Masukan nama pengguna
Namaku Khali. Aku tinggal bersama orang tuaku di pedalaman desa yang jauh dari keramaian. Bahkan di desa yang hanya dihuni lima keluarga ini adalah sanak-saudara. Kami semua saling mengenal satu sama lain, dan saling menjaga satu sama lain. Tidak ada yang menyikut dan tidak ada yang menyindir seperti mereka yang tinggal di kota.
Aku menyebutnya kotak bisu.
Sejak kecil hingga usiaku menginjak tiga belas, kami tinggal dengan hening, senyap; tanpa suara sama sekali. Bahkan bicara satu sama lain pun tidak ada suara, tidak juga suara hewan atau suara kendaraan yang dipakai. Para keluarga lebih menyenangi jalan kaki atau naik kendaraan tradisional seperti kereta yang ditarik dengan kuda atau sapi, dan hebatnya tidak ada suara yang terdengar. Di dalam rumah pun kami tidak dibiarkan bersuara, sekecil apa pun. Jika melanggar maka konsekuensinya akan benar-benar fatal. Ibu bilang jika di desa tempat kami tinggal ada Monster menyeramkan yang kerjanya menyantap manusia, Monster ini tidak suka dengan suara, mungkin akan lebih tepat jika dikatakan membenci suara. Jika ia mendengar suara sekecil apa pun, Si Monster akan mendatangi sumber suara dan memangsanya bulat-bulat tanpa menyisakan apa pun.
Awalnya aku tidak percaya, tetapi apa yang orang lain lakukan termasuk anggota keluargaku yang terlihat sangat menuruti legenda tersebut membuatku kian lama kian percaya. Tidak ada salahnya untuk diam dan menikmati keheningan, meski aku sudah mulai bosan dengan semua kesenyapan yang terus aku telan.
Pada ulang tahunlu yang kelima belas, aku meminta pada Ibu dan Ayah agar aku diizinkan ikut ke luar desa, hampir semua saudaraku diizinkan, hampir semua orang yang tinggal di desa pernah pergi berkunjung ke luar desa. Karenanya, aku meminta hal itu sebagai hadiah, sayang, Ibu dan Ayah berkata lain. Mereka melarangku pergi dengan dalih aku masih kecil dan belum siap melihat peradaban di kota. Aku tahu betul Ibu dan Ayah tengah berdusta, karena saudariku yang paling kecil; berusia sembilan tahun sudah pernah diajak keluar desa tahun lalu. Aku tidak mengerti kenapa mereka memperlakukan aku seperti ini. Karena merasa kesal aku memutuskan untuk tidur lebih awal.
Di rumah, kamar tidurku ada di bawah tanah. Ayah membuatnya sengaja untukku kata Ayah agar aku lebih aman dan nyaman, agar tidak diganggu saudariku yang lain. Aku tidak peduli, di mana saja asal terasa nyaman tidak akan masalah untukku. Namun, yang membuatku terus bertanya-tanya; mereka akan mengantarku ke kamar, memasang penutup telinga lalu menutup pintu kamarku dari luar setiap malam. Awalnya aku bersikeras menolak memakai penutup telinga, karena aku yakin betul tidak akan ada suara yang menggangguku sama sekali. Dan Ayah terus membujukku agar aku memakai penutup telinga, alasannya agar aku tidak demam. Udara malam memang tergolong lebih dingin di bawah tanah dibanding di atas, perapian di kamarku jauh lebih besar dibanding yang lain. Karena Ayah terus membujuk dan wajah Ibu jadi sedih, aku memutuskan untuk menerima hal-hal yang menurutku tidak masuk akal ini.
Malam ini, karena aku merajuk aku pergi ke kamarku sendiri tanpa diantar. Memakai penutup telingaku sendiri dan menutup kamarku sendiri. Ketika mencoba tidur, sayup-sayup aku mendengar suara. Spontan mataku terbuka dengan penutup telinga yang terjatuh sebelah, rupanya aku memasang benda ini tidak benar tadi. Sesaat aku ulurkan tangan untuk meraih penutup telinga, aku kembali mendengar suara. Iya, benar. Suara! Hal yang tidak pernah terdengar sama sekali di desaku selama lima belas tahun aku tinggal!
Buru-buru aku beranjak dari kasur, aku buka pintu kamar dan berharap tidak dikunci. Dan beruntung! Pintu kamarku kali ini tidak dikunci, mungkin Ayah atau Ibu mengira salah satu dari mereka sudah mengunci kamarku. Aku terkikik tanpa suara. Aku langkahkan keluar meninggalkan kamar, pandangan mengedar menjelajah seisi rumah yang tampak sepi. Sepertinya semua orang sudah tidur, lalu dari mana suara tadi berasal, batinku.
Aku tidak menyerah dan semakin melangkah maju, suaranya terdengar lagi! Ada suara-suara berisik diiringi suara tabuhan-tabuhan benda asing yang tidak aku kenali. Aku merasa asing dengan semua suara yang ada, lalu lamat-lamat, sesuatu menghampiri ingatanku. Seolah aku pernah mendengar suara yang sama dan di tempat yang sama, sayangnya aku tidak bisa mengingat lanjutannya. Ingatanku berhenti sampai di situ. Kepalaku mulai pening dan perutku mual, entah karena aku yang tiba-tiba bangun atau karena suara asing yang tiba-tiba terdengar. Aku melongo ke arah jendela, ada kumpulan orang-orang yang tengah mengelilingi perapian di tengah lapangan. Mereka berkumpul, tersenyum dengan lebar dan menunjukkan ekspresi yang aneh. Air muka yang tidak pernah tampak di hadapanku sebelumnya. Tangan dan tubuhku gemetar, sakit di kepala bertambah parah dan asam lambung seperti sudah siap menembak tinggi. Aku buka jendela, suara menendang telinga, kencang membuatku muntah.
Aku tidak bisa menahannya. Biar saja nanti jika Ibu marah. Lalu, aku muntah lagi. Hingga berulang kali, berulang kali, berkali-kali. Sampai rasanya aku sudah mengeluarkan semua isi perutku, sementara lantai rumah sudah penuh dengan cairan muntahku. Menjijikkan. Di tengah rasa sakit kepala yang melanda, aku merasa tanganku membesar dan kepalaku berat. Ada juga rasa panas yang menjalar dari ujung kaki hingga ke rongga dada. Rasanya panas sekali sampai-sampai aku harus segera keluar dari rumah dan dapat angin segar. Mungkin hanya khayalanku tapi kenapa pintunya jadi kecil? Aku melangkah keluar, mendekati gerombolan keluarga yang tengah bercengkerama. Aku berharap mereka mengajakku dan dapat membantu meredakan rasa sakit yang aku rasakan.
Nihil.
Mereka malah menatapku dengan wajah pucat dan bahkan sebagian dari mereka berteriak kencang, membuat telingaku sakit sekali. Aku berusaha menghentikan mereka yang berteriak, aku lambaikan tangan dan kepala mereka menggelinding di tanah. Aneh, pikirku. Kepalaku masih sakit, aku kembali bergerak dan melihat Ibu juga Ayah di antara kerumunan.
"Lari!"
"Cepat lari!"
Aku heran, kenapa Ayah dan Ibu malah ikut berteriak dengan suara yang menyebalkan. Sedang apa mereka sebenarnya? Apa mereka sedang bicara? Aku ingin tanya pada Ayah agar bingungku reda, aku ingin meraih lengannya tapi yang aku dapatkan malah sebagian badannya. Bagaimana bisa badan Ayah terbelah jadi dua? Aneh. Aku menatap lagi pada sisa orang-orang yang mencoba lari dan Ibu yang diam tak bergerak di tanah, diam dengan tatapan horor yang ia berikan padaku.
Lalu aku sadar, aku ingat.
Mereka bukan keluargaku, mereka adalah manusia dan aku bukan. Mereka yang mengurungku saat wujudku menyerupai mereka, iya benar. Saat itu, aku juga membuat mereka bungkam dengan cara seperti ini. Lalu wujudku jadi anak-anak dan mereka memutuskan untuk memeliharaku agar aku tidak makan mereka.
Sayang, mereka tidak tahu jika aku tidak makan manusia karena mereka berisik. Namun, aku terkadang tidak sengaja membunuh mereka untuk membuat mereka diam. Sekarang aku tahu kalau hening adalah kawan baikku, tidak mau lagi aku ke luar desa. Biarlah di sini saja, bersama hening dan sisa manusia yang aku punya.