Flash
Disukai
0
Dilihat
607
Hujan di Bulan September
Drama

Aku pernah percaya bahwa dendam adalah cara hati menghafal luka.

Dan luka itu bernama Renjana Candrakanti.

Jakarta, 2005. Gadis manis berlesung pipi itu awalnya datang sebagai keteduhan di masa putih abu-abu, sebelum berubah menjadi badai yang sengaja melemparkanku ke jurang.

Belakangan aku tahu, ia tak pernah benar-benar membenciku—ia hanya pewaris trauma ayahnya, yang menanamkan dongeng muram tentang Pandji Adhitama, ayahku.

Sejak itu, aku menutup hati rapat-rapat. Kemudian mengagumi dari jauh sosok figur lain, yaitu istri dari kakak sepupuku. Perempuan cantik, cerdas, seakan lengkap, tapi tak bahagia dan kurang beruntung dalam hal cinta. Aku jadikan ia mercusuar yang mustahil kugapai, agar aku tak pernah jatuh lagi pada jebakan cinta yang salah.

Tapi, seperti anomali cuaca, 2013 menghadirkan sesuatu yang melanggar rumus. Batu, Jawa Timur. Hujan jatuh deras di bulan September, saat aku sedang bekerja memotret kegiatan outbond. Dan di balik tirai air itu, aku melihat wajah yang dulu kucaci sekaligus kurindu: Renjana.

Pertemuan itu dingin, seakan sekujur tubuhku mengingat betapa ia pernah menikam dari belakang. Namun, ada sesuatu dalam matanya yang tak bisa kusebut dengan kata selain sesal. Ia mencoba tertawa, menyelipkan humor kecil, tapi aku menangkap getar di suara yang lebih mirip doa pengampunan ketimbang candaan.

Kupandangi langit dan hujan yang mengguyur. Bulan September seharusnya belum musim hujan. Tapi siapa yang bisa menawar langit? Sama seperti siapa yang bisa menawar hati?

Bagaimana mungkin perempuan yang dulu kusumpahi sebagai musuh bisa kembali muncul, dengan wajah yang begitu tulus?

Malam itu, setelah rangkaian panjang kegiatan outbond ia mendekat. Membongkar semua kepalsuan yang selama ini mengekangku. Katanya, sejak 2011 ia menemukan kebenaran bahwa ayahku bukan monster sebagaimana narasi ayahnya. Bahwa semua cerita tentang ayahku adalah distorsi, kepingan iri yang dibesarkan ayahnya. Ia menyesal. Menangis. Katanya, ia berkelana bekerja ke berbagai tempat, mencari celah untuk menemukan aku. Hingga akhirnya, ia sengaja mengarahkan kantornya agar mengadakan kegiatan outbond di Batu—supaya bisa bertemu denganku.

Aku menatapnya. Perempuan yang dulu adalah musuh, kini merunduk dalam pengakuan paling rapuh. Dan anehnya, alih-alih marah, aku justru mendengar detak jantungku sendiri seperti genderang perang yang melaju tanpa bisa kukendalikan.

Di titik itu, hatiku retak. Aku masih ingat betapa dalam sakit yang dulu ia torehkan. Namun, bagaimana aku bisa menolak pengakuannya? Bukankah sejak lama aku tahu, di balik segala luka, ada benih perasaan yang dulu sempat tumbuh?

Cinta itu seperti cuaca. Kita bisa membaca pola, membuat ramalan, tapi tetap saja ada hari-hari anomali. Hujan di bulan September. Atau aku yang jatuh lagi pada Renjana.

Dulu kubenci dia, tapi mungkin kebencian hanyalah cinta yang kehilangan arah. Bukankah dendam juga sejenis kesetiaan? Dan jika kesetiaan itu dialirkan kembali pada jalurnya, ia bisa menjadi kasih yang lebih kokoh daripada cinta yang tak pernah diuji.

Aku menyadari sesuatu. Manusia bisa salah arah, terseret oleh kebencian yang bukan miliknya sendiri. Dan cinta, meski pernah dikubur dalam-dalam, punya cara aneh untuk hidup kembali. Seperti hujan di bulan September. Anomali yang mengacaukan logika, tapi tak bisa kutolak kebenarannya.

Aku dan Renjana perlahan membiarkan diri hanyut dalam percakapan. Memang  tidak ada penghapus yang bisa benar-benar menghilangkan tinta masa lalu. Juga, belum ada keberanian baru untuk membuka lembaran berikutnya. Kami mulai dari secangkir kopi setelah kegiatan, hingga obrolan panjang tentang hidup, luka, dan cara memaafkan.

Aku belajar bahwa anomali bukan berarti salah. Kadang, ia justru menjadi tanda bahwa sesuatu yang lebih besar sedang bekerja di balik layar. Renjana adalah anomali dalam hidupku. Cinta jadi musuh, dan seakan tak mungkin bisa kembali bentuk, menjadi cinta. Tapi kini, anomali terjadi. Musuh yang berubah bentuk, kembali jadi cinta.

Dan hujan di bulan September menjadi saksi bahwa bahkan luka terdalam bisa menemukan jalan menuju cahaya. Anomali bukan berarti kesalahan. Ia hanyalah tanda bahwa ada kebenaran lain yang sedang menunggu untuk ditemui.

Dan cintaku pada Renjana adalah hujan di bulan September: tak seharusnya terjadi, tapi toh ia jatuh juga.

Renjana bukan lagi musuhku. Ia adalah anomali terindah yang pernah kukenali.Terlepas bagaimana kelak kami ke depannya.

Arga Bhumi Adhitama muncul beberapa kali di Sandhya–Jangan Menunggu Senja, Askara, Ananta Rasa, dan Manusia Teras. Memang ada beberapa permintaan untuk melanjutkan kisah detil sang fotografer konyol ini. Tapi tunggu ya, sampai akhirnya kita tahu siapa yang dipilihkan Semesta untuknya.

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)