Flash
Disukai
2
Dilihat
5,991
Different World
Aksi

Aku terbangun dari tidurku yang tak nyenyak. Tubuh terasa letih dihantui mimpi-mimpi buruk.

Lekas aku turun dari ranjang yang empuk. Hati ini bergetar memikirkan kegelisahan mereka di setiap malamnya, tidur yang tak pernah lelap.

Setiap hari, per jam, menit, detiknya mereka selalu dihantui ketakutan. Namun mereka tetap tersenyum meskipun dalam situasi yang sulit. Mereka tetap tegar dan kuat walaupun sebenarnya mereka begitu terpukul dan batin mereka menangis.

Hati ini hancur disetiap kali ku mendengar berita tentang mereka. Tak ada lagi tempat bernaung, tak ada kedamaian. Keluarga merupakan satu-satunya rumah bagi mereka, namun kabar duka tak pernah luput dari pendengaran mereka.

Aku tak bisa menahan rasa cemas dalam dadaku. Aku pun segera menghubungi sahabatku yang berada disana. Jantungku berdebar menantikan kabar darinya.

Nomornya begitu sulit dihubungi. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya. Namun selang beberapa jam, akhirnya sahabatku menghubungiku balik.

Hatiku lega mendengar dirinya baik-baik saja, namun ia harus rela kehilangan suami tercintanya yang telah meninggal tertimpa reruntuhan bangunan. Kini ia tinggal bersama dengan putra tunggalnya.

Aku pun berupaya menguatkan hatinya agar tetap tegar menghadapi segala ujian dan aku mengatakan padanya aku akan kembali ke kampung halamanku. Namun ternyata ayahku tak mengizinkan dengan alasan keselamatan.

"Tidak, Faiza, terlalu berbahaya!" larangnya.

Aku menghela napas gusar dan berusaha membujuknya. "Tapi, Ayah, Aku sangat khawatir padanya. Lagipula sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengan Afifah. Aku juga ingin menemui ibu."

"Nak, Ibu sudah syahid. Dia sudah tenang disana," ucap Ayah. "Bantuan-bantuan yang kita kirimkan, Alhamdulillah telah sampai. Kita sudah memberikan perhatian kepada mereka, itu sudah cukup."

"Aku akan tetap pergi. Aku tidak peduli, bila aku harus mati sekalipun, aku akan tetap memutuskan untuk pergi!"

"Kalau begitu, Ayah ikut bersamamu! Ayah harus melindungimu. Ayah tidak ingin putri ayah terancam bahaya."

Kami akhirnya memutuskan untuk pergi. Rasanya tak sabar bertemu dengannya, sahabatku yang terpisah sejak kecil.

Sesungguhnya, berat bagi kami untuk meninggalkan negeri yang suci ini, namun, ayahku begitu mengkhawatirkan kondisiku saat itu yang hampir meregang nyawa akibat ledakan yang begitu dahsyat.

Kami menemuinya di rumah sakit. Kulihat wanita itu sudah menangis tersedu-sedu sembari duduk memeluk putranya.

Betapa bahagianya aku bertemu dengan sahabat lamaku, Afifah Hilya Nafisah. Rupa yang Maa Sya Allah cantiknya! Kulit putih, alis tebal dan kedua mata lebar bersinar. Benar-benar cantik dan manis bila tersenyum.

Pertemuan kami langsung disambut dengan pelukan hangat yang disertai air mata duka. Hatiku hancur, rasanya ingin menangis. Namun aku harus menguatkannya dan menenangkan hatinya.

Selama ini, kami hanya bisa berkomunikasi melalui jaringan seluler. Namun beberapa hari ini, jaringan internet begitu sulit karena di beberapa tempat sudah terputus. Tapi syukur aku dapat menghubunginya dan sekarang dia sudah di samping ku.

Ayahku pun merasa bahagia bertemu dengan mereka. Putra kecilnya lucu dan tampan juga periang. Kami langsung menyapa anak itu dan membelikannya ice cream.

"Siapa namamu?" tanya Ayah.

"Muhammad!" jawab anak laki-laki itu dengan tegas.

"Apa kau sudah makan?" tanya Ayah. Anak lelaki manis itu menjawab dengan gelengan sembari terus menjilat ice creamnya.

"Kalau begitu, kita makan dulu yuk!" ajaknya. Ayah pun menyuapinya. Anak itu terlihat bahagia dan tak ada sedikitpun air mata di matanya.

Ia masih begitu kecil dan masih belum mengerti. Sang ibu pun tidak tahu bagaimana caranya memberitahu mengenai ayahnya yang sudah syahid? Jawaban apa yang akan diberikan?

Aku pun mengelus-elus pundaknya dan mengujarkan, "Sebaiknya, kau katakan saja yang sujujurnya kepadanya. Perlahan ia pasti akan mengerti."

Setelah itu, kami berniat melaksanakan solat bersama di sebuah masjid dekat rumah sakit. Sedangkan, ayah akan menyusul setelah mengurus jasad suaminya.

Dalam sujudku, aku berdoa. Tangan dan sekujur tubuh kami gemetar mendengar suara senjata serta ledakan yang samar-samar. Sungguh! Kini aku kembali merasakan apa yang selama ini mereka rasakan, rasa tidak aman dan kegelisahan setiap hari.

Setelah selesai solat, kami keluar dengan sangat hati-hati. Kami takut ada yang mengawasi dan benar saja! Tiba-tiba para pasukan penyandera datang. Mereka langsung menangkap kami.

"Lepaskan aku dasar pengecut! Kalian hanya berani menangkap warga sipil dan anak-anak Palestina! Cuih!" hardikku sembari meludahi wajah pria yang memegang tangan kananku dengan erat.

Mereka malah tertawa dan ia membalas, "Kau pikir kami tidak tahu kau ini siapa?"

Pria lain yang berada disisi kiriku tiba-tiba melempar senjatanya ke tanah dan berkata, "Lawan kami jika kau berani!" tantangnya.

Tak lama kemudian, datang pasukan yang lain sehingga sekarang kami terkepung oleh mereka. "Apa salah kami! Lepaskan kami!" teriak Afifah.

"Apa tidak cukup bagi kalian yang telah menghabisi suamiku! Putraku telah kehilangan ayahnya dan kalian telah membunuh ibunya ( ibu kandungku ) saat ia masih kecil! Kami kehilangan tempat tinggal kami! Hentikan kekejaman kalian! Tolong hentikan!"

Isak tangisnya begitu kuat membuat dadaku terasa sesak. Aku sudah tidak tahan lagi, aku pun mengambil senjata itu dan langsung mengarahkannya ke sembarang arah. Mereka yang terkejut, mundur dan menjauh.

"Ternyata darah keturunan tentara itu mengalir dalam dirimu. Sepertinya kau mempunyai nyali untuk melawan kami?" ejek salah satu diantaranya.

"Aku tidak takut menghadapi kalian! Kalau kalian ingin berperang, ayo lawan aku sekarang juga!" teriakku geram.

Tiba-tiba ayahku datang. Ia sontak terkejut dengan apa yang ia lihat di depan matanya. "Faiza!" teriaknya histeris.

"Lepaskan putriku!" teriaknya. Ayahku kini sudah berusia senja dan sudah pensiun. Sudah lama sekali ia tidak memegang senjata.

"Aku akan melawannya, Ayah!" ucapku yang sudah memegang senapan meskipun jari jemariku gemetar saat memegang pelatuk.

"Tidak, Nak! Kau tidak berpengalaman memegang benda itu. Turunkan, Nak!" bujuknya khawatir terjadi sesuatu padaku.

Aku tak menggubris dan tetap merasa tertantang untuk maju. Aku pun menembak beberapa tentara dengan sembarang arah namun tanpa mengenai warga sipil maupun orang-orang disekitarku.

Beberapa tentara terkapar di tanah dan mereka yang selamat memilih bersembunyi. Namun tiba-tiba ...

Jeder

Aku merasakan panas di dadaku. Rasa sakit yang luar biasa membuat air mataku keluar dengan sendirinya.

"Faiza!" teriak mereka secara bersamaan.

Mereka langsung berlari menghampiriku ketika tubuhku tumbang. "Kita akan bertemu di surga nanti, Afifah! Kita akan selalu bersama selamanya kekal abadi di sana."

"Jangan pergi lagi, aku mohon!" lirihnya tak sanggup kehilangan untuk kedua kalinya. Air matanya menetes mengenai pipiku.

Afifah menuntunku mengucapkan syahadat. Dengan tertatih-tatih, aku berusaha mengucap dua kalimat syahadat hingga kedua mata ini tertutup rapat.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)