Flash
Disukai
9
Dilihat
11,402
Femina Bicara
Aksi

Hai, aku Femina.

Gadis remaja yang kian tumbuh menjadi dewasa.

Kali ini, ikutlah pada kisahku.

Femina menghela nafas dan mulai bercerita.

Aku memasuki bangku menengah pertama pada tujuh tahun silam. Melewati segala hal yang umum dilakukan anak-anak seusiaku dengan bermain, menonton bioskop dan pergi ke rumah teman hingga petang. Kala itu, pergi menonton bioskop harus menaiki bis antar kota untuk sampai ke tujuan. Masih teringat jelas, bahwa aku seringkali menutupi logo seragam sekolah dengan sweater.

Pada tahun ketiga aku diharuskan mengikuti ujian nasional. Hari pertama ujian, aku dirawat di rumah sakit. Entah apa yang menyerangku kala itu, badanku terasa panas dan tak membaik. Sehingga aku harus mengikuti ujian susulan. Kesal, kecewa dan pasrah.

Rumah sakit sangatlah dekat dengan rumahku, sekitar 200 meter. Pagi itu, aku memandangi cairan infus yang menempel di tangan dan memegangnya pelan. Mungkin saja aku masih bisa mengikuti ujian nasional hari kedua, pikirku. Karena kondisi tubuh yang masih melemah, mau tak mau Ibu harus mengantarkan surat izin ke sekolah.

Malam harinya, sekujur tubuhku menggigil sehingga Ibu harus memanggilkan dokter. Sebelumnya aku telah memejamkan mata dan dokter juga mengira bahwa aku tertidur pulas sampai alat stetoskop menempel di dadaku. Awalnya biasa saja, namun aku merasa stetoskop yang dokter letakkan pada dadaku dibiarkan menempel di sisi tengah dan tangannya mulai menggerayangi bagian intim milikku. Aku berfikir positif bahwa ia tidak sengaja menempelkan telapak tangannya.

Aku merasa gusar dan mengelabuinya dengan pura-pura bangun. Aku mencari Ibu dan beliau mendatangiku. Saat kejadian itu berlangsung, posisi Ibu ada di tempat itu. Hanya saja Ibu tidak mengetahui tangan jahil yang dilakukan oleh dokter tersebut. Dini hari sekitar jam 2 pagi, dokter tersebut memasuki ruangan dan memeriksa diriku seperti biasa. Ia adalah dokter yang sama. Mengapa aku tau? Karena ia mengulangi hal yang sama dan saat itu aku tidak tidur karena mataku panas dengan kondisi terpejam. Aku berpura-pura gusar dan risau untuk memancing Ibu bangun dari tidurnya. Aku ingin sekali memergoki dokter tersebut, namun aku takut jika laki-laki di hadapanku akan mengancam atau justru memasukkan cairan medis yang tidak kuketahui fungsinya. Sehingga cara terbaik menyelamatkan diri adalah diam. Hanya itulah yang kulakukan saat aku berusia 15 tahun.

Pagi harinya, suster mengantar sarapan ke ruangan. Aku tersenyum manis padanya, ia juga melempar senyum padaku. Hingga akhirnya dokter biadab itu kembali lagi dan mulai memeriksa kondisiku. Aku heran mengapa ia tidak melakukan aksinya seperti malam hari, apa karena aku tidak tidur? Apa karena ia telah tau bahwa aku menyadari sikapnya yang tak senonoh padaku? Entahlah, namun ia mulai menanyaiku dan terkesan sok akrab dengan mencoba memijat kedua kakiku. Perasaan tak enak menjalar lagi, tangannya bergerak naik hingga paha dan aku menepis tangannya. Ia diam dan pergi meninggalkan ruangan.

Aku tidak mengetahui siapa nama dokter itu, tapi masih jelas raut wajah di benakku. Sampai aku memasuki bangku perkuliahan, kudengar rumah sakit tempatku dirawat telah tutup karena bangkrut. Aku tersenyum kecut. Entah masalah apa yang menyerang rumah sakit tersebut, aku bersyukur mungkin doa beberapa pasien telah terkabul salah satunya dariku.

 

Femina.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)