Masukan nama pengguna
Jihan Aruna Pradeepa, gadis manis dengan senyum yang tak pernah padam, seperti pelangi setelah hujan. Ia memiliki segalanya—kecantikan alami, kecerdasan yang membuat guru-guru kagum, dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya. Kehadirannya di sebuah ruangan seolah menyebarkan sinar hangat yang membuat siapa pun merasa nyaman.
Namun, hidup tak selalu seindah dongeng. Di usia 16 tahun, Jihan harus menerima kenyataan pahit: tubuh mungilnya disusupi penyakit langka yang tak bisa disembuhkan. Penyakit itu diam-diam menyelimuti dirinya, menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan hanyalah bertahan, dan menunggu waktu yang tak bisa ditentukan.
Meski begitu, Jihan tak pernah menunjukkan kesedihannya di hadapan orang lain. Baginya, hidup harus tetap dijalani dengan senyuman. Ia bahkan punya misi kecil, yang diam-diam disimpannya erat dalam hati: mencarikan istri terbaik untuk kakaknya, Kevin Bayu Pradeepa.
Kevin adalah segalanya bagi Jihan. Kakak tertua sekaligus salah satu orang yang paling Jihan sayangi setelah kedua orang tuanya. Meski sibuk dengan pekerjaan sebagai arsitek dan juga bisnis keluarga, Kevin tak pernah alpa mengantar dan menjemput Jihan dari sekolah. Ia sering menunggu di depan gerbang dengan sabar, bahkan di tengah guyuran hujan atau terik mentari, ia akan selalu meluangkan waktunya untuk adik tersayangnya.
“Kak, kamu harus bahagia nanti, ya,” kata Jihan suatu sore di dalam mobil, sambil menatap jalanan yang basah oleh hujan.
Kevin menoleh dan tertawa pelan, “Kamu ini ngomong apa sih, tiba-tiba?”
Jihan hanya tersenyum kecil. Hatinya menahan ribuan rasa yang tak bisa diucapkan. Ia tak ingin kakaknya hidup sendiri setelah ia pergi. Kevin layak bahagia. Dan untuk itulah, Jihan mulai menjalankan rencana kecilnya.
Segalanya bermula saat Jihan bertemu dengan Verona Daviera, guru baru di sekolahnya. Verona masih muda, sekitar akhir dua puluhan, berwajah teduh dengan suara lembut yang menenangkan. Para siswa langsung menyukainya, termasuk Jihan. Tapi berbeda dengan yang lain, Jihan menyimpan kekaguman yang lebih dalam. Baginya, Verona adalah sosok yang sempurna untuk menjadi istri kakaknya.
Sejak hari pertama, Jihan mendekati Verona. Ia suka membawakan bunga kecil dari taman sekolah dan berpura-pura kesulitan dengan pelajaran matematika hanya agar bisa lebih dekat dengannya. Verona, yang melihat ketulusan Jihan, menyambut kedekatan itu dengan hangat. Mereka menjadi dekat seperti kakak dan adik, atau bahkan seperti ibu dan anak.
Setiap hari, Jihan minta Kevin datang menjemput tepat waktu, dengan alasan "tidak enak menunggu sendiri". Padahal, ia selalu menghitung waktu agar kakaknya dan Verona bertemu di gerbang. Terkadang mereka bertiga pulang bersama jika Verona belum ada kelas tambahan. Awalnya Kevin tak banyak bicara, tapi lama-kelamaan percakapan mulai mengalir—tentang cuaca, lalu jadi tentang hobi, buku, bahkan musik klasik yang ternyata mereka sama-sama suka.
Suatu hari, Verona memberikan hadiah ulang tahun kepada Jihan berupa buku jurnal dengan sampul kulit yang elegan. "Untuk menuliskan hal-hal yang kamu syukuri setiap hari," katanya lembut. Jihan menuliskan sesuatu di halaman pertama: Hari ini aku bersyukur karena Miss Verona tersenyum saat Kak Kevin menawarkan payungnya.
“Kak, kamu nggak mau kenalan lebih dekat sama Miss Verona? Orangnya baik banget, lho. Lembut, sabar, dan cantik. Cocok banget jadi kakak iparku!” Jihan menggoda suatu malam sambil merebahkan diri di sofa.
Kevin tersenyum sambil mengacak rambut Jihan, “Kamu ini. Ngarang aja.”
Tapi di dalam hati, ia mulai mengakui bahwa ada sesuatu yang membuatnya nyaman setiap kali melihat senyum Verona. Dan ketika ia menyadari perasaan itu tumbuh, semuanya terasa masuk akal. Ia mulai mengajak Verona mengobrol lebih lama, menawarkan bantuan kecil, dan tak jarang, mereka saling mengirim pesan di malam hari.
Hingga suatu hari, Kevin melamar Verona di sebuah taman kecil tempat mereka pertama kali duduk bersama menunggu Jihan selesai latihan drama sekolah. Lamaran itu diterima dengan mata berkaca-kaca. Mereka menikah dalam upacara sederhana di halaman rumah keluarga Pradeepa. Tak banyak undangan, hanya keluarga dan teman dekat. Tapi hangatnya suasana membuat segalanya sempurna.
Jihan duduk di baris depan dengan gaun biru muda dan wajah bersinar. Dalam hati, ia tahu ini adalah salah satu hari paling bahagia dalam hidupnya—dan mungkin yang terakhir.
Dua bulan setelah pernikahan itu, Jihan dan orang tuanya pindah ke Singapura. Pengobatannya semakin intensif. Rambutnya mulai menipis, tubuhnya melemah, tapi senyumnya tak pernah pudar. Ia menolak dikasihani, menolak diratapi. Ia hanya ingin semua tetap hidup seperti biasa, terutama Kevin dan Verona. Dan suatu hari, ketika Verona menelepon memberitahu bahwa ia sedang mengandung, Jihan menangis untuk pertama kalinya—bukan karena sakit, tapi karena bahagia.
Ia menulis sebuah surat untuk Kevin, dengan tangan gemetar dan napas yang tak lagi stabil. Ia menitipkan surat itu pada sang ibu yang akan pulang sementara ke Indonesia, dan memintanya untuk menaruh surat itu di kamarnya. Tanpa tahu isi surat itu, ibu Jihan menyimpannya di dalam kotak musik kecil berwarna putih, benda yang dulu Kevin hadiahkan saat ulang tahun Jihan yang ke-12.
Hingga, setelah berhasil bertahan hidup sebisa mungkin. Satu bulan kemudian, Jihan sudab tidak bisa bertahan lagi. Menjadi pukulan berat bagi keluarga besar Pradeepa.
Beberapa hari setelah Jihan pergi untuk selamanya, Kevin menemukannya saat merapikan kamar adiknya.
Kak Kevin,
Maaf ya kalau Jihan tidak bisa selalu ada di samping Kakak. Tapi Jihan senang banget bisa lihat Kakak bahagia sama Kak Verona. Jihan tahu Kakak pasti jadi suami yang baik, dan nanti juga jadi ayah yang luar biasa. Jangan pernah merasa sendiri, ya Kak, karena Jihan akan selalu ada di hati Kakak.
Jaga Kak Verona dan calon anak kalian baik-baik. Itu hadiah terakhir dari Jihan.
Terima kasih sudah jadi Kakak terbaik di dunia. Jihan sayang Kakak, selamanya.
Air mata Kevin mengalir deras. Hatinya seperti ditarik keluar, diperas habis oleh rasa kehilangan. Dunia terasa hening, seperti menghormati kepergian seseorang yang begitu berharga. Tapi di tengah kesedihan itu, Kevin tersenyum. Ia tahu adiknya tidak ingin ia larut dalam duka. Ia harus hidup, untuk Jihan. Untuk cinta yang diwariskan Jihan dengan seluruh hatinya.
Waktu berlalu. Kevin dan Verona menamai putri kecil mereka Aruna Jihan Pradeepa—sebuah cara untuk memastikan nama Jihan tak pernah benar-benar pergi dari hidup mereka. Di setiap tawa Aruna, Kevin melihat senyum adiknya. Di setiap langkah kecil yang ceria, ia mengenang perjuangan Jihan yang selalu kuat hingga akhir.
Jihan memang telah pergi. Tapi ia tidak pernah benar-benar hilang. Ia tinggal di antara lembaran kenangan, di dalam jiwa setiap orang yang mencintainya, dan di setiap detak jantung keluarga yang ia bentuk dengan cinta dan pengorbanan.