Masukan nama pengguna
Aku terdiam menahan air mata yang sudah berebut ingin keluar. Kupegang erat buku tabungan dengan saldo yang memilukan. Ya Allah, bukannya aku tidak mau bersyukur. Aku percaya, selalu ada jalan. Hanya saja, aku sudah lelah.
"Kenapa, Bu?" tanya Sendi, anakku satu-satunya. Tanpa diminta, dia akan selalu memahami kesulitan ibunya ini.
"Enggak apa-apa, kamu sudah makan?"
Aku alihkan pertanyaan Sendi, berharap dia tidak mengorek lebih dalam. Aku tidak akan mampu berbagi pedih dengan anakku. Biarlah dia hanya tahu belajar dan belajar saja.
"Sudah, Bu." Sendi menjawab datar sambil melirik tanganku yang menggenggam buku tabungan.
"Sendi boleh kerja, enggak, Bu?"
"Tidak usah, Nak. Biar ibu yang berusaha.”
Sendi terdiam cukup lama. Hening menyelimuti ruang makan kecil di rumah kontrakan yang sederhana itu. Aku dengan anganku yang melayang pada kejadian demi kejadian yang mengantarkan kami pada titik ini. Sedangkan Sendi, entah apa yang dipikirkan. Dia nampak mengutak-atik HP yang tidak lagi baru.
“Ayah kemana, Bu? Kenapa tidak mencari kita?”
“Entahlah, Nak. Tidak usah memikirkan Ayah. Yang penting sekarang kamu fokus belajar dan menyelesaikan sekolah. Kamu sehat saja, Ibu sudah sangat bersyukur.”
Lagi-lagi hening menyelimuti kami berdua. Hingga malam semakin pekat dan raga tak lagi bisa diajak menikmati gejolak rasa yang berujung perih.
Aku beranjak sambil menepuk bahu anak kesayanganku yang semakin tumbuh tinggi itu.
“Yuk, istirahat,” ajakku pelan.
“Ya, Bu. Sendi nanti menyusul.”
Kutinggalkan Sendi, lalu tubuh yang mulai ringkih ini kurebahkan di sebuah ranjang sempit dengan kasur yang mulai keras.
Cukup lama aku berusaha untuk terlelap, namun tak jua kunjung terpejam. Bayangan kelam itu datang lagi.
“Untuk apa kamu bersikeras tinggal di sini. Kalau kamu tidak terima, bawa saja Sendi kemanapun. Terserah. Aku tidak akan menceraikan Andini.”
Kalimat terakhir Mas Hilman, lelaki yang pernah kupuja selama hampir dua puluh tahun itu, sangat menusuk jantungku.
Seorang perempuan berpenampilan glamor duduk di ruang tamu tidak peduli dengan pertengkaran kami. Dia asyik dengan hape yang terlihat mewah di tangannya.
Aku tersenyum kecut. Dilihat dari sisi manapun, tentu aku tidak akan bisa dibandingkan dengan perempuan itu. Sekuat tenaga pun aku marah, tidak akan mengubah fakta bahwa dia telah mengalahkanku telak.
Bahuku meluruh, ketika kalimat itu kembali ditegaskan laki-laki yang biasa kusebut suami tercinta ini.
“Rahmawati, kalau kau tidak mau hidup berdua dengan Andini, sekarang juga aku jatuhkan talak padamu. Kita bukan lagi suami istri, dan kau bawa Sendi dari sini.”
Mendengar kalimat itu keluar dari bibirnya, aku menyeka air mata yang dari tadi menyeruak dengan tak tahu malu.
Aku tidak berkata apapun. Dengan sisa ketegaran yang ada, aku bangkit menuju kamar, membereskan beberapa barang yang penting. Lantas aku juga menuju kamar Sendi. Buku pelajaran dan beberapa baju serta ijazah Sendi kujejalkan di koper kecil.
Hatiku remuk. Tapi aku masih punya harga diri. Kuseret kedua koper tanpa menoleh pada dua orang yang kini terlihat sangat memuakkan.
Mataku mengerjap mengingat saat terburuk dalam hidupku. Masih terbayang bingungnya wajah Sendi, saat kujemput paksa dari sekolah. Dia harus pindah dari sana saat itu juga. Dan kini, tiga tahun sudah berlalu. Tak pernah sekalipun aku berusaha mencari kabar tentang mereka.
Pikiranku masih melayang-layang, namun mata ini sudah tidak mampu menemaninya. Tanpa sadar, rasa lelah jiwa dan raga membawaku masuk ke alam mimpi.
“Rahma …, tolong aku!” Sayup kudengar suara Mas Hilman.
Aku berusaha membuka mata. Namun hanya gelap yang dapat kulihat.
“Rahma, kamu dimana, kembalilah ….”
Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih nyata. Tiba-tiba ada kabut di sekitarku. Perlahan kabut itu tersibak dan pemandangan mengerikan muncul di sana. Terlihat Mas Hilman sedang berusaha keluar dari lingkaran kabut tebal yang nampak mengikat kuat tubuhnya.
Aku tertegun melihat tubuh itu menggeliat berusaha melepaskan diri sambil memanggil namaku. Ingin aku berlari menolongnya. Hanya saja, sekelebat pikiran berbalut logika melintas begitu saja. Bukankah dia sudah tidak peduli padaku. Kenapa sekarang memanggil dan minta tolong padaku?
Tetapi logika itu dikalahkan rasa kasihan yang muncul begitu saja. Entah mengapa, aku ingin menolong dan berusaha menggapai tangannya. Namun ada dinding tak kasat mata yang menghalangi.
“Maass …,” Aku berteriak keras.
Semakin aku berusaha meraih Mas Hilman, kabut tebal semakin bertambah dan menghalangi kami berdua.
“Mas Hilmaaan …,” Aku menjerit sekeras mungkin, hingga tiba-tiba aku terbangun dengan nafas memburu. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Sendi berlari memasuki kamarku.
“Ibu, kenapa? Mimpi buruk lagi?”
Sendi nampak cemas. Sepertinya dia belum tidur. Sejak sebulan ini, memang aku sering didatangi mimpi buruk. Dan Sendi selalu siap menemaniku saat tiba-tiba terbangun seperti ini. Ah, Sendi anakku.
“Minum dulu, Bu.”
Dia membantu menopang tubuhku yang terasa tak berdaya. Didekatkannya segelas air putih ke bibirku yang terasa kering.
Kuteguk sedikit sumber kehidupan itu. Terasa dingin di tenggorokan hingga menembus hatiku. Rasa gelisah sedikit mereda.
Masih terbayang di pelupuk mata, wajah putus asa Mas Hilman di tengah kabut yang menyelubungi tubuhnya. Apakah ini firasat? Apa yang sebenarnya terjadi?
Sebenarnya aku tidak mau menduga-duga. Sudah kupasrahkan semua hidupku pada Sang Pencipta. Aku berusaha ikhlas dengan jalan takdirku. Namun mimpi itu terus datang mengganggu.
“Bantu ibu ke kamar mandi, Nak.”
Sendi meletakkan gelas di atas nakas, lalu perlahan membimbingku menuju ruang kecil di pojok kamar.
Air wudhu membasahi wajahku melesapkan semua gundah gulana. Sendi tetap berdiri di belakangku. Sepertinya dia takut aku tidak mampu lagi berdiri tegak.
Sendi kembali menuntunku ke dekat pembaringan. Aku gelar sajadah dan memakai mukena. Dengan tubuh agak limbung, aku dirikan sholat dua rakaat dengan sepenuh hati.
Sendi masih duduk di kasur, menunggui aku yanga masih larut dalam munajat. Lama sekali aku terpekur di atas sajadah, hingga antara sadar dan tidak, aku merasakan sebuah belaian lembut yang lama tidak kurasakan.
“Pulang, Ndhuk. Tempatmu bukan disini.”
Sebuah bisikan menyapa runguku.
“Mbok …, benarkah ini Simbok?”
Aku mendongak, melihat kiri dan kanan. Tak ada siapapun. Lalu suara siapa tadi? Jelas sekali aku mendengar suara Simbok mengalun lembut, menyuruhku pulang.
Hah, pulang? Sebuah kata yang hampir tidak kukenal lagi. Sudah selama itu ternyata aku tidak pernah pulang. Sejak Mas Hilman nekat mengajakku pergi, dengan membawa amarah Bapak yang mencapai puncaknya.
Ya, Bapak marah. Bukan karena Mas Hilman adalah orang yang tidak baik untukku. Namun karena sudah terlanjur menyanggupi lamaran lelaki lain.
Simbok hanya bisa diam sambil terisak waktu itu. Aku tidak berani menoleh lagi. Gegas kuikuti langkah Mas Hilman menuju sepeda motor yang terparkir di luar pagar. Kami pergi diiringi rasa kecewa Bapakku.
Entah bagaimana kabar Bapak sekarang. Bahkan untuk menanyakan kabar saja, aku tidak ada keberanian. Apalagi untuk pulang dan mencium tangannya.
Kembali aku tersungkur di atas sajadah. Bahuku berguncang. Isak tangis kembali mengalun. Haruskah sekarang aku pulang?
“Bu, sudah Bu. Jangan menangis lagi. Ayo, Ibu istirahat dulu. Nanti Ibu sakit.” Sendi berusaha menggamit tubuhku yang sudah lunglai di atas sajadah.
Dengan telaten, dibukanya mukena yang membalut tubuh. Kembali tubuhku dibaringkan di atas kasur. Sendi berbaring di sampingku dan memelukku erat.
“Jangan menangis lagi, Bu. Sendi tidak tega.”
“Iya, Nak. Besok kita pulang saja ya.”
“Pulang? Ke rumah Ayah?” Sendi nampak ragu. Dia mendongakkan kepala dan melihat wajahku dengan tatapan penuh tanya.
“Bukan, ke Jogja. Ada Kakek dan Nenek di sana.”
Sendi mengangguk meskipun dia tidak mengerti. Aku tidak pernah sekalipun menceritakan tentang mereka. Namun nampaknya dia tidak ingin bertanya lagi.
Tekadku sudah kuat. Besok aku akan pulang, memeluk tubuh Simbok yang kurindukan, mencium tangan Bapak yang selalu aku sayang.