Cerpen
Disukai
12
Dilihat
6,511
Dunia Leonor
Misteri

Butir demi butir salju turun menyelimuti wajah pucat Leonor. Rasanya dingin dan menenangkan. Namun lama-lama berubah panas dan mulai membakarnya. Hantaran es salju di bawah nol derajat hampir saja membuat tubuhnya mati membeku.

Tetapi Leonor enggan beranjak. Dirinya terus berbaring bagai gadis malang di taman yang sepi pengunjung. Tentu saja, siapa juga yang akan datang larut malam begini? Itulah mengapa Leonor suka begadang dan menghabiskan waktu ke sini. Kota kecil selalu punya taman yang indah. Lingkungannya juga terlewat sunyi.

Malam ini Leonor berbaring lemas di atas tanah bersalju. Terkadang ia melantur seorang diri. Ada kata-kata yang terus terucap dalam benaknya seperti mantra. Sampai tak sadar ia telah menggumamkannya.

“If I don’t belong here…”

“Then where do I belong?”

Entah mengapa ia mempertanyakan dirinya sendiri mengenai hal yang absurd. Ketika segalanya baik-baik saja, apakah patut ia meragukan takdir hidupnya?

Namun dalam lubuk hatinya, ada rasa yang mengganjal.

Bagai ada sesuatu yang hilang…

Ada rasa yang mengganggu ketenangan batinnya. Lalu ia teringat memori-memori yang terpendam. Semakin hari, semakin terasa nyata.

Suatu kisah dari masa lampau…

Ia melihat dirinya sendiri di suatu tempat pengasingan. Sosoknya duduk termenung sambil meratapi piring perak dan segala perkakas di atas meja makan.

Pada memori itu, dirinya menggenakan gaun merah marun. Balutan sarung tangan panjang berwarna putihnya dilengkapi gelang mutiara. Satu set dengan antingnya. Gaya berpakaian yang khas hanya dikenakan kaum aristokrat abad sembilan belasan.

Namun Leonor berasal dari dunia yang jauh lebih modern. Sangat kontras dengan segala yang disaksikannya itu. Lantas memori siapa yang tengah diingat olehnya?

Dari perbedaan era, hanya ada satu hal yang terhubung kuat dengannya. Tiap kali mengingat memori itu; Leonor dapat merasakan kesepian yang sama dengan yang ia jalani saat ini.

Tubuhnya kini mulai menggigil. Namun ia merasa aman saja. Itu karena ia memakai satu set pakaian musim dingin berupa jaket tebal, syal, dan beanie.

Jika ia memaksakan diri untuk bertahan sampai dini hari, mungkin ia akan benar-benar tewas di tempat. Ia tahu sampai mana batas dirinya. Sudah cukup berlarut-larut bagai orang bodoh. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke rumah.

***

Di dunia yang modern, Leonor bekerja sebagai karyawan pada sebuah kedai roti. Ia hidup sebagai perempuan biasa. Rutinitasnya seperti orang kebanyakan. Saat pagi harus bekerja. Menjelang malam ia pulang untuk beristirahat. Sehari-harinya bergulir begitu saja terus.

It’s such a mundane life…

Meski kehidupannya biasa-biasa saja, paras Leonor termasuk rupawan. Banyak yang memujinya, bahkan mendukungnya untuk jadi model kecantikan.

Leonor memiliki kulit putih pucat. Ada freckles merona yang menghiasi tipis pada pipi lembutnya. Ia berambut pendek dengan poni miring. Warnanya pirang kecokelatan. Tubuhnya langsing.

Mungkin ia bisa menghasilkan lebih banyak uang dan menjadi terkenal lewat jalur dunia hiburan. Namun bagi Leonor, industri seperti itu terlalu hiruk pikuk baginya. Ia membutuhkan ketenangan. Ia juga bukan orang yang mudah bergaul. Mungkin akan sulit baginya beradaptasi di ruang lingkup seperti itu. Ia sosok yang pemalu dan tak banyak bicara.

Hanya saat akhir pekan Leonor punya waktu senggang untuk dirinya sendiri. Akhir-akhir ini ia mendaftar kelas melukis. Berkat saran dari rekan kerjanya di kedai roti, kini ia punya hobi baru. Tak ada salahnya untuk mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukannya.

Melukis jadi jalan pelariannya dari kehidupan nyata. Setidaknya ia bisa mengekspresikan penggalan rasa yang hilang dalam jiwanya.

“Leonor, kau selalu melukis sesuatu yang abstrak. Namun sepertinya kau menggambar hal yang berbeda kali ini—” ujar seorang pembimbing di kelas melukis.

Leonor langsung mengerjap kaget dengan tegurannya.

Sejenak, wanita paruh baya itu mengintip kanvas milik Leonor. Sambil tersenyum, ia bertanya, “Katakanlah, siapa pria itu?”

“Pria?” gumam Leonor seraya mengernyit.

Wanita itu terkekeh. Lalu lanjut berkata, “Ya, meski dia hanya sesosok bayangan, aku bisa menebak bahwa dia adalah seorang pria. Apakah dia pangeranmu yang menawan?”

“Ah… itu… dia…” suara Leonor terbata-bata. Ia sendiri tak bisa mengartikan abstrak lukisannya. Sepanjang kelas melukis, pikirannya melayang-layang. Tangannya bagai bergerak sendiri melukis sesuatu yang selama ini terpendam dalam memorinya.

“Pasti dia kekasihmu, ya?” ujar wanita pembimbing itu.

“Ah, kau salah…” sahut Leonor. “Ini hanya…”

Wanita itu terus memotong ucapannya, “Kau hanya melukis siluetnya saja, itu memang memberi kesan misterius. Jika boleh aku sarankan, cobalah melukis parasnya dengan lebih jelas.”

Leonor menghela nafas sebelum balas berucap, “Aku belum bisa melukis dengan bagus. Nanti hasilnya tak memuaskan…”

Wanita itu tertawa kecil dan berkata, “Kalau begini, dia terlihat seperti kekasih bayangan.”

Setelah wanita itu pergi, Leonor kembali punya ruang privasi bagi dirinya sendiri. Selama beberapa saat, Leonor terdiam memandangi hasil lukisannya yang baru setengah jadi. Ia sendiri heran mengapa tangannya melukis sesosok pria misterius. Apakah tebakan pembimbingnya tadi benar?

Memori-memori aneh yang selama ini menghantuinya berputar bak kaset lawas dalam benaknya. Ia teringat ada penglihatan yang lain. Tidak hanya sosok putri bangsawan yang kesepian di rumah pengasingan. Tapi ada sosok yang lain menemaninya di rumah itu. Dia sosok seorang pria bertubuh jangkung dan agak kurus. Namun Leonor belum bisa melihat sosoknya dengan jelas. Pria itu seperti bayang-bayang yang berseliweran di antara ruang kosong. Entah siapa sosoknya, namun pria itu ikut tinggal di rumah tua tersebut. Reflek saja ada firasat yang memberitahunya;

Kekasih bayangan…

Lamunannya membuat Leonor jadi pening sendiri. Mungkin sudah saatnya ia mengakhiri acara kelas melukis pada siang itu. Setelah pamit, ia langsung pulang untuk beristirahat penuh di rumah.

***

“Leonor! Apa kau sudah dengar?!” seru rekan kerjanya yang bernama Mina.

Leonor terkejut dengan suaranya yang melengking. Saat itu ia sedang menata roti-roti di rak. Lalu ia balas bertanya, “Ada apa?”

Mina tersenyum lebar sambil mengatakannya, “Ibu Boss akan mengajak kita jalan-jalan nanti! Oh, aku sangat bersemangat!”

“Aku baru dengar darimu,” ujar Leonor. “Ke mana Mrs. Renner akan mengajak kita pergi?”

Mina memberitahunya, “Kau tak akan percaya! Dia mau menghabiskan uang untuk mengajak kita berkunjung ke Austria!”

Leonor mengernyit tak percaya. “Lumayan jauh. Harga tiket juga mahal. Apa kau yakin dengan berita yang kau dengar?”

Mina berbicara dengan nada yang melengking lagi, “Aku tahu, dari Canada ke Austria akan memakan perjalanan udara yang tak sebentar! Tapi percayalah! Aku mendengar berita ini langsung darinya kemarin!”

“Hanya ada kita berdua yang bekerja sebagai karyawan di kedai kecil ini. Kita tahu penghasilan bulanan di sini belum tentu bisa membayar biaya perjalanan pulang pergi dan lain sebagainya ke sana,” ujar Leonor, mencoba berpikir realistis. “Apa kau pikir Mrs. Renner mau menghambur-hamburkan uang yang banyak untuk kita?”

“Hei, jangan mematahkan semangatku,” gerutu Mina, menatapnya cemberut. “Lagi pula, Mrs. Renner hidup seorang diri setelah suaminya meninggal. Dia tidak punya siapa-siapa selain kita di sini.”

“Aku tahu. Cobalah berpikir realistis,” ucap Leonor seraya kembali menata roti.

“Tapi aku dengar, dia baru saja menang lottery,” gumam Mina. “Mungkin karena itu…”

Leonor meliriknya penasaran. “Oh, benarkah?”

Lalu lonceng pintu berbunyi. Boss mereka baru saja melangkah masuk.

“Halo, gadis-gadis cantikku. Aku punya pengumuman untuk dikatakan—” ujar Mrs. Renner.

Leonor langsung meletakkan nampan ke meja kasir. Lalu ia menghampiri wanita paruh baya itu bersama Mina.

“Aku akan mengajak kalian liburan ke Austria!” seru Mrs. Renner, wajahnya terlihat bahagia. “Aku baru saja memenangkan undian tiket pesawat dari festival di kota sebelah!”

Leonor tertegun. “Benar, kah?”

“Itu artinya sebuah kebebasan bagi kita!” tambah Mrs. Renner. “Ini kesempatan bagus untuk menghilangkan rasa penat setelah bekerja keras!”

Mina menyenggol sikut Leonor sambil terkekeh. “Nah, benar, kan?”

Lalu Mrs. Renner memerintah, “Siapkan koper kalian! Karena kita akan berangkat besok pagi!”

Leonor mengerjap. “Secepat itu?”

“Hei, tiket ini tak bisa dikembalikan. Jadi kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin,” tutur Mrs. Renner.

“Leonor, cobalah untuk bersyukur. Kau harus menerima hal baik yang datang dalam kehidupan. Kalau tidak, kau akan benar-benar melewatkannya seumur hidup!” tegur Mina.

Awalnya Leonor menghela nafas berat. Namun ketika melihat atasan dan rekan kerjanya sedang bergembira, dirinya pun ikut terbawa suasana bersama mereka.

Jarang-jarang ada kesempatan seperti ini datang. Akhirnya Leonor bergumam pada dirinya sendiri, “Benar juga ucapan Mina. Aku harus bersyukur.”

Setelah ia setuju, perjalanan ke luar negeri pun akan segera berlangsung.

***

Leonor dan Mina sudah bersiap membawa koper mereka ke bandara. Setelah menunggu Mrs. Renner datang, hari pertama keberangkatan mereka dimulai.

Nyonya si pemilik kedai roti kecil sedang bermurah hati pada kedua karyawannya. Ia membagikan uang saku jajan untuk masing-masing. Mereka juga tak perlu repot memikirkan biaya pulang pergi. Itu karena si Nyonya sudah menjamin bahwa semua tiketnya ditanggung dari hasil menang lottery. Leonor sempat mendengar bahwa Mrs. Renner memenangkan semacam kompetisi lempar gelang di suatu festival. Ia turut senang karena kemenangan si Nyonya membawa berkah untuknya dan juga Mina.

Sekitar delapan jam lebih perjalanan dengan pesawat terbang, mereka akhirnya sampai di Austria. Lokasi pertama yang mereka singgahi adalah Kota Vienna.

The City of Dreams, begitulah orang-orang menyebutnya. Kota yang penuh keindahan dan nuansa khayalannya sendiri. Kota impian bagi sebagian orang untuk singgah atau bahkan menetap.

Di sepanjang perjalanan dengan bus, mereka disuguhi pemandangan kota yang tentram. Bangunan-bangunan kuno yang tetap berdiri kokoh. Taman bunga dan pepohonan bak surgawi. Nuansa indah yang membuat Leonor tertegun. Ia begitu menikmati segalanya.

Lalu Mrs. Renner mengajak mereka untuk berhenti di suatu restoran pinggir kota. Mereka menurut saja apa pun yang dibelikannya. Pagi itu mereka ditraktir makan sup krim dan roti. Sebagai pembukanya, Mrs. Renner memesan kopi.

Leonor meneguk beberapa kali kopinya. Rasanya jauh lebih enak dari pada kopi murahan yang ia sering beli di dekat rumahnya.

Lalu ia berhenti sejenak. Ia merasakan ada yang tak nyaman dengan dadanya. Mengapa jantungnya terus berdetak kencang?

Mina menyadari ekspresinya yang merengut. Mereka sempat berbasa-basi. Sampai akhirnya Mina menanyakan, “Apa kau kebanyakan minum kopi, Leonor?”

“Ah, tidak. Hanya secangkir,” jawab Leonor. “Harusnya aku baik-baik saja.”

“Tapi kau kan minum setiap hari. Bahkan kau sering minum sampai empat kali sehari,” gerutu Mina, menatapnya bak ibu-ibu yang sedang mengasuh anaknya. “Sudah aku bilang! Bisa saja efek kafein berdampak buruk bagi kesehatanmu! Mungkin baru sekarang kau merasakannya—”

“Hei, berhenti berbicara,” gertak Mrs. Renner. “Bagaimana aku bisa menikmati sarapan pagiku jika kau ribut terus?”

“Ups, maaf, Mrs. Renner.” Mina langsung menutup bibir mungilnya dengan sebelah tangan.

Kini giliran Mrs. Renner yang melirik Leonor. “Apa kau baik-baik saja?”

“Ya, Mrs. Renner…” ia menatapnya gugup seraya menjawab, “Aku hanya merasa agak berdebar setelah minum kopi.”

“Kalau begitu minum yang lain saja. Jangan memaksakan diri,” nasihat Mrs. Renner.

Leonor hanya mengangguk saja. Namun ia tak menggubris nasihatnya. Ia tak mau sampai merepotkan tagihan Mrs. Renner untuk segelas minuman.

Usai sarapan, mereka melanjutkan perjalanan lagi. Mrs. Renner sudah menyewa sebuah tempat penginapan. Lokasinya dekat dengan area perbukitan dan hutan.

“Aku pikir kita akan bersenang-senang di kota. Ternyata kita malah terjebak di pedesaan!” gerutu Mina seraya ia menurunkan kopernya dari bus.

Mrs. Renner langsung meliriknya kesal. Lalu ia balas berseru, “Hei, berterima kasihlah aku masih mau membayarkan tempat penginapan untukmu!”

Leonor hanya samar-sama mendengar perseteruan mereka. Ia masih kerepotan membantu menurunkan koper besar milik Mrs. Renner.

Setelah Leonor berhasil menginjak tanah, barulah Mrs. Renner mengajaknya berbicara. “Leonor, bagaimana menurutmu pemandangan di sini? Bagus, kan?”

“Ya, bagus,” ujarnya sambil melihat-lihat taman luas di sekelilingnya. “Tapi di mana tempat penginapannya? Aku tidak melihat ada bangunan di sekitar sini.”

Mrs. Renner menggaruk-garuk kepalanya, mendadak terlihat gugup. “Ah, itu… kita harus berjalan kaki dari sini. Tempatnya agak masuk ke pelosok. Kalian tak masalah, kan?”

Leonor dan Mina saling bertukar pandangan. Lalu mereka hanya tersenyum datar saja. Lagi pula mereka tak punya hak untuk menuntut karena semua serba dibayarkan.

Mrs. Renner berseru, membuyarkan lamunan mereka, “Yang terpenting kita bisa menikmati udara segar di sini! Jadi berbahagialah kalian!”

Lalu mereka mengikuti langkah si Nyonya. Mereka menyusuri jalanan setapak di taman rerumputan. Sampai akhirnya terlihat sebuah bangunan tua di penghujung jalan.

“Kita sudah sampai,” ujar Mrs. Renner.

 Mina berseru di sebelahnya, “Wah, keren sekali tampak luarnya! Aku tak sabar ingin melihat sisi interiornya—”

Mrs. Renner menyahut, “Hah! Katamu kau merasa terjebak di pedesaan. Sekarang lihat wajah ceriamu—”

Hanya Leonor yang tak bersuara. Jantungnya sedari tadi sudah berdebar kencang. Kini semakin terasa parah dan menyesakkan dirinya. Ketika melihat rumah tua di hadapannya, rasanya seperti melihat sesuatu yang tak asing baginya.

“Hei, Leonor, apa kau baik-baik saja?” tanya Mrs. Renner seraya menyentuh pundaknya. “Jangan sampai aku harus menggotongmu karena pingsan. Kau pucat sekali.”

Leonor segera menggeleng. “Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir.”

“Kau yakin?” tanya Mrs. Renner, mengernyit.

Leonor mengangguk.

“Kalau begitu cepat ikut aku masuk,” perintah Mrs. Renner.

Mina segera mengikuti langkahnya. Hanya Leonor yang masih terdiam kaku memandangi arsitektural rumah kuno itu.

“Rumah ini…” gumam Leonor. “Aku pernah melihatnya…”

Sekelebatan memori muncul dalam benaknya. Ia mengingat-ingat lagi sosok gadis bangsawan yang kesepian itu. Gadis berparas mirip dirinya itu tinggal di rumah yang mirip seperti ini.

Akhirnya Mrs. Renner kembali membuyarkan lamunannya, “Leonor! Cepat ke mari!”

Sebelum Mrs. Renner berteriak-teriak padanya, Leonor bergegas mengikutinya.

Ketika mereka masuk, Mina langsung berdecak kagum. “Wow, lihatlah rumah ini…”

“Ini rumah antik. Aku hanya mampu menyewa tempat ini karena harganya paling murah,” ujar Mrs. Renner seraya meletakkan kopernya di ruang tamu.

“Rumah ini seperti tempat tinggal para bangsawan di cerita-cerita dongeng!” seru Mina.

“Oh, memang benar. Dulunya rumah ini ditinggali keluarga aristokrat,” timpal Mrs. Renner. “Aku dengar sedikit sejarahnya; para aristokrat itu mengalami kebangkrutan. Lalu mereka mengasingkan diri di rumah ini. Lokasinya juga terpencil dari pusat keramaian—”

Saat mereka asyik mengobrol, Leonor pergi melihat-lihat sendiri. Interior rumah ini seperti kebanyakan rumah kuno di Eropa. Dinding-dindingnya dibalut wallpaper antik dan dihiasi lukisan. Sebagian lantainya ditutupi dengan karpet. Ada lemari yang isinya buku dan pajangan.

Sepertinya rumah ini dibersihkan secara berkala oleh pemiliknya. Tidak banyak debu yang ia jumpai saat berkeliling.

Rumah bangsawan selalu khas dengan pajangan pigura emas. Entah diisi lukisan atau foto keluarga. Namun di sini, hanya ada beberapa pigura emas berisi lukisan alam. Ia belum menemukan ada foto keluarga aristokrat yang disebutkan Mrs. Renner tadi. Atau mungkin mereka bukan tokoh bangsawan yang terkenal?

Tak semua keluarga darah biru menikmati sorotan panggung. Kebanyakan dari mereka hidup dalam kesunyian. Mereka tinggal dibalik tembok yang megah dan kokoh. Namun di situlah kemisteriusannya, membuat Leonor jadi tertarik ingin mengetahuinya.

Leonor berhenti di ruang keluarga. Di situ ada sofa dan tempat perapian. Ruangannya tidak terlalu besar dibandingkan ruang lainnya. Sejenak ia ingin duduk bersantai, menikmati sofa empuk dan suasana hening. Lalu ia beranjak berdiri, kembali melihat-lihat ruangan yang lain.

Saat melewati koridor yang diisi dengan pigura-pigura cermin, ia merasakan sayup-sayup angin. Dari mana asal desir angin itu? Ia melirik ke jendela di sekitarnya, memeriksa apakah ada yang terbuka?

“Aneh…” gumamnya. Semua jendela tertutup rapat.

Leonor kembali melangkah. Tiba-tiba sekelebatan bayangan memantul pada cermin-cermin itu. Seketika Leonor berdiri mematung. Apakah ia baru saja melihat hantu? Namun ia menyangkalnya; mana mungkin ada hantu muncul saat siang hari?

Leonor menarik nafas dalam. Ia berhenti untuk bercermin. Wajahnya memang terlihat pucat, membuat blush on pada pipinya terlihat merona. Sejenak ia merapikan rambut pirang cokelatnya.

Saat itulah, ia terperanjat. Kali ini ia melihat siluet seseorang yang berdiri persis di belakangnya. Segera ia menengok. Namun sosok itu lenyap. Bulu kuduknya langsung merinding.

“Leonor, kau di sini rupanya!” seru Mina.

Leonor tersentak kaget. Tubuhnya masih agak bergemetar karena kejadian barusan.

Mina mengernyit saat menyadari ekspresi anehnya. “Kau kenapa? Seolah habis melihat hantu…”

Leonor bergegas jalan melewatinya sambil berkata, “Tidak, aku hanya berkeliling tadi.”

“Apa kau menemukan sesuatu yang menarik?” tanya Mina, segera mengikuti langkahnya.

“Seperti yang dikatakan Mrs. Renner, ini memang rumah keluarga aristokrat. Semua barang-barangnya terlihat mewah,” ujar Leonor.

Sambil kembali berjalan untuk menemui atasan mereka, Mina memberitahunya, “Aku dengar dari Mrs. Renner; pemilik awal rumah ini bernama Tuan Kaisser. Dia seorang aristokrat kaya raya dulunya. Tapi sayangnya, kisah cintanya tak sehebat reputasinya—”

“Oh, ya?” gumam Leonor.

“Ya, karena kekasihnya itu mati menjatuhkan diri ke tebing,” timpal Mina.

Seketika itu Leonor berhenti. Lalu menatapnya terkejut.

“Itu menyedihkan,” ucap Leonor.

Mina terkekeh dan berkata, “Terdengar menyeramkan bagiku. Bisa jadi ini rumah berhantu. Karena kekasihnya itu berpolemik di rumah ini. Mungkinkah karena itu rumah ini disewa murah?”

Leonor balas tertawa. “Kau suka sekali dengan teori konspirasi, ya?”

Mina mengejarnya saat Leonor melangkah lebih cepat. “Hei, bisa jadi kan—”

Leonor mendadak berhenti melangkah. Ada yang teringat olehnya. “Tapi tunggu dulu. Bukannya Mrs. Renner tadi mengatakan kalau aristokrat itu bangkrut? Makanya dia pindah ke sini bersama keluarganya?”

“Oh, ya… saat kau pergi tadi, Mrs. Renner memberitahuku; Tuan Kaisser pernah jadi pebisnis ulung pada masanya. Namun ia mengalami kehancuran. Ia semakin terpuruk setelah kekasihnya bunuh diri tanpa alasan yang jelas,” ujar Mina.

“Itu sangat menyedihkan. Tragis,” balas Leonor.

“Ya, bisa dibilang begitu,” timpal Mina.

Mereka kembali menemui Mrs. Renner di ruang tamu.

Walau saat ini menjelang musim semi, udaranya masih sangat dingin di Eropa. Mina dan Leonor bergegas membantu Mrs. Renner menyalakan perapian. Sepanjang siang mereka hanya menghabiskan waktu di ruang santai. Rencananya mereka akan menginap beberapa hari.

Setelah menempati kamar masing-masing, mereka bersiap untuk bermalam di rumah itu.

***

Malam yang sunyi dan dingin. Leonor kesulitan tertidur seperti biasanya. Jika pun berhasil memejamkan mata, bayang-bayang mimpi akan menghantuinya.

Setiap beberapa malam, ia pasti akan mengalami mimpi aneh. Berbagai memori lampau berputar. Narasi yang selalu berulang. Mengisahkan keberadaan seorang gadis dan kekasih bayangannya.

“Leonor…”

Sontak Leonor terbangun akibat rasa dingin yang menusuk sekujur tubuhnya.

“Akhirnya…”

Suara maskulin yang terdengar parau. Suara yang tadi membisikkan namanya.

“Kau datang…”

Hanya samar saja ia mendengar bagai ada yang berbicara. Apakah ia berhalusinasi?

Sejenak ia duduk terdiam di atas kasur. Sesekali ia menengok ke luar jendela. Langit malam saat itu dihiasi bulan yang bersinar sangat indah. Sebenarnya pemandangan di sini tak jauh beda dari pemandangan di kamarnya sendiri. Bedanya lebih dekat dengan suasana alam pepohonan dan bukit.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintunya. Suara ketukan itu pelan. Hanya beberapa kali.

Leonor beranjak untuk membukakan pintu. Ia melirik ke kanan dan ke kiri di jalanan koridor. Namun tidak ada siapa-siapa yang terlihat.

“Mrs. Renner? Mina?” sapanya.

Suasana yang sangat sunyi membuatnya bergidik ngeri. Apakah ia sedang diganggu oleh hantu?

Secepatnya ia menutup pintu dan menguncinya. Ketika hendak kembali ke kasur, ia melihat bayangan hitam memantul di cermin kamar. Sontak ia terkesiap takut.

“Siapa di situ?!” serunya.

“Leonor…”

Suara yang sama. Suara pria yang parau itu terdengar lagi.

“Nona Leonor…”

Leonor menahan nafas. Tubuhnya sempat mematung. Lalu ia melirik ke sekelilingnya.

“Tolong jangan ganggu aku!” seru Leonor, mencoba memberanikan diri.

Leonor segera membenamkan dirinya ke atas kasur. Ia bersembunyi di balik selimut tebal. Ia tak mau mempedulikan suara apa pun yang menganggunya. Sampai akhirnya, ia bisa kembali tertidur.

***

Malam berikutnya, Leonor kembali beristirahat di kamarnya. Setelah menghabiskan seharian penuh dengan Mrs. Renner dan Mina, ia ingin memejamkan mata. Mrs. Renner tadi mengajak pergi berkunjung ke kota kecil di Austria. Lokasinya hanya beberapa menit dengan naik bus. Selain makan siang bersama, Leonor dan Mina dibelikan beberapa souvenir.

“Ah, akhirnya aku bisa merasakan kasur empuk ini lagi!” ucap Leonor sambil berbaring.

Tiba-tiba hembusan angin dingin mencium wajahnya. Seketika ia menggertakkan giginya.

“Kekasihku…”

“Kau kembali.”

Leonor terperanjat. Ia langsung duduk dan melirik ke sekelilingnya.

“Nona Leonor…”

Suara pria itu lagi.

“Mungkin aku terlalu sering melamun. Akhirnya jadi berhalusinasi begini,” gerutu Leonor.

Ia mengurungkan niatnya untuk tidur. Lalu ia pergi ke kamar mandi. Mungkin dengan mencuci muka akan menyegarkan pikirannya. Setelah selesai, ia duduk di meja dandan untuk memakai krim malam. Meja itu dilengkapi beberapa rak lemari. Saat ia memeriksanya, hanya ada botol-botol kosmetik kosong dan beberapa printilan akesesoris rambut. Lalu ia meminjam sisir antik di situ.

Saat mulai menyisir rambutnya, tiba-tiba ia merasakan hembusan pelan angin. Rasanya bagai ada yang membelai pelipisnya. Sontak ia menengok ke sekelilingnya lagi. Semenjak perubahan suhu drastis sering menyentuh kulitnya, ia jadi suka paranoid.

“Nona Leonorku yang cantik… ingatkah kau padaku?”

Suara pria misterius itu mengganggunya lagi. Saat kembali melihat pantulannya di cermin, seketika itu matanya terbuka lebar. Ada sosok pria jangkung yang tengah membungkuk ke arahnya.

Ketika mendongak, ia merasakan sosok itu menabrak wajahnya. Sesuatu melumat bibirnya dengan kuat. Sensasi yang sangat dingin. Seperti es salju yang lama-lama membakar.

Saking ketakutannya, Leonor segera menjatuhkan dirinya dari bangku meja dandan itu. Saat mendongak lagi, sosok itu sudah lenyap dari pandangannya. Apakah seorang hantu baru saja menyerangnya dengan ciuman yang kasar?

“Gi… gila…” gumam Leonor. “A… aku… pasti… sudah gila.”

Saat ketukan di pintu terdengar, Leonor kembali terperanjat.

Ternyata hanya Mina. Ia mengernyit saat melihat Leonor tersungkur di lantai.

“Hei, apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?” tanya Mina seraya membantunya berdiri.

“A… aku… barusan ada… yang menyerangku,” tutur Leonor, terbata-bata.

“Huh? Siapa maksudmu?” tanya Mina sambil memeriksa. “Aku tidak lihat siapa-siapa di sini.”

“Ada hantu,” ucap Leonor sambil menenangkan ritme nafasnya. “Hantu itu menyerangku.”

“Yang benar saja,” gumam Mina, terkekeh geli. “Kau pasti kepikiran cerita horror tentang rumah ini, ya?”

“Dia menabrakkan wajahnya dan mencuri ciuman pertamaku!” gerutu Leonor. “Ada hantu pria di kamar ini!”

“Huh? Apa aku tak salah dengar?” ujar Mina, lalu tertawa terbahak-bahak.

“Aku sedang tidak bercanda,” balas Leonor, menatapnya kesal.

“Seperti apa rupanya? Apakah dia tampan?” tanya Mina, penasaran.

Leonor mengingat-ingat sebentar. “Ugh, dia…”

Ketika benaknya mengingat, baru ia sadari, hantu itu berpakaian kuno seperti orang dari abad sembilan belasan. Pakaian khas pria bangsawan. Tubuhnya jangkung dan agak kurus.

“Sosoknya seperti pangeran…” gumam Leonor. “Entahlah.”

“Jadi seorang hantu pangeran ingin berpacaran denganmu di sini? Kau pasti sudah lama menjomblo. Carilah pacar saat pulang nanti!” balas Mina, mengejeknya.

Leonor melengos kesal seraya menyilangkan kedua lengannya.

Mina tetap bersikap cuek. “Ah, terserah kau saja. Aku mau pinjam krim malam, boleh, kan? Aku lupa bawa—”

Setelah urusan Mina selesai, Leonor menutup pintu kamarnya. Lalu ia kembali berbaring di atas kasur. Ia harap kali ini dirinya tak akan diganggu lagi.

Lambat laun, matanya terasa berat. Saat kesadarannya hampir hilang, rasa dingin memeluk punggungnya. Bisikan lembut membuatnya terlelap, “Tidurlah yang tenang, sayangku… dongeng indah ini hanya untukmu…”

***

Memori yang terpendam jauh di dasar jiwanya itu menyimpan kisah yang misterius. Leonor mulai mendapat penglihatan tersebut sejak remaja. Setelah kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan maut di kapal, ia hidup sebatang kara. Beban pikirannya semakin menumpuk dengan adanya memori seseorang yang tak pernah dijalaninya itu.

Tak hanya wajah mereka yang serupa. Nama mereka juga sama.

Leonor.

Hanya saja, sosok dalam memori itu terkesan lebih menawan dibanding dirinya. Orang-orang di sekitar gadis itu selalu menyapanya dengan penuh kesantunan yang tak biasa.

Nona Leonor.

Karena gadis itu seorang putri bangsawan. Kekasihnya juga orang terpandang. Seorang tuan muda berdarah biru seperti dirinya juga.

Sampai terkadang, Leonor tak dapat membedakan realitasnya dengan kehidupan gadis itu. Bahkan ketika hanyut dalam kisahnya, ia mengira dirinya adalah seorang Nona Leonor yang terhormat.

“Sayangku, aku mencintaimu…” bisik seorang pria yang berdiri di hadapannya. “Aku tak akan pernah meninggalkanmu. Aku harap kau juga punya perasaan yang sama denganku.”

“Kaisser, berhentilah berbicara. Aku sudah muak dengan omongan seperti itu,” sahut Leonor sambil memijat dahinya sendiri.

“Katakanlah jika kau merasa sakit. Aku akan memanggilkan dokter untukmu,” ucap Kaisser.

“Dengan upah apa kau bisa membayar dokter itu? Kau sudah bangkrut,” balas Leonor, menatapnya kesal. “Kita juga tinggal di tempat pengasingan. Aku benci tinggal di sini.”

Kaisser meraih tangannya, menghentikannya dari memijat kepala. Sambil membelainya, ia berkata, “Sayang, bertahanlah. Aku akan berusaha menemukan jalan keluar dari masalah ini.”

Leonor menepis belaiannya. “Ini bukan soal keuangan.”

Kaisser mengernyit. “Lalu?”

Tanpa berkedip, Leonor berkata, “Sampai kapan aku harus menahan kekecewaan?”

“Apa maksudmu, sayangku?” tanya Kaisser.

“Aku hanya ingin bebas. Aku ingin pulang,” ujar Leonor.

Kaisser mengecap lidah, menatapnya kesal kali ini. “Orang tuamu tak akan menerimamu.”

“Perjodohan ini hanya omong kosong!” bentak Leonor.

“Di sini jauh lebih aman dibanding kau tinggal di istana. Ada banyak musuh yang mengincar keluargamu saat ini. Menikah denganku adalah pilihan yang tepat,” ujar Kaisser, terlewat lantang.

Leonor membelalak. “Aku tak pernah berjanji akan memberikan hatiku untukmu.”

“Nona…” gumam Kaisser, mencoba membelai pipinya.

Leonor dengan sigap menepisnya. Sebelum pergi, ia memperingatkan suaminya, “Cinta sepihak akan menyakitkan bagimu. Menyerahlah.”

Seraya melihat langkah kepergian istrinya, Kaisser bergumam, “Cintaku padamu tak akan musnah. Bahkan sampai maut memisahkan kita.”

Nona Leonor hanya menginginkan kebebasan. Ia tak ingin dikekang oleh siapa pun. Sudah cukup selama hidup menuruti aturan di istana. Kini ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan orang yang tepat. Namun pernikahan yang sangat mendadak telah merenggut harapannya. Jika bukan karena polemik di istana yang sedang memanas, pernikahan dengan Tuan Kaisser tak akan pernah terjadi.

Tak terasa ia telah melangkah keluar dari rumah besar itu. Kini ia berdiri di pinggir tebing bukit.

Leonor mulai melantur, “Jika aku tak bisa bebas dalam kehidupan ini…”

Air mata membasahi pipi meronanya. Rasa menyesak di dada membuatnya semakin tersiksa. Lalu ia menyelesaikan kata-katanya, “Aku akan terbebas dalam kehidupanku yang selanjutnya.”

Namun sebenarnya ia tak punya nyali untuk menjatuhkan dirinya ke jurang maut. Ia hanya ingin memejamkan mata dan terbangun di tempat surgawi. Apakah ada jalan menuju kebebasan?

Saat ia tengah ragu dengan keputusannya, suara Kaisser langsung menyadarkannya.

“NONA!” Kaisser sedang berlari ke arahnya. Wajahnya sangat panik saat itu. “NONA LEAONOR!”

“Menjauhlah, Kaisser!” seru Leonor, mengancamnya. “Atau aku akan…”

“Jangan. Kumohon. Kita bisa bicarakan baik-baik semuanya!” balas Kaisser, menatapnya cemas.

“Mungkin ini jalan kebebasanku,” ucap Leonor.

Kaisser berseru, “Nona, aku sangat mencintaimu! Demi apa pun!”

Leonor memberinya senyuman ketus. “Berhentilah mencintaiku. Karena aku tak akan pernah mencintaimu, Kaisser.”

“Leonor, aku mohon…” Kaisser berlahan mendekatinya seraya mengulurkan tangan.

Namun Leonor semakin berjalan mundur.

“Aku harap, kau juga akan menemukan kebahagiaanmu sendiri,” ujar Leonor.

“NONA!” teriak suaminya.

“Selamat tinggal, Kaisser.”

***

Tubuhnya terasa ringan. Seperti melayang-layang di udara. Kedua lututnya terasa lemas. Lambat laun, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya.

“LEONOR!” suara Mrs. Renner sangat nyaring. “APA KAU SUDAH GILA?!”

Lalu suara Mina terdengar cemas, “Sepertinya dia sleepwalking! Kita harus segera membangunkannya!”

Akhirnya satu tamparan keras dari Mrs. Renner berhasil membangunkannya. Leonor terkesiap mendapati keduanya sedang memegangi tubuhnya.

“Kalian…” Leonor mengerjap kebingungan, “ada apa ini?”

“Jika kau mau bunuh diri, lakukan lebih baik lagi. Jangan membuat orang repot begini!” bentak Mrs. Renner seraya menariknya berdiri.

“Huh? Itu tidak mungkin. Aku sedang tidur,” ujar Leonor masih belum sadar juga.

“Kau hampir menjatuhkan dirimu dari tebing bukit. Apa kau sudah gila?” timpal Mina.

Seketika itu Leonor teringat mimpinya. Bukankah ia sedang menyaksikan memori gadis bangsawan itu? Gadis itu bertengkar dengan suaminya dan melarikan diri ke tebing.

Lalu Leonor melihat ke sekitarnya. Ternyata ia sedang berdiri di ambang tebing bukit.

“Untung saja aku dan Mrs. Renner sudah bangun lebih awal. Jadi kita bisa mencegahmu,” ujar Mina.

“Oh, te… terima kasih,” ujar Leonor, gugup. “Tanpa kalian aku mungkin sudah tewas.”

“Benar. Jadi berhentilah melantur. Seharusnya liburan bisa jadi sarana untuk melepas penat. Tapi kau malah cari perkara,” gerutu Mrs. Renner.

“Aku sungguh-sungguh minta maaf,” ucap Leonor.

Setelah mereka kembali ke teras rumah, sudah ada yang menunggu di situ. Ternyata si pemilik terakhir dari rumah itu yang datang.

“Aku Ronald, orang yang menyewakan kalian rumah ini,” sapanya. Lalu ia menyadari ada yang aneh dengan ekspresi kaku mereka. “Oh, ada apa ini? Apa aku datang di waktu yang kurang tepat?”

“Tidak sama sekali. Hanya ada kecelakaan kecil saja tadi, ahaha!” ujar Mrs. Renner.

Saat Ronald berpaling untuk melihat wajah Leonor, ia langsung tertegun. “Oh, kau…! Wajahmu sangat mirip dengan saudaranya nenek moyangku!”

Leonor terkejut mendengarnya. Begitu juga Mrs. Renner dan Mina.

“Ah, tapi semoga cerita hidupmu tak menyedihkan seperti dia,” tambah Ronald.

“Oh, ya, aku ingat cerita itu darimu!” sahut Mrs. Renner. “Sungguh tragis.”

“Itu bukan kisah yang dikenal masyarakat luas. Karena kehidupan mereka juga tertutup. Hanya keluargaku saja yang tahu kisah cinta tragis antara Tuan Kaisser dan Nona Leonor,” ucap Ronald.

“Wow, namanya bahkan sama denganmu, Leonor,” sahut Mina.

“Oh, benarkah? Sungguh kebetulan yang aneh,” ucap Ronald, terkekeh.

“Kau tak akan percaya apa yang barusan terjadi. Gadis ini sleepwalking sampai ke tebing bukit. Mungkin ia kerasukan hantu nenek moyangmu saat tertidur,” ejek Mrs. Renner.

Kali ini Ronald menatap mereka terdiam. Lalu ia bergumam, “Tiga kebetulan. Pertama, wajahmu. Kedua, namamu. Dan ketiga, kisah itu…”

“Ugh! Aku merinding!” seru Mina.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Ronald, mendadak menatap khawatir pada Leonor.

“A… aku rasa…” suaranya parau karena baru bangun tidur. “Aku baik-baik saja sekarang.”

“Ada yang ingin aku katakan padamu. Mari kita bicarakan di dalam rumah,” ajak Ronald.

Mereka berempat pindah ke ruang tamu. Ronald memulai pembicaraan yang misterius, “Dulu keluarga kami pernah membaca surat wasiat Tuan Kaisser. Dia bilang; dalam kematiannya dia akan menunggu kekasihnya kembali. Dia percaya jiwa Nona Leonor mengembara di alam seberang. Dia yakin jiwanya akan dipertemukan lagi dengan si Nona di kehidupan yang selanjutnya.”

Leonor membelalak. Sungguh ironis karena ia memendam memori gadis malang itu dalam jiwanya. Apakah lantas ia adalah gadis itu sendiri yang telah reinkarnasi?

Bagai membaca pikiran Leonor, lalu Ronald menimpali, “Mungkinkah kau reinkarnasinya?”

“Aku tak percaya reinkarnasi. Itu omong kosong. Bisa saja hanya kebetulan,” ucap Mrs. Renner.

“Tapi cerita tragis itu terdengar romantis sekaligus mengerikan bagiku. Bayangkan jika kata-kata Tuan Kaisser itu masih berlaku; apakah artinya Leonor sedang dihantui olehnya saat ini?” ujar Mina.

Leonor menghela nafas. Lalu ia bertanya, “Percintaan yang bertepuk sebelah tangan. Tuan dan Nona itu tak hidup bahagia, kan?”

“Mereka berpisah karena kematian. Itulah akhir dari pertemuan mereka,” ucap Ronald. “Tuan Kaisser tak menikah lagi setelah itu. Ia hidup seorang diri di rumah ini sampai ajal menjemputnya.”

Selama ini Leonor tak sekedar berkhayal. Teka-teki yang selama ini menghantuinya telah menjadi informasi yang utuh. Penggalan memori yang dilihatnya itu nyata. Memori milik seseorang dari masa lalu. Begitu pun rumah yang berdiri kokoh di sini. Menjadi tempat yang menyaksikan kisah cinta yang tragis antara Tuan Kaisser dan Nona Leonor.

Tiba-tiba Ronald menepuk bahunya. “Jangan terlalu dipikirkan. Aku yakin kisah cintamu akan lebih baik dari saudara nenek moyangku itu.”

Leonor tersenyum canggung.

“Dia masih menjomblo! Malah semalam dia merasa dicium seorang hantu pangeran!” ejek Mina.

Leonor melengos kesal dengan candaannya.

“Benar-benar konyol,” gerutu Mrs. Renner.

“Coba aku perkenalkan dengan saudaraku. Siapa tahu kau cocok,” ujar Ronald.

Mina langsung menyahut penuh semangat, “Kalau sampai cocok, kau akan menjalin asmara dengan keturunan aristokrat! Wow!”

Leonor hanya mengangguk-angguk saja. Lagi pula, ia tak tahu ke mana garis takdir akan mengarahkannya nanti.

***

Hari terakhir menginap di rumah tua itu, Leonor bersiap merapikan barang bawaannya ke dalam koper. Tiba-tiba ia teringat momen saat ia berbaring di atas salju. Saat itu ia sering mempertanyakan dirinya.

“Jika tempatku bukan di sini…”

“Lalu di mana aku harus berada?”

Namun ketika menginjakkan kaki di rumah ini, rasa yang hilang dalam jiwanya itu mendadak terisi penuh. Seperti ada sesuatu yang kembali dan membuatnya sesak.

Apakah pengaruh kafein kopi menjadi penyebabnya? Atau karena jiwanya bereaksi dengan datang ke tempat dari asal-usul memori anehnya itu?

Saat menarik kopernya ke ruang tamu, Mrs. Renner sedang menemui Ronald.

Ketika melihat kedatangannya, Ronald langsung menyapa ramah, “Hei, Leonor. Seperti janjiku. Ada yang mau aku perkenalkan padamu. Dia akan datang sebentar lagi.”

“Oh, aku cemburu! Apa kau tak berniat memperkenalkan seseorang padaku juga?” tanya Mina.

Ronald terkekeh sambil mengusap kepalanya yang botak. “Sebenarnya aku berencana ingin mengajakmu kencan kalau kau tak keberatan.”

“Huh? Apa? Yang benar saja kau—” suara Mina yang menggerutu membuat Leonor pening. Ia melipir ke teras untuk menghirup udara segar.

Beberapa saat kemudian, seorang pria berjaket hitam sedang berjalan menuju ke arahnya. Ia mengernyit saat melihat sosoknya yang tak asing.

“Oh… dia…” gumam Leonor, terkejut. “Apakah hantu itu kini mewujud jadi manusia?”

Paras pria muda itu sungguh mirip dengan sosok yang menghantuinya. Semakin ia melangkah lebih dekat, semakin berdebar jantung Leonor.

Setelah pria itu memasuki teras, ia berkata, “Apa kau tamu yang menginap di sini? Ronald bilang mau memperkenalkan aku pada seseorang—”

“A… aku,” ia terlalu gugup untuk balas berbicara.

“Namaku Winston,” ujarnya seraya mengulurkan tangan. “Kau pasti yang namanya Leonor, kan?”

“Bagaimana kau tahu?” tanya Leonor.

Winston terkekeh. “Wajahmu. Sangat mewakili nama Leonor.”

Pertemuan di antara mereka terasa canggung. Untungnya Ronald, Mina, dan Mrs. Renner keluar rumah untuk menyapanya.

“Kejutan!” seru Ronald. “Aneh, bukan? Mendiang Tuan Kaisser pasti peramal jitu. Dalam surat wasiatnya ia juga berkata; kalau keturunannya akan ada yang mirip dirinya dan akan meneruskan cinta sejatinya. Mungkin kalian berdualah maksudnya!”

Leonor bertanya heran, “Kenapa kau tidak cerita soal Winston yang berwajah mirip Tuan Kaisser kemarin?”

“Ah, bukan kejutan namanya jika aku ceritakan,” ucap Ronald, terkekeh.

Hari itu juga jadi hari terakhir mereka berlibur di Austria. Mereka harus pulang ke Canada untuk kembali bekerja. Namun pertemuan mereka dengan kerabat aristokrat itu tak berhenti di situ saja. Pas sekali Winston ada urusan bisnis di Canada. Jadi Ronald akan mengantarnya sekalian ke bandara.

Sebelum Leonor pergi, sekali lagi ia menengok ke jendela kamar yang pernah ditempatinya. Siluet seorang pria sedang memantaunya dari atas sana. Dengan gerakan pelan, pria itu melambaikan tangan ke arahnya. Entah apakah sosok itu arwah Tuan Kaisser atau bukan. Leonor pun berharap, bayang-bayang memori aneh itu tak akan lagi mengganggunya.

Lalu ia kembali bertatapan dengan sosok Winston. Pria muda ini seperti menyimpan aura yang sama misteriusnya dengan hantu pangeran itu. Leonor berharap; kisah tragis dari masa lampau itu tak akan terulang dalam kehidupan nyatanya.

TAMAT.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)