Masukan nama pengguna
“SATU-SATUNYA cara agar dapat bertahan hidup di Batavia adalah menjual diri sebagai budak orang Belanda.”
Berulang kali ucapan bibiku mengusik relung hati.
“Apa benar hidup kita akan membaik jika kita menjadi budak?” Aku bertanya-tanya sembari berbaring di atas perahu yang terombang-ambing ombak di tepi pelabuhan Tandjong Priok. Entah mengapa aku merasa perahu beratap nyiur yang sudah menjadi tempat tinggal bertahun-tahun itu akan segera kutinggalkan.
Tengah asyik melamun, tiba-tiba seseorang melompat ke dalam perahu dan membuat semua lamunanku ambyar. Seorang perempuan yang parasnya tak asing berdiri di hadapanku. Aku pun mengambil duduk.
“Ling, ikut aku sekarang.” Kakak ibuku yang merupakan kaum Bumiputera menarik aku keluar dari perahu.
Aku memang terlahir dari peranakan Bumiputera, tapi ayahku mewariskan beberapa hal yang melekat dalam diriku. Salah satunya adalah mata sipit. Andai matahari tak menyengat dan membakar kulitku setiap hari, warna kulitku akan persis seperti ayahku yang merupakan seorang Tionghoa.
Ayahku meninggal saat ia tengah berjualan di pasar. Ia ditembak oleh tentara Belanda karena memberontak saat para tentara itu merampas barang dagangannya. Kemudian, sepuluh tahun lalu ibuku meninggal karena sakit keras. Oleh sebab itu Bibi Rusinahlah yang merawat aku sejak aku berusia 8 tahun dan menjadi seorang yatim piatu.
Aku meyipitkan mata. Sinar mentari terlampau menyilaukan netra. Melihat bibiku mengambil langkah, aku langsung mengekorinya.
“Mau ke mana kita, Bude?” Suaraku tumpang-tindih dengan deburan ombak, bisingnya mesin kapal, dan orang-orang yang tengah mengobrol dalam berbagai bahasa.
Bibi Rusinah menengok ke arahku. Rupanya suaraku masih terbetik telinganya. Ia pun menjawab, “Kau sudah tahu jawabannya, Ling. Sekarang sudah waktunya untuk kau meninggalkan tempat ini.”
Tanpa mengharapkan tanggapanku, Bibi Rusinah kembali memimpin langkah dan langkah kami berakhir di rumahnya yang terletak di pinggiran dekat pelabuhan.
Bibi Rusinah memintaku untuk mengemas semua pakaianku. Aku memang tinggal satu atap dengan bibiku, tapi aku merasa lebih nyaman tinggal di perahu. Hanya sesekali aku menetap di rumah, ketika sedang ada badai. Selebihnya, kuhabiskan waktuku di dalam perahu.
Dari setiap perintah yang keluar dari mulutnya dan jawaban atas pertanyaanku, aku merasa bahwa Bibi Rusinah akan menjualku kepada orang-orang Belanda untuk dijadikan budak. Aku tahu ia tidak tega menjual empat anak perempuannya sebagai budak dan aku adalah pengecualian. Kendati demikian, aku tidak dapat membencinya.
Setelah mengemas barang-barang, aku diajak naik trem menuju Batavia. Baru kali itu aku melihat Bibi Rusinah mau menggelontorkan 50 sen untuk membayar biaya angkutan karena kami biasanya akan berjalan kaki jika tujuannya adalah Batavia. Kami pun duduk di antara tentara Belanda yang setia memegang senapan di tangan mereka. Seketika kebencian menjalar di hatiku melihat koloni itu. Aku tak akan melupakan fakta ayahku mati karena koloni biadab tersebut. Ketika bertemu pandang dengan salah satu tentara, aku lekas memalingkan wajahku. Berharap kebencian yang terpancar dari netraku tidak terlalu kentara.
Bunyi lonceng trem pun terdengar. Trem yang kami tumpangi melaju. Aku jadi penasaran. Siapa yang sudi membeliku sebagai budak? Bau amis lekat dengan tubuhku karena aku menjajakkan ikan setiap waktu. Aku juga tidak memiliki keterampilan menjahit atau apa pun itu. Aku buta aksara. Aku tak pandai berbahasa Mandarin apalagi Belanda. Aku sangat bodoh. Kendati demikian, aku harap bukan tentara Belanda yang membeliku.
***
LANGKAHKU semakin terasa berat saat tahu di mana aku berada. Weltevreden. Pemukiman kaum elite bangsa Eropa. Detik itu aku merasa kerdil. Aku bukan siapa-siapa di tanah jajahan pemerintah Hindia-Belanda ini, di Batavia ini. Orang-Orang Eropalah yang menguasai tanah kelahiranku. Sebagai seorang yang memiliki setengah darah pribumi, aku merasa tak berdaya. Tak ada yang bisa aku lakukan kecuali menerima nasib sebagai budak orang Belanda yang ayahnya dibunuh oleh tentara Belanda. Nelangsa sekali.
Aku dan Bibi Rusinah berhenti di depan sebuah rumah megah. Pintu gerbangnya sangat tinggi. Bangunannya tampak kokoh dengan jendela yang besar. Di beranda rumah terdapat kursi-kursi dan meja yang terbuat dari kayu jati. Seorang budak laki-laki membuka pintu gerbang. Aku dan Bibi Rusinah pun segera memasuki pelataran rumah. Kali itu, seorang budak perempuan yang menyambut kami. Dan budak itu tampaknya berasal dari golongan kami juga.
“Kalian tunggu sebentar di sini. Biar aku panggilkan nyonya,” kata budak tersebut.
Tak lama seorang perempuan muncul. Parasnya tidak seperti orang Belanda. Perempuan itu berkulit kuning langsat dan tampak bersih serta terawat. Kebaya hijau tampak melekat di tubuhnya. Kupikir, sudah pasti ia adalah keturunan Bumiputera. Apakah ia seorang bangsawan kaya-raya yang mampu membeli rumah di pemukiman elite itu? Aku jadi penasaran.
“Nyai Salimar.” Bibi Rusinah tampak nyembah. Ia kemudian menarik tanganku untuk bersimpuh dan melakukan hal yang sama.
Dengan kikuk, aku pun mengikuti hal yang dilakukan Bibi Rusinah, nyembah pada pemilik rumah.
“Tak perlu berlebihan seperti itu, Nah,” ujar perempuan di hadapanku.
Nyai. Dari cara Bibi Rusinah menyapa perempuan itu, aku tahu bahwa perempuan yang berdiri di hadapan kami adalah seorang gundik. Namun, itu bukan masalah besar buatku. Justru aku senang karena artinya majikanku menggunakan bahasa yang sama denganku. Aku tidak bertuan pada orang-orang Belanda.
Bibi Rusinah mendapat 10 gulden dari Nyai Salimar. Sedangkan, sebagai gantinya, Nyai Salimar mendapatkan aku sebagai budaknya.
“Ling, sekarang kau tak perlu tinggal di dalam perahu lagi. Kau tak perlu menjual ikan lagi. Baik-baiklah kau di sini. Berbaktilah pada Nyai Salimar.” Bibi Rusinah mengelus pipiku, kemudian memelukku.
Dalam dekapan Bibi Rusinah, aku mengangguk. Dadaku terasa sesak dan pipiku basah oleh air mata. Bagaimanapun, Bibi Rusinah sudah kuanggap seperti ibuku. Tak ada kebencian yang dialamatkan kepadanya. Aku hanya merasa bahwa kami sedang hidup di dunia yang sulit sehingga hanya kepedihan yang tersisa. Aku berpisah dengan ibu saat aku berusia 8 tahun. Dan aku berpisah dengan Bibi Rusinah ketika usiaku 18 tahun. Kendati demikian, kami berjanji akan saling menyapa jika sewaktu-waktu kami berpapasan di jalan.
***
NYAI Salimar tampak bercakap-cakap dalam bahasa Belanda dengan seorang budak lain. Menurutku cukup aneh melihat dua perempuan Bumiputera berbincang-bincang dengan bahasa Belanda. Tak lama budak bernama Amita menggiringku ke tempat permandian.
“Apa aku harus mandi sekarang?” tanyaku.
“Ya. Bersihkan tubuhmu sekarang. Nyai tidak suka bau amis yang melekat di tubuhmu,” ungkap Amita, lalu ia memberitahu bahwa ada sabun mandi yang bisa aku gunakan untuk menghilangkan aroma tubuhku yang tidak sedap itu.
Tanganku mengambil sebatang sabun, lalu mendekatkannya ke indra penciuman. Kuirup dalam-dalam sabun itu. Aroma bunga melati menyerbu hidungku. Aku melengkungkan senyum dan langsung menggosok seluruh tubuhku dengan sabun itu, berharap bau amis berubah menjadi wangi melati.
Tak sampai di situ, aku diberi baju baru dan alas kaki oleh Nyai Salimar. Hari-hariku di rumah Nyai Salimar ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan. Aku menikmati hidupku sebagai budak.
Selain Nyai Salimar, Amita, aku, dan budak lainnya, ada Tuan Cornelis yang sesekali menetap di rumah itu. Ia adalah tentara Belanda yang mengambil Nyai Salimar sebagai gundik. Kendati demikian, Nyai Salimar dan Tuan Cornelis tidak mempunyai keturunan.
Keesokan paginya, Nyai Salimar dan Tuan Cornelis mengajak aku dan seorang budak laki-laki bernama Tomo pergi ke Pasar Baroe. Kami pergi naik delman. Orang-orang di pasar sepertinya sudah mengenal Nyai Salimar karena tak jarang dari mereka menyapanya dan meminta ia untuk membeli dagangan mereka. Setelah mengitari pasar dan los-los pedagang, aku dan Tomo membawa dua kantong belanjaan di tangan masing-masing. Nyai Salimar dan Tuan Cornelis memimpin langkah kami. Sementara aku dan Tomo terus mengekori langkah mereka.
“Berapa usiamu?” Tiba-tiba Tomo bertanya padaku.
Aku menoleh ke arahnya dan menjawab, “18 tahun. Kau? Sudah lama ikut Nyai?”
“21. Ya, sudah hampir 7 tahun aku ikut Nyai dan Tuan Cornelis.”
Aku menganggukkan kepala mendengar jawaban Tomo.
Beberapa detik kemudian, Nyai Salimar yang ternyata cukup jauh di depan kami berteriak, “Ling, Tomo, kami ingin foto dulu.” Ia menunjuk sebuah tempat foto studio bernama Tan Tjie Lan.
Aku dan Tomo mempercepat langkah. Kami pun menunggu di depan toko. Entah mengapa aku tergugah untuk mengatakan sebuah hal pada Tomo. “Sebenarnya … aku tidak suka melihat Tuan Cornelis.”
“Kenapa kau tidak suka dengan Tuan Cornelis?”
“Karena dia adalah tentara Belanda. Ayahku meninggal karena ditembak oleh tentara Belanda.”
“Ling, Tuan Cornelis tidak seperti tentara Belanda yang lain. Dia sangat baik dengan kaum Bumiputera. Bahkan, aku lihat dia berada di pihak kita, bangsa yang ingin merdeka.”
Aku menengok ke arah Tomo dan menatap kedua matanya dalam-dalam. “Apa kau serius? Maksudmu, dia membelot?”
“Iya. Kau tak perlu khawatir. Tapi, kau harus tahu satu hal.”
“Apa itu?” tanyaku penasaran.
“Mereka tidak suka dengan budak yang bodoh.”
Aku terbatuk-batuk mendengar kata “bodoh” tersembur dari mulut Tomo. Bagaimana ini? Aku tidak bisa membaca dan berbahasa Belanda.
Tomo menepuk-nepuk punggungku dan bertanya dengan cemas, “Ling, kau tidak apa-apa?”
Aku buru-buru berdeham. Menetralkan keterkejutanku. “Kenapa mereka aneh sekali? Bukankah budak yang bodoh justru lebih mudah diatur?”
“Kau tahu? Para budak Nyai Salimar dan Tuan Cornelis bukanlah budak biasa. Nanti kau akan paham maksud ucapanku.”
Kebenaran akan ucapan Tomo sewaktu di tempat foto studio itu pun terbukti. Sebulan setelahnya, aku dikirim ke Buitenzorg untuk berlatih menembak. Nyai Salimar berkata bahwa seluruh penghuni rumah mesti pandai menggunakan senapan. Hal itu adalah bentuk antisipasi jika sewaktu-waktu para tentara Belanda menyidak rumah mereka. Tomo dan Amita juga ditunjuk untuk menjadi guruku dan mereka pergi bersamaku.
Aku berlatih memegang senapan setiap hari di bawah kaki Gunung Salak. Entah sudah berapa kali Amita memarahiku karena tangan dan bahuku yang terlalu lemah sehingga selalu terguncang saat menembak dan akibatnya tembakanku selalu saja melesat.
“Ah, kau tak becus sekali, Ling!” maki Amita. “Sia-sia saja Nyai membelimu. Kau sangat bodoh! Rencana kita untuk kembali ke Batavia tepat waktu bisa gagal jika kau terus seperti ini, Ling!”
Perempuan itu pun pergi meninggalkan aku dan Tomo. Ia lebih memilih beristirahat di tenda ketimbang mengajariku yang sulit sekali beradaptasi dengan senapan. Aku pun hanya bisa memakluminya. Bagaimanapun, pasti tidak mudah mengajari orang sepertiku.
Tomo menepuk bahuku dua kali. “Semangat, Ling. Kita masih punya waktu satu minggu. Kau pasti bisa. Ayo kita coba lagi.”
Aku mengangguk. Perkataan Tomo memantik semangatku untuk tidak putus asa.
Memang hanya Tomo yang tidak lelah mengajariku sampai akhirnya tembakanku tepat sasaran. Kami berdua bersorak kegirangan saat kali pertama melihat peluruku tertancap di pohon. Aku berteriak puas dan langsung menghardik Tomo, memeluknya. Kami pun melompat-lompat sembari tertawa-tawa.
“Kerja bagus, Ling!” Sebuah pujian pun lolos dari mulut Tomo.
***
SELAMA malam-malam di Buitenzorg, aku dan Tomo banyak berbagi cerita, terutama perihal nyonya dan tuan kami. Nyai Salimar dan Tuan Cornelis. Mereka berdua adalah pasangan yang mendukung kaum Bumiputera untuk merdeka. Aku tidak terkejut mengapa Nyai Salimar peduli dengan kaum Bumiputera karena ia sendiri merupakan keturunan Bumiputera. Aku hanya bingung mengapa Tuan Cornelis akhirnya membela kaum Bumiputera.
“Tuan Cornelis sadar bahwa bangsanya telah melakukan penindasan besar-besaran di tanah jajahan ini. Ia sudah muak melihat kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Indis terhadap kaum Bumiputera. Hati nuraninya masih berfungsi sebagaimana mestinya, Ling,” papar Tomo menjawab semua rasa penasaranku.
Sebelum kembali ke Weltevreden, aku, Tomo, dan Amita pergi ke Tandjong Priok. Sesaat itu aku baru mengerti mengapa aku bisa mengacaukan rencana mereka jika aku tidak menyelesaikan kegiatan berlatihku tepat waktu. Ternyata, Nyai Salimar meminta Tomo dan Amita pergi ke Tandjong Priok di tanggal yang sudah Nyai Salimar tentukan tanpa pernah Nyai memberitahuku. Jadi, aku pun tidak tahu mengapa kami harus pergi ke sana.
“Kita akan mengambil ikan,” gumam Tomo seolah-olah dapat mendengar pertanyaan yang bergema di hatiku. Tapi aku merasa janggal. Untuk apa mengambil ikan saat hari sudah larut malam? Sudah pasti ada yang mereka sembunyikan dariku.
“Hanya ikan saja? Kenapa harus sekarang juga? Kita bisa mengambilnya besok pagi.”
“Si penjual tiba hari ini. Sesuai perintah Nyai Salimar … kita harus mengambilnya hari ini, Ling.”
“Ling, sebaiknya kau tak usah bertanya apa pun. Jangan sampai kau mengacaukan segalanya,” sambar Amita.
Kami pun berjalan mendekati sebuah kapal tanpa bercakap-cakap lagi karena Amita tampak jengkel dengan sikapku yang ingin tahu segala sesuatunya. Namun, hatiku gelisah saat melihat ada beberapa tentara Belanda berjaga di dekat kapal. Aku mencekal lengan Tomo dan Amita. Mendadak, langkah kami terhenti begitu saja. Aku tahu kami perlu seseorang untuk membantu kami lolos dari kecurigaan para tentara itu. Alhasil, kuajak mereka ke rumah Bibi Rusinah di dekat pelabuhan.
Bibi Rusinah membuka pintu dan mengerjap-ngerjapkan netra. Detik selanjutnya ia membulatkan netra melihatku berdiri di depan pintu. “Ling!” serunya, lekas memelukku.
“Sedang apa kau di sini?” tanya Bibi Rusinah. Kehadiranku membuatnya menjadi bingung, apalagi aku datang bersama Tomo dan Amita. Dua orang asing bagi Bibi Rusinah.
Setelah kusampaikan tujuanku mendatangi Bibi Rusinah, perempuan itu langsung memimpin langkah kami menuju sebuah kapal ferry.
“Aduh!” ringis Amita yang kontan membuat aku, Bibi Rusinah, dan Tomo menoleh ke arahnya. Ia tampak memegangi tungkainya. “Sepertinya kakiku terkilir. Kalian jalan duluan saja.”
“Bagaimana denganmu?” tanya Tomo.
“Aku menyusul,” jawab Amita.
Aku bergeming dan tidak berniat melibatkan diri dalam percakapan mereka.
“Kau benar-benar tidak apa-apa pergi sendiri? Kami bisa menunggumu.” Tomo terdengar memastikan kondisi Amita sekali lagi.
Kulihat Amita mengangguk. “Tidak apa-apa. Aku akan berjalan perlahan di belakang kalian,” kata perempuan itu.
“Baik kalau begitu,” ujar satu-satunya pria di antara kami semua. Aku pun berjalan bersama Tomo dan Bibi Rusinah, sementara Amita mengikuti langkah kami perlahan di belakang.
Sesekali aku menengok ke belakang. Amita tertinggal jauh. Aku sempat berusul agar kami bertiga menunggu perempuan itu. Namun, Tomo khawatir jika si penjual ikan telah sampai dan ia kebingungan karena tak ada satu pun orang yang datang. Lebih buruknya, si penjual mengira orang suruhan Nyai Salimar tidak datang.
Tentara Belanda menghadang langkah kami ketika kami hampir berhasil mencapai kapal. “Siapa kalian? Untuk apa datang ke pelabuhan selarut ini?”
“Kami ingin mengambil dagangan kami di dalam.” Bibi Rusinah yang menjawab.
“Selarut ini? Tampaknya kau berbohong.”
Kulihat tentara itu mendorong dada Bibi Rusinah dengan moncong senapan laras panjang.
“Aku tidak berbohong. Aku penjual ikan di pelabuhan ini.” Bibi Rusinah tampak meyakinkan tentara itu.
Jantungku berdebar tidak keruan. Tentara itu tidak mudah diyakinkan. Bagaimana jika tentara itu menembakkan peluru ke dada kami? Habislah nyawa kami.
“Kau!” Bibi Rusinah bersuara lagi. Ia melirik ke arah seorang tentara pribumi. “Kau sering melihatku di pelabuhan ini bukan?”
“Iya. Aku sering melihat wanita ini. Sepertinya dia memang pedangang di sini, Luke.”
Tentara bernama Luke itu pun akhirnya melepaskan kami. Aku membuang napas lega ketika kami sudah masuk ke dalam kapal. Kendati demikan, tiba-tiba saja ada hal yang mencegahku untuk pergi bersama Tomo dan Bibi Rusinah. “Kalian pergi lebih dulu. Aku akan memeriksa Amita,” kataku.
Tanpa mendengar respons dari Tomo dan Bibi Rusinah, aku bergegas pergi keluar kapal. Aku memicingkan netra saat melihat Amita bercakap-cakap dengan tentara Belanda. Bagaimana jika tentara itu mencurigai Amita? Alhasil, aku berlari ke arahnya.
“Amita!” seruku, tapi perempuan itu tidak mengubris. Rupanya ia dan tentara Belanda itu bercakap-cakap dalam bahasa Belanda yang tidak aku mengerti.
“Ada masalah apa Amita?”
“Bukan apa-apa, Ling. Mereka hanya mencurigaiku. Beruntung aku bisa meyakinkannya dengan sedikit berbicara bahasa Belanda.”
Aku melirik Amita dan Luke secara bergantian. Mereka tampak bercakap-cakap lagi dengan bahasa Belanda yang tidak aku mengerti. Namun, dalam nada suara dan raut wajah Amita, terpancar sebuah ketegasan. Lalu aku segera menarik lengan Amita untuk pergi bersamaku. Ketika kami masuk ke dalam kapal, Tomo mendorong sebuah gerobak dari arah berlawanan. Tampaknya ia berhasil menjalankan perintah yang ditugaskan Nyai Salimar.
Sayangnya, gerobak itu mengundang kecurigaan lain para tentara. Mereka memeriksa peti-peti di dalam gerobak satu per satu. Selagi seorang memeriksa, empat tentara lain menodongkan senjata laras panjang tepat di pelipis kami. Dan kami pun hanya bisa mengangkat tangan kami ke udara, bersikap pasrah.
Aku bisa merasakan detak jantungku bertabuhan. Keringat dingin mulai mengucur di pipiku. Apakah aku akan berakhir seperti ayahku? Mati di tangan tentara Belanda? Aku berusaha untuk tidak bergerak sedikit pun. Bahkan, untuk bernapas saja aku sangat berhati-hati.
Aku turut melihat sendiri bahwa isi peti-peti itu memang ikan-ikan segar. Aku langsung menjatuhkan kedua tanganku yang lemas saat mereka mengizinkan kami pergi. Dalam hati, aku bersungut-sungut, mengapa Nyai Salimar mempertaruhkan nyawa kami hanya untuk satu gerobak ikan? Ia dapat membelinya langsung di pasar ikan. Menyebalkan sekali.
Sebelum pulang ke Weltevreden, aku, Tomo, dan Amita mengambil senjata kami yang kami titipkan di rumah Bibi Rusinah. Kami berpamitan dengan perempuan itu. Tak lupa kami ucapkan terima kasih padanya.
***
“AYO cepat-cepat!” Nyai Salimar memerintah budak-budak lain untuk membawa peti-peti ikan ke ruang bawah tanah.
Perempuan itu terlihat bahagia karena aku, Tomo, dan Amita berhasil menjalankan misi. Setelah peti-peti itu berhasil dibawa ke ruang bawah tanah, Nyai Salimar dan Tuan Cornelis membuka peti-peti itu satu per satu. Beberapa budak ditugaskan untuk memindahkan ikan-ikan segar itu ke peti lain.
“Kalian sangat luar biasa,” puji Tuan Cornelis. “Aku sangat berterima kasih pada kalian.”
Aku membulatkan netra ketika melihat puluhan senjata laras panjang yang terbungkus kain dikeluarkan dari peti-peti ikan. Ternyata peti itu memiliki dua tempat penyimpanan, atas dan bawah. Di bagian atas memang dipenuhi oleh ikan tuna, sementara di balik itu semua, senjata laras panjang bersembunyi di sana. Aku menarik lengan Tomo dan membawa lelaki itu pergi dari sana. Berakhirlah kami di kebun belakang.
“Sebetulnya apa yang barusan itu?” Aku menagih penjelasan dari Tomo.
“Tuan Cornelis membeli senjata untuk perang.”
“Sebanyak itu? Untuk tentara Belanda?” tanyaku menggebu-gebu.
“Iya, sebanyak itu. Bukan untuk tentara Belanda, tapi untuk kaum kita, Ling. Perang untuk melawan koloni. Untuk merebut kemerdekaan kita.”
“Dari mana uangnya? Sampai mereka bisa membeli senjata sebanyak itu?”
Tomo melengkungkan senyum. Wajahku terasa panas. Aku menjadi malu karena sepertinya aku terlalu banyak bertanya. Alhasil, aku memalingkan wajahku darinya.
“Dari kaum bangsawan Bumiputera. Senjata akan disebar ke seluruh daerah. Maka dari itu, rahasia ini jangan sampai tercium oleh koloni. Kau tidak boleh memberitahu siapa pun. Kau mengkhianati kami jika memberitahu rahasia ini kepada orang lain, apalagi memberitahukannya kepada musuh.”
Mendengar ucapan Tomo, aku menatapnya dengan serius. “Sampai mati pun aku tidak akan mengkhianati orang-orang yang mencintai bangsa ini.”
“Apa yang ingin kaulakukan jika bangsa ini merdeka? Apa cita-citamu, Ling?”
“Aku ingin sekolah, Tomo. Aku tidak ingin menjadi budak. Aku tidak ingin menjadi manusia bodoh. Tapi, aku tahu sekolah hanya diperuntukan bagi kaum bangsawan saja. Cita-citaku sangat tidak realistis, bukan?” Aku tersenyum pahit.
“Tidak, Ling. Cita-citamu cukup realistis. Aku rasa jika bangsa ini merdeka, akan ada sekolah yang dibangun untuk kaum kelas rendahan seperti kita. Bahkan, hierarki tidak akan berlaku lagi.”
Aku mengangguk-anggukan kepala. “Suatu hari nanti, bukan?”
“Ya. Suatu hari nanti. Kalaupun kita tidak sempat merasakannya, semoga generasi berikutnya bisa mendapat kesempatan itu. Kesempatan untuk bersekolah. Kesempatan untuk menjadi terpelajar.”
Percakapanku dan Tomo malam itu membuahkan secercah harapan di hatiku. Aku pergi ke kamar dengan perasaan berbunga-bunga. Bahkan, aku dapat melihat diriku bersekolah. Di dalam mimpi itu, aku bersama Tomo pergi ke sekolah yang sama. Aku melihat Nyai Salimar berdiri di depan kelas. Ia mengajari kami alfabet Belanda dengan wajahnya yang cerah. Sayangnya, tiba-tiba terdengar suara tembakan dari luar ruang kelas. Para murid pun berteriak. Detik itu juga aku terbangun dari mimpiku.
Aku memburu napas. Kulihat keadaan sekitar. Amita dan budak bernama Murti tidak ada di tempat tidur mereka. Entah mengapa suara tembakan yang ada di dalam mimpiku terdengar semakin jelas. Aku berlari keluar kamar dan mendapati para budak lelaki mulai berteriak.
“Darurat! Darurat! Cepat ambil senjata di ruang bawah tanah. Tentara Belanda sudah mendekat.”
Aku memelesat pergi ke ruang bawah tanah dan mulai membagikan senapan kepada beberapa budak yang datang. Kuambil satu senapan laras panjang dan bergegas pergi ke atas.
Belum ada satu hari setelah aku menyelesaikan latihan menembak, aku dihadapkan dengan situasi genting seperti itu.
“Seseorang di antara kita telah berkhianat,” pekik Tomo. “Cepat lindungi Nyai dan Tuan kalian!”
Aku bergegas pergi meninggalkan ruang tamu dan bergegas menuju kamar Nyai Salimar dan Tuan Cornelis. Sembari berlari, samar-samar aku mendengar tentara Belanda berteriak, “Turunkan senjata kalian! Atau kutembak wanita ini! Di mana Nyai dan Tuan kalian?”
Aku pikir seseorang telah menjadi sandera. Bagaimanapun, aku harus membawa pergi Nyai Salimar dan Tuan Cornelis dari rumah mereka.
“Kita harus pergi dari sini, Nyai, Tuan,” kataku. “Tentara Belanda sudah masuk ke dalam rumah ini.”
“Salimar, pergilah bersama Ling. Aku akan mengurus para tentara itu. Tidak mungkin aku meninggalkan orang-orang yang sudah setia kepada kita. Jadi, pergilah bersama Ling. Bersembunyilah di mana pun itu. Jangan sampai tertangkap.”
Nyai Salimar memeluk singkat Tuan Cornelis. Netra keduanya jelas meminta agar mereka bisa menatap satu sama lain lebih lama. Namun, keadaan di luar tampak semakin tidak keruan. Tuan Cornelis pun meninggalkan Nyai Salimar dan aku.
Nyai Salimar tiarap dan pergi ke kolong ranjang. “Lewat sini, Ling.”
Aku membuntutinya. Ternyata ada jalan pintas di bawah sana. Tubuhku mendarat di ruang bawah tanah yang cukup dalam. Jalan itu membawa kami ke pintu gerbang timur. Nyai Salimar mengulurkan tangannya agar aku dapat naik ke permukaan. Dengan susah payah aku berusaha keluar dari ruang bawah tanah.
“Kita harus pergi ke mana—” Tubuhku didorong kuat-kuat oleh Nyai sampai mencium bumi saat dentuman keras memekakan telinga. Secepat kilat Nyai Salimar merampas senapan laras panjang di tanganku. Ia kemudian melepaskan beberapa tembakan.
“Sembunyi di balik pohon, Ling!”
Aku dan Nyai berlari dan bersembunyi di balik pohon beringin saat tentara Belanda kembali melepaskan tembakan ke arah kami.
“Ling! Aku akan menyerahkan diri. Kau pergi sendiri!”
Aku lekas membanting tubuhku ke bumi. Kupeluk kaki Nyai Salimar erat-erat. “Tidak, Nyai! Aku tidak akan mengkhianatimu. Jika kau pergi, aku akan pergi. Jika kau menyerahkan diri, aku akan ikut bersamamu.”
Tiba-tiba saja tubuh Nyai Salimar ikut memerosot ke bumi. Aku panik setengah mati saat melihat darah segar keluar dari mulutnya. “Nyai!” pekikku. Aku lekas memeriksa tubuhnya. Satu tembakan mengenai punggung Nyai Salimar.
“Maafkan aku, Nyai. Seharusnya aku melindungimu. Bagaimana ini?” ucapku sembari menangis.
“Ling, jangan menangis. Sekarang kau bebas. Kau bisa pergi. Tentara Belanda itu akan datang mengepung kita. Kau masih terlalu muda untuk mati di sini. Jadi, pergilah. Gunakan senapan ini dengan bijak.” Nyai Salimar mengembalikan senapan laras panjang ke tanganku.
“Saat aku menyerahkan diri, pergi dan berlarilah. Jangan menengok ke belakang.”
“Nyai! Jangan!” Aku menahan ujung kain yang membalut kaki Nyai Salimar. Tapi Nyai Salimar segera menariknya.
Aku pun pergi dengan cara berlari lalu sesekali bersembunyi di balik setiap pohon. Kudengar tembakan memekakan telingaku. Jika aku melarikan diri dan hanya menyelamatkan diriku sendiri, aku tidak ada bedanya dengan seorang penghianat. Alhasil, aku mendekat ke bangunan rumah, melakukan hal yang bisa kulakukan. Aku bersembunyi di dekat jendela. Kuarahkan senapanku ke tentara Belanda yang tengah menembaki rekanku. Tanpa keraguan sedikit pun, aku melepaskan tembakan. Peluruku memelesat menembus jantung tentara itu. Aku langsung menunduk dan berlari. Di jendela berikutnya, aku melakukan hal yang sama. Aku sangat murka dengan para biadab itu. Akan kuanggap hal ini sebagai balasan yang harus mereka terima karena telah membunuh ayahku.
Aku menyembulkan kepalaku di dekat jendela. Kulihat Tomo sedang berlindung di balik meja untuk menghindari tembakan tentara Belanda. Aku mengangkat senjataku. Namun, mataku bertemu dengan mata tentara itu. Andai aku tidak menunduk, sudah pasti peluru menancap di kepalaku. Aku pun segera berlari dan pergi dari sana. Nahasnya, tentara itu mengejarku. Ia melayangkan tembakan ke arahku, sementara aku sangat kesulitan berlari karena kain yang membebat tungkaiku mempersulit pergerakanku. Akhirnya tungkaiku pula yang menjadi kelemahanku. Tentara itu menembak kakiku.
***
KETAHUILAH bahwa aku masih hidup. Nyawaku tidak sampai dihabisi oleh koloni. Aku dibawa ke kantor gubernur dan dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah yang atapnya sangat rendah sampai aku harus menunduk. Sangat menyiksa sekali. Namun, aku terbelalak ketika melihat Amita ada di sana.
“Kenapa kau tampak terkejut melihatku di sini? Kau pikir aku adalah si pengkhianat itu? Yang membocorkan rahasia besar kita? Walaupun aku bersikap ketus padamu, aku tidak pernah memiliki pikiran untuk mengkhianati kalian semua.”
Aku mengambil duduk di dekat Amita. “Maaf karena sudah mencurigaimu.”
Aku memang mencurigai Amita sejak ia bercakap-cakap dengan tentara Belanda sewaktu kami menjalankan misi di Tandjong Priok.
Amita membuang napas kasar. “Murti … yang mengkhianati kita semua. Hidup kita akan berakhir di sini, Ling. Koloni biadab itu akan menyiksa kita dan membuat kita mati secara perlahan. Jadi, bersiaplah.”
“Bagaimana dengan Tomo?” tanyaku.
“Dia tertembak 12 peluru.”
Aku menarik lututku, lalu menumpu kepalaku di sana.
“Kau tahu? Tomo ingin sekali mengutarakan perasaannya padamu, Ling. Tapi dia tidak memiliki kebebasan untuk mengucapkannya karena dia tahu jika dia mengucapkannya, dia akan lebih memilih untuk melindungimu daripada melindungi Tuan Cornelis, Nyai Salimar, dan tanah airnya. Dia menyukaimu. Dia mencintaimu sebanyak dia mencintai tanah kelahirannya. Aku harap hatimu telah mendapat jawaban yang kauharapkan.”
“Itu semua tidak berarti apa-apa, Ta. Dia sudah tidak ada di sini.”
Aku menenggelamkan wajahku di lutut. Mengapa dunia yang kami tinggali sangat kelam dan kejam? Tidak ada kemerdekaan dalam hidup kami. Kami bangsa yang tertindas sampai mengutarakan hal-hal yang murni berasal dari hati saja kami tidak mampu. Kami takut cinta yang kami beri untuk anak manusia melunturkan keinginan kami untuk menjadi bangsa yang merdeka. Kami takut jika perasaan cinta itu menghalangi langkah kami untuk merebut kemerdekaan.
Sekarang, aku menantikan kemerdekaan yang sejati. Aku menunggu hari pembebasan itu tiba. Aku menunggu kematianku. Dengan begitu, jiwaku akan terbebas dari segenap rasa sakit hati dan raga. Aku juga berharap ada ruang di alam sana untuk aku dan Tomo menjalin cinta. Aku harap kami bisa bebas dan merdeka, walaupun bukan di tanah kelahiran kami, melainkan di taman surgawi.
Berbahagialah bagi mereka yang hidup di tanah merdeka, di tanah merdeka yang saat ini hanya menjadi sebuah dongeng dan mimpi bagi kami.
*TAMAT*