Cerpen
Disukai
1
Dilihat
10,550
Hari Ketika Engkau Melamarku
Romantis

Seorang lelaki berkaca mata tiba-tiba sudah duduk di depanku yang sedang makan siang di kantin Kopma UGM. Makan siang yang terlambat karena sudah lewat jam dua. 

“Mbak, selamat ya, sudah lulus,” ujarnya dengan mata berbinar. 

Aku menghentikan suapanku dan menatapnya sekilas. “Makasih, Bi.” Meski canggung, aku mencoba menyunggingkan senyum. 

“Langsung mau cabut dari Jogja, Mbak?” tanyanya. Kali ini wajahnya terlihat serius. 

Aku mulai jengah. “Iya, Bi, sudah nggak ada lagi yang dikerjakan di sini.” Cepat-cepat kuhabiskan makanku sembari berharap laki-laki berkulit sawo matang ini segera berpindah tempat. 

Albi mengedarkan pandangan sebentar. Tak lama ia mengeluarkan kado dari ranselnya. “Ini ada kenang-kenangan dariku, Mbak.” Suaranya yang semula hangat dan riang jadi sedikit bergetar. Ia membetulkan kacamata lalu mengusap hidung. Entah mengapa tiba-tiba ia terlihat kikuk dan salah tingkah. “Jangan dibuang kalau Mbak nggak suka. Tolong simpan buat pengusir tikus atau nyamuk.” Ia tersenyum kecil kemudian membawa nampan berisi makanannya pergi bahkan sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih. 

Hujan Bulan Juni, buku karya Sapardi Djoko Damono itulah isi kado dari Albi. Aku memang pernah berkata padanya kalau sangat menyukai puisi-puisi karya Sapardi dan ingin memiliki bukunya. Rupanya, sebelum aku membeli, Albi telah lebih dulu memberikannya padaku. 

Ketika aku membuka sampulnya, mataku tertumbuk pada selembar kertas yang dilipat rapi. Perlahan kuambil dan kubuka kertas beraroma citrus itu. Jantungku serasa mau melompat keluar ketika mataku mengeja deret kata yang tertulis di sana. 

“Mbak, aku akan melamarmu setelah lulus. Insyaallah tidak lama. Aku akan bekerja keras supaya lulus secepatnya. Semoga kamu bersabar, seperti sabarnya hujan di bulan Juni.”

Kugelengkan kepala sembari tertawa usai membaca kalimat yang ditulis rapi itu. “Dasar alay!” gumamku. Meski merasa aneh, kuturuti permintaannya untuk menyimpan buku beserta surat tersebut. Bukan karena ingin menunggu janjinya, melainkan sekadar untuk menghormati permintaannya. 

Aku dan Albi berteman sejak sebelum aktif di BEM UGM. Aktivitas bersama di BEM membuat kami semakin sering bertemu dan berdiskusi, tetapi tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benak kalau dia memiliki perasaan khusus padaku. Begitu pula denganku. Memang dia baik dan selalu memberi perhatian, tetapi dia melakukannya pada semua orang. 

Dua tahun lagi dia lulus. Dua taun cukup baginya untuk melenyapkan perasaannya padaku. Kami akan hidup terpisah sehingga lintasan pikiran itu lambat laun akan hilang bersama tiupan angin. 

Delapan tahun lebih telah berlalu sejak peristiwa itu. Malam ini Albi datang ke rumah. Wajahnya masih tetap sama, hangat dan ramah. Bedanya, ia tampak lebih dewasa. 

“Mbak, aku mau mewujudkan cita-cita lamaku,” ujarnya mantap. 

Aku menatap matanya, mencari kesungguhan dalam kata-kata yang terucap. “Aku nggak sendiri lagi, Al.” Mataku menatap seorang anak berusia lima tahun di sampingku dan sedang asyik mewarnai. 

“Aku tidak masalah, Mbak. Aku bersedia jadi bapak sambung mereka.” Ia tersenyum. Hangat. “Semoga kali ini aku tidak keduluan untuk kedua kalinya.” 

Aku bergeming, menatap ragu matanya. Kurasa, menjadi bapak sambung bagi dua jagoanku tidak mudah.

“Nggak usah dijawab sekarang. Mbak istiharah dulu saja.” 

Kuhela napas panjang lalu mengiyakan permintaannya. “Beri aku waktu dua minggu untuk berpikir, Al,” ujarku kemudian tak ingin mengecewakannya. 

Ia mengurai senyum lebih lebar. Matanya berbinar. Kami masih berbincang sekian waktu sebelum akhirnya ia pamit. Tangannya meraih buku dari dalam tas. 

“Kalau akhirnya nanti Mbak masih menolakku, mungkin kita memang tidak berjodoh dan aku akan pergi dari kehidupan Mbak. Buku ini buat Mbak, sebagai kenangan.” Tangannya menyodorkan sebuah buku yang kali ini berjudul Melipat Jarak.          

Kehadiran Albi untuk ketiga kalinya menyedot konsentrasiku. Kepada Bapak kuadukan semua kecamuk pikiran. 

“Ya, kalau Bapak dan Ibu setuju kamu nerima lamaran Nak Albi, Nduk,” ujar beliau dengan wajah bungah. “Anak-anakmu butuh sosok ayah agar meeka bisa belajar bagaimana menjadi laki-laki. Mereka nanti akan menjadi qawwam, menjadi pemimpin.” Wajah teduhnya kini terlihat serius. “Lagi pula kamu sudah kenal Albi lama. Jadi kamu sudah kenal dia, sudah tahu gimana agama dan akhlaknya.” 

“Rasulullah dulu yatim sejak dalam kandungan, Pak. Dan tidak masalah karena diasuh kakeknya. Anak-anak masih punya kakek juga,” sanggahku. 

Bapak menarik napas dalam-dalam. “Bapak sudah tua. Nggak tahu sampai kapan bisa mengasuh Atha dan Azka.” 

“Masih ada pakdhenya yang bisa menjadi sosok ayah kalau Bapak nggak ada.” Kali ini suaraku bergetar. Membayangkan lelaki sepuh di depanku ini pergi membuat hatiku ngilu. Rasa kehilangan itu masih meninggalkan jejak di hati. “Dulu, kan, Rasulullah diasuh pamannya setelah kakeknya meninggal, Pak.” Aku masih mencoba memberikan argumen. 

“Masmu Farhan, kan, nggak tinggal di sini, to, Nis. Nggak bisa sering-sering nengok ponakannya.” 

Aku mengembuskan napas perlahan. “Apa kata keluarga Mas Yusuf kalau Nisa menikah sekarang, Pak? Belum ada setahun, kok, sudah nyari ganti. Pasti mereka bakal bilang begitu.” 

Wajah teduh Bapak mengurai senyum. “Kamu, kan, nggak nyari ganti to, Nis? Wong Albi yang nyari kamu.” 

Kata-kata Bapak membuat kami berdua tertawa. “Tapi ..., apa kata orang coba, Pak? Nisa bisa dikatain nggak setia, nggak sabar, nggak kuat, nggak ....” 

“Nggak setia itu kalau Yusuf masih ada dan kamu selingkuh sama Albi. Lha ini kondisinya beda,” tukas Bapak. “Kamu kejauhan mikirnya, malah jadi berprasangka sama orang lain.” 

Aku bergeming menatap Bapak. Tak ada lagi sanggahan yang terucap dari bibir. 

“Sekarang kamu pikirkan semuanya masak-masak. Bapak tahu kamu kuat menjalani semua ini sendiri karena kamu mandiri, tapi pikirkan juga anak-anakmu. Jangan lupa istiharah. Allah lebih tahu urusanmu. Jangan lupa minta nasihat Ustazah Maryam.” Bapak bangkit, meninggalkanku duduk termangu dengan perasaan tak menentu. 

Dua minggu kemudian Albi benar-benar datang kembali. Ia menyapa Athaya dan Azka dengan riang. Tak lama kemudian keduanya sudah asyik membongkar satu set seri Franklin yang diberikan Albi. 

Albi menyeruput teh hangat di depannya. Senyum yang hadir tak mampu menyembunyikan raut tegang di wajah. “Ehm ..., jadi gimana, Mbak? Matanya menatapku lekat, menyiratkan harap.

“Apa kamu sudah pikirkan semuanya masak-masak?” Mata kami bersitatap sekilas sebelum kemudian kutundukkan wajah. 

Albi tertawa. “Jadi untuk apa aku menunggu selama ini kalau tidak mikir dulu, Mbak?”

“Ehm ..., bukan itu maksudku, Al. Kamu, kan, tahu kalau ....” 

“Status Mbak, maksudnya?” Ia memotong kalimat yang belum sempurna kuurai. “Aku sudah bilang sejak awal, Mbak, kalau aku menerima Mbak apa adanya, nerima anak-anak juga.” 

“Ya kamu bisa nerima aku. Belum tentu keluargamu juga. Memangnya ada orang tua yang mengizinkan anak bujangnya menikahi perempuan yang sudah pernah menikah sebelumnya. Bawa anak lagi.” Suaraku mulai sedikit meninggi. Laki-laki berusia tiga tahun lebih muda di depanku ini sungguh keras kepala. 

“Aku sudah ceritakan semua tentang Mbak ke keluargaku dan mereka nggak keberatan, kok.” 

Sekian waktu kami terdiam. Sudut hatiku sebenarnya telah lama menerimanya. Rasa khawatir dan waswaslah yang kadang membuatku ragu. Bagaimanapun juga kita tidak hidup sendiri. Ada orang tua, masyarakat, yang belum tentu bisa sepaham. 

“Ya, sudah kalau Mbak memang belum mantep.” Suaranya memecah sunyi. Aku bisa melihat wajah hangat itu sedikit lesu. 

“Aku bukan belum mantep.” 

“Lalu?”

“Aku cuma memastikan kalau kekhawatiranku tidak benar.” 

“Jadi?”

Kuhirup napas dalam-dalam. Tanganku menyeka wajah yang mendadak terasa panas sementara Albi terus menatap lekat meminta jawaban. “Bismillah ..., insyaallah aku bersedia.”      

“Masyaallah ..., alhamdulillah ....” Wajah tegang itu mengukir senyum. Matanya berbinar. “Aku akan datang secepatnya dengan keluargaku, Mbak.” Albi menghabiskan tehnya yang telah dingin kemudian pamit. 

Sebelum beranjak, ia kembali menyodorkan sebuah buku karyaTolstoy, Tuhan Maha Tahu Tapi Ia Menunggu. “Allah memberiku kesabaran untuk menunggu. Dan sekarang aku mendapatkan hadiahnya. Terima kasih sudah menerimaku, Mbak,” ujarnya dengan raut bahagia. 

Sepeninggal Albi, kuambil buku yang ditinggalkannya. Kami dulu beberapa kali pernah mendiskusikan isi buku itu di selasar BEM dengan segala pikiran yang tumpah ruah. Selembar kertas yang dilipat jatuh saat aku mengangkat buku itu. Rasa penasaran mendorong tanganku untuk membukanya. Puisi karya K.H Mustafa Bisri berjudul Sajak Puisi tertulis di sana. 

Hatiku menghangat dan satu per satu air mataku menetes saat membaca bait demi bait puisi yang begitu indah itu. Kalimat penutup yang ditulis di akhir surat membuat dadaku berdebar. 

“Jika kita berjodoh, aku akan membacakan puisi ini di depan Mbak Nisa.”

***

Gema suara hamdalah yang diucapkan tamu undangan memenuhi masjid saat saksi mengucapkan kata “sah” usai ijab qabul. Mbak Santi, kakak iparku, mengantarku menuju tempat akad. Kulihat wajah lelaki berbalut jas hitam itu tersenyum hangat, senyum yang tak pernah berubah sejak pertama kali mengenalnya. 

Kami tidak mengadakan pesta besar. Akad dan resepsi selesai sebelum azan Zuhur berkumandang. Albi dengan cepat bisa beradaptasi dengan keluargaku. Hari ini, seminggu setelah menikah, ia sudah melantai di dapur. Harum nasi goreng menguar dari dapur. Allah tahu aku fakir kemampuan memasak sehingga menjodohkan dengan suami yang jago masak. Tak lama kemudian Atha dan Azka sudah berebut minta disuapi. 

Kami menikmati nasi goreng setelah menyuapi Atha dan Azka. Sekarang kedua anak itu sudah ikut kakeknya. “Tahu nggak, Nis, apa yang terjadi setelah lamaranku dulu keduluan Mas Yusuf?” 

Kupikir penggemar puisi seperti dia akan bersikap romantis dan memanggilku dengan sebutan yang, ayang, beb, honey, atau sejenisnya. Rupanya ia lebih suka memanggil nama daripada panggilan-panggilan seperti itu. Menurutnya, memanggil nama terasa lebih akrab dan dekat. 

“Kamu pulang dan nggak mandi seminggu,” tebakku asal. Dulu Albi pernah cerita, kalau lagi bete ia malas mandi. 

Albi tertawa. “Sehari setelah pulang dari sini, aku sakit seminggu. Setelah sembuh, aku pergi ke Lombok, ke rumah temenku di sana, jadi turis linglung.” Ia tergelak. 

Aku hampir saja menyemburkan isi mulutku mendengar ceritanya. 

“Untunglah, otakku kembali waras dan hatiku berusaha move on.” Albi kembali tertawa. 

“Kalau sudah move on, kenapa kamu belum menikah juga?” 

Seketika wajah Albi terlihat serius. “Aku hampir menikah dua tahun lalu. Tetapi seminggu setelah lamaran, pihak perempuan membatalkan.” 

Mataku membulat. Rupanya dalam urusan cinta, hidup Albi menyedihkan, tidak sesukses bisnis kuliner yang digelutinya. “Kenapa?” 

“Katanya wetonku dan weton dia nggak cocok. Kalau menikah nggak bakal bahagia.” 

Aku mengangguk. Memang ada sebagian orang yang masih mempercayai hal seperti itu. “Harusnya kamu berusaha meyakinkan mereka kalau itu nggak bener.” 

“Kamu nggak usah ngajarin aku soal usaha. Pasti itu kulakukan. Sayangnya mereka juga nggak mau mengubah keputusan mereka. Ya sudah, belum berjodoh.” Ia terdiam sesaat. “Alhamdulillah Allah mempertemukanku dengan cinta lama yang sempat membuat otakku tak waras.” Ia tersenyum sambil menatapku lekat. 

Seketika wajahku terasa panas mendengar ucapannya dan jantungkuberdetak lebih cepat melihat tatapan matanya yang membius. 

Sebulan setelah menikah, Albi memboyong aku dan anak-anak ke Yogyakarta karena bisnisnya semua di sana. Sebelum berangkat, aku mengajaknya menengok Mas Yusuf untuk berpamitan. Mungkin setelah ini aku akan jarang mengunjunginya. 

Aku meletakkan empat tangkai bunga sedap malam di depan nisan Mas Yusuf kemudian mengusap nisannya perlahan, kukatakan padanya jika wasiatnya telah tertunai. Sebulan sebelum ia meninggal, dia menemukan buku pemberian Albi dulu. “Dek, kalau aku pergi duluan dan si pemberi buku ini balik padamu, terima dia, ya.”Sebuah ucapan yang dulu tak kuhiraukan. 

Tiba-tiba aku merasa seperti melihat Mas Yusuf berdiri di hadapan kami. Ia terlihat tampan dengan baju koko putih yang dipakai saat terakhir kali menghirup napas di dunia. Mas Yusuf pernah berkata ingin meninggal dalam keadaan sujud dan Allah mengabulkannya. Ia tidak pernah bangun dari sujud terakhir saat menjadi imam salat Subuh. Mas Yusuf memperlihatkan senyum terbaiknya sebelum bayangannya menghilang dari hadapan. 

Aku menarik napas lega. Kuanggap senyumnya sebagai pertanda ia sudah bahagia di sana bersama 30 juz Al Qur’an yang telah menyatu dalam dirinya. Aku menggamit tangan Albi dan mengajaknya meninggalkan makam. 

Lembaran hidup yang baru telah dimulai, mengganti kisah lama yang harus ditutup. Ia memberikan banyak kenangan untuk diingat sebagai hikmah menjadi bekal menjalani hidup yang akan datang. 

- TAMAT - 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)