Masukan nama pengguna
Gue Tita Ayundita. Biasa dipanggil Tita tapi karena satu mahluk yang bernama Elis, nama gue yang dikasih sama bokap dan nyokap jadi ancur. Tanpa bubur merah dan bubur putih, nama gue berubah jadi Tiwul. Usut punya usut nama Tiwul itu berasal dari salah satu makanan tradisional di daerahnya. Elis ini berasal dari kota gudeg jadi logat bicaranya super medog dan tingkahnya yang terlalu polos bikin seisi kostan kalang kabut.
Kostan gue terdiri dari 10 kamar dengan penghuni yang beragam. Ada anak kuliahan kaya gue, Elis dan Dandi. Ada yang kuliah sambil kerja kaya Kak Wahyu, Kak Indri dan Kak Angga. Ada juga yang karyawan seperti Mbak Mirna, Mbak Dilla, Mas Galih dan Mas Teguh. Kostan gue juga ada teras yang biasa buat main UNO dan ngobrol-ngobrol santai antara penghuninya. Asal daerah dan karakter penghuni kost flamboyan 21 juga sangat beragam, jadi butuh penyesuaian yang ekstra antara penghuni satu dan yang lainnya.
Balik lagi sama mahluk yang bernama Elis. Gue, Elis dan Dandi satu kampus tapi beda jurusan. Gue jurusan manageman keuangan, Dandi jurusan manageman pemasaran, sedangkan Elis jurusan Akuntansi. Mungkin karena saking pinternya jadi bikin Elis bertingkah diluar nalar mahasiswa yang otaknya biasa-biasa aja kaya gue. Dan sikapnya yang super sopan, bikin orang jadi senewen. Seperti kejadian pagi ini,
"Tiwul ...!" teriak Elis sambil gedor-gedor pintu kamar gue.
Gue yang emang enggak ada jadwal kuliah pagi jadi masih sembunyi dibalik selimut. Tapi gara-gara suara cempreng Elis dan gedoran pintu yang kaya mau ngedobrak pintu kamar gue, bikin gue terpaksa bangun dari tempat tidur.
"Pagi Tiwul!" katanya waktu muka gue nongol dari balik pintu.
"Hem ... ngapain lu bangunin gue?"
"Cuma mau pamitan aja hehehe ..., Aku kuliah dulu yo!" katanya sambil cengengesan.
"Astaga ..., lu bangunin gue cuma mau pamit doang!"
"Iya, takut kamu nyariin!" jawabnya sambil senyum-senyum.
"Ya ya, udah pamit sama yang lain belum?"
"Yang lain udah berangkat semua. Cuma kamu aja yang ada dikost."
"Ya udah sana jalan. Lain kali enggak usah pamit sama gue!"
"Ih ... kok Tiwul gitu sih! Kata Bunda kita harus pamit kalau mau kemana aja!"
Itu salah satu tingkah sopan Elis yang bikin gue kesel. Dan hampir semua penghuni kost kesel sama sikap sopan Elis yang satu ini. Pernah Mbak Dilla buru-buru selesai mandi gara-gara pintu kamarnya berasa mau didobrak sama seseorang. Sekedar info, di kostan gue perkamar ada kamar mandinya masing-masing. Begitu pintu dibuka, muncul sosok Elis yang dengan muka tanpa bersalah sambil senyum-senyum bilang
"Mbak Dilla, aku mau beli makan dulu yo!"
"Elis ...! Pergi ... pergiiii ...!" teriak Mbak Dilla histeris saking keselnya. Dan sosok Elis tanpa merasa bersalah ngeloyor ninggalin Mbak Dilla sambil ngedumel
"Wuaneh tenan, wong dipamiti kok ngamuk-ngamuk!"
Beda lagi dengan kisah Mbak Mirna yang dibikin kesel karena kepintaran Elis. Mbak Mirna emang paling suka sama mie instan, makanan khas anak kost. Tapi di suatu malam, Mbak Mirna ngomel-ngomel sendiri di dapur. Gue yang kamarnya deket sama dapur jadi penasaran denger Mbak Mirna ngomong sendirian.
"Kenapa mbak? Kok ngomong sendiri?" tanya gue.
"Coba liat nih Ta!" seru Mbak Mirna sambil nunjukin mie instannya yang tinggal setengah dengan bumbunya yang juga tinggal setengah dengan seteples diatasanya. Rasanya gue pengen ketawa tapi karena Mbak Mirna lagi senewen, jadi gue berusaha menahannya.
"Kelakuan siapa ini? Mana tinggal satu lagi mie gue!" kata Mbak Mirna sewot. Mendengar ke gaduhan di dapur membuat Mbak Dilla dan Mas Galih keluar.
"Ada apaan sih? Berisik banget!" tanya Mas Galih.
"Iya, ada apa sih?" tanya Mbak Dilla yang berdiri disamping gue.
"Liat nih!" kata Mbak Mirna sambil nunjukin mie instan setengahnya. Spontan tawa Mas Galih dan Mbak Dilla pecah.
"Hahaha... ulah siapa tu?" tanya Mas Galih yang enggak bisa berhenti ketawa.
"Ini juga gue tanya sama Tita. Siapa sih yang sesableng ini?" kata Mbak Mirna kesal. Dan ketika kekesalan Mbak Mirna makin menjadi, muncullah Elis.
"Ada apa tho?" tanyanya.
"Tu, mie instan Mirna tinggal setengah. Ulah lu ya?" hardik Mbak Dilla yang menebak semua keanehan dikost pasti ulah Elis.
"Iya Mbak, soalnya aku masih mau makan yang lainnya. Kalau aku makan mie instan satu bungkus, nanti aku ndak bisa makan yang lainnya. Soale di kandungan mie instan itu natriumnya 1 gram, sedangkan tubuh kita cuma butuh 1,5 gram natrium. Kalau aku makan satu bungkus udah 80% natrium per hariku tercukupi, jadi aku ndak bisa makan yang lainnya tho."
Spontan semua yang ada di ruangan itu bengong dengerin penjelasan Elis. Bener sih, cuma kok jadi ribet ya!
"Kepinteran lu! Jadi keblinger!" kata Mbak Mirna yang keliatan masih kesel.
"Sini mbak, Elis bikinin mienya!"
"Enggak nampol buat gue kalau cuma setengah, harus pakai nasi biar nampol!"
"Eh... jangan mbak! Karbo ndak boleh ketemu karbo, bahaya!" seru Elis yang bikin gue, Mbak Dilla dan Mas Galih tepuk jidat.
"Ribet banget hidup lu!" kata Mbak Mirna sambil ngeloyor pergi.
"Wong dikandani malah nesu! Bingung aku!"
"Gue yang bingung ama bahasa lu! Ngomong apa sih lu?" kata Mbak Dilla yang memang enggak pernah ngerti sama bahasa daerahnya Elis.
"Iki lho mbak, Mbak Mirna dikasih tau kok malah marah."
"Jelas marah, lu ajaib gitu!" seru Mbak Dilla sambil pergi ninggalin gue dan Mas Galih yang cuma bisa geleng-geleng kepala liat insiden mie instan.
Keanehan Elis tak hanya dari kepintaran dan kesopananya aja, kebiasaannya yang suka banget bersih-bersih bikin Dandi kalang kabut. Elis dan Dandi seperti langit dan bumi, sangat berbeda. Elis yang super bersih, sedangkan Dandi mahluk yang super jorok. Kalau masuk ke kamarnya, pemandangan pertama adalah baju kotor yang berserakan dan bungkus snack yang bertaburan dimana-mana. Dan kali ini ulah Elis bikin Dandi kehilangan jimatnya.
"Sumpah! Kemarin gue taroh sini! Siapa yang mindahin? Iseng banget!" gerutu Dandi yang bisa didenger satu kostan karena nada suaranya yang superti tinggi.
"Kenapa Dan?" tanyaku yang kaget dengan suara tinggi Dandi.
"Iya, kenapa sih Dan?" tanya Mbak Mirana yang sepertinya sama kagetnya.
"Sendal sama sepatu kesayangan gue ilang!" katanya sambil masih mencoba mancari-cari.
"Jimat lu?" tanya gue sambil mencoba membantu mencari-cari.
"Kalau sampai ilang, mati gue!" gerutunya tanpa menjawab pertanyaan gue.
Menurut cerita Dandi, dua benda itu keramat banget. Sendal dan sepatu yang udah hampir 20 kali di sol itu selalu bawa keberentungan buat Dandi. Dan kalau mau jujur, menurut gue dua benda keramatnya Dandi udah enggak layak pakai. Selain udah sering di sol, dua benda keramat itu udah pudar warnanya dan ada beberapa bagian yang udah koyak. Usut punya usut dua benda itu katanya pemberian mantan yang paling berkesan buat doi.
"Emang lu taroh dimana?" tanya Mbak Mirna yang juga mencoba membatu mencari-cari.
"Disini mbak! Ah... tuyul mana sih yang ngambil!" maki Dandi yang makin kalang kabut.
"Ada apaan sih? Berisik banget!" tanya Mas Wahyu yang memang posisi kamarnya bersebelahan dengan Dandi.
"Ini mas, jimat Dandi ilang!" jawabku.
"Sendal sama sepatu butut lu?" tanya Mas Wahyu yang dijawab dengan anggukkan sama Dandi.
"Tadi gue liat Elis beres-beres, coba lu tanya. Sapa tau dia liat," kata Mas Wahyu.
Tanpa banyak kata Dandi berjalan menuju kamar Elis. Gue dan Mbak Mirna yang penasaran sama hilangnya jimat Dandi, cepat-cepat membuntuti.
"Elis...!" teriak Dandi di depan pintu kamar Elis.
"Ada apa tho?" tanya Elis begitu muncul dari balik pintu.
"Lu tadi beres-beres ya?"
"Iya."
"Liat sendal sama sepatu gue enggak?"
"O... sendal sama sepatu elek itu," kata Elis dengan polosnya.
"Elek... elek... enak aja lu! Liat enggak?"
"Liat."
"Dimana?"
"Tadi aku buang ketempat sampah. wong wes elek, mambu, yo thak buang."
Mendengar komentar Elis, gue sama Mbak Mirna spontan nahan ketawa. Pengen ketawa sih, tapi liat Dandi yang kalan kabut jadi enggak tega. Emang bener banget kata Elis, wes elek, mambu pula.
"Wah gila lu!" seru Dandi geram sambil ngacir menuju tempat sampah.
Gue dan Mbak Mirna yang nyaris enggak bisa nahan ketawa, cepat-cepat ngikutin Dandi. Ngeliat Dandi ngubek-ngubek tempat sampah, gue dan Mbak Mirna jadi ketawa geli. Dandi yang keren, ganteng bak kaya artis korea rela ngubek-ngubek sampah gara-gara Elis.
"Elis...! Mana? Enggak ada nih!" seru Dandi sambil terus ngubek-ngubek tempat sampah.
Elis yang dari tadi berdiri di deket gue, cepat-cepat jalan nyamperin Dandi. Dengan gayanya yang lugu, Elis melongok melihat tong sampah.
"Yo wes enggak ada Dan. Wong tadi Pak Jimin udah angkut," jawabnya santai. Sekedar info, Pak Jimin itu petugas kebersihan didaerah sini. Yang setiap hari ngambil sampah-sampah disekitar sini dan dibuang dipembuangan terakhir.
"Wah beneran gila lu!" maki Dandi sambil ngeloyor ninggalin Elis.
"Sumpah gila bet tu anak!" maki Dandi waktu ada didepan gue dan Mbak Mirna. Spontan gue dan Mbak Mirna ketawa geli.
Tapi gue salut sama Elis. Walaupun anaknya sableng, dia tetap tanggung jawab sama apa yang udah dia perbuat. Seminggu setelah insiden jimat Dandi ilang, Elis mengganti sendal dan sepatu Dandi sebagai permintaan maafnya. Walaupun Dandi masih kesel, tapi siapa yang bisa nolak sepatu yang harganya jutaan.
Dan kisah lain terjadi dengan Kak Indri yang hampir pindah kost karena ulah Elis. Kali ini kesablengan Elis berasal dari indra ke enamnya. Kak Indri yang super takut dengan hal-hal yang berbau mistis dengan sangat terpaksa menonton film horor karena Mbak Dilla dan Mbak Mirna lagi keranjingan nonton film horor. Sebenernya enggak ada yang maksa sih, tapi karena ruang tv dikuasai sama Mbak Dilla dan Mbak Mirna jadi dengan sangat terpaksa Kak Indri mengikuti maunya mereka. Kalau Kak Indri protes, pasti Mbak Dilla minta dia buat masuk kamar aja. Tapi percuma masuk kamar, suara-suara dari film dan teriakkan Mbak Dilla juga Mbak Mirna tetap kedengeran dari dalam kamar karena kamar Kak Indri tepat di depan ruangan tv. Dan apesnya Kak Indri adalah menceritakan ketakutannya pada orang yang salah.
"Lis, akhir-akhir ini gue suka merinding-merinding sendiri kalau di kamar. Gara-gara Dilla sama Mirna suka nonton film horor, jadi parno gue," cerita Kak Indri pada Elis yang lagi iseng main UNO bertiga sama gue di teras.
"Kenapa parno kak? Wong yang jaga sini baik-baik," kata Elis yang tetap fokus pada kartunya.
"Ngomong apaan sih lu? Emang yang jaga sini sapa? Mpok Ijah?" tanya Kak Indri yang enggak paham sama kata-kata Elis. Mpok Ijah itu orang yang dipercaya sama ibu kost buat jagsin kost dan buat bersih-bersih kostan. Ada satu lagi yang jaga kostan namanya Pak Wanto, dia satpam di kost ini.
"Yo banyak lah Kak, kemarin aku baru ketemu di samping pohon itu. Sempet ngobrol sebentar aku," jawab Elis dengan santainya. Gue yang dari tadi cuma nyimak obrolan mereka mulai sedikit merinding.
"Emang sableng ni anak! Udah tau Kak Indri lagi takut, malah di takut-takutin. Sekarang gue jadi ikutan takut!" kata gue dalam hati.
"Apaan sih lu lis? Kaya lu bisa liat aja!" kata Kak Indri yang mulai keliatan takut.
"Lah emang aku bisa liat kak. Wong aku punya indra ke enam, dari kecil aku wis sering ketemu mereka itu," katanya sambil nunjuk ke arah pohoh besar yang ada di dekat tempat parkir.
"Jangan ngaco lu! Jangan nakut-nakutin gue!"
"Lah bener kak, ini disamping ku juga ono!"
"Jangan sembarangan lu! Samping lu, gue nih!" seru gue sewot karena mulai takut sama omongan dan tingkah Elis.
"Emang bener, tu ada dibelakang mu!"
Spontan gue sama Kak Indri lompat dari tempat duduk denger kata-kata Elis.
"Diem lu... Diem... jangan ngomong lagi!" seru Kak Indri yang mulai panik sambil celingukan dan megangin tangan gue. Gue sendiri juga mulai panik, kalau cuma film gue masih enggak ngaruh. Tapi ini gue berasa lagi main film horor.
"Enggak apa-apa kak, mereka baik. Ora bakal ganggu, cuma mau temenan aja," celoteh Elis masih dengan santainya.
"Aaaaa... gue enggak mau denger!" teriak Kak Indri.
"Ada apa?" tanya Mas Galih yang kaget denger teriakkan Kak Indri.
"Ada apaan sih?" Mbak Mirna juga kaget denger teriakkan Kak Indri.
Dan semua penghuni kost keluar buat menanyakan hal yang sama karena kaget denger teriakkan Kak Indri yang lumayan histeris.
"Tu Elis nakut-nakutin gue!" kata Kak Indri panik.
"Nakutin gimana?" tanya Kak Angga.
"Katanya dia punya indra ke enam, jadi bisa liat mahluk halus gitu."
"Jangan ngaco lu Lis!" kata Mbak Dilla yang udah paham banget sama kesablengan Elis.
"Yo wes kalau ndak percaya karo aku. Aku mau masuk dulu yo, wes ngantuk." pamitnya sama kita-kita.
"Wes yo, sesok meneh dolane," kalau ini entah dia pamit sama sapa. Pandangannya tertuju ke tempat duduk di sebelah gue, sambil ngeloyor pergi ninggalin kita-kita yang pada ketakutan.
"Sableng banget tu anak! Jadi takut gue!" kata Mbak Mirna setelah Elis masuk ke kamarnya.
"Gue juga takut nih!" kata Mbak Dilla.
"Enggak usah didengerin, udah tidur." kata Mas Wahyu sambil pergi menuju kamarnya. Para cowok enggak terlalu pengaruh sama omongan Elis dan bisa santai aja balik ke kamar masing-masing. Tapi buat para cewek omongan Elis bikin parno dan merinding disko. Alhasil pas ada kucing berantem, para cewek teriak histeris.
"Gubrak... gubrak... gubrak... Eong!"
"Aaaaaa... aaaaa...!" teriak kita berempat sambil pelukan persis adegan di film horor.
"Eliiss... sableng banget sih lu!" maki Mbak Dilla saking takutnya.
Dan malem itu Mbak Dilla, Mbak Mirna dan Kak Indri tidur di kamar gue. Dengan alasan kamar gue posisinya paling depan dan paling terang. Jadi kecil kemungkinan ada penampakkan.
Setelah insiden indra ke enam Elis, Mbak Dilla dan Mbak Mirna enggak pernah lagi tidur dengan lampu tidur. Semua lampu dinyalahin, menurut mereka kalau terang enggak bakal ada penampakkan. Kalau gue emang enggak pernah bisa tidur pakai lampu tidur yang cahayanya remang-remang. Sedangkan Kak Indri sibuk cari kost baru saking takutnya. Tapi rencana Kak Indri buat pindah kost pupus setelah sepupunya tinggal satu kost sama dia.
Tapi dibalik kesablengan yang udah dilakuin Elis, ternyata Elis punya rasa kepedulian yang tinggi. Ini terjadi pada Kak Wahyu. Kak Wahyu penghuni kost yang paling pendiam dan paling tertutup. Setiap hari kerjanya cuma berangkat kerja pulang masuk kamar, keluar lagi buat kuliah dan balik langsung masuk kamar lagi. Hampir bisa dihitung jari Kak Wahyu ikut kumpul bareng dengan penghuni kostan yang lain dan itu pun dia hanya menjadi pendengar setia. Hingga suatu ketika Kak Wahyu udah 2 hari enggak keluar dari kamar. Semua penghuni kostan enggak ada yang tau, karena memang keseharian Kak Wahyu lebih sering di dalam kamar. Hingga ketika Elis menanyakan keadaan Kak Wahyu, bikin gue dan yang lainnya jadi sadar kalau emang Kak Wahyu udah 2 hari enggak keliatan.
"Kak Wahyu kok ndak keluar-keluar yo?" tanya Elis yang tiba-tiba muncul. Gue dan Mbak Dilla yang lagi ngobrol santai sambil ngopi di teras jadi saling pandang.
"Perhatian bener lu sama Wahyu. Naksir ya?" goda Mbak Dilla.
"Yo ndak gitu Mbak. Kalau kenapa-kenapa kan kasian!"
"Kenapa-kenapa gimana maksud lu?" tanya gue yang mulai agak khawatir juga.
"Yo kalau misalnya sakit gitu."
"Masa sakit diem-diem, pasti minta tolong," kata Mbak Dilla masih belum peka.
"Sapa tau malu mau minta tolong. Kak Wahyu kan orangnya pendiem, yo tho wul!"
"Bener juga sih!"
"Yuk wul kita samperin, ndak enak kalau aku sendiri yang nyamperin," ajak Elis.
Dan gue juga Mbak Dilla akhirnya nemenin Elis ke kamar Kak Wahyu.
"Tok... tok... tok...."
"Kak Wahyu...," panggil Elis.
"Ya...," jawab Kak Wahyu dibalik pintu.
Gue, Elis dan Mbak Dilla kaget ngeliat keadaan Kak Wahyu yang pucet dan lemes.
"Kak Wahyu sakit?" tanya Elis.
"Lu sakit yu?" tanya Mbak Dilla.
"Iya, tapi udah minum obat. Udah enakkan," jawab Kak Wahyu.
"Tapi masih pucet gitu!" kata gue yang mulai makin khawatir.
"Udah kedokter aja yuk!" ajak Mbak Dilla sambil ngeloyor pergi ke kamar Mas Galih dan Mas Teguh buat minta bantuan.
Karena kepedulian Elis, Kak Wahyu akhirnya bisa dibawa ke dokter dan lebih cepat sembuhnya. Sikap Elis yang sangat peduli, patut di acungin jempol. Dan sikap Elis yang satu ini, menyadarkan semua penghuni kost flamboyan 21 untuk saling peduli satu dengan yang lainnya. Karena enggak semua orang bisa dengan mudah meminta pertolongan pada orang lain. Contohnya Kak Wahyu yang pemalu hingga disaat dia benar-benar membutuhkan pertolongan, dia enggak bisa mengutarakannya.
Sebenarnya banyak yang bisa di contoh dari sikap Elis yang kadang-kadang enggak terpikirkan sama kita-kita. Meskipun Elis lebih sering bikin ulah dan bikin kesel satu kostan dan memang Elis selalu bikin masalah dikostan ini, tapi kostan terasa sepi tanpa dia. Setelah 1 tahun kostan di bikin kalang kabut dengan ke sablengan Elis, akhirnya kembali tenang lebih tepatnya kembali sepi. Walaupun tingkahnya udah bikin seluruh penghuni kostan kesel, tapi kehadiran Elis di kost flamboyan 21 membuat penghuni satu dengan yang lainnya lebih care. Dan ketika Elis harus pindah dari kostan karena mau tinggal sama kakaknya yang baru 1 minggu pindah di kota ini, kostan jadi balik lagi kaya dulu sebelum Elis tinggal disini. Apalagi kostan mulai berganti-ganti penghuni. Kaya Mbak Dilla yang dimutasi kecabang lain, jadi mau enggak mau harus pindah di deket tempat kerjanya yang baru. Kak Angga yang udah lulus dan lanjut S2 nya ke Australia. Mbak Mirna yang memutuskan buat merried dan harus ikut suaminya yang ditugasin di Kalimantan. Mas Galih yang juga merried dan tinggal di rumah barunya. Hanya tersisa gue, Dandi, Kak Wahyu, Kak Indri dan Mas Teguh yang masih ada di kost flamboyan 21. Dan tahun ini gue sama Dandi juga bakal pindah dari kost ini karena kita berdua udah lulus, jadi gue mutusin buat pulang kerumah. Sedangkan Dandi lanjut S2 di Jepang.
Buat Elis dimanapun lu berada, gue cuma bisa bilang thanks buat semuanya. Mungkin kalau lu enggak masuk ke kost flamboyan 21 dan bikin kacau kostan ini, enggak akan ada kenangan yang bikin kita kangen sama suasana kost. Kesablengan-kesablengan yang udah lu ciptain, bikin suasana kost jadi seru. Gue enggak nyesel kenal orang sesableng lu, walaupun nama gue lu bikin jadi enggak keren. I love you and I miss you Elis.
Dan buat penghuni kostan flamboyan 21 yang lain, semoga masih inget sama kita-kita yang pernah bareng satu atap. Yang udah ngelaluin suka dan duka bareng-bareng. Yang kadang juga suka salah pahan dan berujung diem-dieman, walaupun enggak bertahan lama diemnya. Paling lama cuma satu hari doang. Yang suka eksperimen enggak jelas, bikin mpok ijah ngamuk-ngamuk. Dan yang suka bikin Pak Wanto kesel karena terganggu tidurnya gara-gara harus bukain pintu gerbang buat kita-kita. Pokoknya kostan Flamboyan 21, kostan yang banyak cerita, kenangan dan kisah yang tak terlupakan. Terimskasih buat kakak-kakak yang selalu support gue buat kelarin skripsi gue, yang selalu mau bantuin buat nyelesaiin srekripsi gue. Yang bantuin gue sampai bisa lulus toefel jadi bisa ikut sidang. Padahal gue paling lemah di mata kuliah bahasa inggris. Pokoknya penghuni flamboyan 21 is the best. Enggak nyesel kenal kalian semua. Semoga kebersamaan kita di flsmboyan 21 enggak lekang oleh waktu. Terutama Elis yang udah bikin semua jadi cair dan seru. Tanpa lu pasti enggak seseru ini cerita flamboyan 21.