Masukan nama pengguna
Malam itu, udara di halaman masjid begitu syahdu. Gerimis baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang menguar ke udara. Lampu-lampu kuning temaram berpendar lembut, menciptakan bayangan samar di wajah jamaah yang duduk bersila menunggu kajian dimulai. Aku menempati saf tengah, mencoba menenangkan pikiran yang sejak sore tadi kalut oleh urusan dunia.
Suara langkah perlahan terdengar dari mimbar, lalu sosok Ustaz Radif muncul dengan jubah putih sederhana. Janggutnya teratur rapi, wajahnya teduh, dan setiap gerak-geriknya menimbulkan wibawa yang membuat siapa pun menundukkan pandangan. Beliau duduk sejenak, mengatur napas, lalu membuka dengan salam dan doa.
Seperti biasanya, ustaz memberi nasihat tentang sabar, ikhlas, dan doa-doa yang mustajab. Namun, malam ini ada yang berbeda beliau bercerita tentang meninggalnya Pak Hatim. Aku bangga sekaligus senang karena beliau meninggal di Hari Jum'at. Namun, ada sesuatu yang mengusikku.
Beliau menghela napas panjang sebelum bercerita,
“Kemarin malam saya menghadiahkan salat sunnah unsi qobri untuk jemaah saya yang hari Jum'at kemarin meninggal dunia, almarhum Pak Hatim.”
Hening. Masjid tiba-tiba terasa sunyi. Bahkan helaan napas jamaah seakan tertahan. Aku menegakkan punggung, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
Salat sunnah unsi qobri? Itu adalah hadiah besar, amalan langka yang sangat jarang diberikan seseorang kepada orang lain. Kemarin malam diberikan khusus untuk almarhum Pak Hatim.
Dadaku langsung terasa sesak. Sebuah pertanyaan mendesak masuk ke dalam pikiranku. “Ada apa dengan dia? Kenapa dia mendapat hadiah seistimewa itu?”
Aku mencoba menahan perasaan, namun rasa takjub sekaligus iri bercampur menjadi satu. Seumur hidupku mengikuti pengajian, baru kali ini aku mendengar seorang ustaz wara memberikan hadiah sebesar itu, apalagi kepada seorang jamaah biasa seperti Pak Hatim.
Ustaz Radif menunduk sejenak, lalu melanjutkan,
“Beliau adalah jemaah yang paling rajin mengikuti pengajian. Hampir di setiap majelis ilmu, almarhum hadir. Bahkan saat hujan deras mengguyur, beliau tetap datang, terkadang basah kuyup, tapi wajahnya selalu berseri-seri. Beliau tidak hanya hadir di majelis ini, melainkan juga di mana pun ada kebaikan. Itulah mengapa saya ingin mengiringi malam pertama beliau di alam kubur dengan hadiah doa dan salat sunnah unsi qobri.”
Kata-kata itu menancap kuat di relung hati. Aku tercekat. Seakan ada cermin yang dipasang tepat di hadapanku.
Aku teringat, dulu sering melihat sosok tua itu datang dengan langkah tertatih, tongkat kayu di tangan, dan senyum sederhana yang tak pernah lepas. Ia tak banyak bicara, tetapi selalu ramah menyapa siapa saja. Sering kali aku meremehkannya, merasa bahwa ia hanyalah jamaah tua yang terlalu rajin.
Namun, malam ini aku tersadar. di balik kesederhanaannya, ada konsistensi luar biasa.
Aku menunduk, bibirku bergetar. “Ya Allah… jika kebaikan kecil seperti rajin menghadiri pengajian bisa mengundang kasih sayang-Mu hingga seorang ustaz menghadiahkan doa sebesar itu, apa yang sudah aku lakukan selama ini?”
Rasa iri semakin menusuk. Aku mulai bertanya-tanya, “Jika aku pun istiqomah, mungkinkah ada yang menghadiahkanku sesuatu di malam pertamaku di alam kubur? Bukankah hadiah itu lahir bukan dari permintaan, melainkan dari ketulusan orang lain yang benar-benar menghargai amal kita?”
Pengajian malam itu usai dengan doa panjang. Para jamaah perlahan pulang dengan langkah tenang. Aku masih duduk, terpaku, hingga akhirnya bangkit dengan langkah gontai.
Di luar masjid, jalanan kampung tampak sepi. Lampu jalan yang redup memantulkan cahaya di atas aspal yang masih basah. Aku berjalan menyusuri gang sempit, sementara suara serangga malam bersahut-sahutan. Pikiranku terus melayang pada sosok Pak Hatim.
Aku teringat ketika beberapa kali melihatnya di warung kopi setelah subuh. Ia tak pernah banyak bicara, hanya duduk sebentar, menyeruput teh panas, lalu pamit lebih dulu untuk berangkat kerja meski usianya sudah renta.
“Apa rahasianya sehingga ia mendapat hadiah istimewa?” tanyaku lagi dalam hati.
Aku menengadah ke langit. Awan tipis menutupi bulan. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya.
Di tengah perjalanan, aku berhenti di dekat mushala kecil yang lampunya masih menyala. Aku duduk di tangga mushala, mencoba menenangkan batin yang resah. Aku sadar, rasa iri yang tadi kurasakan hanyalah cermin dari kelemahanku sendiri. Selama ini aku lebih sering berharap mendapat penghargaan, pujian, atau balasan dari manusia, padahal ikhlas seharusnya cukup.
Aku teringat kalimat Ustaz Radif: “Hadiah bukanlah sesuatu yang diminta. Ia lahir dari ketulusan orang lain, karena dedikasi penerima hadiah semasa hidup.”
Hatiku semakin gelisah. Aku ingin sekali merasakan ketenangan seperti yang mungkin kini dirasakan Pak Hatim. Tapi di sisi lain, aku tahu bahwa aku belum berbuat banyak.
“Mulai malam ini,” gumamku lirih, “Aku takkan lagi berharap diberi hadiah. Justru akulah yang harus belajar memberi. Jika ada yang meninggal, biarlah aku yang menghadiahkan doa dan salat sunnah unsi qobri. Barangkali dari doa-doa yang kupersembahkan untuk mereka, Allah akan melapangkan jalanku di malam pertamaku kelak.”
Hari-hari setelah itu, aku benar-benar mencoba mengamalkan tekadku.
Suatu sore, ketika kabar duka datang dari kampung sebelah, aku bergegas mendatangi rumah duka. Aku ikut menyolatkan jenazah, lalu duduk bersama beberapa jamaah lain untuk membaca doa dan tahlil. Saat bibirku bergetar melafalkan doa, aku merasakan sesuatu yang berbeda: ada ketenangan yang menyelinap, seakan Allah membisikkan bahwa setiap doa yang kupanjatkan bukanlah sia-sia.
Sejak itu, aku mulai membiasakan diri. Setiap kali ada yang meninggal, aku usahakan hadir. Bukan sekadar ikut-ikutan, melainkan benar-benar diniatkan untuk memberi hadiah doa. Kadang aku membaca Yasin di rumah untuk mereka yang sudah tiada.
Lambat laun, hatiku mulai damai. Rasa iri yang dulu menghantuiku terhadap Pak Hatim kini berubah menjadi rasa syukur, karena Allah memberiku pelajaran berharga lewat dirinya. Namun, aku tahu perjalananku masih panjang.
Suatu malam, aku bermimpi. Dalam mimpi itu, aku melihat sebuah pekarangan luas penuh cahaya. Ada banyak orang yang duduk di kursi putih, wajah mereka tenang dan tersenyum. Di salah satu sudut, aku melihat sosok Pak Hatim. Ia tersenyum padaku, dengan wajah bercahaya. Aku ingin mendekat, namun langkahku terasa berat.
Ketika aku hampir tiba, tiba-tiba terdengar suara lembut,
“Hadiah itu bukan untuk diminta. Tetapi untuk dipersiapkan dengan amal.”
Aku terbangun dengan keringat dingin. Hati ini semakin yakin. Hidup hanyalah perjalanan singkat untuk menanam amal, bukan menunggu hadiah.
Kini, setiap kali aku melangkahkan kaki ke masjid, aku selalu teringat pada sosok Pak Hatim. Senyumnya, ketekunannya, dan hadiah yang ia terima di malam pertamanya di alam kubur.
Dan aku tahu, kisah itu akan selalu menjadi pengingat bagiku. Jangan berharap diberi, tapi belajarlah memberi. Jangan menunggu doa, tapi biasakan mendoakan. Sebab pada akhirnya, yang kita bawa hanyalah amal, dan yang mengiringi hanyalah doa-doa tulus dari hati yang pernah kita sentuh.
Malam itu, di bawah cahaya bulan yang perlahan menyingkap dari balik awan, aku berjanji dalam hati:
“Ya Allah, izinkan aku menjadi hamba-Mu yang istiqomah. Bukan untuk hadiah dari manusia, tapi agar Engkau berkenan menghadiahkan rahmat-Mu di malam pertama aku di alam kubur kelak.”