Cerpen
Disukai
4
Dilihat
10,852
Dibutuhkan Segera Seorang Suami
Romantis

Rubiyah binti Samad

Badaruzaman bin Zaman adalah bocah laki-laki 8 tahun yang menawan. Bulat bening bola matanya. Rambut hitam ikal. Pipi cubby bersemu merah. Pemilik suara bening kala melantunkan surat-surat Juzz Amma. Raut wajahnya jenaka murah senyum. Terlebih lagi jika kau bertemu dengannya saat ia masih berumur 3 tahun, ia lembut, hangat, dan wangi ketika dipeluk, bersandar manja di dada. Amboi, jiwamu yang lemas layu sayur langsung bersemi semarak.

“Kau adalah pelita di hati Umi,” begitu kukatakan padanya setiap malam sebelum ia tidur sambil mencubit hidungnya mesra.

Dan di pembaringan ia akan meraup pipiku dengan dua tangan mungilnya, bibir mengulum senyum. “Dan Umi adalah em … apa ya … em … matahariku!” serunya riang. Kadang ia bilang aku bunga, kadang ia bilang aku bulan, kadang langit, kadang bintang, ucapan yang selalu berganti-ganti setiap hari.

Sudah bukan hal aneh ketika seorang ibu memuji anaknya sedemikian rupa seloroh para ibu teman-teman Badaruzaman di sekolah. Bagi seorang ibu, buah hatinya adalah yang tertampan, tercantik, terpintar, terhebat.

Tapi hal yang tidak diketahui para ibu itu bahwa Badaruzaman bin Zaman bukanlah anak kandungku. Ia tiba di rumahku saat hatiku sedang hancur lebur kehilangan sepasang kembarku yang meninggal dalam kandungan, lima tahun lalu. Kata Dokter, kandunganku mengalami solusio plasenta. Kondisi ketika plasenta terlepas dari dinding rahim sebelum proses persalinan.

Usia kehamilanku kala itu delapan bulan, sungguh tak terperi kepedihan yang kurasakan. Para pelayat datang, aku hanya bisa mengangguk-angguk mengiyakan ucapan turut berduka. Tak bisa mengeluarkan suara, air mata terus membasahi pipi.

Dalam gendongan Mak Gadang Nawawi, Badaruzaman hadir. Entah bagaimana mulanya, ia langsung memeluk. Menghapus air mataku dan berkata polos dengan suara cadelnya, “Sudah tidak apa-apa Umi, semua akan baik-baik saja ….”

Aku sontak tertegun. Senyum tanpa kendali hadir. Dari dialog sinetron apa bocah ini menirukan kalimat yang begitu bijak? Rupanya tak hanya aku yang terpana oleh ucapannya, Uda Amran, suamiku dan orang-orang yang ada di sekitarku juga.

Sepanjang pemakaman, Badaruzaman terus ada dalam dekapku. Begitu pun sampai malam. Atas kesepakatan dengan Mak Gadang Nawawi – nenek Badaruzaman, kakak sepupu Uda Amran, kami mengangkat anak Badaruzaman.

“Tapi, Badaruzaman tak boleh berganti nama ayah. Namanya tetaplah harus Badaruzaman bin Zaman, bukan menjadi Badaruzaman bin Amran,” ujar Mak Gadang Nawawi.

Ya, kami tahu itu. Karena begitulah syariat agama. Anak angkat tetaplah harus menyandang nama ayah kandungnya.

Aku dan Badaruzaman serupa tumbu bertemu tutupnya. Ia seorang anak yang kehilangan sepasang orangtua karena kecelakaan dan aku seorang ibu yang kehilangan sepasang kembarku. Beruntungnya, Badaruzaman itu bagai pinang dibelah dua dengan Uda Amran, hingga tak banyak orang menelisik sejarah hubungan darah kami kecuali jika mereka yang begitu teliti meneliti nama Badaruzaman.

Dan orang yang begitu teliti itu adalah Manikam binti Mulid, adik ipar Sardiatun binti Sattam. Manikam bukan penduduk asli kampungku, ia dari Bukittinggi. Pindah ke Payakumbuh 4 tahun lalu sejak menikah dengan Sabari, adik bungsu Sardiatun.

“O … jadi Badaruzaman bukan anak kandung Pak Amran,” suaranya nyaring melengking membuat ibu-ibu kampung yang sedang menimbang anak di posyandu kasak-kusuk. Sigap Sardiantun menepuk pahanya tapi ia tak mengindahkan, malah ngotot, “Ini coba Uni lihat nama lengkap Badaruzaman, bin-nya Zaman bukan Amran.”

“Iya … Manikam, semua orang sudah tahu,” seloroh Sardiatun, bola matanya tak enak hati menatapku.

Bu RT memang meminta bantuan Manikam dan Sardiatun untuk mengumpulkan foto copy kartu keluarga dari semua warga karena akan serempak didaftarkan untuk mempunyai kartu BPJS.

“Zaman itu nama mantan suami Uni Rubiyah?” Kudengar Manikam bertanya pada Sardiatun, wajahnya polos tak tahu dosa.

“Sudah, diam coba!” Sardiatun jengah. Ia tersenyum kaku padaku.

 “Bukan, Zaman itu bukan mantan suamiku. Ia kemenakan Uda Amran,” jawabku setenang mungkin. “Meninggal kecelakaan bersama ibunya Badaruzaman.” Manikam mengangguk-angguk, masih dengan wajah polos tak tahu dosa.

Aku menyadari benar – fakta adalah fakta. Tapi setelah sekian waktu berbangga memiliki anak semenawan Badaruzaman dengan puja-puji semakin besar Badaruzaman semakin mirip Uda Amran, entah kenapa hatiku ngilu ketika Manikam kembali menegaskan, “O … jadi Badaruzaman anak angkat. Memangnya kenapa, Uni Rubiyah tak bisa punya anak? Atau Pak Amran, tapi bukannya Mei anak Pak Amran?"

"Sebentar, nah kan namanya Meilani Bunga Indah binti Amran." Manikam meneliti kembali kartu keluarga.

“Manikam bisa diam tak sih!” Sardiatun mencubit lengannya.

Manikam bersungut-sungut sambil mengelus-elus lengannya yang perih, "Orang cuma nanya masak tak boleh. Aku kan orang baru."

“Maaf ya, Uni.” Sardiantun menyenggol lengan Manikam. Jelas terpaksa Manikam ikut berucap minta maaf.

 Aku mengangguk. Tersenyum datar, berusaha menutupi rasa jengkelku. Kulihat Badaruzaman yang sudah mendapat vitamin A, bermain kucing dan tikus dengan anak-anak lain. “Iya, Badaruzaman anak angkat,” ujarku lirih pada diri sendiri. Dan aku sudah tak punya rahim.

Sampai dengan hari ini setiap mengingat peristiwa itu, aku tak bisa menghapus begitu saja rasa sebalku pada Manikam. Tapi ya begitulah, Manikam ya Manikam. Pada akhirnya semua orang tahu sifat Manikam yang memang ceplas-ceplos. Tak bisa mengerem kenyinyiran dan keingintahuan. Tak terkira berapa hati orang yang jadi korban, ia justru seolah berbangga dijuluki Ratu Nyinyir.

Tahun berganti tahun, umur bertambah, semakin dekat liang kubur, kenyinyirannya bukan berkurang malah semakin menjadi-jadi. Dan dalam 120 hari ke depan dapat kuyakinkan, Manikam akan memfokuskan kenyinyirannya pada seseorang di kampung ini.


Langit pagi cerah. Namun kutahu sejenak lagi akan ada badai. Kutengok jam dinding – kuperkirakan tak sampai 15 menit. Dan benarlah, ketika Bujang datang untuk mengantar Badaruzaman ke sekolah, badai mendekat. Ia bergerak memang tidak dengan kecepatan 240 km/jam – syarat badai terbentuk. Ia bergerak mungkin hanya sekitar 40 km/jam, tapi sanggup membuat si Blirik, ayam betina peliharaan Badaruzaman dan kesebelas anaknya lari kocar-kacir.

Badai tiba di teras bertepatan Badaruzaman menutup pintu mobil. Dan selayaknya badai diberi nama perempuan, badai itu bernama Badai Manikam.

“Uni … apa ini benar ?!” lengking Manikam sambil menyodorkan layar ponselnya tepat di wajahku.

Kulihat sekilas layar ponselnya. Pedar foto lembar pengumuman berwarna kuning cerah terpampang jelas. “Iya, benar,” jawabku tenang seanggun mungkin sambil menyeruput secangkir teh manis.

“Kok bisa?!” dengking Manikam sambil menghentakkan keranjang belanjaannya. Bokongnya menghempas kencang di kursi rotan hingga hampir terdorong ke dinding teras.

“Ya, bisa kenapa tidak?” balasku.

“Kok Uni tak pernah cerita padaku?” tatapannya tajam seolah aku telah berbuat salah.

“Memangnya kamu Bu RT? Jadi harus tahu segala hal ihwal warganya?” jawabku pedas.

 Manikam tak mengindahkan sikap pedasku. Ia menatap layar ponselnya tak percaya, “Jadi Saroja mencari suami. Kok bisa bukannya dia perempuan berhati batu? Apa sih yang terjadi pada Saroja, aneh! Begitu sombong menolak lamaran lusinan lelaki kini tiba-tiba cari suami?” Ia menatapku tajam menuntut penjelasan.

“Hmm ... rahasia ..." jawabku penuh senyum kemenangan. Sontak membuat Manikam cemberut, ia tak ikhlas menjadi orang yang tersisihkan berita. Aku terkekeh. Kuseruput lagi tehku, amboi secangkir teh manis pagi ini benar-benar nikmat.

*****

Cinta Dalam Sepotong Aksara

Desah resah mengisi benak Syafei bin Hamid, tak lepas ia memandang layar ponselnya - layar menampilkan jernih selembar kertas pengumuman.

DIBUTUHKAN SEGERA

SEORANG SUAMI

Syarat dan ketentuan dapat dilihat di http://bungosaroja.blogspot.com

“Sudahlah Syafei,” tegur Meilani yang sedang asyik menikmati mie ayam di sampingnya. “Makan mie ayammu, nanti keburu dingin. Apa kalau kau pandangin layar itu lantas kau jadi si nomer 1, tidak kan?”

“Aku tahu Mei, tapi please kasih tahu siapa dia si nomer 1? Bukan Kak Mahmud kan?”

“Sudah kujawab dari kemarin, bukan Kak Mahmud, Syafei. Kak Mahmud mengirim dua hari setelah kau. Bagaimana mungkin ia si nomer 1."

“Jadi Kak Mahmud nomer berapa?”

“Rahasia.” Mei menambah sambal di mangkuknya. “Kau makan tidak mie ayammu, kalau indak buat aku saja.”

Syafei menyodorkan mie ayamnya. Hilang seleranya sejak tadi.

“Kenapa sih kau ingin tahu, sampai hilang selera segala, sepenting apa?”

“Aku cuma penasaran kenapa bisa orang itu,” jawab Syafei. “Apa dia orang kampung kita atau bukan? Kalau dari kampung kita, kenapo aku indak tahu? Kalau bukan dari kampung kita nah ini lebih lagi bagaimano biso?”

“Mei, tolonglah kasih tahu. Aku janji indak akan bicara pada siapa pun.” Syafei melakukan gerakan jari mengunci mulut. “Kita itu sudah bersahabat sejak bayi, tidakkah kau kasihan padaku. Gimana kalau aku pulang dari kedai mie ini mati, aku bisa mati penasaran, Mei.”

Meilani binti Amran menghela napas. Disingkirkan mangkuk kosongnya. Dibawa mangkuk mie Syafei ke depannya, ia meramu kecap, saus tomat, dan sambal di dalamnya.

“Mei ….”

“Hah?” sahut Mei tak acuh.

“Siapa?”

“Siapa apa?” Mei balik bertanya. Ia melahap mie dengan santai.

“Kamu ini sebenarnya di pihak siapa sih?!” Syafei mendengus kesal.

Mei menuntaskan kunyahannya. Diletakkan sejenak sendok dan garpu. Ia menegak es jeruk manisnya. Melap bibirnya dengan tisu. Ditatapnya wajah cemberut Syafei dengan bibir senyam-senyum, membuat Syafei semakin kesal.

“Duhai, Tuan Syafei sahabatku sejak bayi," jawab Mei dengan gaya ala para pujangga. "Aku ini sudah mengambil sumpah jabatan untuk bersetia menjaga rahasia. Kami, aku dan Uni Rubiyah, duo ibu dan anak sambung ini, petugas resmi lamaran suami untuk Puan Saroja binti Zamzani sudah bersumpah darah tak akan memihak siapa pun. Bersumpah setia menjaga kerahasiaan identitas para pelamar. Kalau kau tak mau sahabatmu dari bayi ini masuk neraka karena melanggar sumpah, please jangan Tuan Syafei bertanya-tanya lagi. Kerjakan saja tugas Tuan berikutnya. Tetap berjuang. Fokus. Tak usah tengak-tengok. Pakailah kacamata kuda. Tetap semangat!"

Mei melanjutkan makannya. “Lagi pula, Syafei kalau kau mati hari ini, asal kau rajin shalat tenanglah kau tak bakal jadi arwah penasaran. Yang wajib kau cemaskan bisakah kau jawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir. Percayalah mereka indak akan menanyakan siapakah si pelamar nomer 1. Gimana sepakat kan kau?" Meilani menggerakan alisnya naik turun, bola matanya berbinar jenaka.

“Ya sudah, aku pulang dulu. Kau bayar sendiri mie-nya, batal aku mentraktirmu! Assalamualaikum.” Syafei beranjak pergi dengan wajah gusar.

“Waalaikumsalam.” Meilani hanya bisa geleng-geleng sambil terkekeh. “Syafei, Syafei gitu aja merajuk. Hedeeh cabe deh ….”

 

Lelaki Baik # 2, begitulah identitas yang diperoleh Syafei usai ia mengirimkan dalam bentuk scan KTP – Ijazah terakhir – Curriculum vitae – plus foto ukuran postcard dengan gaya bebas pantas ke alamat email ceritacapung@gmail.com.

Syafei menyakini benar bahwa ia akan menjadi si nomer 1. Ia sudah gercep, gaspol.

Pagi itu, Syafei sedang jogging ketika melihat orang-orang berkerumun di poskamling. Di papan tertempel rapi pengumuman itu. Hanya ditempel di poskamling tidak ada di sepanjang tiang listrik atau tembok seperti seringnya iklan-iklan lowongan sales atau kuras wc.

Begitu membaca blog dengan nama Bungo Saroja otomatis alarmnya menyala ini pasti blog milik bunga di hatinya. Bunga satu-satunya, tak lain tak bukan Saroja binti Zamzani.

Syafei bahkan tak terpikir bisa saja itu prank. Bisa saja itu bukan Saroja. Dengan pede-nya, ia langsung membuka blog, langsung mengirim dokumen-dokumen yang dimaksud karena semua siap sedia di galery ponselnya.

Ba'da Isya, ponselnya berbunyi, ia mendapat e-mail balasan.

Hanya di poskamling kampung kita tak ada di tempat lain begitu Mei menjawab, saat ia bertanya lokasi mana lagi lowongan ditempel. Jadi tentu seharusnya hanya mengharapkan peserta dari kampung mereka. Lantas siapa si nomer 1 ini?

Duh, Syafei benar-benar jadi senewen. Berkali ia menghela napas. Berkali otaknya menduga-duga hingga akhirnya lelah sendiri. Kak Mahmud kata Mei bahkan belum mengirim data hari itu. Jadi seharusnya Syafei tak harus mengkonfirmasikannya lagi tadi.

Bibir Syafei mencerucut. Sudahlah, Syafei, benaknya berucap, kau patuhi saja kata Mei kerjakan tugas selanjutnya, daripada berputar putar dengan si nomer 1. Bukankah kalau jodoh tak kemana dan kalau tak jodoh pasti kemana-mana?

Dan apa tugas itu? Tugas itu adalah keahlihan Syafei : menulis cerpen. Ya, ia diminta menulis cerpen sepanjang minimal 1000 kata, maksimal 5000 kata. Tak boleh berunsur pornografi dan SARA. Tema bebas. Genre bebas. Dengan batas waktu akhir 40 hari setelah e-mail identitas pelamar ia terima. Tak perlu mencantumkan nama penulis. Cerpen dikirim dalam bentuk file MS WORD. Cukup menuliskan pada keterangan e-mail : Cerpen Lelaki Baik #2

Sebagai penulis yang karyanya sudah sering dimuat di media cetak baik offline maupun online, Syafei punya banyak stok. Ia tinggal pilih yang terbaik.

Tapi, tidak-tidak. Ia harus menulis yang baru dan yang terbaik. Ia tidak boleh merendahkan lawan, Syafei tak mau kecolongan lagi.

Syafei menarik napas, ia pun mulai mengetik kisahnya :

Sepotong aksara jatuh ke bumi. Ia berasal dari langit keempat. Sepotong aksara itu menghujam masuk ke tanah dalam relung gelap dan sunyi di kebun belakang rumah sepasang suami istri ....

*****

Percakapan Sepasang Suami Istri

"Huh, sok cantik!" Bibir Manikam mencebik dengan mata tak lepas mengintip dari teropong bintang.

Sabari mengerutkan kening, ia yang sedang asyik main game di ponsel bangkit dari kursi. Mereka berada di teras lantai 2. Sejauh mata memandang terlihat rumah-rumah warga. “Siapa Dinda? Siapa yang sok cantik?” tanyanya dengan nada sabar.

“Siapa lagi kalau bukan Saroja,” sahut Manikam sinis. “Coba Uda tengok kalau tak percaya.” Ia bergerak dari teropong bintang. Sabari menuruti pinta istrinya.

Sabari mendapat teropong bintang itu dari atasannya, seorang bule asal Jerman. Sabari bekerja sebagai supir di perusahaan tambang batu bara. Di malam-malam kelam Mr Jansen sering mengajaknya mengamati bintang dari area luas lokasi tambang, memberitahunya berbagai rasi bintang. Ketika Mr Jansen habis kontrak, balik ke kampungnya di Jerman, ia memberikan teropong sebagai kenang-kenangan. Serupa seperti Mr Jansen di malam-malam kelam Sabari pun menggunakan untuk mengamati bintang bukan mengamati tetangga seperti yang dilakukan istrinya di hari terang benderang.

Perlahan tapi pasti usai menuruti pinta istrinya, Sabari mengarahkan kembali teropong bintang ke langit.

“Betul kan, sok cantik?” Manikam minta dukungan.

Sabari bin Sattam menghela napas. Ia adalah seorang lelaki yang jujur. Sabari tak menemukan ada prilaku sok cantik dari diri Saroja. Perempuan itu sedang berkebun, jadi di mana letak sok cantiknya?

“Kenapa Dinda berpikir Saroja sok cantik?”

Manikam mendengus. “Gimana tak sok cantik, berkebun pakai topi pantai, kaca mata semi rayben, masker, dan sarung tangan!”

Sabari tersenyum simpul. Menjadi suami itu harus mampu mencerdaskan istri, menuntun istri ke jalan yang benar, namun tentu saja dengan cara yang benar supaya kedamaian rumah tangga tetap lestari.

“Dinda, kalau Saroja berkebun pakai bikini, nah itu baru ajaib. Menurut Uda yang dipakainya wajar saja. Uda ini tidak membela Saroja. Uda hanya ingin menjelaskan kepada Dinda, karena Uda tahu Dinda adalah perempuan yang pintar, jadi Dinda dengarkan dulu ya, jangan langsung protes," ujarnya lembut.

Manikam mengangguk dengan muka masam.

“Dinda kan tahu lapisan ozon kita makin tipis, meski sekarang pukul 9 pagi tapi tengoklah panasnya sudah macam pukul 12. Uda pikir itu tujuan Saroja pakai topi. Perkara ia pakai topi pantai, berpikirlah positif mungkin itu yang ia punya, dia bukan petani jadi tak punya caping.”

“Terus kenapa harus pakai kacamata semi rayben?”

“Saroja itu kan orang kantoran, biasa menatap layar komputer, mungkin lapisan matanya jadi tipis, tak tahan dia dengan sinar benderang matahari.”

“Tapi tak perlu pakai masker kan? Memangnya tanaman menularkan covid?” sergah Manikam

Sabari nampak berpikir. “Oh … Uda tahu. Di kebun bukannya sering ada nyamuk. Saroja pakai masker supaya ia tak perlu garuk-garuk hidung karena tangannya kotor mengaduk-aduk tanah.”

“Namanya berkebun ya kotor, aduk-aduk tanah, haruskah pakai sarung tangan? Kalau tak mau kotor tak usah berkebun.” Manikam menatap Sabari, suaranya mulai lunak.

“Hmm ... Mrs Jansen, Uda lihat juga pakai sarung tangan saat berkebun.”

Manikam menghela napas. Wajahnya yang keras melembut, tapi lalu ….

“Ah, tetap aja Saroja itu sok cantik. Uda sudah tahu kan soal lowongan mencari suami itu?”

Sabari mengangguk.

“Dia pikir dia ratu sejagat apa, bakal banyak yang melamar! Huh, paling cuma Syafei dan Mahmud!”

“Sudahlah, Dinda. Namanya juga orang berupaya. Kita doa-kan saja akhirnya Saroja dapat jodoh. Bukannya akan …” mengurangi kenyinyiranmu. Lanjut Sabari dalam hati.

“Bukannya apa, Uda?”

Indak – indak. Tolong buatkan Uda kopi sana…” belok Sabari.

Baru Manikam akan beranjak … “Eh iya … apa Mahmud sudah kirim lamaran? Dapat nomer identitas berapa dia? Nomer 1 atau 2?"

Sabari tersenyum simpul, “Rahasia.”

Sontak Manikam merengut. “Uda juga tak percaya kalau aku pandai simpan rahasia?!”

“Jangan marah dulu, dong Dinda. Memang itulah jawaban Mahmud waktu Uda tanya. Rahasia, begitu katanya. Kami memang bersahabat tapi kalau ia bilang rahasia, Uda tak boleh memaksa."

Manikam melengos. “Huh memang Saroja tak hanya sok cantik tapi juga sok penting, semua dirahasiakan. Pelamar cuma 2 saja lagaknya pakai rahasia. Memang siapa juga yang mau tahu!" Ia mengomel-ngomel menuju dapur.

*****

Rendang Nenek

Sudah 3 hari ini, Lelaki Baik #9 demam. Dan sudah 3 hari ini, Jelita mantan istrinya menginap dan merawatnya.

"Sudahlah sebaiknya kamu pulang," kata si Lelaki Baik #9 yang bernama asli Mahmud bin Sobari.

"Tapi kan Uda masih sakit," jawab Jelita sambil menyapu lantai.

"Cuma demam, aku bisa urus diri sendiri. Kamu kan tahu hasil testku negatif covid. Pulanglah."

"Kenapa? Uda takut Saroja cemburu?"

"Saroja tak sepicik itu."

"Iya. Saroja memang tak sepicik itu tapi juga tak pernah cinta pada Uda. Kapan sih Uda mau menyerah? Sudah ditolak masih juga berharap. Dua tahun berlalu masih secinta itukah Uda padanya? Jangan bilang Uda sudah kirim surat lamaran."

"Aku sudah kirim."

"Hah, jadi bagaimana kita? Uda bilang kita akan rujuk."

"Yang bilang kita akan rujuk itu Manikam bukan aku."

"Tapi ... " Suara Jelita tercekat, "Manikam bilang Uda yang...."

"Itu maunya bukan mauku," potong Mahmud ketus.

"Uda sudah berubah. Semua karena Saroja. Apa Uda tak memikirkan kebahagiaan anak-anak. Mereka ingin ibu dan ayahnya rujuk?"

"Pulanglah ...."

"Aku indak mau pulang!"

“Ya, sudah kalau begitu aku yang pergi ke rumah Umi.” Mahmud bangkit menuju lemari, mulai mengemas pakaiannya.

“Uda, mau tinggalkan anak-anak?”

“Bukannya di rumah ini ada kau?” Mahmud menjawab tak acuh.

“Kenapa Uda begitu tak peduli pada anak-anak? Mengutamakan Saroja di atas segalanya. Uda demam, jangankan merawat, ia tak pernah tengok sekali pun.”

“Aku cuma demam biasa, kau saja yang cari peluang, besar-besarkan demamku. Saroja bahkan tak tahu aku sakit. Kami kan sudah tak sekantor lagi.”

Mahmud menghela napas. “Soal anak-anak, aku peduli, Saroja pun peduli. Kau yang tak peduli anak-anak. Jika kau peduli anak-anak dua tahun lalu kau tak akan meninggalkan mereka demi Umar.”

“Uda belum memaafkan aku?”

“Aku sudah memaafkanmu. Tapi aku indak mau rujuk denganmu. Pulanglah ke rumah ibumu atau ke Umar. Bukankah kalian belum bercerai?”

“Aku akan ajukan cerai kalau kita rujuk.”

“Ya, kalau begitu kau rujuk saja sama Umar.”

“Uda .…”

“Jelita selesaikan masalah rumah tanggamu. Jangan ulang kesalahan yang sama. Setiap ada masalah kau berpaling dengan lelaki lain. Mau sampai kapan? Dua tahun lalu kau sudah pilih Umar dibanding anak-anak dan aku. Bertanggung jawablah dengan keputusanmu.”

“Dan jangan bawa anak-anak untuk kita rujuk! Mereka sudah terbiasa tanpamu. Aku pun tak pernah larang mereka bertemu denganmu. Tanpa kita rujuk kalian bisa berjumpa."

“Lantas bagaimana kalau Uda ditolak lagi oleh Saroja?” suara Jelita bergetar menahan cemburu. "Uda akan menyesal tak rujuk denganku!" Tangisnya pecah.

“Perkara aku nanti akan tertolak lagi, itu urusanku bukan urusanmu, yang penting aku sudah berupaya,” sahut Mahmud dingin. "Percayalah aku tak menyesal tak rujuk denganmu."

“Sekarang siapa yang mau pergi dari rumah ini, aku atau kamu?” Mahmud memasukan handuk ke kopernya.

“Uda jahat!” Jelita membanting sapu. Terburu-buru perempuan itu membawa tas pakaiannya, lantas sekejap kemudian terdengar suara motornya menderu pergi.

 

Sungguh Mahmud tak ingin berlaku sekejam itu, tapi mau bagaimana lagi. Ia harus bersikap tegas dengan Jelita.

Umar bercerita Jelita pergi dari rumah karena cemburu dan tak tahan hidup nomaden. Apalagi di masa covid saat orang-orang dilarang berkumpul tentu saja usaha pasar malam keliling tak bisa beroperasi. Umar pun beralih profesi dari pemain tong setan jadi ojek online. Nah, di sini kadang penumpangnya adalah para penggemarnya. Perasaan Mahmud pada Jelita pupus sudah. Ia sungguh ingin Jelita bahagia dengan Umar. Soal dirinya, bukankah saat ini ia sedang mengupayakan kebahagiaannya?

Mahmud membuka laptopnya. Sejenak ia tercenung. Ia tak menyangka mendapat no urut 9. Ia pikir hanya akan ada dua peserta, ia dan Syafei. Jumlah peserta di luar perkiraannya, kata Mei di hari ke 12 ini sudah ada 27, membuat Mahmud ketar-ketir memikirkan para pesaing yang ia tak bisa prediksikan siapa mereka. Mahmud pun kena demam serupa penyanyi kena demam panggung. Terlebih ketika diminta menulis cerpen, jujur Mahmud akui ia merasa Saroja pilih kasih, jelas-jelas ia bukan penulis, pengalaman menulis terakhirnya ya ketika menulis skripsi.

Tapi, lalu Rubiyah binti Samad, kakak sepupunya bilang, “Jangan menyerah sebelum berusaha. Seorang penulis belum tentu pemenangnya. Karena si pemenang adalah si lelaki baik yang ceritanya mampu menyentuh hati Saroja yang terdalam.”

“Tapi aku menulis tentang apa, Uni?”

“Tulislah sesuatu yang paling menarik minatmu, sesuatu yang paling kamu pahami.”

Resign dari posisi Collector Manager dari perusahaan pembiayaan motor 2 tahun lalu usai perceraiannya dengan Jelita, Mahmud membuka usaha katering makan siang kantor, yang kemudian selama masa pandemi covid ia penyedia makanan untuk karantina mandiri. Maka tahulah kita ia tak mungkin menulis tentang aksara macam Syafei yang setiap hari berkutat meramu aksara menjadi cerita.

Jadi pembaca yang budiman, inilah yang ditulis Mahmud ….

Proses panjang membuat rendang yang enak bermula dari santan. Dan santan yang terbaik berasal dari kelapa yang dipilih oleh Jacky, si beruk milik pamanku ….

*****

Terang Bulan Terang Di Kali,

Buaya timbul disangka mati,

Hidup di dunia hanya sekali,

Maka janjimu tetap kunanti.

Serupa mantra Rusdah binti Kamil melapalkan pantun karya Bapak Ajip Rosidi itu. Pantun yang selalu mampu menerbitkan senyum di bibirnya. Pantun yang diketahuinya dari pelajaran bahasa Indonesia kala SMU, mata pelajaran favoritnya.

Dalam hal ihwal lowongan suami yang dibuat Saroja, menurut Rusdah, buaya timbul itulah Saroja. Disangka khalayak ramai, hati Saroja sudah mati ternyata hatinya masih hidup berdenyut kencang hingga membuat kehebohah di kampung.

Sedangkan untuk Syafei dan Mahmud, ada satu distikon yang Rusdah rasa cocok untuk mereka : Berkali kita gagal, ulangi lagi dan cari akal. (Hmm … apa pula distikon itu? Silakan pembaca yang budiman kembali membuka buku pelajaran bahasa Indonesia atau kalau mau cepat searching-lah di google)

“Sok intelek,” begitulah ucap Manikam binti Mulid di toko kelontong Baba Tan, siang tadi.

“Siapa Uni, siapa yang sok intelek?” tanya Rusdah polos sambil membaca tata cara membuat brownis kukus di kotak kemasan.

“Siapa lagi kalau bukan Saroja.”

“Maksudnya?” tanya Cik Susanti, istri Baba Tan yang sedang menimbang gula.

“Gimana tak sok intelek,” jawab Manikam, “meminta para pelamar yang lulus seleksi menulis cerpen untuknya. Menyusahkan saja!”

“Aih, Manikam,” Baba Tan ikut nimbrung. “Kupikir itu justru cerdas. Out of the box. Berbeda. Eureka!" (Pembaca yang budiman tolong jangan diperdebatkan kata terakhir yang diucap Baba Tan ini, karena sungguh ia tak paham makna eureka itu, ia hanya suka kata penuh semangat)

“Baiklah, tapi aku bertaruh dari semua pelamar, yang akan menulis cerpen cuma Syafei,” sergah Manikam sengit.

“Lagi pula jelas hanya ada dua orang yang melamar Saroja, tak akan ada orang lain. Cuma karangan Mei saja yang melamar sudah 30 orang!”

Indak. Kalau aku masih muda dan bujang mungkin aku akan melamar Saroja, dan aku akan menulis cerpen untuknya,” sahut Baba Tan sambil kipas-kipas. Bibir lelaki setengah baya yang setiap hari pakai celana bermuda dengan kaus putih itu senyam-senyum. Jelas terlihat ia ingin membuat Manikam semakin panas hatinya.

“Ya ampun, Baba Tan mau poligami, Cik!” lapor Manikam pada Cik Susanti yang berada di bilik dapur toko kelontong.

“Aku dengar yang diucap suamiku, Manikam,” serunya.

“Dan kau yang rupanya tak menyimak jelas padahal kau jelas di sampingnya,” lanjut Cik Susanti, ia membawa kue lapis yang masih hangat.

“Jelas suamiku bilang, kalau dia masih muda dan bujang. Lantas ia juga bilang mungkin yang artinya bisa iya bisa tidak. Kau, ini Manikam belajarlah mendengar perkataan orang dengan baik, jangan asal menyalak. Nanti kau sebarkan hoax pula, suamiku penggemar Saroja. Mau lamar Saroja. Mau poligami. Aih, hebohlah seluruh kampung.”

Rusdah tertawa. “Iya, Uni jangan cepat ambil kesimpulan. Salah pula. Tak bisakah Uni Manikam menangkap Baba Tan hanya bercanda?”

Manikam merengut.

“Eh … tapi kalau Baktiar bungsuku itu cukup umurnya dan belum punya pacar, pasti kusuruh ia kirim lamaran,” ujar Cik Susanti.

“Sayangnya umur Baktiar baru 20. Sementara minimal harus lima tahun lebih muda dari Saroja, dan maksimal 5 tahun lebih tua darinya.”

“Cik Susanti serius?” Manikam mendelik tak suka.

Cik Susanti tersenyum. “Iya, serius. Kupikir Saroja perempuan baik. Meski kami baru mualaf 5 tahun ini, ya tak apa kan?"

"Kata Ustad Zakaria perempuan itu dinikahi karena salah satu dari 3 alasan, agamanya, kecantikannya, atau kekayaannya."

"Tahulah kita Saroja punya 3 hal sekaligus. Makanya kupinta kemenakanku yang kerja di Hongkong melamarnya. Kalau ia berjodoh dengan Saroja, ia bisa pulang ke Payakumbuh, kasihan kali ibunya sudah tua, betapa senangnya jika anak mantu bisa berkumpul.”

"Si Willy?" tanya Rusdah. Cik Susanti mengangguk.

“Dan Willy sudah kirim,” lanjut Baba Tan dengan wajah sumringah. “Mei pun mengiyakan ketika kutanya apa sudah terima e-mail dari Willy.”

“Hah jadi Willy dapat no urut berapa?” Manikam dan Rusdah serempak bertanya.

“Rahasia,” jawab Cik Susanti dan Baba Tata serempak dengan gaya centil. Rusdah tertawa. Manikam merajuk.

“U … uh, rahasia lagi! Ya, sudah aku pulang,” sahut Manikam sambil membawa belajaannya.

“Eh Manikam jangan pulang dulu, kau kan belum bayar,” teriak Cik Susanti.

“Cik Susanti catat saja. Nanti kubayar akhir bulan!” jawab Manikam, lantas melaju dengan motornya.

 

Rusdah menatap langit malam. Purnama sempurna. Usai senyum menghias wajahnya mengingat kejadian siang tadi, kini purnama terang justru mengelapkan hatinya. Ia merasa sangat kesepian.

Jika akhirnya Saroja bertemu jodoh, ia tak lagi punya teman sesama jomblo akut. Selama ini ia punya Saroja dan Meilani, teman senasib sepenanggungan. Aih, pastilah aku akan jadi bulan-bulanan berikutnya Uni Manikam, keluhnya dalam hati.

Tapi mau bagaimana lagi, ia tak seberani Meilani yang bertemu jodohnya di facebook. Ia pun tak sepercaya diri Saroja. Apalagi ia memiliki kisah kelam yang tersembunyi. Kisah kelam yang harus ditanggungnya sendiri karena yang dimintai tanggung jawab telah lepas tanggung jawab. 

*****

Kita Adalah Sepasang Sepatu

Lelaki Baik #21, Darian Saragih jatuh cinta pada Saroja kala ia semester 3 bangku kuliah.

Senja itu ia tengah layu sayur kangkung. Tim basketnya kalah selisih 1 angka. Itu betul-betul kekalahan tragis. Darian pun mencakruk di bangku tim, ia merasa gagal jadi kapten. Sedang asyik mendayu-dayu, sekonyong-konyong pundaknya mendapat tepukan lembut.

"Sudahlah, tadi kau mainnya bagus kok. Tim mereka saja yang sedang beruntung," ujar Saroja muda.

"Tetap semangat!" Senyumnya ramah mendeburkan jantung Darian. Kibasan rambut potongan bob dan lekuk tubuh kurus tinggi merajai mimpi Darian berhari kemudian.

Mereka tidak satu fakultas meski satu kampus, kaus suporter menunjukkan itu. Darian fakultas hukum. Saroja fakultas ekonomi. Sering kali Darian sengaja bertandang ke fakultas ekonomi tapi yang dirindu tak nampak jua.

Hingga ketika ia sudah pasrah berharap bertemu saat KKN, di situlah dia, si gadis pujaan sedang asyik membaca buku di kelas kursus bahasa Inggris.

“Halo, Saroja apa kabar?" Darian menyapa dengan suara baritonnya. Ia berupaya sewibawa mungkin. Kewibawaan yang sering membuat banyak gadis terjerat pesonanya.

Gadis itu mendongak dari bukunya. Tertegun. Cuping hidung Darian mengembang, ia yakin Saroja terpana akan ketampanannya.

"Kabarku baik. Kamu siapa?" tanya Saroja bingung, ia merasa pernah melihat tapi lupa di mana.

Aih bisa kau bayangkan wajah Darian sontak merah macam kepiting rebus. "Aku ... aku .... "

Dan wuzz ... tiba -tiba seekor burung nazar menyambar si gadis pujaan. Dalam sekejap Darian diabaikan. Saroja tertawa renyah menyimak banyolan si burung nazar.

Si burung nazar tak lain tak bukan adalah Mister Topo alias Sutopo. Begitulah si guru bahasa Inggris memperkenalkan dirinya. Darian, Saroja, dan Sutopo seumur. Di dalam kelas, Sutopo wajib dipanggil Mister Topo, tapi di luar bolehlah kau panggil saja dengan Topo.

Darian tak habis pikir apa yang menarik dari diri seorang Sutopo. Secara postur tubuh Darian lebih juara, ia tinggi atletis, sedangkan Sutopo kerempeng bahkan setinggi Saroja.

Secara wajah, Darian kembali jadi pemenang begitu pun secara ekonomi. Sutopo pakai angkot sedangkan Darian pakai motor besar dengan jok nungging.

Hal lebih dari Sutopo hanyalah ia yang dari fakultas sastra Inggris menjadi guru mereka di tempat kursus.

“Apa hebatnya, Topo?"

Gadis itu diam saja.

“Apa kamu mengabaikan semua hadiah yang kuberi? Topo pernah kasih kamu apa? Dia nggak punya uang.”

“Aku nggak pernah minta semua hadiah itu kan,” jawab Saroja .

“Saat kamu ulang tahun, akulah yang bikin acara supraise buatmu, bukan Topo,” ujar Darian gemas.

Gadis itu kembali diam saja.

“Tinggalkan Topo, jadilah pacarku.”

Saroja menghela napas. “Aku nggak akan tinggalkan Topo karena aku bukan pacarnya."

"Dan maaf aku juga nggak mau jadi pacarmu. Kamu dan Topo itu temanku. Tidakkah bisa kamu mengerti aku nggak punya perasaan lebih selain cuma teman pada kalian berdua.”

“Saroja, please. Aku bisa kasih apa pun yang kamu mau,” bujuk Darian.

“Betul, kamu akan kasih apa pun yang aku mau?” tanya Saroja.

Darian mengangguk.

“Darian ….”

“Ya.”

Leave me alone. Oke?” Dan Saroja melenggang pergi.

“Saroja, kamu perempuan paling jahat yang pernah aku kenal!” teriak Darian.

Tanpa menoleh, Saroja melambaikan tangan,  what ever ….

Berminggu-minggu Darian berusaha menghubungi Saroja tapi gadis itu memang sengaja menghindarinya. Hingga tibalah waktu ketika langit berada pada titik paling gelapnya menjelang subuh, Darian pun mengucapkan sumpahnya, “Saroja binti Zamzani, kamu tidak akan pernah menikah kecuali denganku!”

 

Langit mendung. Hujan berangsur turun, lambat namun konsisten. Darian memandang sepasang sepatu usang penuh cinta. Sepasang sepatu yang dipilihkan Saroja saat ia akan ujian skripsi. Atau lebih tepatnya ia yang memaksa Saroja memilihkan sepasang sepatu itu.

Sepasang sepatu yang membawa Darian menuju kesuksesan demi kesuksesan sebagai seorang pengacara, tapi Darian percaya sepasang sepatu itu pula yang membuat kegagalan demi kegagalan dalam pernikahannya. Darian menikah dua kali. Bercerai pula dua kali.

Sumpah itu rupanya berlaku tidak hanya buat Saroja tapi juga untuk dirinya. Dari Sutopo ia mendapat informasi lowongan Saroja mencari suami. Sutopo mendapatkan informasi dari mantan muridnya.

“Apa kau akan mengirim juga?” tanya Darian cemas.

“Iya, kalau aku masih bujang. Tapi kan sekarang aku sudah nikah,” jawab Sutopo ringan sarat canda.

Darian memandangi hujan penuh tekad. Kilat menyambar pohon asam. Guntur menggelegar. Darian Saragih pengucap sumpah akan mencabut sumpah itu. Darian pun mulai menulis kisahnya ….

Sepasang sepatu tak harus berwarna seragam untuk menuju tujuan yang sama. Mereka boleh saja berbeda warna, meski butuh keberanian untuk melakukannya. Padamu kuingin mengajak menuju petualangan itu ….

*****

Cemburu Itu Peluru

Karenanya ia mampu membunuhmu. Ismi binti Fuad tahu itu, pada masa lalu ia pernah merasakan cemburu yang serupa peluru.

Saat 17 tahun, masanya jatuh cinta, begitulah pula yang dialami Ismi. Rasa cinta pertama pada seorang sosok dewasa, mengayomi sekaligus lucu. Pelajaran bahasa Inggris yang bagi Ismi selalu meruntuhkan rasa percaya dirinya, teman-temannya selalu mengolok ia punya logat aneh saat melafalkan menjadi tak lagi membebani jiwa ketika si sosok dewasa bahkan mengikuti logat itu. Ismi merasa dihargai, tak lagi direndahkan.

Maka inilah cinta seorang siswa pada gurunya, namanya Mister Topo alias Sutopo. Namun cinta itu langsung menjelma menjadi peluru yang sanggup membunuh tak kala Mister Topo melihat Puan Saroja binti Zamzani mengantarnya ke sekolah.

Ismi yang siswa SMK sedang PKL di kantor Saroja, siang itu ia harus balik ke sekolah memberi laporan pada guru pembimbing, karena Saroja ada janji makan siang dengan teman, sekalianlah Saroja mengantar Ismi yang sekolahnya searah.

Begitu turun dari mobil, di parkiran Mister Topo menyapanya, “Ismi, apa kau adik Saroja?”

“Mister Topo kenal dengan Uni Saroja?” Ismi balik bertanya.

Guru idolanya itu mengangguk, senyum menghias wajahnya.

“Bukan Mister, saya tetangganya.”

“Tapi bisakan kau kirimkan salamku pada Saroja?”

Ismi mengangguk lirih, hatinya hancur seketika mendapati tatapan Mister Topo yang melihat mobil Saroja menjauh serupa tatapan Kapten Yoo pada Dokter Kang, para tokoh drama korea Descendants Of The Sun.

Cemburu yang membuat Ismi tak pernah menyampaikan salam, termasuk ia yang juga tak memberikan surat Mister Topo pada Saroja. Ia membaca surat itu lalu membakarnya. Ia bahkan berbohong kalau Saroja akan segera menikah.

Penyesalan memang selalu datang belakangan, karena kalau duluan namanya pendaftaran. Kini Ismi semester 2, fakultas ekonomi, jurusan akuntansi, serupa jurusan kuliah Saroja.

Setelah mengharu biru merasakan patah hati cinta pertama, usai tangis yang tak berkesudahan, akhirnya Ismi menyadari ia telah mensabotase seseorang bertemu jodohnya. Bukankah itu salah satu perbuatan dosa. Aih, Ismi tak mau masuk neraka sebab cemburu apalagi soal sepele macam cinta bertepuk sebelah tangan. Wajarlah Mister Topo memilih Saroja, mereka dua orang sesama dewasa. Sedangkan Ismi akan selalu hanya seorang bocil di mata Mister Topo.

Dari benci, Ismi balik mengidolakan Saroja, yang dilihatnya sebagai sosok keren, mandiri, independen, sukses meski sendiri. Ismi pun meniru semua yang dilakukan Saroja, termasuk memotong rambut panjangnya menjadi potongan bob. Ikut berhijab ketika Saroja berhijab.

Ketika kini Saroja berkaca mata, Ismi pun meniru meski matanya tidak minus apalagi plus. Ismi beli frame yang serupa bagai pinang dibelah dua.

Ismi ingin seperti Saroja, apalagi sejak ayahnya juga meninggal saat semester satu. Ia merasa senasib seperti Saroja, wajib hukumnya menjadi perempuan yang kuat serupa prajurit untuk melindungi ibu dan adiknya.

Maka ketika sore ini, Ismi mewakili ibunya di arisan dasa wisma, mendapati Manikam mulai menuding Saroja dengan berbagai tuduhan, Ismi pun maju tak gentar sebagai pembela Saroja padahal ia dikenal sebagai gadis pendiam dan pemalu.

“Halah semua urusan lowongan suami ini cuma modus Saroja saja,” begitulah ujar Manikam sinis.

Modus apo?” tanya Umi Shopiah, ibunda Syafei.

“Modus untuk mendapat cinta Syafei,” jawab Manikam sambil memberi lirikan khusus pada Umi Widuri, ibunda Mahmud.

Yang dilirik sontak tersengat. “Maksudnya?” tanya Umi Widuri.

Peserta arisan lainnya mulai kasak-kusuk. Ismi gelisah ingin segera bersuara.

“Saroja itu pada akhirnya jatuh cinta pada Syafei. Tapi tentu saja dia, perempuan anggun nan berkelas malu mengakui,” kata Manikam penuh drama, senang teorinya disimak.

“Betapa malunya dua tahun lalu ia menolak Syafei sekarang ingin memilih Syafei. Malu dituduh penggemar brondong, karena seperti kita tahu Syafei lebih muda lima tahun.”

“Syafei tak seperti dulu, penulis kuncup, kini novelnya sudah ada yang difilmkan, tentulah Saroja ingin ikut ambil peran di karier cemerlang Syafei dengan jadi istrinya.” Ia menatap seluruh peserta arisan dengan alis naik turun. Senyum serupa tokoh antagonis sinetron menghias wajahnya.

“Ya, ampun jadi begitu,” sahut Umi Shopiah, “Kenapo Saroja tak bilang saja pada Sadiah, ibunya jika malu. Sadiah bisalah menyampaikan padaku. Kami tak masalah kalau harus melamar ulang.” Senyum menghias wajahnya, senang akhirnya bujangnya dapat jodoh yang diingin.

“Memangnya Umi Shopiah sudah tak marah lagi dengan Saroja karena pernah menolak Syafei?” tanya Manikam, ia kembali memberi lirikan khusus pada Umi Widuri.

“Yang lalu sudah berlalu, tak perlu diingat-ingat. Kalau anakku, Syafei bahagia, aku pun tak boleh menghalanginya,” jawab Umi Shopiah sumringah.

Umi Widuri mendengus kesal. “Tega sekali, Saroja memberi harapan palsu pada anakku. Sampai tak tidur Mahmud menyelesaikan cerpen untuk Saroja. Bolak-balik liat kamus EYD supaya rapi, tak salah eja, tak salah tanda baca. Kurang baik apa Mahmud?”

“Etek Manikam, Etek itu jangan asal ngomong tanpa bukti!” Ismi akhirnya bersuara, ditatapnya tajam Manikam. “Nenek Shopiah dan Nenek Widuri jangan termakan teori Etek Manikam. Uni Saroja tak mungkin melakukan itu.”

“Ya, ampun Ismi mana mungkin aku omong tanpa bukti,” sanggah Manikam. “Bukti jelas di depan mata, pelamar disuruh menulis cerpen, siapo yang punya keahlian menulis selain Syafei?"

"Umur pelamar minimal 5 tahun lebih muda dari Saroja, itu umur Syafei. Kalau ia tidak mengincar Syafei seharusnya minimal seumur dengannya."

“Uni, yang melamar Saroja kan bukan cuma Syafei?” Rusdah ikut bersuara.

“Rusdah, memangnya kamu percaya yang lamar perhari ini sudah 40 orang? Itu cuma karangan Mei."

"Pengumuman cuma dipasang di kampung kita. Tak ada di tempat lain. Tentulah tujuannya hanya untuk orang kampung ini. Terutama Syafei. Saroja tahu hanya akan dua orang penggemar sejatinya yang melamar, tapi ia perlu lah menjaga perasaan Mahmud, kalah karena kompetisi bukan serta merta ia memilih Syafei.”

“Apa kalian lupa betapa pengorbanan Mahmud saat covid kemarin. Siapa yang mengurus keperluan makan Saroja di karantina kalau bukan Mahmud. Memastikan Saroja makan sehat. Memastikan Saroja tak kena varian delta. Tentulah Saroja tak bisa melupakan kebaikan Mahmud dengan begitu saja menikahi Syafei.”

“Manikam kamu jangan sembarangan bicara,” Cik Susanti ikut angkat suara. “Baiklah kuberi tahu, Willy itu si lelaki baik nomer 40. Bagaimana mungkin bisa dapat urut sejauh itu kalau yang melamar cuma 3, Mahmud- Syafei- Willy.”

Ismi maju menunjukan layar ponselnya ke Manikam. “Etek, ini bukti pelamar bisa lebih dari 3 orang dan tak hanya orang kampung kita." Terpampang jelas lembar foto lowongan suami berwarna kuning.

“Maksudnya?” Manikam mengeryitkan dahi

“Maksudnya," Ismi berusaha bicara dengan nada sabar, “meski hanya ditempel di poskamling kampung kita, tetap bisa di-viralkan, dengan satu klik.” Dan begitulah Ismi menyebar lembar foto lamaran di akun twitternya.

Manikam melotot. Ismi tersenyum penuh kemenangan. “Dan bisa saja dari awal sudah banyak orang kampung sini yang melakukan.”

“Halah biar kamu viralkan memangnya ada yang mau melamar. Paling cuma jadi bahan komen netijen,” sanggah Manikam.

“Etek, buktinya sudah 37 orang melamar selain Paman Mahmud, Kak Syafei, dan Koh Willy.”

“Tak bisa dikatakan terbukti kalau tak ada data nyata. Semua identitas pelamar dirahasiakan, harusnya diberitahukan jadi tak ada kecurigaan kecurangan. Semua harus transparan, terbuka,” bantah Manikam sengit. “Jadi seluruh kampung bisa lihat siapa-siapa saja pelamar Saroja.”

Ismi tertawa sumbang. “Kenapo, karena Etek Manikam sebenarnya kesal, tak bisa komentari para pelamar? Setiap bertanya selalu dijawab, rahasia?”

“Etek, Uni Saroja bukan lembaga negara, jadi tak ada kewajiban bersikap transparan. Para pelamar tak protes kenapa Etek yang galau. Soal-lamar melamar lowongan suami atau istri kan ranah pribadi, sikap rahasia boleh-boleh saja!”

“Dan aku yakin Uni Mei, Etek Rubiyah adalah orang-orang yang amanah. Tak ada faedah mereka melakukan rekayasa. Mengarang-ngarang jumlah pelamar.”

“Lagi pula kenapa sih, Etek nyinyir kali? Etek cemburu pada Uni Saroja? Apa salah Uni Saroja sampai Etek begitu membencinya? Kalau Etek terus nyinyir, bisa jadi di kampung ini cuma Etek yang tak akan diundang di pernikahan Uni Saroja kelak! Apa Etek mau disingkirkan begitu?”

Wajah Manikam pias, cemas kalau ia satu-satunya yang tak diundang. Aih betapa memalukannya. “Ah, mana bisa Saroja tak mengundangku. Aku kan warga kampung sini.”

“Tapi Etek, tak ada hukumnya Uni Saroja wajib mengundang Etek. Suka-suka yang mengundang. Dan kurasa semua orang akan paham kalau Etek tak diundang!”

Manikam menatap tajam Ismi. ”Kita buktikan sajo, pegang ucapku, pastilah Syafei yang akan menang. Saroja yang kau puja tak sebaik yang kaukira,” ujarnya sengit. Ia lantas pergi.

“Eh, Manikam … kau belum bayar arisan!” teriak Sanaah si bendahara.

"Kau bayarin dulu nanti kuganti,” teriaknya sambil memacu motor.

 

Dada Ismi masih panas mengingat perseteruannya dengan Manikam. Benaknya bertanya-tanya, apa sih sebenarnya salah Uni Saroja, sampai-sampai sikap Etek Manikam sesinis itu? Ismi tahu Manikam memang si Ratu Nyinyir, adakah hanya karena nyinyir saja atau sebab lain?

*****

Ketika Kumbakarna Jatuh Cinta

L’Amour, Les Baquettes, Paris – Stella Jang, mengalun untuk kesembilan kalinya. Kurniawan sengaja mencatatnya dalam wujud garis hitung di selembar kertas. Dari pukul 09.00 pagi sampai dengan 11.30 siang lagu itu akan mengalun, selanjutnya sunyi, sepi, senyap.

Sudah seminggu kebiasaan tetangga barunya itu menjadi rutinitas bagi Kurniawan pula. Mereka bukanlah penyewa apartermen super mewah hingga punya dinding kedap suara. Mungkinkah meja kerja mereka berhadapan? Kurniawan tidak tahu, mereka belum saling berkunjung.

Kurniawan juga tidak tahu, apakah tetangganya perempuan atau laki-laki. Ia tahu ada penghuni baru karena mendengar suara barang-barang dimasukkan di unit yang sudah setahun kosong.

Hidup di era online ini semua bisa dilakukan tanpa harus ke luar rumah, contohnya nyatanya Kurniawan yang bekerja sebagai seorang gamer, programmer, dan trader. Ia bekerja di rumah, pesan makanan online, belanja keperluan apapun online, bahkan dokter online.

Tapi apakah itu berarti ia tak punya teman? Tidak juga, Kurniawan punya teman dari tempat-tempat jauh – Mozambique, Alaska, Jakarta – sementara ia di New York. Sepanjang orang-orang dari tempat jauh itu membagikan cerita mereka di dunia online, maka jarak tak jadi masalah. Namun meski berbagi dinding tapi memilih untuk saling menutup diri maka segalanya tetap jadi misteri ….

 

Lelaki Baik #1, Kumbakarna menyesap kopinya. Itulah penggalan cerpen yang sudah ia kirimkan untuk Saroja. Apakah perempuan itu akan menyukainya? Sungguh ia berharap karena Kumbakarna dengan sengaja telah menyisipkan salah satu lagu favorit Saroja – L’Amour, Les Barquettes, Paris.

Kumbakarna mengetahui itu dari salah satu postingan Saroja di blog-nya. Bahwa di masa-masa ketika Saroja ingin membuat dirinya terbang ke tempat jauh – lagu itulah yang didengarnya.

Kehidupan WFH di masa pandemi covid bukanlah hal mudah bagi orang yang biasa beredar, begitulah dugaan Kumbakarna, kenapa Saroja butuh terbang ke tempat jauh. Tapi dari cerita selanjutnya ia tahu, Saroja butuh pergi ke tempat jauh ketika ia sedang merasa sesak napas – sayangnya Saroja tak menjelaskan apa yang membuatnya sesak napas.

"Saroja, apakah kamu ingat diriku, raksasa dari negeri Alengka?" Tanya Kumbakarna sambil menatap satu-satunya foto diri Saroja di blog. Seorang perempuan dewasa dengan celana panjang dan kaus v-neck warna pink, memakai topi pantai, kaca mata semi-rayben, bermasker, bersarung tangan – sedang berkebun.

Perjumpaan Kumbakarna dengan Saroja terjadi saat umurnya 9 tahun di sebuah kota di Kalimantan – Balikpapan. Ayah Kumbakarna seorang ahli geologi yang bekerja di perusahaan migas asal Prancis. Sementara ayah Saroja adalah seorang pegawai negeri di kantor kotamadya.

Kumbakarna berayah Afrika-Prancis, beribu Solo-Belanda. Hingga dibanding anak-anak sekelasnya, ia yang bertubuh bongsor -nampak seolah raksasa, belum lagi dengan kulit yang keling. Anak-anak Indonesia rata-rata berkulit sawo matang.

Meski ia raksasa, ia tetaplah berhati manusia, hati anak-anak yang punya harapan sama ditemani ibu di hari pertama sekolah baru, tapi ibu dan ayahnya bercerai. Kumbakarna ikut sang ayah, sementara adiknya ikut ibunya.

Siapa yang dicari seorang anak ketika ia jatuh dan terluka? Ibunya, tapi begitulah tak ada ibu yang menghampiri ketika seorang anak mendorongnya hingga jatuh terjerembab di lapangan bulu tangkis sekolah. Darah mengalir di lututnya, siapa peduli – kecuali hanya tawa anak-anak melihat raksasa menangis sesunggukan.

Saat itulah gadis kecil berseragam TK, berkuncir dua menghampirinya. Mengambil dari tas : kapas – obat merah – plester.

“Selesai,” ujar gadis kecil itu riang usai mengobati luka Kumbakarna. “Aku juga biasa berdarah kok, Kak,” lanjutnya ringan sambil menunjukkan deretan bekas luka di kaki kanan dan kiri. “Makanya, Umi eh maksudnya ibuku bekalin ini ….” Gadis kecil itu menepuk dompet P3K.

“Kamu siapa?” tanya Kumbakarna

“Aku, Saroja binti Zamzani.” Dengan mantap ia menjabat erat tangan Kumbakarna, karena begitulah Zamzani selalu mengajarkan anak-anaknya ketika berkenalan, jabat erat, sebutkan namamu dengan jelas.

Jemari mungil Saroja lembut serupa kapas dalam genggaman Kumbakarna.

“Kakak?” Saroja ganti bertanya.

“Kumbakarna.”

“Wow keren … raksasa dari negeri Alengka.” Saroja tersenyum lebar, dua gigi kelinci renggangnya terlihat.

 

Sama seperti Kurniawan tokoh cerpennya, saat ini Kumbakarna tinggal di New York. Jarak ribuan kilometer dari Payakumbuh, di belahan bumi yang lain. Perkara ia menjadi si lelaki baik #1 menelikung posisi Syafei tetangga satu kampung Saroja, karena setiap malam bacaan menjelang tidurnya adalah blog milik Saroja binti Zamzani – bungosaroja.

*****

History Of Love

Sebab sebuah pujian, aneka ragam kisah cinta Saroja bermula. Saat family day kantor, Saroja memuji rendang buatan Mahmud enak.

“Rendang paling enak yang pernah aku makan,” begitu pujinya dengan mata berbinar serupa binar yang dimiliki para penggemar durian. “Hmm … yummy,” lanjutnya.

Bola mata mereka bertemu, binar mata Saroja langsung menghujam, membuat jantung Mahmud berdebur tak karuan. Mahmud sempat mengutukki dirinya. Ia lelaki beristri - saat itu Mahmud masih berstatus suami Jelita, bagaimana mungkin ia merasakan deg-deg ser seolah pemuda tanggung jatuh cinta.

Binar Saroja itu ternyata tak hanya ditujukan pada Mahmud. Erina, bagian kasir yang membuat udang furai renyah juga mendapatkannya. Mahmud mencoba udang furai-nya, ia pun menyadari Saroja tak asal memuji apalagi basa-basi, artinya rendangnya memang layak dipuji.

Mahmud memahami ia tak boleh membiarkan perasaan itu berkembang, meski pernikahannya dengan Jelita sedang bermasalah. Debur jantung seorang suami haruslah hanya untuk istrinya. Tapi Mahmud tak kuasa menahan keinginan untuk mendapat pujian demi pujian dari Saroja.

Mahmud semakin rajin memasak, membawanya ke kantor dengan porsi banyak tentu agar tak menuai kecurigaan karena sesungguhnya yang ditunggu pujian Saroja. Hingga ketika akhirnya Jelita mengajukan gugatan cerai, memilih Umar, cintanya semasa SMU, Mahmud tak terlalu sakit hati.

Demi anak-anak Mahmud resign. Pekerjaannya sebagai Collector Manager sangat menyita waktu, belum lagi beban emosi yang sering terbawa ke rumah- penyebab perceraiannya dengan Jelita. Bagi Mahmud tak apa ia harus kehilangan istri tapi ia tak sanggup jika anak-anak meninggalkannya. Dukungan dari pujian Saroja itulah ia memulai usaha penyedia katering makan siang di kantor-kantor.

Bisa dikata usahanya mengandung peribahasa sambil menyelam minum air, ia akan terus bisa mendapat pujian dari Saroja dan perlahan namun pasti mulai melakukan langkah-langkah pendekatan. Mahmud sering menyelipkan surat-surat singkat di kotak makan Saroja. Ia tak lagi memanggil Saroja dengan Oja, kalau sedang di luar kantor. Bu Saroja, kalau sedang di kantor. Ia memanggil Saroja dengan Dinda. Dan mulai membahasakan dirinya dengan sebutan Uda.

Dinda, jangan sampai telat makan siang, ya. Nanti sore, Uda kirim pastel sayur kesukaan Dinda. Itulah salah satu contoh surat Mahmud. 

Kisah Saroja dengan Syafei pun setali tiga uang. Bermula dari pujian. Menjadi penulis itu susah. Beban perasaannya besar.

Tulisan sudah lolos seleksi editor majalah, tapi tak ada penghargaan orang di sekeliling, cerita bagus pun menjelma seolah debu ditiup angin.

Sebaliknya menulis di media online, meski cerita sudah lulus kurasi, cerita bagus, tapi sepi pembaca, kau pun terpaksa menghibur diri, tak selalu mutiara terpendam ditemukan.

Maka siang itu, saat Saroja datang menengok ibunya yang sedang sakit, lalu tiba-tiba berkata, “Syafei – cerpenmu yang bunga randu itu bagus deh. Aih, benarkah bunga randu wangi?” tanya Saroja dengan mata berbinar.

Bola mata mereka bertemu, jantung Syafei bergemuruh dan wuzz … Saroja pun mengisi mimpi-mimpi Syafei setiap malam. Demi meraih cinta Saroja, ia yang sempat patah arang jadi penulis, kembali berlatih mengasah kemampuan diri menulis cerita yang baik, yang komersil. Novelnya harus difilmkan agar Saroja tak ragu memilihnya jadi suami. 

Meski Saroja selalu menganggapnya tak lebih dari seorang adik tapi setiap mengirim novel ke Saroja, Syafei selalu menyelipkan surat : Semoga novel ini bisa menemani Dinda di minggu yang cerah. Love – Uda Syafei.

“Jadi di antara dua lelaki baik itu manakah yang kau pilih, Oja?” tanya Rubiyah.

Saroja menghela napas. Sedih. "Aku tidak punya perasaan khusus ke mereka, Uni."

Ia sudah pernah menolak mereka dua tahun lalu. Namun mereka tak mundur juga. Perhatian tetap sama. Surat-surat singkat tetap datang, meski ibu mereka bermuka masam padanya setiap bertemu.

“Uni harus merunduk jika mau menikah,” ujar Meilani.

Saroja mengangguk. “Aku ingin buat Umi bahagia, tapi aku ingin menikah karena cinta bukan karena kasihan, terpaksa apalagi status. Kalau pernikahanku tidak bahagia, Umi pasti juga bersedih kan?"

“Kalau begitu marilah kita membuat Uni jatuh cinta,” lanjut Mei. Dan imaginasi liar Meilani pun hadir di dunia nyata.

 

Saroja tercenung. Ini adalah hari penentuan itu, dalam waktu tiga puluh menit, sesuai janji yang sudah disepakati ia akan bertemu dengan lelaki pilihan ibunya. Telapak tangan Saroja pun mendingin.

Semua bermula dari muramnya wajah Sadiah binti Zumar pada suatu petang.

“Umi, sakit?” tanya Saroja

Sadiah mengangguk.

“Ya, sudah kita ke dokter. Oja antar.”

Sadiah menggeleng. “Umi, bukan sakit fisik. Umi sakit hati.”

Saroja mengeryitkan dahi. “Umi marah pada Oja?”

Indak. Umi tak marah padamu. Umi marah pada Manikam.”

“Maksud, Umi?”

“Entah ada masalah apa Manikam itu," Sadiah memulai ceritanya. “Setiap kali bertemu aku selalu sajo bertanya kapan kamu kawin. Tak punya hatikah Saroja menggantung perasaan Mahmud dan Syafei? Apa Saroja mau jadi perawan selamanya?!”

“Hari ini kusemprot dia. Kukatakan padanya, kenapo kamu nyinyir? Anakku bahagia meski sendiri. Ia tak pernah bikin susah orang. Ia kebanggaanku. Mahmud dan Syafei sajo tak berkeluh kenapa kamu yang repot!"

"Kalau kau nyinyir terus, kulaporkan kau ke Bu RT, kalau perlu ke polisi. Biar kau diusir dari kampung sini!” Sadiah mengipas-ngipas dirinya dengan tangan, emosinya tumpah ruah. 

Sebenarnya bukan hanya Sadiah saja yang kena nyinyir Manikam. Suatu malam sedang lelah-lelahnya pulang dari kantor, Saroja yang baru akan menutup pintu pagar setelah memasukan mobilnya mendapat cercaan yang datang tiba-tiba. “Hei, Saroja kapan kau kawin? Apa sengajo kau bikin Mahmud dan Syafei menunggu selamanya? Menyesal kau kalau mereka nanti bertemu perempuan lain!”

Saroja memilih tidak menjawab. Beruntung selama covid wajib pakai masker, jadi ia bisa melindungi raut kesalnya.

Saroja melanjutkan menutup pintu pagar, menganggap ocehan Manikam tak lebih dari angin lalu. Meski nun jauh di lubuh jiwa, Saroja merasa tak enak pada Sardiantun yang ramah dan baik hati. Didengarnya pula Sardiatun membujuk adik iparnya yang nyinyir itu. “Sudahlah, kenapa sih. Orang baru pulang kerja. Lihatlah betapa lelahnya Saroja, malah kau cerca seperti itu.”

Tapi Manikam malah ngomel-ngomel dan meneriaki Saroja, ”Dasar perempuan berhati batu. Ditanya bukannya jawab, malah tutup pagar!”

 

Blind Test, begitulah ide awal dari urusan lowongan mencari suami ini, mengkompetisikan Mahmud dan Syafei.

Faktanya jika Saroja ingin segera menikah, ia cuma punya dua lelaki baik itu sebagai kandidatnya. Namun jika kompetisinya terbuka Saroja tak mau pertikaian kembali terjadi di antara dua kubu Umi, Etek, dan Uni seperti yang terjadi dua tahun lalu.

Kubu Mahmud, bilang, “Mana layak Syafei jadi suami Saroja. Lebih muda 5 tahun. Galau pula. Sudah bagus jadi Supervisor Marketing, gaji besar. Resign karena ingin jadi penulis. Mau dikasih makan apa Saroja. Dikasih makan cerita?”

Kubu Syafei, menanggapi,” Mahmud saja ditinggal Jelita. Sudah jelas ia tak layak jadi suami! Meski masih penulis kuncup, tapi Syafei warisi kebun kakao dari ayahnya. Tak akan susah hidup Saroja!”

Aih betapa ricuhnya. Dan ketika akhirnya Saroja menolak keduanya, genaplah 12 laki-laki yang telah ditolak lamaran olehnya sejak ia 20 tahun, Saroja pun mendapat predikat : perempuan berhati batu.

Karena itu lowongan hanya ditempel di poskamling kampung mereka. “Uni, semoga ada pelamar lain,” kata Mei penuh semangat. “Jadi kesempatan Uni untuk bertemu dengan kandidat lain dan jatuh cinta semakin luas.”

Saroja hanya menanggapi semangat Mei dengan senyum tipis. Siapalah dia, bukan ratu sejagat. Saroja pun tak menyangka, ada 59 orang yang mengirim surat lamaran. 45 orang lulus seleksi. Dan 36 orang bersedia menulis cerpen untuknya.

Blog yang dipakai untuk melihat syarat dan ketentuan memang blog-nya. “Supaya calon pelamar bisa kenal Uni. Media sosial kan sekarang branding kita,” kata Mei. 

Tapi alamat e-mail adalah milik Mei karena sampai akhir Saroja tak boleh tahu identitas pelamarnya. Hanya mengenal mereka dari cerpen yang ditulis yang itu pun tak ada nama penulisnya atau kode identitas pelamar. Urusan layak tidaknya kandidat, ia harus percaya seratus persen pada seleksi awal yang dilakukan Rubiyah dan Meilani.

Perkara cerpen, Saroja awalnya sempat ragu – karena ia tak mau pilih kasih pada Mahmud. Ia ingin bersikap adil.

Tapi Rubiyah menyakinkan, “Seorang penulis belum tentu jadi pemenang, Oja. Kau ingat kan kompetisi masak yang kita tonton itu, yang pakai blind test. Eh si pemenang bukan chef yang punya restoran tapi amatir yang hobi masak. Ya, meski selisih nilainya cuma 2 poin.”

Lalu kenapa menulis cerpen? Karena pada masa lalu, ketika seorang laki-laki jatuh cinta pada perempuan, salah satu upayanya adalah menulis surat cinta. Surat cinta pertama diterima Saroja kala ia kelas 1 SMP dari kakak kelas 3, namanya Rais. Surat diselipkan di laci meja.

“Surat cinta bagus tapi terlalu ambigu. Sedangkan lewat cerpen yang dia tulis kita bisa tahu setidaknya sedikit kepribadiannya Uni,” kata Mei.

"Apalagi Uni kan suka membaca. Cinta bisa hadir lewat cerita."

“Anggap aja Uni itu universitas di luar negeri. Mahasiswa yang ingin kuliah di universitas tertentu kan wajib menulis essai, nah karena ini soal jadi suami tak apalah menulis cerpen."

"Dari kelas 3 SD semua anak sudah terlatih. Setiap usai liburan bagi raport, guru bahasa Indonesia selalu kasih tugas menulis cerita. Pasti bisalah mereka, asal ada kemauan.”

“Jadi kelak kalau Uni sedang kesal dengan suami, Uni bisa mengingatkan diri, aih kenapa pula aku marah-marah hanya karena ia lupa tutup pasta gigi, taruh handuk basah di kasur, bukannya ia pernah bersusah payah menulis cerpen untukku.”

Saroja tersenyum mengingat percakapannya dengan Mei meski kemudian kecemasan menyerangnya, bagaimana kalau lelaki terpilih adalah salah satu dari 10 laki-laki yang pernah ia tolak lamarannya? Karena tujuan awal kan hanya Mahmud vs Syafei.

“Ya, ampun bagaimana ini, kenapa pula aku mengikuti saran Mei,” keluhnya. Telapak tangannya semakin dingin. Lima menit lagi ia akan berjumpa lelaki itu.

Saroja menarik napas. Tegang. Tidak-tidak, tidak mungkin salah satu dari 10 lelaki itu, mereka bukannya kini sudah menikah semua? Kalau pun kembali single, Umi tahu siapa mereka jadi tak mungkin memilihnya. Saroja coba menenangkan diri.

Angin berhembus. Bunga-bunga bahunia warna kuning luruh ke tanah. Saroja memungutnya satu. Sepasang sepatu nampak di depannya. Ia tertegun. “Sepatu itu …” Saroja mencoba mengingatnya. Ia mendongak. Lantas tercengang.

“Halo, Saroja apa kabar?” Suara bariton laki-laki itu menyapanya. Dan pandangan Saroja menggelap seketika.

***** 

Rubiyah binti Samad

"Uni Saroja pingsan?" tanya Mei.

"Indak," jawabku sambil tersenyum. "Tiba-tiba lampu mati, jadi ya gelap."

"Aih, kok bisa mati lampu? Padahal di restoran mewah, hotel bintang 4,"sahut Mei.

"Ya, bisa aja, Etek," Badaruzaman menjawab tanpa lepas matanya dari teve. "Namanya konse ... apa Umi ... konlet ..."

"Korsleting listrik," jawabku.

Mei manggut-manggut. "Jadi si Darian Saragih, lelaki baik #21 mempelai terpilih?"

"Indak," jawabku.

"Lho kok, Indak? Bukannya ...." Mei mengeryitkan dahi. "Lantas kalau bukan dia, siapa?"

"Rahasia," jawabku dengan senyum simpul.

"Uni ... aku kan panitia masak rahasia juga," protes Mei. Ia cemberut.

Aku terkekeh. "Janganlah Mei marah, sejujurnya aku pun tak tahu siapa mempelai terpilih. Saroja hanya cerita lampu tiba-tiba mati ketika ia bertemu calon suami. Kito tunggu sajo dengan sabar, minggu depan kan acara nikahnya."

Dari 36 cerpen, kami meminta Saroja untuk memilih 10 terbaik. Alhamdulilah Mahmud dan Syafei masuk 10 besar.

Selanjutnya kami meminta Saroja untuk memilih 5 besar. Memang bukan jodoh Mahmud dan Syafei gagal.

Berikutnya tugas dari Umi Sadiah untuk bertemu langsung dan memilih calon mantunya.

Tapi lalu, Umi Sadiah mengerucutkan jadi 3 kandidat. Dan Darian Saragih yang masuk 5 besar tak termasuk para 3 besar.

Umi Sadiah bilang, ia butuh pertimbangan Saruni, kakak Saroja dan Zulfikar, adik Saroja.

"Ya, sudah tugas kita sampai di situ saja, Mei."

Mei mengangguk maklum, kami bukan kerabat, hanya tetangga yang akrab. Tapi lalu bola matanya berbinar, "Uni, gimana kalau kito coba menebak? Kita tulis siapa jagoan kito, masukkan amplop, disegel, nanti dibuka saat si suami terpilih muncul."

"Umi ... aku ikut tebak ya?" sahut Badaruzaman bersemangat. "Aku bisa jaga rahasia kok."

Kutatap Meilani dan Badaruzaman bergantian.

"Please .... " ujar mereka bersamaan dengan tatapan memelas.

Aih mana sanggup aku menolak permintaan mereka.

Kubuka laptop, menunjukkan foto 3 kandidat yang dipilih Umi Sadiah.

Dengan mimik serius Badaruzaman mengamati satu persatu foto kandidat. Ia nampak berpikir. Lantas mengangguk-angguk. Mengamati lagi. Amboi lucunya ekspresi pelita hatiku itu. Setelah yakin dengan pilihannya, ia beringsut menjauh, mengambil kertas dan amplop mulai menulis.

Aku dan Mei tergeli-geli dengan sikapnya. Sengaja Mei menggoda dengan pura-pura ingin mengintip.

"Etek sana jauh-jauh." Badaruzaman menutupi kertasnya, "Jangan tengok punyaku. Ini rahasia!" Mimiknya wajahnya galak.

Tergelaklah aku dan Mei.

*****

Akhirnya hari yang dinanti tiba. Seluruh warga diundang, termasuk Manikam tentu saja.

Undangan disebar dalam versi digital, uniknya tanpa menyebutkan nama mempelai laki-laki. Hanya tertulis acara pernikahan Saroja binti Zamzani.

Acara dari pukul 9 sampai pukul 12 siang. Dimulai akad nikah dilanjutkan dengan acara resepsi. Tamu wajib datang tepat waktu. Jika terlambat tidak boleh masuk, agar tidak mengganggu hikmatnya akad nikah.

Setiap keluarga hanya boleh maksimal 4 orang, karena akan mendapat tempat duduk di meja bundar masing-masing.

Baiklah, di sinilah kami semua menanti, berdandan rapi, cantik, wangi. Kulihat Syafei dan Mahmud sudah datang.

Sepuluh menit sebelum pukul 9 ....

"Uni, aku duduk di sini ya?" Manikam tiba-tiba ada di meja kami. "Tempat dudukku habis. Adikku dari Bukittinggi dan dua anaknya ikut."

"Indak bisa," potong Mei sebelum aku sempat menjawab.

"Kenapa? Bukannya kosong? Katanya Pak Amran sedang ke Padang?" protes Manikam.

"Pokoknya indak. Apa Uni Manikam tak baca undangan, 1 keluarga maksmial 4 orang yang boleh datang? Kenapa pula Uni berlima," sahut Mei tegas.

"Halah ... tapi kan kursi ini kosong."

"Indak kosong." Mei menaruh tas kami di sana.

"Boleh, ya Uni?" Manikam coba merayuku.

"Tadi kan kau sudah dengar jawaban Mei. Begitu pula jawabanku." Aku dan Mei saling berbalas senyum.

"Huh ... dasar pelit!"

"Biarin," jawab Mei galak. "Sudah sana Uni Manikam kembali ke meja sendiri. Kenapo masih di sini?"

"Tak boleh duduk ya sudah, aku berdiri saja," jawab Manikam. "Siapa tahu Uni Rubiyah kasihan padaku ... " Ia coba merayuku lagi tapi aku pura-pura tak dengar.

"Boleh kan, Uni ...."

"Sssst ..." kataku. "Acara sudah mulai!"

Satu persatu barisan keluarga Saroja masuk ke ruangan. Lantas giliran barisan keluarga mempelai laki-laki. Lalu hadirlah dia yang kami nanti ....

"Amboi raksasa ..." ujar Manikam dengan suara tertahan.

Manikam tak salah jika berkata raksasa. Lelaki itu memang punya tinggi 198 cm, setinggi dan sebesar Michael Jordan. Setinggi dan sebesar almarhum Kobe Bryant

Aku dan Mei saling tukar pandang tak paham. Lelaki baik #1, Kumbakarna memang masuk 5 besar tapi ia bukan 3 besar.

Setahu kami, dari seluruh pelamar yang diundang hanya Syafei dan Mahmud karena satu kampung. Mungkinkah ....

"Jadi si raksasa itu suami Saroja, Uni?" bisik Manikam.

"Bukan dia, tapi itu ... " kataku lirih.

Saroja berjalan mesra bersama seorang laki-laki.

Ya, itulah dia lelaki baik #33, cerpennya berjudul : Mercusuar Di Pantai Tersunyi. Berkisah tentang seorang lelaki yang mengorbankan hidupnya demi kebahagiaan ibunya.

"Yeaay ... aku menang," seru Badaruzaman senang.

"Siapa namanya Uni?" tanya Manikam.

"Wibisono Lukito." Meilani menjawabkannya untukku.

Dua tahun lalu dalam sembunyi Saroja menjalin hubungan dengan Wibisono, senior di kantornya. Namun kisah mereka terputus oleh keputusan ibu Wibisono di masa lalu.

Memang kalau jodoh tak kemana, cinta terangkum karena keputusan ibu Saroja di masa kini. Benarlah yang namanya jodoh karena sudah ditetapkan maka tak akan pernah tertukar.

Dan ternyata Kumbakarna hadir sebagai saksi untuk pernikahan adiknya. Tak kusangka akhir bahagia Saroja menyelipkan kisah tragis tentang dua bersaudara yang jatuh cinta pada satu perempuan. Kurasa Umi Sadiah juga baru tahu Kumbakarna dan Wibisono bersaudara, ia bertemu mereka di waktu dan tempat terpisah. Untunglah Saroja tidak tahu identitas para pelamarnya.

Aku dan Mei kembali saling pandang. Sepakat untuk menyimpan rahasia ini selamanya.

"Jadi bolehkah aku duduk di sini, Uni?"

"Indak boleh!" jawabku, Mei, dan Badaruzaman serempak. Manikam pun bersungut-sungut menyingkir. Kami bertiga tertawa. Kucubit gemas pipi Badaruzaman yang bersemu merah karena tergeli-geli. Amboi betapa tampannya pelita hatiku.

(SELESAI)










Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)