Masukan nama pengguna
Langit siang itu begitu cerah, seolah tak ada satu pun awan kelabu yang berani melintas. Namun, di sebuah sudut kota yang tenang, seorang pria bernama Arga duduk termenung di bawah pohon besar di taman pusat kota. Rambutnya yang hitam pekat tersapu angin lembut, dan matanya menatap ke kejauhan, seakan mencari jawaban yang tak kunjung datang.
Arga adalah seorang pemuda sederhana yang hidup dengan rutinitas monoton sebagai penjaga toko buku. Meski begitu, ia selalu merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Sejak kecil, Arga memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang dunia, tetapi berbagai keterbatasan membuatnya terjebak di kota kecil ini, jauh dari gemerlap mimpi yang dulu ia bayangkan.
Hari itu, seperti biasanya, Arga membawa buku catatan kecil tempat ia menulis pemikirannya. Namun, ketika ia hendak menulis, hujan tiba-tiba turun. Anehnya, langit tetap cerah, dan matahari masih bersinar terang. Orang-orang di taman langsung berlarian mencari tempat berteduh, tetapi Arga tetap diam di tempatnya. Ia mengangkat wajahnya, membiarkan tetesan hujan membasahi kulitnya.
“Hujan di balik langit cerah?” gumamnya, merasa aneh sekaligus terpesona. Di tengah keheranannya, seorang perempuan muncul dari balik pohon besar di dekatnya.
“Kamu tidak berteduh?” tanya perempuan itu. Rambutnya yang panjang tergerai basah oleh hujan, dan matanya yang jernih memancarkan kehangatan.
Arga tersenyum tipis. “Aku lebih suka merasakan hujan daripada menghindarinya. Lagipula, ini hujan yang aneh, bukan?”
Perempuan itu tertawa kecil. “Aneh, tapi indah. Aku Mira, by the way.”
“Arga,” balas Arga sambil menjabat tangannya. “Kamu sering ke taman ini?”
“Tidak juga,” jawab Mira sambil menatap langit. “Tapi aku suka suasananya. Ada sesuatu yang menenangkan di sini.”
Percakapan itu menjadi awal dari pertemanan mereka. Mira ternyata seorang pelukis yang sedang mencari inspirasi untuk karyanya. Ia sering bepergian ke berbagai tempat untuk menemukan keindahan yang tersembunyi. Kehadirannya membawa warna baru dalam hidup Arga yang selama ini terasa monoton.
Beberapa minggu berlalu, dan Arga mulai merasa ada yang berubah dalam dirinya. Bersama Mira, ia mulai melihat dunia dari perspektif yang berbeda. Setiap sudut kota yang dulu terasa biasa saja kini terlihat seperti kanvas yang dipenuhi warna-warna cerah. Mira mengajarinya untuk melihat keindahan dalam hal-hal kecil, seperti sinar matahari yang menembus dedaunan atau suara langkah kaki di atas genangan air.
Namun, di balik senyum Mira, Arga merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Kadang-kadang, ia melihat Mira termenung dengan tatapan kosong, seakan memikirkan sesuatu yang berat. Ketika Arga bertanya, Mira hanya tersenyum dan berkata, “Hanya lelah saja.”
Suatu hari, saat mereka duduk di taman seperti biasa, Arga akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
“Mira, apa yang sebenarnya kamu cari?”
Mira menatapnya dengan mata yang berkilau di bawah sinar matahari. “Aku mencari makna. Dunia ini begitu luas, Arga, tapi kadang terasa hampa. Aku ingin menemukan sesuatu yang membuatku merasa hidup.”
Jawaban itu membuat Arga terdiam. Ia menyadari bahwa Mira, meski terlihat ceria, memiliki kekosongan yang sama seperti dirinya.
Suatu malam, hujan turun deras, tetapi kali ini langit benar-benar gelap. Arga menerima pesan dari Mira yang memintanya datang ke studio lukisnya. Ketika Arga tiba, ia menemukan Mira sedang duduk di depan sebuah kanvas kosong.
“Aku ingin melukis sesuatu,” kata Mira tanpa menoleh. “Tapi aku tidak tahu apa.”
“Kenapa tidak melukis tentang hujan di balik langit cerah?” usul Arga.
Mira tersenyum kecil. “Ide yang bagus. Tapi, apa yang menurutmu hujan itu?”
Arga berpikir sejenak. “Hujan adalah harapan. Meski datang tiba-tiba, ia membawa kehidupan.”
Kata-kata itu membuat Mira terdiam. Perlahan, ia mulai melukis. Setiap goresan kuasnya menggambarkan keindahan dan kehangatan yang ia rasakan. Arga memperhatikan dengan kagum, menyadari bahwa Mira benar-benar seorang seniman yang luar biasa.
Ketika lukisan itu selesai, Arga melihat sesuatu yang membuatnya tertegun. Lukisan itu menggambarkan dirinya sedang berdiri di tengah hujan, dengan langit cerah di atasnya. Ada kehangatan dalam lukisan itu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
“Kenapa aku?” tanya Arga, merasa bingung.
Mira menatapnya dengan mata yang lembut. “Karena kamu adalah hujan itu, Arga. Kamu adalah harapan yang aku cari.”
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Beberapa hari kemudian, Mira menghilang tanpa jejak. Studio lukisnya kosong, dan tidak ada yang tahu ke mana ia pergi. Arga merasa kehilangan yang mendalam. Ia kembali ke rutinitasnya yang lama, tetapi ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Kehadiran Mira telah meninggalkan bekas yang tidak bisa dihapus.
Setiap kali hujan turun di bawah langit cerah, Arga teringat pada Mira. Ia menyadari bahwa hidup adalah tentang menemukan keindahan di tengah kesulitan, seperti hujan yang membawa kehidupan meski di bawah langit yang cerah.
Meski Mira telah pergi, Arga merasa bahwa ia telah memberinya sesuatu yang tak ternilai: harapan. Dan dengan harapan itu, Arga mulai menjalani hidupnya dengan cara yang berbeda, mencari makna dalam setiap langkah yang ia ambil.
Beberapa bulan setelah kepergian Mira, hidup Arga perlahan kembali stabil. Meski begitu, ada kekosongan yang tak tergantikan. Lukisan Mira tentang dirinya tetap tergantung di dinding kamarnya, menjadi pengingat akan kehadiran singkat tapi berharga dari sosok itu.
Suatu hari, ketika sedang merapikan toko buku tempatnya bekerja, Arga menemukan sebuah amplop kecil terselip di antara tumpukan buku. Amplop itu tidak memiliki nama pengirim, hanya tertulis “Untuk Arga.” Jantungnya berdegup lebih cepat saat ia membuka amplop tersebut.
Di dalamnya, ada selembar kertas dengan tulisan tangan yang jelas milik Mira:
“Arga,
Terima kasih telah menjadi hujan di langit cerahku. Maaf aku harus pergi tanpa pamit, tapi perjalanan ini harus kulakukan. Ada sesuatu yang perlu kucari, sesuatu yang tak bisa kucapai jika aku tetap tinggal. Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Jika kau ingin tahu di mana aku, temui aku di tempat di mana hujan dan langit cerah pertama kali mempertemukan kita.
Mira”
Arga membaca surat itu berkali-kali, mencoba memahami pesan tersembunyi di balik kata-katanya. Tempat di mana hujan dan langit cerah pertama kali mempertemukan mereka. Taman kota.
Tanpa membuang waktu, Arga pergi ke taman itu. Matahari mulai condong ke barat saat ia tiba, dan taman terlihat seperti biasa. Namun, di bawah pohon besar tempat mereka bertemu untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang membuat Arga tertegun.
Sebuah lukisan baru berdiri di atas kanvas besar, ditutupi kain putih. Di sampingnya, ada seorang pria tua yang tersenyum ramah.
“Arga?” tanya pria itu.
“Iya, itu saya,” jawab Arga bingung.
Pria itu menyerahkan secarik kertas lagi. “Mira menitipkan ini untukmu.”
Arga membaca pesan tersebut:
“Bukalah kain itu, dan kau akan melihat perjalananku.”
Dengan tangan bergetar, Arga membuka kain penutup kanvas itu. Lukisan di baliknya membuat air matanya mengalir tanpa ia sadari. Lukisan itu menggambarkan perjalanan Mira dari kota kecil mereka hingga berbagai tempat penuh keindahan yang belum pernah ia lihat. Dari gunung tinggi hingga pantai sepi, semuanya dipenuhi warna-warna yang mencerminkan emosi mendalam.
Di sudut kanan bawah, Mira melukis dirinya sedang berdiri dengan payung transparan, menatap ke arah langit cerah yang basah oleh hujan. Tepat di sebelahnya, ada sosok Arga, tersenyum hangat seperti saat mereka bertemu untuk pertama kalinya.
Setelah melihat lukisan itu, Arga merasa bahwa Mira masih bersamanya, melalui setiap warna dan goresan di kanvas. Ia memutuskan untuk tidak lagi terkungkung dalam rutinitas yang membatasinya.
Arga menjual sebagian besar barang miliknya dan memulai perjalanan sendiri. Ia membawa buku catatannya, mengunjungi tempat-tempat baru, dan mencoba melihat dunia seperti yang Mira lakukan.
Di setiap tempat yang ia kunjungi, ia menulis cerita baru dan mengirimkan salinannya ke alamat studio Mira yang lama, berharap suatu hari surat-surat itu akan sampai padanya.
Meski tidak ada balasan, Arga tahu bahwa mereka tetap terhubung melalui kenangan dan janji tak terucap. Setiap kali hujan turun di bawah langit cerah, ia tersenyum, merasa Mira sedang menontonnya dari kejauhan, terus mendukung perjalanannya.
Perjalanan Arga telah membawanya ke berbagai tempat yang dulu hanya bisa ia impikan. Di setiap kota yang ia singgahi, ia mencari jejak Mira. Dalam buku catatannya, ia mencatat setiap pengalaman, setiap orang yang ia temui, dan setiap tanda yang mengingatkannya pada Mira.
Suatu sore di kota kecil bernama Ladera, Arga menemukan sebuah galeri seni. Di jendela kaca besar galeri itu, ia melihat sesuatu yang membuat langkahnya terhenti. Sebuah lukisan yang sangat familiar—langit cerah dengan hujan yang turun lembut, dan di tengahnya, dua sosok berdiri bersebelahan: seorang pria dan seorang wanita.
Tanpa pikir panjang, Arga masuk ke dalam galeri. Suasana di dalam begitu tenang, hanya ada beberapa pengunjung yang berdiri mengagumi karya seni di dinding. Arga mendekati seorang wanita muda yang tampak bekerja di galeri itu.
“Permisi, siapa pelukis lukisan ini?” tanya Arga sambil menunjuk ke arah lukisan yang menarik perhatiannya.
Wanita itu tersenyum. “Itu karya Mira. Lukisan ini adalah bagian dari koleksi terbarunya.”
Jantung Arga berdetak kencang. “Mira? Dia ada di sini?”
Wanita itu menggeleng. “Sayangnya tidak. Mira hanya mengirimkan lukisannya ke galeri ini untuk dipamerkan. Tapi, ia meninggalkan pesan untuk seseorang. Sebentar, saya ambilkan.”
Wanita itu masuk ke ruang belakang dan kembali dengan sebuah amplop kecil. “Mira bilang, jika ada seseorang yang bertanya tentang lukisan ini dengan nada penuh emosi, amplop ini untuknya.”
Arga menerima amplop itu dengan tangan gemetar. Ia membuka surat tersebut dan membaca pesan singkat yang tertulis:
“Arga, jika kau membaca ini, berarti kau sudah cukup jauh melangkah. Aku ada di tempat di mana langit bertemu dengan laut, dan cahaya matahari mencium air. Temui aku di sana.”
Arga segera memahami maksud pesan itu. Mira berada di suatu tempat di dekat pantai.
Pertemuan di Ujung Senja
Setelah perjalanan beberapa hari, Arga tiba di sebuah kota pesisir bernama Laguna. Tempat itu terkenal dengan pantainya yang indah dan langit senjanya yang memukau. Arga berjalan menyusuri garis pantai, berharap menemukan Mira di antara orang-orang yang menikmati sore itu.
Saat matahari mulai tenggelam, ia melihat seseorang berdiri di atas tebing kecil di ujung pantai. Sosok itu mengenakan gaun putih yang melambai tertiup angin, dan rambut panjangnya berkilau keemasan di bawah cahaya matahari.
“Mira,” gumam Arga sambil berjalan mendekat.
Ketika ia tiba, Mira berbalik. Senyumnya masih sama, hangat dan penuh arti.
“Kamu menemukanku,” kata Mira pelan.
Arga tidak dapat menahan emosinya. “Kenapa kamu pergi begitu saja tanpa memberi tahu? Aku mencarimu ke mana-mana.”
Mira menatap laut di depannya, lalu berkata, “Aku harus pergi, Arga. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan. Aku butuh waktu untuk memahami diriku sendiri dan dunia ini. Tapi aku selalu tahu kamu akan menemukanku.”
Arga mengangguk pelan. “Jadi, apa yang kamu cari, Mira? Sudahkah kamu menemukannya?”
Mira tersenyum kecil. “Aku mencari arti dari kebahagiaan sejati. Dan dalam perjalanan ini, aku sadar kebahagiaan itu bukan tentang tempat atau pencapaian, tapi tentang berbagi. Aku ingin berbagi keindahan yang kulihat dengan orang-orang, dan aku ingin memulai perjalanan baru bersamamu.”
Sebuah Awal Baru
Hari itu menjadi awal dari babak baru dalam hidup mereka. Mira dan Arga memutuskan untuk bersama, menjelajahi dunia dan menciptakan karya yang menghubungkan jiwa-jiwa lain. Mira melukis, sementara Arga menulis kisah di balik setiap lukisan.
Di setiap kota yang mereka kunjungi, mereka meninggalkan jejak berupa pameran seni kecil yang menggambarkan cerita-cerita tentang kehidupan, harapan, dan cinta.
Dan setiap kali hujan turun di bawah langit cerah, mereka tahu bahwa itulah simbol dari perjalanan mereka—perpaduan antara kesedihan dan kebahagiaan, misteri dan harapan, hujan dan cahaya.
Arga dan Mira menghabiskan tahun-tahun berikutnya dengan menjelajahi dunia. Mereka hidup sederhana, berbagi cerita dengan orang-orang yang mereka temui, dan menciptakan karya seni yang menyentuh banyak hati.
Namun, kehidupan tidak selalu mulus. Seiring waktu, Mira mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Ia sering batuk, dan warna wajahnya yang cerah perlahan memudar.
Arga, yang merasa ada sesuatu yang tidak beres, memohon Mira untuk memeriksakan diri ke dokter. Setelah banyak bujukan, Mira akhirnya setuju. Hasilnya membuat dunia Arga seolah runtuh: Mira didiagnosis menderita penyakit paru-paru yang serius, dan kondisinya sudah cukup parah.
“Aku tahu ini sejak lama, Arga,” kata Mira dengan senyuman lembut saat mereka duduk di tepi pantai suatu malam.
“Kamu tahu? Kenapa tidak bilang?” Arga bertanya dengan nada penuh emosi.
Mira menatapnya dengan mata penuh kasih. “Karena aku tidak ingin hidupku diwarnai dengan rasa kasihan atau penyesalan. Aku ingin menjalani setiap hari dengan bahagia, menciptakan kenangan yang indah bersama orang-orang yang kucintai—denganmu.”
Arga menggenggam tangan Mira erat. “Aku tidak akan membiarkan ini mengakhiri segalanya. Kita akan berjuang bersama.”
Perjuangan dan Kenangan
Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan perjuangan. Arga menemani Mira menjalani perawatan, meski biaya dan jarak menjadi tantangan. Namun, di tengah kesulitan, cinta mereka semakin kuat.
Mira, meski kondisinya terus menurun, tetap melukis. Ia menciptakan serangkaian karya terakhir yang ia sebut “Cahaya di Tengah Hujan.” Lukisan-lukisan itu menggambarkan kisah hidupnya—perjalanan, kebahagiaan, dan rasa syukur.
Pada suatu malam yang tenang, saat mereka duduk di depan sebuah perapian di rumah kecil di tepi pantai, Mira memandang Arga dengan tatapan lembut.
“Arga,” katanya pelan, “terima kasih sudah membuat hidupku begitu indah. Kalau waktuku habis, aku ingin kamu terus melangkah. Jadikan setiap hujan di langit cerah sebagai pengingat bahwa aku selalu bersamamu.”
Air mata Arga mengalir, tetapi ia berusaha tersenyum. “Aku akan melakukannya, Mira. Untukmu.”
Kepergian dan Warisan
Tidak lama setelah malam itu, Mira pergi dengan tenang dalam tidurnya. Kehilangannya meninggalkan luka mendalam bagi Arga, tetapi ia tahu Mira tidak ingin dirinya terpuruk.
Arga memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka, membawa lukisan-lukisan Mira ke berbagai kota untuk dipamerkan. Ia juga menulis sebuah buku berjudul “Hujan di Balik Langit Cerah,” menceritakan kisah mereka yang penuh cinta dan perjuangan.
Buku dan karya Mira menjadi inspirasi bagi banyak orang, menyentuh hati mereka yang membaca dan melihatnya.
Akhir yang Terang
Bertahun-tahun kemudian, Arga duduk di taman kota tempat ia dan Mira pertama kali bertemu. Langit cerah, dan hujan turun perlahan, membasahi tanah dengan lembut.
Arga menutup matanya, membiarkan tetesan hujan menyentuh wajahnya. Dalam keheningan itu, ia merasa kehadiran Mira—hangat dan penuh cinta, seperti dulu.
Hidup mungkin telah membawanya melalui kesedihan, tetapi seperti yang selalu Mira ajarkan, di balik setiap hujan ada harapan, dan di balik setiap langit cerah ada peluang untuk menemukan kebahagiaan baru.
Dan dengan itu, Arga tersenyum, siap melangkah ke babak baru dalam hidupnya, di bawah langit yang sama.