Cerpen
Disukai
0
Dilihat
9,824
Farah
Drama

Namanya Farah. Wanita anggun yang kusukai sejak pertama kami berkenalan di kantorku setahun lalu. Pagi itu di hari senin pertama di bulan Juli, ia datang dan bergabung dengan perusahaan di tempatku bekerja.

 Tak butuh waktu lama—aku langsung jatuh hati, cinta pada pandangan pertama. Istilah bodoh yang selama ini tak pernah aku yakini ada, kini datang dan menyihir hatiku sendiri hingga berbunga-bunga setiap saat dia menyapaku dengan senyumannya yang membius. 

Percayalah, tidak ada yang bisa menandingi senyuman dan tatapan teduhnya di dunia ini. Aku tahu ini berlebihan, tapi aku kan sedang jatuh cinta. Aku sedang menikmati setiap rasa yang datang dan pergi, memupuk hangat bibit cinta yang sedang tumbuh dengan perlahan dan hati-hati, mengamplifikasi setiap chemistry hingga membuat dadaku sesak tak karuan. Dan jujur saja, hanya dengan mengenalnya saja selama ini, sudah merupakan sebuah perjalanan yang sangat menyenangkan untukku. Meskipun sepertinya Farah hanya menganggapku sebagai rekan kerjanya, aku tak peduli.

Tidak perlu aku jelaskan secara rinci mengapa aku belum juga melangkah maju selama hampir setahun ini, bukan hal yang mudah bagiku untuk mengutarakan perasaanku padanya. Aku belum siap dengan jawaban yang tidak ingin kudengar. Dan aku tahu, perasaan ini hanya mekar dalam hatiku, bahkan sepertinya wanginya pun belum tercium olehnya. Karena itu, hanya dengan menjadi tetangga meja sebelahnya saja sudah lebih dari cukup bagiku untuk saat ini. Bisa berada di dekatnya hampir selama delapan jam setiap saat seringkali menerbangkan anganku, membayangkan betapa menyenangkannya jika aku bisa menghabiskan sisa hidupku berada di sisinya untuk selamanya. 

Selama aku mengenalnya, tidak pernah sekalipun ia bercerita tentang kehidupan percintaan pribadinya. Secara tidak langsung, ini sedikit memberikan harapan untukku, bahwa masih ada kesempatan untukku bisa bersamanya. Tapi pada akhirnya, aku tidak sanggup lagi menahan rasa yang menyesakkan hati ini, begitu besar, membuncah memaksa untuk keluar. Mencari kepastian dari pertanyaan yang selama ini menunggu jawabannya. 

Karena itulah aku di sini, duduk di hadapannya di dalam sebuah coffee shop  kecil favoritnya di sudut kota. Aku akan berterus terang padanya. Meskipun aku sadar resiko terburuk akan hal ini sangatlah tidak sepadan. Aku bisa saja menjadi orang yang dibencinya, dan otomatis hubungan pertemanan kita akan berakhir awkward. Tapi aku bersikeras, aku sudah terlalu jengah dengan perasaanku yang menyiksa ini, aku akan menyatakan perasaanku padanya.

***

“Jadi, hal penting apa yang mau kau sampaikan? Sampai-sampai ngotot banget memintaku datang ke sini?” tanyamu dengan nada sedikit menggoda.

Aku tersenyum tipis tidak menjawab. Bagaimana bisa aku menjawab? melihatmu tersenyum dengan bibir mungilmu yang berwarna merah senada dengan coat yang kau kenakan semakin membuat fungsi otakku berjalan tak normal. Dia sangat cantik seperti biasa, rambut hitamnya dibiarkan tergerai bebas, menyembunyikan lehernya yang sempurna.

Aku menyesap sedikit espresso yang kupesan lima belas menit yang lalu. Berharap kafeinnya bisa segera bereaksi untuk membantuku lebih fokus mengungkapkan apa yang ingin ku sampaikan.

“Kamu cantik sekali,” Kata-kata itu meluncur begitu saja, membuatmu sedikit tercekat. Mungkin kamu tidak menduga pujian itu datang dari aku yang dikenal tak banyak bicara. “Sebenarnya sudah lama aku ingin menyampaikan hal ini, tapi nyaliku ternyata tidak sebesar yang aku kira. Jadi aku selalu menunda hingga akhirnya aku siap.”

“Dan sekarang kamu sudah siap?” matamu menatapku, teduh. Cepat aku mengalihkan pandanganku ke jendela di belakangmu. Aku khawatir tatapanmu menyelinap masuk dan membaca semua isi kepalaku. 

 “Sebelumnya aku ingin kamu tahu, bahwa hal ini mungkin saja membuatmu tidak nyaman. Dan aku meminta maaf jika memang benar begitu,” aku menunggu reaksinya untuk melanjutkan, dia hanya mengangguk kecil.

Semua kata-kata manis yang sudah kulatih tersusun begitu rapi dan terstruktur pergi begitu saja, meninggalkan aku dan otakku yang loading. Reka adegan yang sudah kuulang puluhan kali di depan cermin sedari entah beberapa lama, sama sekali tak menolongku.

“Sepertinya aku jatuh cinta denganmu.”

Kamu terkejut, bisa kupastikan itu dari tanganmu yang berhenti bergerak ketika sedang meminum caffe macchiato dalam tumbler hijaumu. Ada perasaan hangat menguar dari dalam hatiku, menembus dada dan terasa menjalar keluar dari ujung kulitku. Aku harap perasaan ini tak kalah hangatnya dari minumanmu.

Dia tertawa kecil, “Kamu bercanda, kan?” tanyamu sambil menggantungkan senyum yang canggung. 

Aku tahu kamu berharap ini semua hanyalah sebuah lelucon bodoh untuk menggodamu saja, tapi sayangnya, aku serius setengah mati. Perasaan ini benar-benar nyata dan tak tahu malu. “Tidak sama sekali Farah, aku serius.”

Sesekali aku mencoba membaca raut wajahnya. Mencoba memahami ekspresinya atas apa yang baru saja kusampaikan. Tapi percuma, aku yang sudah tidak bisa berpikir netral selalu beranggapan bahwa mungkin saja kamu menyukaiku.

Kamu yang mungkin awalnya mengira aku bercanda kini mulai menganggapku serius. Kamu menarik kursi agar lebih dekat ke meja dan duduk dengan lebih tegak. “Aku tidak tahu harus menjawab apa, tapi kita kan berteman? Sahabat mungkin? Aku tidak pernah menganggap hubungan kita lebih dari itu,”

Aku menghela napas “It’s ok Farah, aku mengerti. Mungkin sekarang masih sulit bagimu untuk menyambut perasaanku. Saat ini aku hanya ingin mengeluarkan beban ini dari hatiku, karena selama ini, hal ini begitu menyiksaku.” tuturku sambil memaksakan senyum.

“Kenapa aku? Kita belum kenal begitu lama. Lagipula—“ kamu menggantungkan segudang pertanyaan di wajahmu yang tak terungkapkan dengan kata-kata. “Aku tidak mengerti ….”

“Kenapa tidak? Aku pun tidak bisa memilih. Tiba-tiba kamu datang dan tanpa aku sadari, kamu sudah tinggal begitu lama di dalam sini.” tuturku sambil menunjuk dadaku.

Seandainya kamu tahu, sakitnya melawan perasaan yang tumbuh tanpa aba ini mungkin kau akan lebih mengerti bahwa aku tidak pernah benar-benar memiliki pilihan selain merelakan diriku menjadi budak dari titah hatiku sendiri. Bagaimana mungkin aku menolak dan membunuh perasaan yang kunikmati setiap detiknya?

Di samping tumbler minumnya di atas meja, tiba-tiba dia meletakkan tangannya di atas punggung tanganku yang sedari tadi diam tak bergerak, lalu mengusapnya lembut. Aku sedikit tercekat, dan kamu hanya memandangku hangat tanpa intimidasi. 

“Terima kasih, ya?”

“Untuk apa?” tanyaku retorikal.

“Untuk semuanya. Untuk sapaanmu di setiap pagi, untuk segelas kopi yang hampir setiap hari kau sediakan di mejaku, untuk semua waktu makan siang yang kau habiskan bersamaku, untuk ucapan selamat malammu dan untuk kejujuranmu saat ini.” Kamu menggenggam tanganku sedikit erat. “Aku tidak menyangka bahwa semua itu kau lakukan dengan sebuah motif di belakangnya. Aku harap kamu mengerti, tapi aku belum siap untuk hubungan semacam ini.”

Selain pandai meluruhkan hatiku, ternyata kamu juga pandai berpura-pura. Semua perhatian yang selama ini aku berikan tidak mungkin kau salah artikan hanya sebagai basa-basi tak ada tujuan. Atau jangan-jangan, kau hanya ingin melihat effortku lebih jauh untuk mengejarmu?

“Tidak ada satupun hal yang tak bermotif, Farah. Aku melakukan semua hal dengan sebuah tujuan, begitupun kamu dan juga setiap individu lainnya. Hanya orang mati yang tidak memiliki motif.” jawabku dengan nada sedikit tegas. “Aku paham jika kamu belum siap dengan hubungan yang aku harapkan. Tapi tolong, jangan naïf. Aku tidak suka melihatmu seperti itu.”

Entah darimana datangnya, untuk pertama kalinya aku berani mengkonfrontasi pendapatnya terang-terangan. Nyaliku yang selama ini bersembunyi terbelenggu perasaan seakan terlepas bebas. Diperbudak hati benar-benar membuat pikiranku berjalan tak normal.

Dahimu berkerut tak terima. “Naif katamu? Maksudmu apa?” ada sedikit amarah yang tergambar pada pertanyaanmu.

“Ya naïf, cara berpikirmu yang mengira bahwa semua hal yang kulakukan tidak memiliki tujuan itu naïf namanya.” Aku menyesap sisa espressoku habis tak bersisa. Kali ini rasanya kalah pahit dengan suasana di meja ini. “Kamu tidak sebodoh itu Farah. Kamu tahu aku menyukaimu entah sejak kapan. Dan kamu selalu menyambut setiap umpan yang aku berikan untukmu. Kalau kamu menyangka bahwa setelah semua hal dan perhatian balik yang kau lakukan untukku tidak akan membuatku jatuh hati padamu, kamu benar-benar ignorant.”

“Umpan? Ignorant?” Dengan cepat kamu melepaskan genggaman tanganmu dari punggung tanganku. “Dengar baik-baik. Semua ‘umpan’ yang kamu berikan padaku, pun setiap perhatian dan hal kecil yang aku berikan untukmu itu tidak pernah kuharapkan untuk berakhir menjadi seperti ini. Semua yang kita lalui itu aku anggap sebagai hubungan teman. Tidak lebih!”

Aku menggelengkan kepalaku perlahan kecewa, entahlah. Bukan, bukan karena dia tidak menyambut perasaanku. Setidaknya hal itu sudah kuduga. Aku begitu kecewa mendengar jawabannya yang menganggap semua perhatianku itu tak memiliki motif. Semua hal yang sudah kuupayakan dengan maksimal untuknya ternyata tak bernilai sama sekali.

“Aku kecewa. Mungkin bukan denganmu saja, tapi dengan diriku sendiri yang terlalu berharap banyak. Ingin dihargai dan dianggap lebih olehmu. Selama ini kukira sudah jelas? bahwa aku selalu mengagumimu.”

“Tolong berhenti di situ,” ujarnya memotong kalimatku. “Pertama, aku tidak bisa bertanggung jawab atas ekspektasimu yang hanya kau dan Tuhan yang tahu sebesar apa padaku. Kedua, tidak pernah ada yang ‘jelas’, oke? Sekali lagi aku sampaikan, aku tidak pernah mengira kalau kamu memiliki perasaan yang lebih. Semua itu aku anggap sebagai hubungan pertemanan yang hangat.”

“Seandainya semuanya lebih jelas seperti saat ini, dan aku datang kembali dengan perasaan yang sama, apakah jawabanmu akan berubah?” getir aku memberanikan diri bertanya hal konyol yang akupun tidak ingin tahu jawabannya.

Kamu menggeleng “Tidak. Maaf.”

Ruangan ini terasa lebih dingin dan senyap, entah karena ACnya  yang terlalu dingin atau entah karena jawabanmu yang terasa begitu sadis. 

“Boleh kutahu alasanmu?”

“Aku tidak bisa, aku bukan seperti itu—maksudku ….” sejenak kamu terlihat berusaha mencari kata yang tepat untuk diucapkan.

“Tidak bisa denganku?” sambungku cepat.

Kamu mengangguk.

“Mungkin Itulah sebabnya mengapa aku tidak peka akan semua perhatianmu padaku, karena selama ini kupikir kau benar-benar teman wanitaku yang hangat tanpa tujuan apapun di belakangnya.” gumamnya pelan.

Sudahlah. Aku selesai. Tembok besar berlabel gender memang tidak pernah bisa kuhancurkan. Sekuat apapun aku berusaha, ia akan tetap menjulang angkuh di depan wajahku. Mencibir prinsipku yang melawan arus.

“Maafkan aku kalau sudah membuatmu tidak nyaman.” aku mengulurkan tanganku untuk menjabat tangannya. “Ayo kita pulang, aku sudah selesai.” Siapa sangka, membenturkan kemauan hatiku yang tak tahu malu ini pada seorang Farah yang polos ternyata bisa sesakit ini.

 Biarlah, ini sudah menjadi resiko yang harus aku hadapi. Aku tahu, setelah ini kamu akan pergi dan benar-benar tak kembali. Kita akan menjadi dua orang asing yang tak lagi saling sapa dengan hangat. Tak akan ada lagi kopi di mejamu esok hari, karena aku tak bisa jika harus berdiri di sana sekali lagi, tersiksa melihat senyummu yang menjerat hati. Tak perlu repot, biarkan aku yang pergi dari tempat kerja itu dan juga darimu. Biarkan aku pergi sambil mengubur hati-hati perasaan ini. Biarkan aku pergi, tenggelam dalam ketidakberdayaan yang bernama patah hati.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)