Menyadari hal itu, seketika tuan Czarin mendapatkan beberapa pukulan yang membuatnya batuk darah. “Sakit bukan? Bahkan kepalan tanganku lebih sakit dari itu”, lelaki tua itu mengelus pelan kepalan tangannya yang memerah. 

“Ya sudah. Aku tidak akan basa-basi denganmu. Aku tidak akan membuang waktu yang sangat berharga ini. Sudah sekian lama kami mencarimu. Tak disangka, keturunan terakhir Fomk telah menjadi orang termasyhur sampai-sampai kami tidak menyadarinya. Maafkan aku atas masa lalumu. Sungguh yang kami lakukan saat itu adalah sia-sia. Kedua orang tuamu dan adikmu tidak memilikinya. Kami salah besar.”

“Kenapa…. Kenapa kalian sangat menginginkannya? Apa yang kalian lakukan pada keluargaku….?” tanyanya dengan sisa tenaga yang ada.

“Siapa yang tidak menginginkan kemuliaan abadi.” Ia menunjuk pada dada tuan Czarin. Hanya orang bodoh yang mengacuhkannya. Seperti yang kukatakan, terbunuhnya keluargamu adalah hal yang menyita waktu kami. Sangat disayangkan ketika kami melewatkan kesempatan untuk mendapatkanmu. Aku tidak akan membuatmu mati penasaran. Jadi akan kuberitau sekarang. Seusai kejadian itu kami membuang badan-badan terkoyak yang tak berguna itu kedalam lautan. Biar sekalian mereka jadi santapan hiu disana. Bisakah kau bayangkan bagaimana kondisi mengenaskan mereka saat itu?”

“Brengsek!”, tuan Czarin meronta-ronta. “Nikmati waktu-waktu terakhir anda tuan. Aku dan yang lainnya akan kembali lagi nanti malam untuk pesta ‘pelepasan’ anda.” Lelaki tua itu tersenyum masam lalu beranjak meninggalkan ruangan dingin itu. 

Berjam-jam ia berusaha melepaskan tali yang mengikat kuat badan dan pergelangan tangannya, namun gagal. Sinar siang sudah menggantung ke arah selatan. Ia nyaris saja putus asa sampai akhirnya suara itu datang. Nyaris seperti bisikan. ”Innallaha Ma'ana” tiga kali didengarnya. Seketika itu jatuh tetesan-tetesan air ke ubun-ubunnya yang entah datang darimana. Saat itu juga seperti adanya aliran listrik yang menyentak ke otaknya dan ia mengingat semua hal tentang ketuhanan, penciptaan alam semesta, dan planet bernama bumi yang menyimpan surat-surat cinta Allah. Sepersekian detik setelah ia kembali dari alam bawah sadarnya, ia bergeming beberapa saat lalu mengucapkan dua kalimat syahadat. Perlahan tali yang mengikat tubuh beserta pergelangan tangannya berubah menjadi ular-ular panjang. Mereka tidak menggigitnya namun merayap keluar begitu saja lewat fertilasi udara diatas. Sebelum sempat ia berdiri dari kursi itu, gembok-gembok pintu besi seketika terbuka dengan sendirinya. Sisanya ia harus berduel dengan beberapa penjaga diluar sana. 

Tuan Czarin mengucapkan basmalah lalu mengatupkan rahangnya. Perkelahian segera meletus disana. Dua penjaga merangsek masuk menghadangnya dan melepaskan pukulan. Tuan Czarin menepis, merunduk, kemudian bangkit melepaskan dua pukulan susul-menyusul. Dua penjaga itu tumbang. Tiga penjaga menyusul menyerang. Tuan Czarin melepaskan tendangan ke leher salah-seorangnya, terkapar. Belum sempat ia memasang kuda-kuda lagi, satu tinju mengenai dagunya. Tuan Czarin terbanting. Satu tinju lainnya menyudul kearah wajahnya namun ia dapat menangkisnya dan dengan gerakan cepat mengirim beberapa pukulan pada lelaki-lelaki didepannya. Lima penjaga terkapar di lantai. Setelah itu tuan Czarin segera keluar dari gedung tua itu. Dengan mengendap-endap namun pasti ia bisa lolos dari sana. 

Setengah jam kemudian ia tiba di pabrik tempat pesawatnya bersemayam. Ia terlihat lari kesana dan kemari menyiapkan segala hal untuk penerbangan darurat itu. Ini akan menjadi perjalanan yang sangat panjang. Ia harus melarikan diri dari planet itu dan menghilang secepatnya dari peradaban. Ia tidak akan membiarkan seorangpun memiliki jimat itu. Ia tidak akan membiarkan keserakahan merajarela. Ia menyeka peluh dileher dan keningnya. Kemeja putihnya telah kotor dan berantakan. Pikirannya kacau balau namun ia tetap berusaha untuk fokus pada kesempatan yang sempit itu. Ketika ia membuka pintu pesawat yang berbentuk piringan hitam, seketika muncul suara derap langkah kaki. Puluhan orang, mungkin sekitar tiga puluh lebih. “Kalian tidak akan pernah mendapatkan apa yang kalian inginkan. Itu sumpahku.”

Dengan cepat ia menutup dan mengunci pintu pesawat itu dan mulai menghidupkan mesinnya. Suara dengung mesin itu bergema diruangan luas itu. Sepersekian detik, ia menekan salah satu tombol dan langit-langit pabrik terbuka lebar. Menyadarinya seketika sekumpulan orang itu berlari kearahnya. “Tutup kembali atapnya! Jangan biarkan dia lolos!” Perintah salah satu dari mereka. Namun terlambat, pesawat itu berhasil terbang keluar walau atap yang sempat menutup kembali itu menggores bagian sisi samping pesawat. 

Dengan gerakan tangan yang cepat ia segera menyesuaikan diri dengan pesawat besar itu. Untuk terakhir kalinya ia memandang tanah dibawahnya yang dipenuhi bangunan-bangunan megah lalu beberapa detik kemudian ia melesat cepat keatas. Sinar jingga itu perlahan hilang di pelupuk matanya. Pemandangan seketika berubah drastis menjadi gelap, sepi, dan kosong. Hanya dengungan mesin pesawat yang terdengar. Ia terus menjalankan maju pesawat itu tanpa petunjuk apapun. 

Sudah tujuh tahun ia terbang mengandalkan insting. Namun tidak ada planet manapun yang menunjukkan adanya kehidupan disana. Rambut dan berewoknya telah berkali-kali dicukurnya. Disisa-sisa harinya, ia melihat adanya satu titik yang berkilau di tengah-tengah gelapnya alam semesta. Ia bangkit dari sandaran kursi kemudinya dan segera memacu kecepatan pesawatnya menuju titik putih itu. Berselang lima puluh dua jam kemudian, didapatinya sinar putih itu berasal dari salah satu tanah disana, tanah Mekkah. Dilihatnya ditengah-tengah terdapat sesuatu yang berbentuk kotak dan berwarna hitam. Ia terus mendekat dan mengelilingi planet itu. Lampu-lampu disana berkelip-kelip diantara gelapnya malam. 

Perlahan sesuatu menyelimuti setiap jengkal kulit putihnya. Sesuatu itu bertekstur seperti kulit tebal yang kehijau-hijauan. Zrrrd….. Zrrrd…. Dinding pesawat seperti bergesekan dengan sesuatu. Semakin ia terbang mendekat, gesekan dan tekanan itu semakin kuat. Tangannya bergerak dengan cepat mengendalikan posisi pesawat yang mulai terombang-ambing diangkasa. Gesekan itu menimbulkan api pada badan luar pesawat yang entah datang darimana. Alarm bahaya mulai berbunyi. Pesawat semakin hilang kendali. Ia melesat maju menembus setiap lapisan-lapisan atmosfer bumi membuat api itu membesar dan panasnya terasa sampai kedalam pesawat hitam itu. Lalu kemudian…. PLUNGGG…. Piring terbang itu menghantam lautan dan tenggelam bersama dengan pilotnya didalam. Pada saat yang sama, penjelajah Christopher Colombus beserta awak kapalnya melintasi area segitiga Bermuda itu dan melihat ‘cahaya aneh berkemilau di cakrawala’. Sejak kejadian itu, mulailah banyak kecelakaan menimpa kapal maupun pesawat terbang yang melintasi area segitiga Bermuda. Walaupun ia sudah abadi didasar samudra, namun sinyal pesawatnya berhasil terdeteksi dan memancing ‘mereka’ untuk datang ke planet bumi dan memburu jimat itu. Tetapi tidak satupun dari mereka yang berhasil. Ia telah tersegel oleh sihir dan siapapun tak akan bisa menembusnya.

Sampai detik inipun tidak ada bangsa manusia yang mampu memecahkan misteri mistis segitiga Bermuda dan bangsa ‘mereka’ pun masih silih berganti mencari ke penjuru planet bumi dengan mengandalkan berkas-berkas desain pesawat Evgenij milik tuan Czarin yang tertinggal. Mereka membuat ulang pesawat itu dan mulai melakukan pemburuan dengan melintasi jagad raya menuju bumi yang jauhnya milyaran kilometer. 

“Kalian tidak akan pernah mendapatkan apa yang kalian inginkan. Kalian tidak akan bisa menjamah hatiku sampai kapanpun juga. Biarlah kemuliaan itu bersemayam damai bersama jasadku. Sifat serakah tidak akan pernah menang. Itulah sumpahku.”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)