Masukan nama pengguna
Suara gerungan mobil truk memecah keheningan pagi, truk sampah itu sudah berkeliling komplek sejak dini hari. Suara itu terdengar makin jelas ketika berada persis di depan rumah Nira, hingga membangunkannya yang masih tertidur lelap.
Nira yang baru bisa tidur dini hari itu terpaksa membuka matanya, meski sebenarnya ia merasa enggan untuk bangun.
Ia menghabiskan waktu semalaman untuk mengerjakan pekerjaan yang menumpuk. Sebagai seorang remote worker, ia memilih mengerjakan pekerjaannya di malam hari agar lebih tenang dan fokus.
Biasanya Nira tidur lebih lama dan bangun saat tengah hari. Namun hari ini ia tak bisa melakukan itu, ia ingat harus pergi ke Rumah sakit hari ini.
Begitu membuka matanya Nira melirik jam yang tergantung di dinding, waktu menunjukan pukul 05.30.
“Kurasa truk sampah datang lebih awal pagi ini,” gumamnya sambil membuka selimut dan turun dari tempat tidurnya.
Nira melangkahkan kakinya, mengambil handuk dari gantungan memindahkannya ke pundak dan berjalan menuju kamar mandinya.
Wanita berusia 30 tahun itu tinggal sendirian sejak tiga tahun lalu, sejak ia diponis sakit lupus. Nira tinggal di sebuah rumah kecil di pusat distrik yang ia sewa tahunan demi menjauhkan dirinya dari hal-hal yang membuatnya stress, terutama dari keluarga besarnya yang terus mengungkit masalah pernikahannya.
Meski ia beberapa kali menjalin hubungan percintaan, Nira masih belum bisa menemukan tambatan hatinya. Ia sudah berusaha keras untuk mencari calon suami yang cocok untuk dia nikahi selama ini, demi keluarganya. Namun pada akhirnya hubungan-hubungan itu hanya membuatnya pusing dan berakhir tanpa adanya komitmen apapun.
Tak butuh waktu lama untuk Nira bersiap-siap, ia hanya menghabiskan waktu satu jam untuk mandi, bersolek dan sarapan. Nira bukanlah wanita yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdandan, ia terbiasa dengan penampilan natural apa adanya tanpa make up.
Nira yang baru saja tiba di stasiun mempercepat langkah kakinya ketika ia melihat sebuah kereta baru saja tiba, sama seperti biasanya pagi ini stasiun begitu dipenuhi banyak orang yang hendak berangkat kerja.
Nira memilih pergi ke gerbong wanita, meski keadaan di sana juga sama saja setidaknya ia bisa bergerak lebih leluasa. Karena tak kebagian tempat duduk Nira terpaksa berdiri sepanjang perjalanan, selama satu jam.
"Sangat tidak adil, bagaimana mungkin tidak ada yang berjalan lancar dalam hidupku?!" gerutunya dalam hati.
Begitu tiba di rumah sakit Nira langsung pergi ke tempat pendaftaran, seperti biasa rumah sakit juga ramai hari itu.
"Banyak sekali orang sakit di negara ini," gumamnya.
Nira merasa prihatin dengan keadaan itu namun juga lega. Jahat memang, ketika ia bersyukur bahwa bukan hanya ia yang sakit di dunia ini. Namun anehnya keadaan itu terkadang menjadi penghiburan baginya, rasanya seperti ia bisa menghadapi kemalangan itu bersama-sama meskipun mereka tak saling mengenal satu sama lain.
"Ah menyebalkan ...!"
Nira menggerutu saat melihat nomer antrian terakhir di poselnya. Ia duduk di kursi tunggu yang terletak di sudut ruangan, karena hanya itu satu-satunya kursi yang tersisa.
Di sana ia bisa mendengar orang-orang yang sedang mengomel karena sudah menunggu lama, padahal meraka sudah datang ke rumah sakit sejak dini hari tapi masih belum dipanggil oleh dokternya karena dokter yang jadwal hari itu datang sedikit terlambat dari biasanya.
Mendengar hal itu membuatnya sedikit bersyukur dengan keadaannya, karena ia masih mendapat jatah berobat hari itu meski datang agak siang dibanding orang lain. Ya, ia hanya perlu menunggu dengan sabar seperti biasanya hingga gilirannya tiba.
Dua jam pun berlalu, tibalah gilirannya. Begitu suster menyerukan namanya, Nira segera masuk ke ruangan dokter.
Tak butuh waktu lama. setelah memeriksanya, Dokter itu segera meresepkan obat yang sama dengan obat-obatan yang selama ini sudah rutin Nira minum. Sejak diponis penyakit itu, tak sehari pun ia lepas dari obatnya.
Nira melangkah keluar dari ruang dokter dan berjalan menuju apotek untuk mengambil obat yang yang sudah di resepkan.
Ia baru ingat bahwa ia harus membawa kartu obat untuk menebus obatnya hari itu, Nira meraba saku celana kemudian merogoh tasnya sambil terus berjalan.
Namun dimana kartu itu? ia sama sekali tak bisa menemukannya meskipun sudah mencari di saku dan tasnya. Ia ingat sudah menyimpan kartu itu di dalam tasnya tadi pagi.
"Kenapa tidak ada?"
Dalam hati Nira mulai mengumpat pada dirinya sendiri.
Mengapa hal-hal menyebalkan terus terjadi padanya hari ini, pikirnya. Di saat yang sama ia tak sengaja menabrak seseorang dan terjatuh menghantam lantai.
Bokong yang terbentur ke lantai itu memang terasa sakit dan ngilu, namun itu tak sebanding dengan rasa malu yang Nira rasakan. Orang-orang tampak memandanginya. Nira bisa merasakan pipinya yang mulai terasa panas, wajahnya mungkin tampak matang dan merah saat itu
“Kau tidak apa?” tanya seseorang yang berdiri di depannya, orang yang Nira tabrak tadi.
Dari suaranya jelas sekali bahwa orang itu adalah laki-laki, terlihat sepasang sepatu kets berwarna putih yang dipakainya dengan celana bahan yang terlihat sangat rapih.
"Apa kau terluka?" tanya laki-laki itu lagi.
Nira mulai mengangkat wajahnya secara perlahan menelusuri sosok yang ada di depannya itu, terlihat jas berwarna putih yang dikenakannya. Kali ini Nira bisa tahu bahwa orang di hadapannya itu adalah seorang dokter.
Sesaat Nira tertegun melihat wajah yang tidak asing di sana, wajah itu adalah wajah laki-laki yang selama ini ia rindukan.
"Apakah ini bukan mimpi ...?" tanyanya dalam hati.
Nira mengedipkan matanya beberapa kali, ia masih tak menyangka bisa melihat laki-laki itu di sana.
Nira memang pernah melihat postingan laki-laki itu di media sosialnya, yang memposting dirinya bersama rekan dokternya di depan ICU rumah sakit. Namun Nira tak pernah tau bahwa ia bekerja di rumah sakit tempatnya berobat.
Kenapa mereka tak pernah bertemu selama ini? padahal sudah 3 tahun lamanya Nira rutin berobat di rumah sakit itu.
"Apa kau baik-baik saja?" Lelaki itu kembali bertanya, karena Nira sama sekali tak merespon pertanyaannya.
Nira tersadar.
“A ... aku tidak apa,” Jawabnya sambil berusaha mengangkat badan yang masih tersungkur di lantai.
Kali ini Nira menempatkan kedua telapak tangan di lantai untuk mengangkat tubuhnya. Namun ia tidak berhasil, kakinya terlalu lemas setelah terkejut melihat cinta pertama yang tiba-tiba ada di hadapannya itu.
Laki-laki berjas dokter itu memberikan tangannya untuk membantu, tentu saja Nira menyambutnya dengan senang hati.
“Terima kasih!” ucap Nira saat kembali berdiri, "maaf! saya benar-benar tak sengaja," ucapnya kemudian sambil menundukan kepala.
Nira sangat sadar bahwa ia terjatuh karena ulahnya sendiri. Karena sibuk mencari kartu obat, ia tidak fokus saat berjalan.
“Apa ada yang terluka?” Laki-laki itu tampak berusaha memastikan keadaan Nira.
“Aku baik-baik saja!” jawab Nira sambil terus memandangi dokter itu, berharap laki-laki itu akan segera mengenalinya.
Namun sayangnya laki-laki itu hanya terlihat canggung dan berusaha menghindari pandangannya.
"Kenapa wanita ini melihatku seperti itu?" gumam laki-laki itu dalam hati.
Ia ingin segera pergi dari sana, tapi tak sopan rasanya jika ia meninggalkan wanita yang sudah ia buat jatuh begitu saja.
"Tapi ..., sepertinya wajahnya tak asing. Mungkinkah dia pasienku?" pikirnya kali ini.
Dari semua kemungkinan, itulah yang paling masuk akal tentang perasaan tak asing yang dirasakannya saat itu.
"Sepertinya Andika sama sekali tak mengenalik," gumam Nira dalam hati.
Ya, nama laki-laki itu Andika dia adalah kakak kelas Nira saat SMA yang juga adalah cinta pertamanya.
Melihat kecanggungan laki-laki itu Nira kembali tersadar, laki-laki itu pasti akan menganggap dirinya sebagai wanita aneh karena ia terus memandanginya.
“Bukankah kamu kak Andika?” tanya Nira dengan cepat.
Ia bermaksud mengingatkan Andika bahwa mereka sebenarnya saling mengenal satu sama lain.
Nira jelas tahu bahwa laki-laki itu memang Andika cinta pertamanya. Baru semalam ia melihat foto laki-laki itu media sosialnya.
“Ya ..., apa kita saling mengenal?” balas Andika ragu.
Ia berusaha mengingat-ingat siapa sebenarnya wanita yang sedang berdiri di hadapannya itu.
Ia melihat wajah Nira dengan seksama, wajah gadis itu memang tampak familiar di matanya. tapi siapa? ia kemudian teringat seseorang, adik kelas yang selalu mengekorinya saat SMA dulu.
“... Nira?” tanyanya sambil tersenyum, “maaf! aku tak langsung mengenalimu karena kau sudah banyak berubah,” sambungnya lagi.
Andika tampak tidak enak hati karena tak mengenali adik kelasnya itu, padahal mereka dulu cukup dekat satu sama lain.
“Syukurlah kakak mengingatku, aku akan merasa sangat malu jika hanya aku yang mengenali kakak,” ujar Nira tersenyum lega.
Wajah Nira memang cukup banyak berubah, kini ia tampak lebih cabi karena penyakit yang di deritanya, jadi wajar saja jika Andika tak bisa langsung mengenalinya.
“Kau sedang apa di sini, apa kau sakit?” tanya Andika penasaran.
“Yah begitulah, aku sedang menuju apotek untuk mengambil obatku,” jawab Nira.
“Oh begitu!” ucap Andika, tampak berpikir.
“Mmhh ... bagaimana kalau kita mengobrol sebentar? Sudah lama sekali kita tidak bertemu, aku jadi ingin ngobrol denganmu,” ucap Andika lagi.
Sejak lulus dari SMA mereka memang tak pernah bertemu satu sama lain.
“Baiklah kak, tapi aku harus mengambil obatku dulu sebelum apoteknya tutup. Bagaimana kalau setengah jam lagi di cafe seberang rumah sakit?” kata Nira bersemangat.
“Baiklah, sampai bertemu setengah jam lagi!” ucap Andika sambil tersenyum, kemudian pergi menuju ke sebuah ruangan yang tidak jauh dari tempat mereka berada.
Nira melambaikan tangannya sambil tersenyum. Sementara itu ia baru ingat bahwa ia harus segera mencari kartu obatnya, jika ingin segera mendapatkan obat hari itu.
Nira duduk di kursi kosong yang tak jauh dari tempatnya berdiri dan segera mencari kartu obatnya lagi, ia mengeluarkan semua isi tasnya satu persatu dan menyimpan di kursi kosong yang berada disampingnya.
Akhirnya ia menemukan kartu obat yang terselip di antara kumpulan kertas. Nira segera pergi menuju apotek.
***
Nira berjalan menuju cafe yang berada di seberang rumah sakit, hari itu cuaca terasa tampak cerah meskipun sudah sore.
Terlihat di balik jendela kaca, Andika yang sedang memegang ponsel duduk menunggunya.
Melihatnya saja sudah membuat Nira bahagia, wajah laki-laki itu masih sama seperti dulu. Bentuk wajah oval dengan dahi yang sedikit lebar, hidung macung dan penampilannya yang rapih itu tampak sangat mempesona di matanya.
Nira membuka pintu cafe berjalan menuju tempat di mana Andika berada.
“Maaf membuat kakak menunggu!” ucapnya sambil menarik kursi persis di depan Andika.
“Tidak, aku juga baru sampai,” jawab Andika senang.
“Kakak belum pesan?” tanya Nira lagi.
“Belum, kau mau minum apa?” Andika balik bertanya sambil membuka buku menu yang memang sudah ada di atas meja sejak tadi.
“Aku mau strawberry juice saja,” ucap Nira tanpa melihat buku menu tersebut.
Nira memang sering datang ke cafe itu setiap kali pergi ke rumah sakit, ia sudah cukup hapal dengan menu apa saja yang ada di sana. Ia segaja memilih jus karena dokter melarangnya mengkonsumsi kafein.
Andika kemudian memanggil pelayan.
“Strawberry juice satu, Americano tanpa gula satu,” ucapnya sambil mengembalikan buku menu itu kepada pelayan.
Sembari menunggu pesanan datang Andika menanyakan kabar Nira dan ia cukup terkejut mendengar bahwa adik kelasnya itu sedang sakit.
“Sejak kapan kau sakit?” tanya Andika.
“Sudah 3 tahun kurasa,” jawab Nira, “tapi sekarang aku baik-baik saja,” ucapnya lagi.
Nira tidak suka jika orang-orang memandangnya dengan rasa kasihan saat mendengar kondisinya itu.
“Tentu! Aku yakin kau baik-biak saja, kau gadis paling kuat yang pernah aku kenal selama ini,” ujar Andika.
Nira sangat senang mendengar ucapan laki-laki itu, itulah yang selama ini membuatnya menyukai Andika, laki-laki itu selalu memberikan jawaban yang Nira ingin dengar.
Tak lama minuman yang mereka pesan pun datang, satu gelas strawberry juice yang cantik dilengkapi hiasan buah strawberry di bibir gelasnya dan satu gelas Americano yang dipesan Andika. Mereka berhenti mengobrol sejenak dan menyesap minumannya.
“Apa kau sudah menikah?” tanya Andika tiba-tiba sambil menikmati minumannya.
“Kenapa kakak bertanya?” Nira menjawab petanyaan tersebut dengan balik bertanya.
Ia selalu merasa canggung untuk menjawab pertanyaan seperti itu.
“Hanya penasaran saja,” jawab Andika sambil tersenyum.
"Kakak sendiri bagaimana?"
Sebenarnya Nira juga merasa penasaran tentang hal itu.
“Mmh ... sepertinya aku akan segera bertunangan dalam waktu dekat,” jawab Andika sedikit ragu.
Andika sama sekali tak terlihat canggung menceritakan tentang dirinya. Ia masih menganggap adik kelasnya itu sebagai sahabat dekatnya meskipun meraka sudah tak bertemu bertahun-tahun lamanya.
Nira hanya terdiam, sebenarnya ia tak tau harus bagaimana menanggapi perkataan Andika saat itu.
“Kau kenal Glorry kan?” tanya Andika.
“Glorry?”
“Tetanggamu,” kata Andika, ”baru-baru ini ibuku mengenalkannya padaku, kami dijodohkan lebih tepatnya,” pungkasnya.
"Dijodohkan?!" Gumam Nira dalam hati.
Ia tak menyangka Andika yang selalu bertindak sesuka hatinya itu bersedia untuk dijodohkan dengan seorang gadis begitu saja.
“Apakah kakak menyukainya?” kata-kata itu spontan keluar dari mulut Nira.
Jika Andika tidak benar-benar menyukai wanita itu, setidaknya ia merasa masih memiliki kesempatan untuk menyampaikan isi hatinya. Namun tentu saja Nira tak cukup siap untuk memberitahunya saat ini, karena pertemuan mereka yang tiba-tiba itu.
“Dia orang yang baik.” Andika mengangguk-anggukan kepalanya.
Sebenarnya Andika juga belum terlalu yakin mengenai perasaannya pada Glorry, hanya saja ia tak bisa menolak keingginan orang tuanya terutama jika itu adalah keinginan ibunya.
Nira masih terdiam memikirkan maksud perkataan Andika, ia jelas tak mendengar bahwa Andika menyukai Glorry. Padahal dulu jika Andika menyukai seseorang, laki-laki itu akan langsung mengatakan bahwa ia menyukainya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku tadi,” tutur Andika kali ini.
Sejenak Nira berpikir, pertanyaan apa yang Andika maksud.
“Oh ... Aku masih sendiri. Aku terlalu sibuk mengurus diriku sendiri akhir-akhir ini,” Jawab Nira seraya mengangkat kedua bahunya sambil memaksakan senyuman di bibirnya.
“Apa mau ku kenalkan kepada seseorang? teman-teman dokterku masih banyak yang lajang,” kata Andika kemudian.
Kali ini Nira sedikit kecewa dengan perkataan yang keluar dari mulut Andika, seolah Andika sedang menunjukan bahwa ia tak pernah memandang Nira sebagai seorang wanita selama ini.
Meskipun Nira tahu betul bahwa laki-laki itu bermaskud baik padanya namun bukan itu yang ingin ia dengar.
“Tak perlu kak! Sebenarnya sudah ada orang yang aku sukai,” jawab Nira sedikit ragu, “hanya saja aku tak tau apakah dia juga menyukaiku atau tidak,” ucapnya lagi.
“Aku yakin ia pasti akan menyukaimu,” kata Andika menanggapi kekhawatiran Nira, “kau gadis yang baik dan manis.” sambungnya lagi.
"Kuharap begitu!"
Dalam hati Nira berharap Andika tahu bahwa orang yang ia maksud itu adalah dirinya, namun sepertinya ia tak tahu itu. Tentu saja, bagaimana mungkin laki-laki itu akan mengetahui isi hatinya jika Nira tak mengatakannya. Sudah jelas bahwa laki-laki itu bukanlah orang yang memiliki indra ke enam yang bisa menebak isi hati seseorang. Namun tetap saja Nira merasa kecewa, entah kekecewaan itu ditujukan untuk Andika ataukah untuk dirinya sendiri.
***
Suara sirine ambulance terdengar memasuki lobi UGD rumah sakit. Terlihat brankar dorong keluar dari dalam ambulance menuju pintu UGD, wanita di atas brankar itu tampak tak sadarkan diri.
Sementara itu Andika yang baru saja menyelesaikan shift kerjanya hendak pulang sampai saat ia tak sengaja melihat brangkar dorong yang membawa Nira, adik kelasnya yang baru saja ia temui beberapa saat lalu.
Beberapa jam kemudian Nira membuka matanya, gadis itu tampak mengedarkan matanya dan menyadari bahwa itu bukanlah kamarnya. Melihat lampu yang menyala terang di langit-lagit ruangan yang dikelilingi goden putih, ia tahu bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit.
Bagaimana ia berada di sana? Ia hanya ingat setelah menemui Andika, ia pergi ke stasiun dan kepalanya terasa pusing saat itu.
“Kau sudah bangun?” tanya sesorang laki-laki dari balik gorden, diikuti sosok Andika muncul di sana.
“Kau membuatku khawatir saja!” ucapnya lagi.
Andika tersenyum merasa lega karena Nira baik-baik saja, ia membuka setengah gorden yang melingkari tempat tidur gadis itu dan duduk di kursi tepat di samping tempat tidur gadis itu.
“Kenapa kakak ada di sini?” tanya Nira penasaran.
Ia sempat lupa bahwa laki-laki itu adalah seorang dokter di rumah sakit itu.
“Ah ... aku lupa bahwa kakak seorang dokter,” ucap Nira lagi sambil tersenyum malu.
“Aku dengar dari doktermu tadi, kalau kondisimu sedikit memburuk akibat stress. Apa kau sedang ada masalah?” tanya Andika.
Ia penasaran masalah apa sebenarnya yang dihadapi gadis itu, padahal selama ini ia tahu bahwa Nira adalah gadis yang kuat dan ceria.
“Aku baik-baik saja!” jawab Nira, “mungkin hanya kecapean,” sambungnya.
Akhir-akhir ini ia memang lebih sibuk karena beberapa pekerjaan yang dikejar deadline.
“Apa kakak tidak pulang?” Tanya Nira berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
“Aku akan menemanimu di sini malam ini, aku walimu sekarang. Sebaiknya kau beristirahat sekarang!” pintanya sambil menatap Nira dengan tajam seolah memberikan perintah padanya untuk kembali tidur.
Andika jelas tahu bahwa orang tua Nira tak akan ada di sana saat itu, karena mereka berasal dari kota yang sama. Ia pernah pulang ke rumahnya beberapa bulan yang lalu dan sempat bertemu orang tua Nira yang masih tinggal di sana, jelas bahwa Nira hidup sendiri di kota ini sama seperti dirinya.
Tengah malam Nira tebangun, karena ingin pergi ke toilet. Setelah kembali dari toilet ia baru sadar bahwa Andika masih ada di sana untuk menemaninya. Laki-laki itu tertidur di atas sofa di ruangan itu.
Nira berjalan mendekati Andika, menatap lekat ke wajahnya. Bahkan laki-laki itu terlihat tampan saat sedang tertidur, itulah yang ada di benak Nira saat itu.
“Jika kau seperti ini aku hanya akan makin menyukaimu,” gumam Nira sambil menyelimuti Andika dengan selimut yang terkulai di sofa.
Perasaan sukanya meluap, selama ini Nira bisa menahannya karena mereka tak pernah bertemu. Namun kali ini berbeda, laki-laki itu sedang ada di hadapannya. Ia memutuskan untuk mengungkapkan isi hatinya pada Andika agar merasa lebih tenang.
***
Di depan stasiun.
“Maaf! aku hanya bisa mengantarmu sampai stasiun, aku ada jadwal operasi hari ini,” ucap Andika pada Nira merasa bersalah.
“Kak sebenarnya ada yang mau aku katakan ...,” sejenak Nira menghentikan ucapannya.
Jatungnya semakin berdetak kencang, ia menghela napas kemudian menghembusakannya perlahan.
Sementara itu terdengar bunyi dering dari ponsel Andika saat itu.
“Se ... benarnya aku menyukai kakak sejak dulu!” ucap Nira sebelum Andika sempat mengangkat panggilan di ponselnya, ia tak ingin kehilangan kesempatan lagi kali ini.
Andika tampak kaget mendengar perkataan Nira, ia bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan wanita itu. Namun ia juga harus segera mengangkat panggilan darurat di ponselnya yang masih berbunyi saat itu.
“Hallo!” kata Andika sambil mengangkat telponnya, tanpa sempat merespon penyataan Nira.
“Baik, saya akan segera kembali,” ucapnya lagi kemudian menutup telponnya.
“Maaf Nira! aku harus pergi sekarang, ada panggilan darurat dari rumah sakit.” Andika berlari meninggalkan Nira yang masih berdiri mematung di depan gerbang stasiun.
Nira tahu bahwa itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyatakan isi hatinya. Ia juga tak mungkin menyalahkan Andika yang pergi meninggalkannya begitu saja untuk seorang pasien, ia tahu betul bahwa pasien itu lebih penting karena dia juga adalah seorang pasien.
Sementara itu Nira baru ingat bahwa ia tak meminta nomer telpon Andika saat itu.
“Kenapa kau sangat bodoh?” ia menggerutu pada dirinya sendiri.
Perasaannya kali ini campur aduk, namun ia merasa sedikit lega karena setidaknya ia sudah mengunggkapkan isi hatinya yang ia pendam selama ini.
Sayangnya semenjak hari itu Nira sama sekali tak pernah bertemu dengan Andika di rumah sakit, ia juga tak bisa menghubungi laki-laki itu karena lupa meminta nomer telponnya. Nira pun tak pernah menerima kabar darinya, bahkan kali ini Andika tak pernah mengupdate apapun di media sosialnya.
Enam bulan pun berlalu begitu saja, Nira akhirnya menyimpulkan bahwa Andika tak memiliki perasaan apapun padanya.
“Semuanya akan baik-baik saja! Kau bisa melangkah maju sekarang,” ucap Nira berusaha menghibur dirinya sendiri.
Saat itu Nira mendengar suara dering ponsel dari dalam kamarnya. Ia segera berlari mengambilnya, dalam hati ia berharap bahwa panggilan itu berasal dari Andika. Laki-laki yang sudah ia tunggu kabarnya selama enam bulan ini.
“Hallo!” Nira langsung menerima panggilan tersebut tanpa melihat layar ponselnya.
Mendengar suara ibunya dari balik telpon membuatnya sedikit kecewa.
“Ah ternyata ibu,” gumamnya.
Ibunya menyampaikan bahwa Nira mendapatkan undangan pernikahan dari tentangganya, Glorry. Ia meminta anak gadisnya untuk pulang dan datang ke pesta itu.
Mendengar nama Glorry disebut membuat Nira sangat terkejut, karena wanita itu adalah orang yang dijodohkan dengan Andika.
Hatinya tiba-tiba terasa sangat sakit, dadanya terasa berat dan sesak. Nira mencoba berusaha bersikap tenang, bagaimanapun ia harus menerima kenyataan pahit itu dengan ikhlas.
Ya, sepertinya sudah saatnya bagi Nira melepaskan perasaan cintanya untuk Andika.
“Baiklah bu! aku akan datang ke sana. Sampai jumpa nanti!” jawab Nira kemudian menutup telponnya.
Kini Nira tahu apa alasan Andika menghindarinya selama ini, ia merasa bodoh dengan pemikirannya yang menganggap bahwa Andika tak menyukai Glorry saat mereka mengobrol tempo hari, harusnya ia tak mengungkapkan isi hatinya pada Andika saat itu.
Beberapa saat kemudian sebuah pesan masuk, pesan dari ibunya berisi sebuah foto undangan pernikahan Glorry.
Nira menutup mulutnya yang setengah terbuka, kemudian tersenyum saat mendapati sesuatu yang mengejutkan di sana.
Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya, ternyata nama mempelai pria di undangan itu bukanlah Andika.