Cerpen
Disukai
2
Dilihat
4,483
Dunia Adil bagi Orang Kerdil
Drama

Aku tak mengerti sebenarnya sosok apa aku ini. Tinggal di dalam wadah putih pekat yang mana batas jelasnya belum bisa kulihat. Aku tak dapat menyaksikan bagaimana rupaku, tetapi aku tahu bahwa diriku ini seukuran dengan Orang, salah satu di antara kami yang memiliki tubuh kecil―terbilang kerdil, sedikit berbulu, namun cacat kakinya.


Setiap hari Orang selalu berteriak ingin keluar dari wadah ini. Sampai suatu pagi teriakannya membuatku risi sendiri. Raungannya pagi itu begitu menyayat hati. Dengan bersimbah air mata, ia mengeluh baru saja terinjak oleh penghuni wadah lainnya yang lebih besar dari kami. Mereka seperti raksasa, perut menggembung besar, langkahnya keras dan pasti. Bahkan tanpa memedulikan kami yang kerdil, terus menggasak jalan dengan cepat, berapi-api, dan penuh gesa.


Aku mendengar ceritanya sungguh-sungguh. Waktu itu Orang berjalan seperti biasa, melakukan kesehariannya seperti biasa pula agar tetap bertahan hidup. Namun, penghuni raksasa tersebut tiba-tiba justru merampas haknya hingga ia menatap suatu kehilangan itu dengan nelangsa.


“Aku ini sudah tidak punya apa-apa. Kok mereka masih sampai hati melakukannya padaku. Memangnya kurang apa lagi mereka?!” Tangisnya pecah. Sebelah tangannya memukul dada dengan suara menggeru.


Jadi, aku harus ikhlas lahir batin memasang telinga mendengar berbagai keluhannya hari itu. Karena jika tidak, Orang merasa ia hidup sendiri dalam wadah ini.


Tentu saja kami memiliki alat gerak serupa tangan dan kaki, tetapi salah satu kaki milik Orang sudah cacat karena tertindas jalan para raksasa. Aku ingat betul saat peristiwa tragis terjadi. Orang kala itu sedang berusaha memanjat tangga yang ia peroleh demi bisa keluar dari wadah yang kian hari bertambah sempit karena terlalu banyak penghuni. Kelahiran dan transmigrasi ada di mana-mana.


Seutas cahaya dari atas yang ia temui beberapa waktu lalu bagai pintu surga yang terbuka; seperti memberikan kesempatan dan harapan baru bagi siapa pun yang ingin pergi dari wadah. Orang dengan nekat menaiki tangga tersebut walau tertatih-tatih. Jantungnya berdegup kencang, kebisingan pada telinganya bertambah oleh pergerakan para raksasa yang serudak-seruduk.


Namun, baru saja ia hendak mencapai puncak, haknya diambil oleh salah satu raksasa bertubuh besar, bermuka semerah lidah-lidah api. Bahkan dari napasnya saja timbul kejahatan-kejahatan serta berbagai sikap licik nan serakah. Oh, sungguh jahanam!


Raksasa itu dengan auman menggelegar merebut tangga milik Orang, menyingkirkan Orang melalui injakan salah satu kaki yang sampai kini menjadi kecacatan seumur hidup.


Apa yang bisa dilakukan Orang selain menyerah? Musuhnya tak sepadan. Lebih tinggi, kuat, dan punya kuasa. Tentu saja raksasa bakal lebih mudah mendapat sesuatu yang ia inginkan dibanding Orang yang kecil, kerdil, lemah.


Dalam memburu makanan pun kami ini juga dipastikan kalah. Makanan datang dari langit. Keriuhan yang pelik seketika memenuhi seluruh atmosfer wadah, hingga seringkali mengalami banyak kecelakaan tumpang tindih.


Banyak tubuh-tubuh berkelejatan, lalu mati, dan selanjutnya entah bagaimana prosesnya menguap begitu saja jasadnya. Hilang, tak berbekas, seperti embun di musim kemarau yang meranggas. Satu-satunya jejak hanya sengatan aroma anyir di udara.


Aku menangis meratapi nasib Orang, juga nasib-nasib para kerdil lainnya. Oh, bagaimana caranya agar kami bisa mendapatkan hak-hak kami? Apakah harus ada salah satu kerdil jujur yang maju memimpin semua penghuni wadah ini sehingga kami mengalami keadilan?


Para raksasa sejujurnya punya mata, punya hati, sama seperti kami yang kerdil. Tapi entah mengapa dua hal tersebut tak terlihat berfungsi dengan baik. Selama ini apa yang ditonjolkan mereka hanya keserakahan, licik, egois, tamak, serta kebuasan yang tak terkendali.


Pernah suatu kali makananku direbut oleh satu raksasa. Padahal aku tahu dari mulutnya yang belum lama diseka, raksasa tersebut baru saja makan. Perut besarnya pun menandakan bahwa raksasa ini sudah terlalu banyak makan hak-hak penghuni lain.


Tentu saja aku menolak memberikannya. Makanan yang kupegang ini adalah satu-satunya kedaulatan yang kumiliki. Dan sudah lama pula aku tak menikmati hakku secara leluasa.


Raksasa ini kemudian marah besar. Apa pun cara ia tempuh demi mendapatkan makananku. Dari bujuk rayu mulut manisnya yang terucap―walau matanya menyorot marah penuh nafsu, sampai cara paling keji telah ia lakukan, yaitu menghantamku bertubi-tubi bersama sekelompok raksasa lainnya. Aku kalah, roboh teronggok di suatu titik. Kebesaran para raksasa itu tak sebanding dengan ketidakberdayaanku. Jadilah aku merana memandangi makananku yang dikoyak ramai-ramai oleh sejumlah raksasa tersebut. Tawa keras atas kemenangan mereka mengilukan kepala sampai ke dalam tulang-tulangku.


Hidup memang terus berjalan. Ruang dalam wadah ini terus-menerus menggerus penghuni kerdil sepanjang waktu. Seakan tak memberi napas barang sekali. Satu per satu persaingan selalu dimenangkan oleh para raksasa, yang besar, berkuasa, minim empati. Penghuni kerdil seperti kami tak mampu lagi mengikuti arus wadah yang bergerak cepat, yang melahirkan sosok-sosok besar tamak lainnya.


Lantas, asumsiku menerka-nerka. Apa peran kerdil seperti kami ini diciptakan selain untuk hidup dan menyaksikan kaki-kaki raksasa banyak tingkah? Napas kami tersendat-sendat, ruang ini begitu mencekik napas dan seluruh hidup yang kami jalani.


Kadang aku heran. Padahal dunia melahirkan kehidupan bagi kami tanpa diminta, namun mengapa dunia juga yang harus menghimpit kami? Menorehkan banyak kekalahan, ketidakmampuan, serta ketidakberdayaan?


Aku tahu, tidak ada pemenang tanpa adanya si lemah. Tetapi, haruskah kekalahan abadi selalu menghantui kami? Aku ingin dapat bergerak bebas, meraih keadilan yang sama, tak dibatasi, dan sanggup melampaui segalanya. Bukannya hidup penuh tekanan dari bayang-bayang kekalahan.


Pagi ini Orang berteriak-teriak semakin keras. Tergopoh-gopoh jadinya aku menjenguknya. Aku syok, Orang rupanya sedang menangis di sudut ruang wadah ini. Setengah takjub aku akhirnya dapat menyaksikan bagaimana tepi dari wadah yang tinggi putih, bagai tembok pertahanan gagah.


Aku bertanya kenapa Orang histeris. Orang sambil mengerang-ngerang menunjukkan bahwa ia sudah dicacati lagi. Kini ia tak bisa bergerak dan lebih putus asa menjalankan hidup.


“Sudah, aku tidak bisa hidup begini terus, Man! Mau mati saja rasanya!”


Aku berusaha menyemangatinya, walau nyatanya aku juga tak yakin apakah Orang bisa hidup dengan kondisi yang memprihatinkan begitu. Suatu kebetulan yang ajaib, sebuah cahaya surgawi muncul lagi dari atas.


Aku mengetatkan rahang. Mungkin ini adalah kesempatan kami untuk dapat keluar dari wadah yang riuh dan menyesakkan. Kupaksa Orang mengikuti kehendakku. Mencari tangga tinggi, dan menggendongnya sehingga nanti kami bisa keluar bersama.


Orang sempat memberontak, menggeliatkan tubuh, menggerak-gerakkan tangan untuk menolak. Katanya biarlah aku sendiri, karena akan sangat merepotkan menaiki tangga sembari membopongnya.


Secara sadar aku merasakan kepalaku mengeras sehingga tak kuhiraukan apa pun penolakannya. Aku tetap merengkuhnya bersama langkah-langkahku yang mulai memanjat tiap anak tangga.


Dahiku bermandikan peluh, otot-otot berkontraksi bagai mesin yang panas. Sementara tulang-belulangku linu nyaris terlepas dari tempatnya. Aku berusaha menggotong Orang selama mulutnya mengolok-ngolokku yang seharusnya menyesal dan menurunkan tubuhnya yang sudah tak berguna.


Kurang sedikit lagi kami akan bebas dan selamanya tak menyentuh dunia yang begitu menyiksa ini. Secercah senyum terukir di ujung bibir. Semua kesedihan dan beban hidup akhirnya akan musnah.


Tetapi, tiba-tiba aku merasakan guncangan besar di bawahku. Ternyata para raksasa lagi-lagi menghadang mimpi kami dengan kerakusannya. Kueratkan pegangan tangan pada badan tangga. Tak lupa cengkeraman di tubuh Orang juga kukencangkan.


Aku berdoa, entah kepada siapa pun penguasa misteri yang sanggup menangkap sinyal-sinyal berserah ini. Orang berteriak-teriak parau. Sebagian tubuhnya sudah tercabik-cabik. Tak lama kemudian suaranya melemah, tersendat, lantas berhenti.


Aku kian panik tatkala menyadari badan Orang terkulai lemah tanpa tenaga. Aku memanggil namanya berulang kali. Tetapi sayang, tak ada respons apa pun dari bibirnya.


Para raksasa di bawah sana bertambah buas. Mereka menendang, mengguncang, bahkan memotong kaki tangga. Tanganku semakin basah oleh keringat. Sialnya, peganganku pun lepas. Aku mendengar bunyi gemeretak dari tulangku ketika jatuh. Berikutnya terjadi begitu cepat. Kaki-kaki besar bingar menyerangku bertubi-tubi. Sekilas kulihat mereka yang ganti merebut tangga itu.


Sekujur badanku tergilas. Aku cacat seperti Orang. Aku mengenal dirinya sebagai penghuni kecil, kerdil, dan cacat. Tapi sebenarnya bukan dia atau aku yang cacat, melainkan dunia kami.


Aku terbangun dari mimpi. Dunia masih sama menyebalkannya. Sesak, bagi kami yang tak berdaya.



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)