Masukan nama pengguna
Mami. Lain dengan teman-temanku yang banyak memanggil ibunya dengan sebutan bunda dan mama, aku lebih menyukai sebutan mami untuk memanggil salah satu manusia tersayangku. Tulisan ini tak akan berbicara hal manis mengenai mami, melainkan hal lainnya. Hal yang dapat membuat diriku menjadi sangat percaya diri untuk menjalani hidup dengan lebih baik.
Tak jauh berbeda dengan ibu-ibu kebanyakan yang sering ku dengar, mami sangat menyukai aktivitas berkumpul dan mengobrol mengenai semua hal. Bergosip. Entah sadar atau tidak, namun tak jarang aku melihat dan mendengar langsung keantusiasan mami ketika sedang melakukan hal itu, terutama berbincang hangat mengenai kenalannya. Biasanya, mami melakukan obrolan kosong itu dengan manusia yang sebaya dengannya. Baik ibu-ibu kompleks, ibu-ibu sekolah, teman sekolahnya, atau kerabatnya sendiri. Dan menariknya… seseorang yang dibicarakan adalah bagian dari yang membicarakannya itu sendiri. Percaya atau tidak. Dahiku selalu mengernyit bingung ketika tak sengaja mendapati kebiasaan setan mami. Asik sekali jika melihatnya langsung. Pernah pada banyak ketika, aku menyaksikan langsung giliran dari proses gunjingan itu. Dari satu telepon ke telepon berikutnya, dari satu lisan ke lisan lainnya selama berwaktu-waktu. Mami dengan fasihnya pun ikut terlarut dalam percakapan abu seperti hari itu.
06.36
Telepon pertama di hari senin bulan ini.
Tante Restu menelponku, memintaku untuk mengabari mami bahwa ia berkali-kali berusaha menghubungi mami, namun tak diangkat. Ada hal penting yang harus dibicarakan, kata tante Restu padaku. Aku memanggil mami yang ternyata sedang berada di taman belakang. Mami segera pergi ke ruang keluarga setelah mengecek telepon genggam mahalnya. Pembicaraan hampa pertama hari itu dimulai. Aku mendengarnya samar-samar dari ruangan samping. Tidak diniatkan, namun boleh juga karena kupikir gibahan pagi ini akan menyenangkan. 40 menit berlalu. Mami yang kudengar suaranya memberitahu tante Restu kalau ia akan menghubungi Dirga, uncle-ku.
07.20
Telepon kedua.
“Ayolah, Dirga Cepat angkat!” Tepat setelah kalimat itu terlontarkan, sapaan dingin terdengar dari seberang rumah sana. Kali ini mami mengeraskan suara teleponnya. Mami banyak bicara, sedangkan uncle Dirga hanya sesekali menanggapi. Mami menceritakan perihal Kasih, istri uncle Dirga. Hal serupa yang telah dibicarakan mami dengan tante Restu sebelumnya. Uncle Dirga terdengar malas merespons, sedangkan mami bersuara sangat tertarik. Setelah 10 menit berlalu, aku yang lapar pun berniat mengambil sarapan pagi di meja makan. Ruang makan berada setelah ruang keluarga. Aku melewati mami yang sedang mengotak-atik telepon genggamnya, menandakan teleponnya dengan uncle Dirga telah terputus.
“Apa ada masalah sama tante Kasih, Mi?” Tanyaku penasaran meskipun aku sudah mengetahui jawabannya. Mami mendongak menatapku. Aku telah memasang earplug sebelumnya, bersiap-siap.
“Aku pernah dengar kalau tante Kasih…” Sepasang earplug sigap menjaga kedua lubang pendengaranku. Rambut panjangku sangat membantu menutupinya.
“Jangan bergosip, dek! Mami tidak suka! Sarapanlah!” Mami memotong kalimatku. Yah, seperti itulah mami. Suka berdesas-desus, namun selalu berkata tegas padaku bahwa aku tak boleh melakukan hal serupa. Tak baik, tuturnya. Apakah semua penggosip seperti itu?
Aku melanjutkan langkah menuju ruang makan. Mengambil roti panas dari dalam microwave. Memulai sarapan dengan perasaan kesal pada mami. Ketika dua potong roti dan segelas susu hijau telah aku habiskan, suara dering telepon sayup-sayup terdengar.
07.40
Telepon ketiga.
“Halo, Kasih! Apa kamu sedang di rumah?” Suara lantang mami dapat ku dengar jelas meskipun jarak kami cukup jauh. Mami menghubungi tante Kasih.
“Oh, sedang berbelanja ke luar. Tidak sedang bersama Dirga, bukan?” aku sudah tak berselera untuk mendengar obrolan nol faedah itu. Fokusku aku tujukan pada sepiring potongan apel pemberian bibi. Setelah alat makan selesai dicuci, aku pergi meninggalkan ruang makan dan menuju kamar tidurku di lantai dua. Tangga apung penghubung antar lantai terletak di ruang keluarga, maka mau tak mau aku pun harus melewati mami yang terlihat sedang berbincang di telepon. Mata mami yang berbinar dengan paduan anggukan kepala yang kencang berhasil membuatku muak untuk kesekian kalinya. Tepat di anak tangga kesebelas, mami memanggilku. Aku turun beberapa anak tangga agar mataku dapat melihat mami yang berada di bawah.
“Dek, tante Kasih bilang kalau sayur di pasar saat ini sangat segar. Adek bisa membelikan beberapa untuk mami, bukan? Pulangnya adek bisa bersantai lebih dulu di kafe yang sedang populer itu.” Aduh! Sepanjang perjalananku menuju tangga, aku mendengar cercaan mami mengenai penjual sayur di pasar pada tente Kasih. Cercaan hangat yang tepat terlontarkan setelah cercaan panas mengenai uncle Dirga. Namun, kenapa sekarang mami justru menyuruhku membeli sayur? Namun, bagaimanapun juga imbalannya adalah bersantai di kafe yang baru dibuka, maka aku akan pergi. Tak peduli dengan celaan yang baru saja terbit. Berbagai makian mami pada tante Kasih mengenai uncle Dirga dan pedagang sayur segar di pasar akan segera ku lupakan.
08.30
Telepon selanjutnya.
Aku telah siap berangkat. Pak Gunawan, supir pribadi keluargaku sudah selesai memanaskan mobil. Aku pamit pada mami yang masih setia bersama telpon genggam di telinga kanannya. Mami telah hijrah ke ruang tamu, mungkin sedang menungguku.
“Mami. Adek mau berangkat.” Mami menoleh dan tersenyum ke arahku. Senyum hangat dari bibir cupid’s bow-nya.
“Pah, ini adek mau ke pasar bantu maminya.” Penerima telepon mami ternyata adalah papah, seseorang yang sangat aku kenali.
“Hallo, Papah! Papah kapan pulang?” Mami segera mengeraskan suara smartphone mahalnya. Perbincangan singkat dimulai. “Baiklah, see you, pah!” Tak banyak yang dapat diobrolkan oleh kami karena aku harus segera menuju pasar. Beberapa tas belanja ramah lingkungan kuterima dari mami. Aku pun langsung melangkahkan kaki menuju pintu utama setelah melambaikan tangan pada mami.
“Baik, sampai mana tadi? Oh, iya! Sungguh keterlaluan bukan sikap adik iparku itu, mas? Aku tak pernah…” aku segera menutup pintu dan berlari menuju mobil. Persetan loud speaker yang masih menyala!
08.45 di pasar tujuan.
Jalanan pagi ini sungguh lapang. Hal baik yang dapat memperbaiki suasana hatiku. Aku meminta pak Gunawan agar menungguku di mobil karena aku hanya akan membeli beberapa sayuran. Lagi pula aku akan langsung menuju kafe untuk mengistirahatkan indera pendengaranku, jadi akan kupastikan kunjungan ke pasar pagi ini tak akan lama.
Jarak penjual sayur yang dimaksud mami tinggal 5 meter dariku “sinting sekali, bukan? Aku baru kali ini mengenal seseorang seperti kakakmu!” Aku menghentikan langkah dan langsung mengernyitkan dahi.
Mataku ikut membelalak kaget karena keberadaan 4 manusia di tempat tujuanku itu. Aku tak akan salah untuk mengenali 4 insan di sana. Tante Restu, tante Kasih, uncle Dirga, dan penjual sayur berada di hamaparan tumbuhan berwarna hijau segar. Uncle Dirga sedang memilih sayuran di hadapannya, penjual sayur sibuk menghitung lembaran uang lusuh di tangannya, sedangkan tante Restu dan tante Kasih terlihat sibuk mengekspresikan mimik wajah mereka.
“Kakakku? Kakaknya Dirga kali! Atau justru kakakmu? Kakak ipar kesayanganmu? Hahaha!” Penjual sayur tertawa renyah mendengarnya, sedangkan aku berusaha melangkah mundur hingga beberapa meter ke belakang, namun entah mengapa aku yang memiliki julukan si tuli tetap dapat mendengar obrolan mereka.
“Kakak iparku hanya Kau, kak Restu! Siapa coba yang mau punya kakak seperti kakak sulungnya mas Dirga. Bagaimana, mas, Kau setuju denganku, kan?” Gelak tawa terdengar bergema indah hingga ujung pasar yang telah aku tinggalkan.
Bajingan para pemilik rantai setan! Lidah berbisa yang hanya dipakai untuk bergunjing, Keparat! Batinku menggerutu.