Masukan nama pengguna
“Hai, Jodi. Besok ada pameran di Gedung Seni. Datang, yuk?” Tiba-tiba Hani menyapaku saat aku makan siang di kantin.
“Ayo. Kita berangkat bareng, ya, Han?” Aku semangat sekali diajak Hani. Sungguh aku deg-degan.
Ada perasaan bahagia jika aku berdekatan dengan Hani. Ada rasa nyaman jika aku bersamanya. Ingin rasanya aku melindunginya sepanjang hari.
“Han, lukisan itu bagus banget, ya?” Aku menunjuk lukisan di dinding ruang pameran. Lalu kulirik wajah Hani.
“Emmm ... iya, seandainya saja aku bisa seperti lukisan itu ....” Hani menatap lukisan dengan serius. Lalu Hani berbalik, menatap mataku.
Aku terpana sejenak, lalu kupalingkan wajahku. Ada rasa nggak keruan di dalam dadaku. Tak lama kemudian, aku mengajaknya pulang.
Hani adalah teman kuliahku. Aku dan Hani sering bertemu di kantin. Jadilan aku dan dia sering mengobrol berbagai hal. Dari masalah hobi sampai masalah kehidupan manusia takkan habis kami obrolkan.
Hani sangat sederhana dan ramah. Sering kuperhatikan Hani menggunakan kostum warna biru. Dari kerudung hingga baju dan celana selalu serasi. Namun, tasnya tak pernah ganti. Tas yang sering dia pakai adalah tas selendang warna hitam. Tubuh mungilnya membuat Hani terlihat imut. Jika tersenyum, gula pun kalah manisnya.
Aku menyukai Hani sudah sejak lama, sejak sering bertemu di kantin. Namun, Hani tak menyadarinya. Dan aku pun tak berani menyatakan perasaanku.
Aku takut Hani seperti Mila, mantan pacarku yang ternyata tidak mencintaiku. Mila mendekatiku dan berhasil membuatku jatuh cinta hanya karena dia ingin balas dendam terhadap temanku. Temanku telah mempermainkannya. Lalu, Mila balas dendam dengan cara mempermainkanku.
Namun, tak bisa dimungkiri, semakin hari, aku semakin takut kehilangan Hani. Aku merasa, dialah belahan jiwaku. Aku ingin selalu bersamanya.
***
Aku dan Hani makan bareng di kantin. Kami makan nasi goreng spesial. Sungguh enak nasi goreng Kang Didi ini. Rasa pedasnya bikin nagih. Porsinya pun pas. Tidak kebanyakan, tidak pula terlalu sedikit.
Ketika sedang asyiknya kami makan, tiba-tiba seorang wanita dari belakangku berteriak, “Jodiii ... kenapa kamu sekarang nggak pernah kontak aku lagi! Oooh ... rupanya sudah punya pacar, ya?” Wanita itu menghentikan langkahnya, raut wajahnya langsung berubah. Air matanya menetes ke pipinya yang putih bersih. Rambutnya yang terurai panjang semakin membuatnya terlihat cantik.
“Hai, Selly. Kenapa kamu menangis? Sini, duduk, Selly.” Aku mempersilakan Selly untuk duduk di samping Hani.
Selly perlahan-lahan duduk. Diambilnya tisu, lalu diusapkan ke pipinya. Entah apa yang dipikirkan oleh Selly ketika mengusap pipinya.
Hani segera angkat bicara, “Jodi, siapa ini? Kenapa dia menangis?”
“Ohya, aku lupa mengenalkan Selly ke kamu. Kenalkan, ini Selly sahabatku waktu SMA. Dia kuliah di Jurusan Pertanian. Aku juga tidak tahu kenapa dia menangis.”
Selly hanya tertunduk saja saat aku bicara. Aku pun sungguh tak mengerti kenapa Selly menangis. Selain itu, memang aku dan Selly sudah lama tidak pernah berkomunikasi karena kesibukan masing-masing.
Hani memegang pundak Selly, lalu mulai bertanya, “Selly, kenalkan aku Hani sahabatnya Jodi. Kamu kenapa menangis?”
Selly tetap diam seribu bahasa sambil tertunduk. Namun, selang beberapa menit, Selly mengangkat wajahnya dan mulai berbicara.
“Emmm ... aku kecewa dengan kamu, Jodi.” Wajah Selly mengarah kepadaku.
Aku kaget bukan main dengan pernyataan Selly. “Kenapa kamu kecewa denganku? Apa salahku?” Aku sedikit emosi.
“Sudahlah, kalau kamu tak mengerti. Aku pamit, mau ada perlu ke rumah teman.” Selly buru-buru berdiri, lalu pergi begitu saja.
Aku menghela napas panjang. Kupegang kepalaku dengan kedua tanganku. Hani sedari tadi memperhatikanku.
“Jodi, sebenarnya ada apa sih, di antara kalian? Apakah aku mengganggu hubungan kalian? Cepat bilang, Jodi!” Hani tak sabar mendengar jawabanku.
“Kamu juga kenapa jadi marah-marah, Han?” Aku jadi bingung.
“Eh ... nggak apa-apa, kok. Aku kan, cuma tanya.” Hani gugup. Lalu tiba-tiba Hani beranjak pergi meninggalkanku.
Aku ditinggalkan di kantin sendirian oleh dua orang wanita itu. Selly dan Hani. Kupejamkan mata ini. Aku sungguh tidak mengerti. Ahhh ... ingin rasanya aku pergi jauh. Jauuuh ... ke tempat yang tidak ada seorang pun yang mengenalku.
Malam hari kucoba menelepon Selly. Namun, lama sekali nggak diangkat-angkat. Aku kesal. Kucoba menelepon Hani. Sama juga. “Aaaah ... kenapa sih, mereka ini?”
Akhirnya ku tertidur lelap. Dan aku bermimpi ketemu mereka berdua.
“Jodi ... aku suka kamu.”
“Jodi ... aku ingin memilikimu.”
“Jodi ... aku ingin bersamamu selamanya ....”
Jodi ... aku tak ingin kehilanganmu.”
Aaah ... apa-apaan ini. Kenapa aku mimpi tentang Hani dan Selly? Selly bilang suka sama aku? Dia ingin memilikiku? Lalu Hani juga bilang ingin besamaku selamanya dan tak ingin kehilanganku?
Memang benar aku menyukai Hani. Dan aku juga tahu bahwa Hani menyukaiku. Namun, aku tak mungkin bersamanya. Tak mungkin. Sungguh tak mungkin.
Begitupun dengan Selly. Aku pernah suka dengannya. Dulu sekali, ketika masih SMA. Tapi aku lebih suka bersahabat dengannya.
Luka batinku selama ini takkan pernah bisa terlupakan. Aku belum bisa melupakan kejadian masa laluku. Kejadian yang membuatku benci terhadap wanita.
***
“Jodiii ... Jodiii .... Buka pintunya, Jodiii. Ini aku, Hani.”
Hmmm ... pagi-pagi Hani sudah datang. Ada apa, ya? Aku belum mandi pula. Terpaksa aku cepat-cepat keluar dari kamar.
“Tunggu, ya, Hani. Aku mau mandi dulu. Kamu ada apa pagi-pagi datang ke sini? Tumben sekali.”
“Ya, sudah, kamu mandi dulu. Aku cuma mau kasih tau, nanti kita ketemuan di perpustakaan kampus. Jam sepuluh. Oke? Sekarang aku mau balik dulu. Bye!”
Aneh banget. Bukannya ada yang namanya telepon genggam, ya. Kalau mau janjian bisa ngasih tahu lewat situ. Kenapa juga harus datang ke sini. Tapi entahlah ....
Tepat pukul sepuluh pagi, aku sudah menunggu Hani di perpustakaan. Aku memilih duduk di meja bundar besar yang berada di sudut ruangan dan menghadap ke pintu masuk.
Akhirnya, Hani datang juga dan menuju ke arahku. Lalu dia duduk manis tepat di depanku.
Hani terdiam beberapa saat. Wajahnya menunduk malu.
Aku sebenarnya mengakui bahwa Hani telah membuatku selalu bahagia. Ku ingin selalu bersamanya. Ku ingin memilikinya. Namun, luka batin ini selalu membayangiku. Aku takut.
Lama-lama, wajah Hani selalu membayangiku. Aku tak bisa menghindar. Hanya Hani yang bisa membuatku tersenyum saat ini. Iya hanya Hani.
“Hani ... kamu tau, kan. Aku selalu takut menghadapi wanita. Aku selalu menghindar jika ada wanita yang menyukaiku."
“Jodi ... aku paham. Aku mengerti keadaanmu. Sudahlah ... aku tidak akan memaksamu untuk menyukaiku. Kamu mau jadi sahabatku aja, aku sudah senang. Sungguh ...!”
“Terima kasih, Hani. Kau memang sahabat sejatiku. Emmm ... tapi ... mulai saat ini, maukah kau jadi ... jadi ... pacarku?”
Hani terpana.
* * *