Cerpen
Disukai
1
Dilihat
3,551
Imajinasi yang Datang Mengetuk Jendela
Misteri

Tiga … dua … satu …

Dia lekas berdoa. Sedetik yang lalu, usianya telah beranjak dua puluh. Pukul tengah malam lebih satu menit, dia yang duduk di kursi belajarnya barusaja menyelesaikan permohonan. Lilin yang menyala di tengah-tengah donat di atas meja belajar pun ditiup. Api padam lalu asap mengepul di udara. Diperhatikanya asap yang meliuk-liuk ke atas kemudian pudar. Suara ketukan yang mengejutkan pun terdengar.

Duk! Duk! Duk!

Ketukan yang aneh. Tidak berasal dari pintu, tapi dari jendela kamar. Si pemilik kamar pun ragu mendekati jendela yang tertutup tirai. Pasalnya, kamarnya berada di lantai dua dan di luar jendela tidak ada balkon. Kira-kira siapa yang mengetuk dan bagaimana caranya?

Karena ketukan masih berlanjut, dia mencoba berdiri dan mendekati jendela yang tertutup tirai. Ujung tirai ia genggam kemudian tirai digeser sehingga terbuka. Dia terkejut. Sepasang matanya terbuka lebar menyaksikan sosok asing di luar jendela. Benar-benar terjadi atau hanya mimpi? Dia mengerjapkan mata berulang kali. Setiap memejamkan dan membuka mata lagi, sosok itu tidak hilang. Dia takjub, tapi juga takut. Benarkah yang ia saksikan sekarang ini adalah seekor naga putih raksasa yang ekor panjangnya meliuk di udara dan menghalangi cahaya bulan ke seluruh kawasan? Dia merasa sudah gila.

Dia refleks mundur saat kepala naga itu mendekat dan menggunakan moncongnya untuk mengetuk jendela. Bahkan jika jendela dibuka, kepala naga itu tidak akan muat menerobos jendela. Apa yang harus dilakukan? Kira-kira siapa yang bisa memberitahu naga ini liar atau jinak? Naga itu memiliki tatapan mata yang tajam. Tanduk warna emasnya yang berkilau dan bercabang tampak seperti mahkota. Surai putih tebal yang tumbuh di atas kepala sampai ke ekor belakang berkibar dengan cantik. Sangat cantik. Naga itu kemudian bersuara.

“Andini.”

Naga itu menyebut nama si pemilik kamar. Suaranya besar dan menggema. Andini saat ini masih tidak berani membuka jendela meskipun ia sangat penasaran: Darimana naga itu tahu namanya?

Naga itu kembali bertanya, “Apa wujud ini menakutimu?”

Sang naga berubah wujud dalam sekejap mata: menjadi ikan buntal raksasa yang menggembung selebar jendela. Saat udara berhembus dari mulutnya, ikan itu melesat kesana-kemari seperti balon yang meletus. Saat sosok itu tidak terlihat lagi, Andini mendekat ke jendela untuk mencari tahu kemana perginya. Andini membuka jendela dan mengamati sekitar rumahnya. Suasana malam ini sangat sunyi dan Andini tidak menemukan apa-apa. Apakah yang barusaja terjadi sebenarnya tidak nyata? Memangnya siapa yang akan percaya jika beberapa saat lalu ada naga raksasa yang terbang di luar jendela kamarnya dan tiba-tiba berubah menjadi ikan buntal? Pikir Andini, lupakan saja. Tapi … MANA BISA?!

Saat jendela akan ditutup, tangan aneh berbulu tiba-tiba muncul dari atas menahan jendela. Andini sontak menjerit dan mundur terburu-buru. Sosok aneh itu melompat dari atas dan menerobos jendela kamar dan masuk ke ruangan. Sosok yang datang kali ini adalah seekor kera. Bukan. Bukan kera, tapi boneka kera–boneka kera yang bisa berjalan dan bicara. Boneka itu segera menceletuk saat Andini nyaris berteriak lagi.

“Hei! Jangan takut! Aku baik. Apa wujud ini masih menakutimu? Apa yang paling kamu suka? Aku akan berubah menjadi itu.”

Andini terdiam saat sosok itu tiba-tiba berubah ke macam-macam bentuk: kuda poni, pelangi, semangkuk bakso, kucing yang tersenyum lebar sekali, sapu terbang, penguin, telur mata sapi yang kuningnya tiba-tiba pecah, anak kucing hitam–Andini terperangah melihat wujud terakhir itu.

“Jagu,” lirih Andini.

Sosok kucing hitam itu tersenyum dan berkata, “Aku meminjam wujud kucing kesayanganmu yang telah meninggal, Jaguar.”

Suara sosok itu ternyata berubah sesuai wujudnya. Saat menjadi naga, suaranya besar dan menggema. Saat menjadi kucing, suaranya melengking. Sepasang mata Andini berkaca-kaca menatap sosok kucing yang ia rindukan. Sayangnya, sosok itu hanya menyerupai.

Andini bertanya, “Bagaimana bisa kamu tahu segalanya?”

Si kucing menjawab, “Karena aku imajinasimu. Aku adalah apa yang kamu pikirkan selama ini. Mau menjelajahi imajinasimu yang lain?” Dia menawari.

“Menjelajahi?” Andini bertanya.

Tiba-tiba Andini melihat dinding kamarnya mengelupas. Bukan cat, tapi dinding yang mengelupas. Andini melihat ke atas. Langit-langit kamarnya tergulung seperti karpet lalu melebur dan menghilang bersama dengan atap kamar. Apa yang terjadi? Andini panik.

Seluruh perabotan kamar pun melebur satu persatu: tempat tidur, lemari, rak buku, meja belajar dan semuanya termasuk donat di atas meja belajar yang malam ini menjadi kue ulang tahunnya. Setelah atap, dinding dan perabotan kamar menghilang, lantai kamar pun mulai melebur dari ujung sampai pijakan Andini hilang. Lalu dia terjatuh di sebuah ruang tamu.

Andini kenal betul bahwa ruang itu adalah ruang tamu di rumahnya. Hanya saja sedikit berbeda. Ruang tamu yang ia datangi memiliki dinding yang lebih kusam dan usang. Lampunya tidak seterang sekarang–persis seperti ruang tamu lamanya bertahun-tahun yang lalu. Andini mendengar suara mobil kemudian mendekat ke jendela dan membuka tirainya. Di halaman rumah, dia melihat mobil lama ayahnya sedang melaju pergi. Andini pun teringat masa lalu.

Kucing hitam berjalan dari arah ruang tengah seraya berkata, “Di malam tahun baru, jahitan operasi usus buntu adikmu bocor. Kalian sekeluarga pergi ke rumah sakit dan merelakan kesempatan untuk melihat pesta kembang api.”

Andini bertanya, “Ini masa lalu?”

Kucing hitam menggeleng. “Bukan. Aku sedang membawamu menjelajahi pikiranmu sendiri.”

Andini mengerutkan kening. Dia tidak mengerti, tapi yang tidak dia mengerti ini benar-benar terjadi. Apakah segalanya yang terjadi memang tidak harus dipahami? Andini melihat keluar jendela lagi dan pemandangan yang ia lihat itu, meskipun tematam, tapi benar-benar lingkungannya beberapa tahun yang lalu. Segalanya ternyata memang suram jika telah menjadi kenangan.

“Andini,” kucing hitam memanggil.

Andini menoleh.

“Adikmu sekarang baik-baik saja. Sudah cukup sedihnya,” kata kucing hitam yang saat ini duduk di bingkai jendela yang terbuka.

Sebentar. Sejak kapan ada jendela di sana? Jendela yang diduduki kucing hitam adalah jendela yang sangat Andini kenal. Andini lagi-lagi bingung. Sejak kapan jendela kamarnya menempel di dinding ruang tamu padahal di sisi itu seharusnya tidak ada jendela? Untuk memastikan, Andini mendekat ke jendela tersebut dan melihat pemandangan luar. Jendela itu menampilkan pemandangan permukiman dari lantai dua. Andini pun yakin bahwa itu adalah jendela kamarnya. Bagaimana bisa ada pemandangan berbeda padahal dua jendela ada di ruang yang sama? Saat Andini menoleh ke belakang, ruang tamu lama ternyata telah berubah menjadi ruang lain. Kamarnya telah kembali. Dia melihat donat di atas meja belajar dengan lilin kecil yang masih berdiri di tengah-tengahnya.

“Malam ini kamu merayakan ulang tahun sendirian,” kata kucing hitam yang kemudian melompat ke atas meja belajar dan duduk di samping donat. “Dari setiap kehilangan seseorang, aku tahu mana yang paling melukaimu. Sejauh ini, kamu sudah kehilangan kakek, nenek dan sepupumu. Kamu paling tidak rela saat sepupumu meninggal. Yang kamu pikirkan waktu itu, kamu merasa sepupumu yang lebih pantas hidup daripada dirimu sendiri. Sejak saat ini sampai sekarang, masihkan kamu merasa tidak berguna, Andini?”

Andini menatap kucing hitam yang jelas sekali terlihat sedang tersenyum.

Kucing hitam berkata lagi, “Tolong jangan mati dulu. Duniamu butuh kamu. Imajinasimu ini bisa membuat duniamu berwarna. Jika kamu mati, maka aku juga.”

Andini bertanya, “Kenapa imajinasiku muncul sebagai seekor naga?”

“Kamu pernah memimpikan naga, ingat? Naga yang dari mimpimu itu berasal dari pikiranmu. Jika tidak percaya, aku bisa menampilkan padamu imajinasimu yang lain. Maukah kamu mengunjungi sudut pikiranmu yang lain?”

Andini menggeleng, “Kalau sedih, lebih baik tidak.”

“Bagaimana kalau jalan-jalan saja? Kamu bersedia pergi jalan-jalan bersama imajinasimu ini, kan? Atau, kamu ingin jalan-jalan dengan siapa? Aku bisa menjadi orang itu.”

Kucing hitam itu melompat turun ke lantai dan seketika berubah menjadi sepupu Andini yang telah meninggal. Andini sempat terkejut, kemudian menyeka air mata di sudut mata.

“Itu tidak lucu,” kata Andini.

Demi menghibur, sosok itu berubah lagi menjadi seorang bintang terkenal asal luar negeri yang sangat Andini kagumi. Andini buru-buru membungkam mulutnya sendiri yang sempat memekik singkat. Dia tidak menyangka rasanya akan seperti benar-benar bertemu idola. Dia semakin terkejut saat sosok itu tiba-tiba berubah menjadi ibunya.

“Jangan serakah!” kata sosok itu.

Andini berusaha mematuhinya meskipun sosok di hadapannya bukanlah ibunya yang asli. Saat sosok itu berubah lagi, wujud berikutnya justru membuat Andini bingung. Wajah itu bukan milik anggota keluarga maupun teman Andini. Namun, Andini merasa bahwa sosok pria albino bertubuh tinggi itu tidak asing.

“Kamu tahu wujud ini, Andini,” kata sosok yang mengaku imajinasi itu. Suaranya tegas dan gagah persis seperti yang Andini bayangkan. Sosok itu kembali bicara, “Wujud ini diciptakan oleh pikiranmu. Ini adalah salah satu karakter fiksi yang pernah kamu tulis.”

Kening Andini mengerut. “Rio?” tanyanya ragu-ragu.

Andini terharu saat imajinasinya mengangguk. Sosok karakter fiksi itu mengulurkan tangan kepadanya.

“Mau pergi jalan-jalan denganku?” tawarnya.

Andini tidak habis pikir. “Ini pasti mimpi,” ujarnya seraya menerima uluran tangan pria itu.

Sayangnya, sosok itu tiba-tiba berubah lagi. Kali ini menjadi panda besar yang membuka mulut lebar-lebar.

“Boleh aku minta setengah donatmu?” tanya si panda seraya menunjuk mulutnya yang terbuka.

Andini tidak punya alasan untuk menolak. Lagi pula harganya tidak seberapa. Dia menghampiri meja belajar, mengambil donat dan membaginya menjadi dua lalu setengahnya ia berikan kepada panda. Panda menerimanya dan seketika melempar donat bagiannya ke dalam mulutnya.

Panda kembali bertanya setelah menelan, “Jadi jalan-jalan?”

“Kemana?” tanya Andini.

Panda menunjuk langit-langit dan tatapan Andini mengikuti petunjuk itu. Di langit-langit kamar ternyata ada lubang semacam portal yang menampilkan langit malam penuh bintang. Andini sudah tidak terkejut lagi. Pandapun tiba-tiba berubah menjadi setumpukan kartu poker yang kemudian beterbangan dan menumpuk membentuk tangga menuju portal di langit-langit. Andini tanpa ragu memijakkan kaki di salah satu anak tangga yang terbuat dari kartu itu.

Semakin tinggi Andini menaiki tangga, dia menjadi tahu apa yang ada di atas langit-langitnya. Di sana ternyata berupa sabana yang dikelilingi pegunungan dan setiap gunung memiliki salju di puncaknya. Langit di atas tidak hanya berbintang, tapi juga memiliki cahaya warna-warni yang berpendar: aurora.

“Ini Swiss?” tanya Andini saat kaki telanjangnya menjejaki tanah lembab yang ditumbuhi rumput liar. Dia menoleh ke belakang untuk mencaritahu sosok imajinasinya. Ternyata imajinasinya telah berubah menjadi jerapah besar dan sangat tinggi.

“Sepertinya bukan,” kata jerapah. “Sudut pikiranmu yang ini cukup gelap. Mungkin tempat ini adalah letak kesedihanmu.”

“Letak kesedihan?” gumam Andini. “Aku sudah bilang tidak mau pergi kalau sedih!” tegasnya.

“Mau menumpang?” Jerapah membungkukan tubuhnya agar Andini bisa naik ke punggungnya. Sialnya, Andini tidak bisa menolak.

Di padang sabana yang berlangitkan malam, Andini dibawa berkeliling. Selama berjalan, Jerapah menanyakan banyak hal kepada Andini. Mereka banyak membicarakan soal imajinasi. Andini merasa sangat dipahami karena Jerapah dan dunia gelap yang tengah dikunjunginya memanglah hasil pikirannya sendiri.

Suara tangisan anak kecil tiba-tiba terdengar entah dari mana. Andini melihat sekeliling untuk mencaritahu sumber suara. Dia sulit menemukannya karena gelap. Langkah jerapah pun berhenti setelah menemukan sesuatu. Andini mengikuti kemana arah Jerapah memandang. Di hadapan mereka ternyata terdapat sungai kecil–semacam saluran irigasi–yang cukup dalam. Di tepiannya terdapat sepasang tangan kecil yang mengais-ngais ke atas berusaha memanjat. Suara tangisannya berasal dari sana. Ada anak kecil yang terjebak dan bersusah payah keluar dari saluran air itu.

“Kita harus menolongnya!” tegas Andini.

“Sepertinya dia bisa,” kata Jerapah.

Andini memperhatikan anak itu yang akhirnya berhasil memanjat. Dia akhirnya bisa melihat sosok seorang anak perempuan yang mengenakan seragam olah raga SD. Dia pun tertegun karena merasa mengenal anak itu. Dia terdiam cukup lama seraya memperhatikan anak kecil yang melangkah pergi menuju kegelapan.

Andini tiba-tiba memaksa turun dari punggung jerapah lalu berlari mengejar anak kecil yang berjalan sendirian sambil terus menyeka air mata. Tidak hanya anak itu yang menangis, tapi Andini juga. Dia terus mengejar, tapi anak itu segera tertelan kegelapan sehingga tidak terlihat lagi. Andini putus asa dan memutuskan untuk duduk di tempat. Dengan wajah berderai air mata, ia terus menatap kegelapan yang menelan anak kecil tadi.

Jerapah datang menghampiri lalu berubah menjadi boneka Pinokio. Andini sangat ingat. Boneka Pinokio itu adalah boneka kesayangannya yang dulu diminta teman ayahnya untuk diberikan kepada anak perempuannya. Waktu itu Andini tidak bersedia, tapi terus dipaksa agar bersedia. Mengingat itu, Andini semakin menangis sesak.

“Kamu adalah anak kecil yang tetap berjuang meskipun menangis,” kata boneka Pinokio yang berdiri di hadapan Andini.

“Sudah aku bilang aku tidak mau sedih. Kenapa kamu menunjukkan itu padaku?” tanya Andini di tengah tangisnya.

Boneka Pinokio menjawab, “Untuk memberitahumu bahwa saat ini kamu lebih kuat. Kamu sudah memiliki cukup kekuatan untuk menyampaikan luka terdalammu, Andini. Ketakutan terhebatmu di masa kecil, sekarang bukanlah apa-apa.”

Luka masa kecil yang selama ini ia tahan, kali ini tumpah. Tangisan Andini meraung. Cukup lama dia menangis dan boneka Pinokio rela menunggu hingga tangisnya selesai.

“Aku benci mereka,” desis Andini seraya menyeka air mata. Dia bercerita, “Waktu itu pelajaran olah raga. Guru membawa kami ke luar sekolah untuk berlari memutari desa. Semua murid berbaris, tapi barisannya pecah. Mereka berkelompok, tapi aku tidak punya teman. Aku berjalan sendirian jauh di belakang beberapa teman-teman sekelasku. Aku berjalan di tepian lalu jatuh ke sungai kecil itu. Aku masih bergelayut dan bertahan di tepian. Aku menangis dan mencoba bersuara agar ada yang menyadari keberadaanku dan datang menolong. Tapi teman sekelasku hanya menoleh. Mereka melihatku jatuh, tapi salah satu di antaranya menghasut semuanya untuk meninggalkanku saja.” Air mata Andini mengalir lagi. Dia tidak kuasa menahannya. Dia menambahkan, “Setiap aku mengingat kejadian itu, aku selalu merasa kasihan dengan diriku yang masih kecil … ” tangisnya pun meledak lagi.

Satu tangan boneka Pinokio meraih tangan Andini meskipun tidak bisa menggenggamnya. “Keberanianmu telah menyelamatkan dirimu sendiri, Andini,” ujarnya. “Memang begitulah seharusnya. Orang pertama yang paling bisa menyelamatkanmu adalah dirimu sendiri. Sekarang kamu bisa berhenti menjadikan kenangan menakutkan itu sebagai luka. Saat ini kamu sudah bisa menemukan kebahagiaanmu sendiri. Karena jika kamu bahagia, maka aku juga.” Di kalimat terakhir itu, suaranya berubah menjadi suara anak perempuan.

Andini melihat tangan boneka Pinokio itu berubah menjadi tangan manusia kecil yang lucu. Wujud berikutnya dari sosok imajinasi itu ternyata adalah sosok masa kecil Andini. Yang tadi diceritakan, akhirnya muncul juga. Andini tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluknya. Andini memeluk masa kecilnya.

Tiba-tiba pijakan Andini hilang. Ada lubang besar yang tiba-tiba muncul di bawahnya dan membuat Andini maupun imajinasinya terjatuh ke dalam. Andini mengulurkan tangan berusaha meraih sosok masa kecilnya. Andini terus bertekad bahwa dirinya tidak akan pernah meninggalkan anak itu. Lubang jatuhnya ternyata sangat penjang. Andini terus terhempas sampai akhirnya punggungnya menghentak sesuatu.

DEG!

Andini membuka mata dan menyadari dirinya tertidur di atas meja belajar. Apakah dia barusaja bermimpi? Andini mengangkat kepala dari meja belajar kemudian menatap sekeliling. Setelah merasa yakin bahwa ruang itu memanglah kamarnya, dia segera memeriksa jendela. Dia buru-buru membuka tirai, membuka jendela, kemudian pandangannya memindai sekitar rumahnya. Semuanya pun tampak normal.

Karena tidak menemukan kejanggalan, jendela pun ditutup lagi. Andini mendapati jam dinding kamarnya menunjukkan pukul dua pagi. Sepertinya dia memang ketiduran dan bermimpi. Saat dia ingin kembali ke meja belajar untuk merapikannya, dia menemukan donat di atas meja yang tersisa setengah padahal seingatnya dia belum sempat memakannya. Andini juga menemukan jejak lembab di lantai kamar yang ternyata berasal dari kakinya sendiri yang saat ini kotor akan tanah lembab dan ditempeli beberapa rumput liar. Yang ini baru janggal.[]

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)