Masukan nama pengguna
Kamarku masih gelap saat sayup-sayup ku dengar suara ponsel berdering melantunkan suara anak-anak Bangtan.
Mata ini segera terbuka setelah mengerjap beberapa saat. Kepalaku menoleh pada ponsel pintar yang masih tergeletak di atas meja samping ranjang. Kusambar segera benda pipih itu.
Aku menggeleng seraya menarik senyum tipis di sudut bibir.'Ya ampun, baru juga jam lima pagi tapi dia udah kirim pesan?' gumanku dalam hati setelah melihat pada layar ponselku.
["Vin, lo udah bangun?! Apa di Korea jam segini masih malem ya?!"]
Aku tersenyum geli membaca pesan singkat yang terpampang pada layar ponselku. Jingga, temanku di Indonesia mengirim pesan lagi pagi ini.
Lagi?
Ya, lagi.
Bahkan lagi-lagi. Hampir setiap hari dia mengirim pesan untukku. Jujur, aku juga senang karena dia masih ingat padaku meski kami sudah tinggal di negara yang berbeda saat ini.
Jingga Azahra, nama gadis berusia 22 tahun itu. Dulu, bahkan dulu sekali waktu aku tinggal di Indonesia kami adalah teman baik. Kami sekolah dan tinggal di kota yang sama yaitu Jakarta.
Jingga adalah adik kelasku, dia sosok gadis yang supel, periang dan cantik. What? Cantik? Ah, kalau dia dengar pasti kepedaan, haha!
Yaudah lebih baik aku bales pesannya dulu, karena Jingga suka marah-marah kalau aku nggak buru-buru bales pesan dia.
Aku mulai mengetik."Gue udah bangun. Lo ngapain pagi-pagi buta ngechat gue?"
["Syukur deh kalo lo udah bangun. Gue cuma mau kirim foto gue waktu liburan sama anak-anak di Bali kemarin. Lo mesti lihat! Gue ganti warna rambut loh! Pasti lo suka!"]
"Yaudah mana? Gue mau lihat."
Jingga sedang mengetik..
Mataku membulat penuh saat melihat beberapa foto yang Jingga kirim. Foto liburan dia di pantai kuta dua hari yang lalu bareng teman-teman kuliahnya. Cuma yang membuatku melotot, itu dia foto cuma pakai bikini doang?
Ya, aku akui Jingga memang cantik. Kulitnya kuning langsat, perawakan ramping bak seorang model, bola matanya bulat dan bibirnya merah tanpa pewarna. Cowok mana si yang nggak suka lihatnya. Mana pake bikini doang begitu lagi!
Kendati demikian, sebagai teman aku merasa sedih melihat Jingga berpakaian seperti itu, bahkan di depan banyak cowok. Dia seorang muslim, alangkah baiknya kalau dia pakai hijab saja, menutupi keindahan tubuhnya.
Ini cuma pemikiranku doang si. Meski diriku non-muslim, tapi aku sayang sama Jingga. Aku nggak mau dia berbuat dosa dengan mempertontonkan auratnya seperti itu.
["Vin, kok lo diem aja?! Gimana fotonya? Keren nggak?!"]
["Hm, gue tahu pasti lo terpesona yekan lihat foto gue? Ayok ngaku! Haha!"]
Aku tersadar dari lamunan saat Jingga mengirim pesan chat lagi. Dia bilang aku terpesona? Iya si bener. Sebagai cowok normal aku juga suka lihatnya. Apalagi tuh bikini tipis parah begitu. Apalagi pas Jingga lagi main basah-basahan di laut. Shit! Kenapa otakku jadi traveling begini?
Kuhela napas dan mulai mengetik. "Jingga, lo cantik tapi apa nggak lebih baik kalo lo berhijab aja?"
Jingga sedang mengetik..
["Vino lo apaan sih? Dari dulu ngomongnya itu melulu. Suruh gue pake hijab padahal lo sendiri non-muslim!"]
"Jingga, gue cuma nggak mau lo buat dosa dengan nunjukin aurat lo ke yang bukan mahram lo. Gue yakin kalo lo berhijab pasti jauh lebih cantik."
["Lo percaya dengan keyakinan itu? Kenapa nggak hijrah aja?"]
"Enggak bisa begitu. Gue tetap percaya Tuhan Yesus."
["Emang kalo gue berhijab lo suka? Masih mau temenan sama gue gitu?"]
"Ya jelas masih lah! Gue justru seneng kalo lo berhijab."
["Oke, gue bakal coba."]
"Beneran?"
["Ya. Demi lo."]
"Jangan demi gue, tapi demi Tuhan kamu."
"... Ya, demi Tuhan."
Pesan pun berakhir.
Aku kembali menghela napas lalu kuletakkan ponsel pada meja. Aku termenung sendiri. Apakah aku sudah terlalu jauh ikut campur dengan hidup Jingga?
"Vino!"
Suara itu membuatku terkejut. Aku segera menoleh ke arah pintu. Bibir ini mengulas senyum menyambut seorang gadis manis yang sedang berjalan anggun menuju padaku. Kesya Naomi, dia teman dekatku di Korea. Ah, tidak. Lebih tepatnya dia adalah pacarku.
"Kenapa belum mandi juga? Bukannya kita ada acara pagi ini? Kamu pasti lupa, kan? Huh!" Kesya memasang wajah murung sambil melipat kedua tangan di depan dada. Matanya segera berpaling saat aku menatap.
"Aku nggak lupa kok! Aku siap-siap dulu ya?" Bergegas aku bangkit dari tepi ranjang. Senyum gemas aku sematkan di wajah yang katanya tampan ini. "Hei, jangan cemberut gitu! Aku udah siap ketemu Papa kamu loh!"
"Yaudah mandi sana!" Kesya buru-buru mendorong saat aku hendak memeluknya. Aku hanya tertawa kecil dan segera berjalan menuju kamar mandi.
***
"Papa ingin kalian segera bertunangan. Vino, kamu sudah siap 'kan bertunangan dengan Kesya?" tanya ayah Kesya padaku dengan tatapan serius saat kami bertemu di suatu restoran siang itu.
Aku mengangguk. "Saya sudah siap, Om."
Kesya dan ayahnya tersenyum puas mendengar jawabanku. Kami makan bersama dan saling berbincang untuk menata masa depan.
Aku dan Kesya sudah pacaran dua tahun. Tepatnya sejak aku tinggal di Korea Selatan dan kuliah dengannya di kampus yang sama.
Kesya adalah gadis yang baik, cantik, manja dan sedikit posesif. Dia nggak pernah tahu tentang Jingga.
["Malam, Vin."]
Ya ampun, baru juga sampai rumah tapi Jingga udah kirim pesan saja. Aku segera melihatnya. Mataku terbelalak melihat foto yang dia kirim. Gadis berpakaian tertutup dengan hijab warna hitam. Apakah ini Jingga?
Aku segera bertanya dalam pesan chat padanya.
"Kamu berhijab sekarang?"
["Hu'um. Gimana? Lo suka nggak?"]
"Suka! Suka banget malah! Gue nggak nyangka lo mau berubah, tapi sumpah lo cantik banget!"
["Makasih. Ini semua demi lo Vino. By the way, kapan lo balik ke Indonesia?
Gue kangen!"]
"Gue minta maaf. Sepertinya gue nggak bakal kembali ke Indonesia. Bokap udah memutuskan kalo kami bakal tinggal di Seoul selamanya."
["Apa artinya semua ini?"]
"Maksudnya?"
["Vin, lo percaya nggak kalo semisal kita berjodoh?"]
"Percaya, tapi semua itu rahasia Tuhan."
["Meski kita beda agama bukan berarti kita nggak bisa bersatu, kan?"]
"Gue nggak bisa jawab, tapi nggak ada yang nggak mungkin bagi Tuhan. Namun, kita juga nggak boleh terlalu berharap buat yang nggak pasti."
["Ya. By the way, udah malam gue mau tidur. Selamat malam."]
"Malam juga."
Setelah malam itu Jingga mulai jarang mengirim pesan chat padaku. Merasa kehilangan juga, tapi aku juga sibuk mempersiapkan hari pernikahanku dengan Kesya. Apakah aku harus memberi tahu Jingga? Buat apa? Toh, aku pun tidak akan kembali ke Indonesia.
Malamnya saat aku kembali ke unit apartemen. Setelah selesai mandi dan bertukar pakaian, aku membuka aplikasi chat dan memeriksa barangkali ada pesan dari Jingga. Ternyata tak ada. Hatiku sedikit gelisah. Entah kenapa aku merasa kehilangan dia.
Sambil rebahan di atas sofa, aku coba menelusuri akun media social Jingga. Ada banyak foto-foto baru yang dia unggah. Foto-foto Jingga dengan hijabnya yang terlihat begitu anggun. Tak sadar bibir ini mengulas senyum kagum melihatnya.
'Semua ini demi kamu..'
Begitu caption yang tertera pada salah satu foto yang diungah dua hari yang lalu. Foto Jingga yang sedang berada di suatu mall sore itu. Dia kelihatan modis dengan pakaian hijabnya. Untuk caption yang dia tulis, aku nggak tahu tertuju pada siapa.
Hari berikutnya saat aku dan Kesya bertunangan. Jingga kembali mengirim pesan chat. Dia menanyakan foto-foto pertunangan yang aku unggah di akun social media ku.
Aku membenarkan semua ucapannya. Gadis yang berfoto bersamaku itu adalah Kesya, tunangan ku.
["Kenapa lo nggak bilang kalo lo punya pacar? Terus kenapa lo nggak pernah unggah foto dia selama ini?"]
Begitu pesan chat yang dikirim Jingga padaku. Mungkin aku memang salah, tapi apakah itu penting? Toh kami cuma berteman selama ini.
"Gue pernah unggah kok! Mungkin lo lupa." Hanya itu yang aku sampaikan masih dengan rasa heran.
"Yaudah, selamat buat lo dan dia. Semoga lo bahagia."
"Iya makasih. Lo juga semoga segera menyusul ya!"
["Mungkin, tapi nggak semudah itu."]
"Maksudnya?"
["Nggak ada maksud apa-apa. Terima kasih untuk semuanya. Sekali lagi semoga lo bahagia."]
Aku hanya mengernyitkan dahi membaca pesan terakhir dari Jingga. Apa maksudnya? Entahlah, aku tak mengerti.
Esoknya saat aku membuka media social, aku melihat Jingga mengungah foto baru. Fotonya dari arah belakang dan dia sedang duduk seorang diri di tepi pantai. Apakah dia kembali ke kotanya di Bali? Entahlah, aku segera membaca caption yang dia sertakan dengan foto itu.
'Ternyata benar, meski Istiqlal dan Katedral berdampingan tapi tak mungkin bisa bersatu. Cuma rasanya bodoh saja, kenapa aku begitu berharap pada seorang manusia.'
Hatiku tersentuh membacanya. Istiqlal dan Katedral? Apakah maksud Jingga? Nggak mungkin, ini nggak mungkin!
Jadi, Jingga mencintaiku? Kenapa aku tak pernah menyadarinya? Dan sekarang aku sudah menyakiti hatinya? Ya Tuhan ... Tolong maafkan aku.
Kuusap kasar wajah bodoh ini, lalu menunduk
dengan perasaan tak karuan. Bodohnya diriku. Namun, aku benar-benar tak pernah memiliki perasaan lebih pada Jingga. Meski begitu, aku tetap sudah membuatnya terluka.
Jingga, maafkan aku..