Cerpen
Disukai
1
Dilihat
10,791
Dusta Ternoda
Romantis

Ini semua gara-gara aku menemukan buku harian masa remaja, di lemari kuno peninggalan ibu, lemari kayu jati yang barangkali lebih tua dari umurku. Gara-gara ini aku harus melewati pergolakan batin dan 'peperangan' panjang yang untungnya berakhir dengan manis dengan kejutan di akhir yang membuka kesadaran akan kasih sayangNya. Barangkali inilah yang aku butuhkan kini, terkejut, ya, terkejut.

Aku menemukannya saat bersih-bersih, buku harian bersampul kulit sintetis yang bertuliskan 'de lux Agenda 1983'. Buku harian milikku empat puluh tahun yang lalu! Yap! Empat puluh tahun yang lalu. Membuatku menghidupkan kembali, bukan hanya cerita, namun juga cinta indah masa lalu.

Aku ingat betul, buku harian itu hadiah dari Bapak saat ulang tahunku yang ke 16. Karena aku berulang tahun di minggu pertama bulan januari, Bapak hampir selalu menghadiahi aku buku harian bila tiba hari ulang tahunku.

Aku mengelap sampulnya yang berdebu, lalu aku buka halaman demi halaman. Aku lewati foto-foto tempat rekreasi di pulau Jawa, peta Indonesia, rambu-rambu lalu lintas, ... alamat hotel, sampai nomor telepon penting di masa itu. Pandanganku langsung tertarik pada tanggal enam, hari ulang tahunku, lalu aku baca tulisan tanganku yang rapi. Di situ aku mengungkapkan kekhawatiranku bila tidak bisa mempertahankan prestasiku yang ranking dua dari tujuh kelas.

Yang menarik dan membuat hatiku bersesir adalah kalimat akhir tulisanku di tanggal 6 Januari 1983:

Sore selesai salat maghrib, Kak Buyu datang tapi tidak masuk. Dia mengembalikan ransel, isinya bolpoin yang ada jamnya dan buku sebagai hadiah ultahku!

Spontan ingatanku akan bolpoin itu membayang, kenangan tentang Kak Buyu terbangkitkan lagi. Kak Buyu memang punya pilihan dan selera yang bagus untuk sebuah hadiah ulang tahun buatku, seorang gadis yang dia sayangi.

Aku teruskan membuka buku harianku. Di tanggal 7 Januari kosong, aku tidak menulis apa pun, tanggal 8 Januari ada Kak Buyu lagi yang pulang sekolah bersamaku. Lalu hari Minggu tanggal 9 Januari:

Sore aku dimarahi Ibu lantaran ketahuan pulang ke Ngantang bersama Kak Buyu. Ibu menasehatiku macam-macam. Puncaknya Ibu bilang," Kalau kamu tetap begitu, lebih baik kau berhenti sekolah dan Ibu kawinin."

Terbayang di mataku punya suami dan anak, oh ... kelabu!

Memang sulit menjadi orang baik, menjadi anak yang baik, sulit sekali. Aku sadar, nasehat Ibu semua benar dan aku ingin kembali ke jalan Allah, aku ingin kembali ke imanku, Al quranku, Islamku, betapa kudusnya.

Aku tersenyum membaca isi pikiranku saat berusia enam belas tahun, merasa berdosa karena berpacaran dan melanggar larangan Ibu, tetapi aku juga ingin selalu bersamanya, bersama Kak Buyu. Sebuah dilema.

Samar-samar aku ingat bagaimana aku berkenalan dengan Kak Buyu. Di awal masuk SMAN Batu, baru kelas satu.

Aku sedang berjalan pulang ketika cowok itu tiba-tiba berjalan di sebelahku, lalu memperkenalkan diri.

"Aku juga dari Ngantang," katanya waktu itu, aku menoleh kaget, tetapi menyambutnya dengan senyuman.

Ya, aku berasal dari Ngantang, kecamatan yang posisinya hampir di perbatasan Malang-Kediri. Setelah Ngantang, ada kecamatan Kasembon, lalu kabupaten Kediri. Di masa itu tidak ada SMA Negri di sana, jadi banyak anak-anak Ngantang bersekolah di Batu, di SMA ini, satu-satunya SMA Negri di Batu.

Anak-anak Ngantang hidup nge-kost di Batu, Kak Buyu sendiri tinggal di rumah kakaknya di Pendem.

Siapa sangka ternyata Kak Buyu juga dari Ngantang, katanya dia melewati masa SMP di Singosari, jadi kami tak pernah bertemu sebelumnya, karena aku SMP di Ngantang. Siapa pula yang menyangka bila Kak Buyu ternyata putra dari sahabat Ibu, walau Ibu tak menyetujui hubungan kami.

Setelah perkenalan itu Kak Buyu sering mengunjungiku ke tempat kost dan kami berdua menjadi akrab sampai menjalin kasih.

Aku kembali pada buku harianku, aku hanya membuka-bukanya saja, membacanya sekilas. Halaman demi halaman selanjutnya banyak diwarnai dengan kisah manis-pahit masa sekolah dan banyak nama Kak Buyu tertulis di sana, pertengkaran kami, gaya pacaran kami yang tanpa sentuhan.

Aku yang semenjak SMP sudah akrab dengan kitab-kitab agama seperti Bulughul Maram, Riadhus Salihin, Al Islam dan lain-lain, punya kecenderungan religius dan ingin menjalani kehidupan di jalan Allah. Karenanya aku tidak mau bersentuhan dengan cowok, juga dengan Kak Buyu, sampai bila dia ingin bersalaman denganku, dia bilang, "Aku yang akan menanggung dosanya." Namun aku kukuh dengan pendapatku. Ada saatnya juga aku terpaksa mau dipegang tanganku, di saat-saat gawat tentu saja, karena di masa SMA aku tukang sakit.

Mengingat Kak Buyu, membuatku terbenam ke masa silam. Membangkitkan rasa cinta yang dulu bersemi antaraku dan dia, kebaikan dan kasih sayangnya membelengguku dalam rasa rindu. Rasanya aku kembali remaja dan melupakan suami terbaik yang Allah karuniakan padaku, yang setia sampai detik ini.

Aku galau.

Ada kangen.

Ada cinta.

Ada harapan.

Ada penyesalan.

Dua tahun menjalani masa remaja bersama dalam ikatan kasih yang kutempuh dalam perasaan bimbang antara menuruti Ibu ataukah menuruti kata hati.

Bila aku menuruti Ibu, aku tak tega pada Kak Buyu yang amat membutuhkan semangat dari aku. Dia hidup di keluarga yang tidak bahagia, kedua orang tuanya hanya memenuhi kebutuhan finansialnya saja, dia lebih banyak diabaikan, kekurangan kasih sayang. Satu-satunya pemberi semangatnya adalah aku.

Aku sering melihatnya bersedih, bahkan saat pengambilan rapot saja orang tuanya tidak datang, sampai pernah aku minta tolong ayahku untuk mewakili orang tuanya, tetapi ayahku tentu saja tidak mau. Ayah ibuku kompak tidak setuju dengan hubungan kami.

Aku tak akan pernah tega membuatnya hancur dengan meninggalkannya, mengingat kondisinya yang broken home. Jadi aku bertahan dengan hubungan kami walau harus menerima kemarahan Ibu setiap pulang ke Ngantang. Meskipun dimarahi, aku tak pernah berbohong pada Ibu soal hubungan kami.

Hatiku selalu galau, di satu sisi berat dengan Kak Buyu, di sisi yang lain, aku takut menjadi anak durhaka dan dibenci Allah bila tidak mematuhi Ibu.

Dua tahun masa pacaran aku jalani dalam kondisi dilema dan selalu dibayang-bayangi dengan perpisahan. Namun itu adalah masa-masa indah dalam hidupku. Kami mengikuti kegiatan ekstra kurikuler bersama, ikut teater, pramuka dan mengaji di sekolah.

Caranya mengungkapkan cinta membuatku tak bisa meloloskan diri darinya. Suatu hari dia bercerita habis naik gunung dan telah menuliskan namaku dan namanya di batu gunung Selokurung, itu gunung di Ngantang.

Kak Buyu yang piawai bermain gitar pernah mencipta sebuah lagu khusus untukku, sayangnya lagu itu tak pernah aku dengar, karena dia malu menyanyikannya katanya. Dia bilang ingin menyanyikan lagu itu berdua, ini pun tak pernah terwujud.

Dia juga pernah berkirim surat dengan darah berceceran di atas kertasnya, lalu dia menulis 'darah ini adalah bukti betapa aku mencintaimu'. Sebuah ungkapan cinta terseram yang pernah aku terima.

Kami pernah berjanji saling cinta selama-lamanya dan dia pernah berjanji akan mempersembahkan seluruh cinta dan kesetiaannya padaku.

Namun rasa galau tak mematuhi Ibu, membuatku sering berdoa kepada Allah memohon agar kami bisa putus dengan baik-baik, putus tanpa membuat dia terluka.

Akhirnya aku pun mendapat ide itu, aku membohonginya dengan sesuatu yang membuat dia ragu apakah aku gadis baik-baik atau bukan. Aku bilang padanya selaput daraku sudah robek, tetapi bukan karena cowok.

Kebohonganku seperti mendapat dukungan dari Allah, beberapa waktu kemudian, aku sakit kulit, ada kadas di leherku, kulit leherku memerah berbentuk oval, bentuknya seperti habis kena kecupan.

Karena itulah dia mungkin kecewa atau tak percaya bila aku gadis baik-baik. Dia tak menemuiku lagi sejak itu.

Saat itu aku baru naik kelas tiga SMA dan dia sudah kuliah. Sejak dia kuliah kami memang tidak bisa bertemu setiap hari, tetapi dia selalu apel minimal seminggu sekali. Namun sejak pengakuan palsuku itu, dia menghilang, tak datang-datang lagi. Akulah yang merindukannya setiap hari.

Namun aku harus memberi kepastian padanya dan pada diriku sendiri soal hubungan kami. Aku hitung bila dia tak menghubungiku lagi dalam satu bulan, maka aku akan mengiriminya surat putus. Dan terjadilah, kami putus. Seperti doaku pada Allah, aku putus tanpa menyakitinya, karena dia sendiri yang mengundurkan diri dan menghilang. Akulah yang merasa amat sangat sakit.

Aku patah hati.

Aku seperti layang-layang putus yang tak tahu ke mana arah angin membawa, aku menangisi perpisahanku dengannya. Aku kecewa mengapa dia mundur hanya soal selaput dara yang kubilang sudah robek, padahal aku juga bilang bila rusaknya bukan karena cowok.

Aku menyesal mengapa berdoa memohon perpisahan kepada Allah? Mengapa aku tidak berdoa agar orang tuaku merestui kami? Penyesalan yang sudah tak ada gunanya lagi.

Setelah itu aku mendengar dia menjalin kasih dengan gadis lain. Lengkap sudah kepedihan hatiku.

Aku benar-benar patah hati dan tak memedulikan cowok-cowok lain yang berusaha mendekatiku. Aku melarikan diri pada pelajaran dan mengejar target masuk perguruan tinggi negri.

Dia menghilang, tetapi tak pernah menghilang dari hatiku. Bahkan sampai detik ini, empat puluh tahun setelah masa-masa itu, hatiku masih tergetar karena mengingatnya.

Dengan lemas, aku mengembalikan buku harian itu ke tempatnya. Aku melanjutkan acara bersih-bersih dibantu Bu Warni, pembantu di rumah kami.

Malamnya aku masih memikirkan buku harian itu. Aku masih penasaran dan ingin tahu apa isi buku harianku di tahun 1982 atau di tahun 1984. Aku ingin membaca bagian yang barangkali telah terlupakan olehku.

Tidurku malam itu tak nyenyak, berkali-kali aku membenamkan wajahku di dada suamiku untuk mendapatkan rasa nyaman dan tenang.

"Mikirin apa sih, Sayang?" kata suamiku sambil membelai rambutku.

"Hmm ... ada deh," jawabku asal saja.

Esoknya ketika suamiku sudah berangkat bekerja, aku mengobrak-abrik lagi isi lemari kuno itu, mencari buku harian tahun 1982, tak ada, bersyukurnya masih menemukan yang tahun 1984.

Dari buku harian itu aku tahu, aku yang indigo masih terhubung dengan Kak Buyu secara batin walaupun kami sudah putus. Dulu semasih berpacaran, aku sering merasakan dadaku sesak bila ada sesuatu terjadi padanya, rasa sesak yang khas, yang menjadi pertanda dia sedang tidak baik-baik saja.

Setelah kami putus, aku masih merasakan hal itu, bahkan lebih tajam. Sedihnya aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya. Sampai suatu kali aku pernah dibayang-bayangi Kak Buyu yang menusukkan pisau ke dadanya sendiri. Bayangan itu tidak hilang-hilang dari pelupuk mataku sampai berhari-hari, yang memaksaku menyuratinya.

Aku ingat betul, dia akhirnya menemuiku dan menceritakan bila firasatku benar, dia melakukan percobaan bunuh diri yang gagal.

Aku penasaran, di tanggal berapa firasatku menjadi kenyataan, aku terus mencarinya di lembar demi lembar buku harianku. Tak kunjung menemukannya.

Aku tak bisa berhenti penasaran karena saat ini pun aku merasakan rasa sesak yang sama, rasa sesak di dada bila dia mengalami hal buruk. Aku gelisah, apakah dia sedang tidak baik-baik saja?

Namun aku tak tahu di mana dia sekarang, apalagi nomor telepon yang bisa dihubungi. Seandainya pun aku tahu, aku juga tak bisa berbuat apa-apa.

Yang bisa kulakukan adalah mencari namanya di media sosial, sampai lama aku mengecek namanya di Facebook dan Instagram, tak menemukannya.

Aku pasrah, lalu aku sadari bila kondisi batinku sudah dalam tahap emergency. Aku tidak bisa terbenam terus menerus di dalam masa lalu dan menyia-nyiakan kehidupan bahagiaku saat ini dengan suami yang baik, anak-anak yang manis, bahkan seorang cucu yang jauh.

Aku merasa menjadi seorang nenek yang mengkhayalkan masa remajaku kembali. Aku nenek-nenek yang tak tahu berterima kasih kepada Allah atas karuniaNya berupa keluarga yang harmonis dan bahagia.

Aku merasa bila aku harus kembali kepada kehidupanku di sini dan saat ini. Beberapa minggu terakhir aku mempelajari psikologi stoik, waktu yang tepat sekali ketika dihadapkan dalam kondisi batin yang kacau seperti yang aku alami saat ini.

Kembali aku membuka catatanku tentang stoik:

Rasa galau dan bermacam gangguan mental lainnya terjadi karena manusia tidak selaras dengan alam. Jaga kondisi batinmu dengan terus terhubung dengan logos.

Aku merenungkan kalimat itu sambil menatap batinku sendiri. Kaum stoik menyebut Tuhan dengan alam, dan dunia ilahiyah dengan logos. Jadi aku sedang tidak selaras dengan alam dan aku sedang tidak terhubung dengan dunia ilahiyah.

Aku terus menatap batinku sendiri, seolah memisahkan diri dari diriku sendiri, menatap diriku dari ketinggian.

Kehendak Allah adalah aku berada di sini, bersama suamiku yang baik dan anak-anakku, tetapi fisikku berada di sini, batinku tidak. Berarti aku harus menghadirkan kembali batinku dan menyesuaikannya dengan kehendak Allah.

Aku menatap jujur egoku sendiri, pikiran-pikiran liarku yang menginginkan pertemuan dengannya. Aku tak berhenti menatap segala gejolak di dalam batinku, hanya diam dan menyaksikan segala yang berkecamuk di kedalaman batinku, tanpa menilai dan menghakimi.

Tiba-tiba saja bermunculan insight dari dalam yang kemudian aku tuliskan di telepon genggamku:

Dalam hidup ini, manusia banyak menginginkan sesuatu, sedangkan keinginan Allah itu lebih baik daripada keinginan manusia itu sendiri. Itu menjadikan manusia banyak disiksa oleh keinginan-keinginannya sendiri, karena keinginan manusia lahir dari ketidaktahuan dan kebodohannya.

Sudah waktunya bagi diriku untuk mengakhiri kebodohan ini. Mengalirlah diriku bersama kehendak dan keinginan Allah. Ini berarti aku memilih bahagia, karena hanya Allah yang tahu manakah yang bisa membahagiakanku, sedangkan diriku tak tahu apakah keinginan itu membuatku bahagia atau malah membuatku menderita.

Setelah menulis itu, perasaanku menjadi lega dan tercerahkan. Aku seperti tersadarkan dari sebuah mimpi indah yang mengerikan.

Akupun mendapatkan kesimpulan hati yang penuh hikmah.

Ternyata kami berdua, aku dan Kak Buyu, saat itu sedang bertumbuh bersama, belajar kehidupan bersama, dia hanya sedang mengajariku bagaimana mengelola kesedihan karena perpisahan dan kepedihan ditinggalkan. Bagaimana melepas ikatan dan menyelesaikan rasa sakit.

Hidup yang membuat kami bertemu untuk saling belajar, ketika episodeku belajar bersamanya telah usai, maka hubungan itu pun berakhir, sesederhana itu.

Apakah kami akan bertemu kembali setelah puluhan tahun tak bertemu? Itu tergantung dari keputusan Sang Maha Hidup, apakah kami perlu bertemu untuk saling belajar lagi? Ataukah kami berdua hanya bertemu di masa lalu dan hanya cukup di masa itu saja. Allahlah yang memberi keputusan, karena Dia Maha Tahu, sedangkan aku tidak tahu apa pun tentang masa depan.

Perasaanku menjadi sangat damai. Dalam kedamaian hati, aku mengembalikan buku harian tahun 1984 ke tempatnya, tetapi pikiranku menggerakkan tangan untuk mencari buku harian tahun 1985, ada rasa ingin mengenang pertemuan indahku dengan suamiku, lelaki super baik yang Allah berikan sebagai pengganti Kak Buyu.

Namun hal mengejutkan aku temui di catatan tahun 1985, melengkapkan pemahamanku, bila ternyata berakhirnya hubunganku dengan Kak Buyu hanyalah cara Allah untuk melindungi aku dari penderitaan yang semakin dalam yang bisa aku alami seumur hidup.

Kubaca berulang-ulang apa yang aku tulis di hari Minggu tanggal 3 November 1985:

Hari yang mengejutkan. Aku sedang di Ngantang, Kak Buyu datang mengantarkan ibunya menemui ibuku, sewaktu aku asyik memotong rambut Ida. Dia menyusul ke samping rumah tempat aku bersama Ida, lalu kami ngobrol di ruang tamu.

Suratku telah sampai ke tangannya, ternyata apa yang aku rasa dan kuutarakan padanya benar. Dia frustasi dan kalut amat sangat sampai menelan antimo 10 butir dan minum valium dua botol sampai nggak bangun selama dua hari.

Dulu aku pernah melihat dalam firasatku bahwa Kak Buyu membawa sebilah pisau dan menghujamkannya ke dadanya sendiri, kini semuanya jadi kenyataan.

Dari ceritanya, aku menangkap Kak Buyu sekarang berpaling dari Allah, kondisi lingkungan membuat dia terombang-ambing, dia juga tega menginjak Al Quran yang mulia. Dan dia bercerita mengancam dosen agamanya dan mengatakan bahwa Tuhan hanya ada di dalam tulisan. Dia bahkan bercerita tega menerjang nasi yang ditanak oleh neneknya. Apa yang sedang terjadi padamu Kak Buyu?

Bersyukurnya aku telah diselamatkan Allah dari orang seperti itu, nasibku bagaimana seandainya menjadi pasangannya? Apakah ini karma yang ditanggungnya akibat mengkhianati aku? Aku tak tahu. Dia pernah begitu dalam melukaiku, dan kini setelah luka itu sembuh, dia datang lagi membawa persoalan padaku. Belum puaskah dia menyakiti hatiku? Belum puaskah?

Aku jadi ingat Setyo, cowok itu tak pernah mengadukan persoalan pelik padaku, dia begitu baik. Tidak seperti Kak Buyu, datang padaku pada saat sedih, tetapi setelah kesedihan itu sirna, dia pun berlalu. Kak Buyu, Kak Buyu, pergilah sejauh-jauhnya.

Aku tersenyum membaca nama suamiku tertulis di sana, seperti namanya, Setyo, yang artinya setia, aku mendapatkan lelaki setia yang memperlakukanku seperti ratu, menyayangi dan mengutamakanku melebihi dirinya sendiri. Barangkali aku tak bisa memahami kebahagiaan mendapatkan suami sebaik itu bila saja aku tidak pernah mendapat pengalaman dikhianati dan dilukai sebelumnya.

Segala sesuatu memang sudah pada porsinya, tidak ada yang salah dari skenario kehidupan yang sedang dijalani oleh manusia, hanya saja manusia perlu menajamkan batinnya untuk memahami.


***




Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)