Masukan nama pengguna
Malam ini, aku menatap rembulan yang tengah berdiri gagah dengan beberapa rasi bintang di sekitarnya. Tebak, apa yang kulakukan? Aku sedang merenung. Di malam itu, aku benar-benar penasaran. Bagaimana kehidupan ini membuat skenario? Yah, meski bukan aku penulisnya, tapi aku ingin melihatnya, walau itu hanya semenit saja. Sampai akhirnya, salah satu temanku datang. Sial, dia pasti ingin mengacaukan ketenanganku.
"Hei! Kamu ngapain di sini, V?" tanyanya dengan santai. Tunggu sebentar, aku bisa melihatnya dengan jelas, meski dia terlihat tenang, ada rasa khawatir dalam tatapannya. Tapi aku memilih untuk menutup mulutku rapat-rapat.
Alhasil, aku yang duduk di bawahnya, mengangkat dagu, menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.
"Aku habis telepon sama atasan. Apa Kakak udah dengar berita dari atasan? Besok, beberapa media akan datang! Itu berarti, pejabat brengsek itu ditangkap!" balasku singkat, dengan tatapan datar. Setelah membalasnya, aku langsung melipat kedua tangan, menaruhnya di atas lututku, lantas menyembunyikan wajahku seutuhnya.
"Lalu? Kenapa kamu sedih begitu? Harusnya kamu senang, V! Lihat! Kamu sudah berhasil menuntaskan kasus besar! Bayangkan, seorang gadis remaja berusia dua puluh satu tahun, berhasil menumpas kejahatan dari seorang Lurah, Pamong desa, Babinsa, Kamituwa, sekaligus beberapa aparat kepolisian dan tentara sekaligus! Bersenang-senanglah, V! Sebentar lagi, kamu pasti naik jabatan!" pekik lelaki bertubuh tinggi itu. Aku mengepalkan tangan kanan, berusaha menahan amarah, bukan itu yang aku pikirkan. Tapi, percuma saja jika aku menjelaskannya. Itu hanya akan membuat pikiranku semakin berkarat.
"Yah, Kakak hanya berpikir hal-hal yang menyenangkan saja. Tapi, apa Kakak tahu? Kejadian ini membuat aku berpikir panjang. Bagaimana jika nanti aku bertemu dengan bahaya lain yang lebih besar? Kasus ini sudah cukup membuatku hampir mati! Aku perempuan, anak tunggal! Ibuku pasti khawatir!" balasku panjang kali lebar, mencoba berkompromi dengannya, berharap dia mengerti.
"V, atasanmu itu seorang pengawas pemerintah, pengacara, peneliti aset, ketua jurnalis Jatim, wartawan, dan polisi yang berpengaruh di Jakarta! Jika kasus Si X dan teroris yang viral di TV beberapa tahun lalu saja, dia bisa menumpaskannya! Apa yang kamu takutkan, V?!" tanyanya dengan suara lirih, mencoba mengutarakan pendapatnya. Yah, aku setuju bila dia adalah orang berpengaruh. Berhubungan dengannya sudah pasti membuat ilmuku bertambah. Tapi tetap saja, ada hal lain yang membuatku bergidik ngeri.
Oh, ayolah! Kenapa pola pikirnya sempit begitu?! Aku menggerutu di dalam hati. Kalimatnya hanya akan menambah beban pikiranku.
"Huh, percuma saja. Aku akan pergi dari ini semua! Aku masih trauma! Kau tahu kejadian yang menimpaku beberapa minggu lalu, kan?! Untung saja aku nggak kenapa-napa! Kalo sampek laki-laki brengsek itu nyentuh aku! Semuanya kelar, Kak! Dan itu bahaya."
Aku menundukkan kepala, mencoba mengukur keberanianku. Akh, sial, kadar keberanianku mulai menipis, meski semua kasus ini telah usai. Tapi, kenangan itu masih saja membekas. Dan sialnya, tipikal gadis sepertiku tidak bisa melupakan sesuatu semudah itu.
"Ah, baiklah. Kamu perempuan, aku mengerti. Menjadi jurnalis bawahan Bhayangkara memang berat, bukan? Aku paham dengan apa yang kamu rasakan, V!" balasnya dengan suara lirih. Aku menoleh, menganggukkan kepala, tanda bahwa aku menyetujui perkataannya.
"Baiklah, aku tidak bisa memaksa. Oh iya, bagaimana dengan orang itu? Apa kalian sudah baikan? Atau, kalian masih saling blok?" tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan. Sial, pertanyaan itu membuat kesabaranku menghilang, kenapa dia berani mengungkit masalah itu?! Oh, ayolah, ini bukan saat yang tepat!
"Sudahlah, aku yakin dia membenciku. Aku hanya bisa pasrah, Kak. Aku tidak akan memaksa dunia untuk menyatukan aku dengannya," aku menelan ludah, menjawabnya dengan penuh keraguan. Aku menyelidiki, mengerti bahwa dia pasti menjadikannya senjata untuk mengolokku.
"Cih, apa kamu mau berbohong di hadapan orang-orang Intel macam aku, V? Aku sudah khatam dengan orang-orang sepertimu! Dari jawabanmu, aku tahu kamu berbohong! Jelas-jelas, kamu mencintainya, kan? Hanya saja, kamu selalu membohongi dirimu sendiri. Dan dia juga salah, aku tidak tahu dia melupakan kalimatnya sendiri atau tidak. Tapi tetap saja, kalimatnya adalah alasan utama kamu mundur. Eh, tunggu sebentar, itu bukan alasan pertama. Melainkan kedua. Alasan utamanya masih sama, kan?" tanyanya, berusaha menyelidiki.
"Alasan utama?" aku balik bertanya, pura-pura tidak tahu.
"Hahaha! Kamu pura-pura tidak tahu, ya? Apa aku harus mengatakannya secara frontal?!" ia menantangku, tapi aku tak peduli. Karena kebenaran itu bersifat tunggal. Dikatakan atau tidak, aku tidak bisa membohonginya.
"Oh, ayolah. Aku tahu kamu memilih mundur karena dia lebih memilih wanita itu, kan? Aku tahu isi kepalamu, V. Aku sudah sering berhadapan dengan teman-teman yang terjebak sepertimu. Entah ini nasib atau takdir. Tapi aku bosan, kapan aku akan mendapat kabar baik dari mereka? Hahaha!" balasnya santai, ia menyuguhkan tawa dengan wajah polosnya.
Aku tersenyum kecut, mengiyakan kata-katanya, berharap agar percakapan ini berakhir.
"Dengar, V! Dia mungkin lupa dengan kalimatnya sendiri. Lucu, ya. Dia yang menyuruhmu agar kamu nggak jatuh cinta sama dia. Tapi, setelah pertengkaran di masa lalu, dia kembali ke kamu dengan sisi cerianya. Kamu mulai terjebak dengan perasaanmu. Tapi dia selalu membahas wanita lain. Alhasil, kamu memilih untuk memberi batasan untuknya. Kamu tahu hasilnya? Kamu tersiksa, begitu juga dengan dia."
Aku menoleh, menaikkan salah satu alis.
"Apa maksudmu?!"
"Yah, kamu tersiksa karena dia selalu membicarakan wanita lain. Padahal, dia dulu sering membandingkan kamu dengan wanita itu, kan? Lucu sekali, V. Harusnya, kamu jujur aja kalo kamu cemburu!
"Aku? Mengakui perasaan?! Kau pikir itu mudah? Aku tidak pernah bertemu dengannya! Dan umur dia jauh di atasku! Harusnya, dia lebih paham sebelum aku angkat bicara! Tapi ternyata?! Akh, sudahlah. Hatinya pasti untuk yang lain, bukan aku. Terima saja kenyataannya! Dan satu hal lagi! Aku tidak berhak cemburu!" jawabku dengan pasrah.
"Tapi kamu berhak jatuh cinta! Asal tidak buta dan berlebihan! Semuanya harus sesuai dengan porsi! Ups, tenang aja! Aku tahu kamu bisa mengatasi itu dengan baik! Hahaha. Gadis pintar," dia menimpali kalimatku dengan santai, dan itu membuatku muak.
"Dia tidak menyukaiku, Kak! Buktinya, dia selalu membicarakan wanita lain! Tapi, aku jadi kesal gara-gara itu! Karena setelahnya, dia selalu memberiku laporan soal wanita itu jika dia membuat ulah!" balasku dengan wajah cemberut. Ayolah, apa dia tidak mengerti?! Aku ingin menghentikan percakapan ini.
"Belum tentu, bisa saja dia ingin melihat reaksimu! Hahaha, dan aku tahu kamu cemburu! Kenapa tidak bilang langsung saja?! Maksudku, kamu bisa saja menyampaikan perasaanmu itu, V!"
Oh, harus kuakui, dia keterlaluan. Untuk ukuran laki-laki, dia sama sekali tak mengerti perasaan perempuan.
"Bilang dari mananya?! Aku dan dia udah saling blok! Aku juga belum pernah ketemu dia secara langsung! Dia terlalu sering merendahkan dan membandingkan aku dengan wanita lain di masa lalu! Dan kau menyuruhku untuk mengakui perasaanku?! Tidak akan!" pekikku dengan suara lantang. Aku langsung bangkit berdiri, memutuskan untuk meninggalkan percakapan itu.
Dari kejauhan, aku bisa mendengarkannya berbicara. Yah, meski aku lelah mendengarkannya. Tapi kedua runguku secara otomatis merekam ucapannya.
"Lebih baik, kamu mengakui perasaan itu sekalipun kamu belum pernah bertemu dengannya! Tidak peduli dia telah merendahkanmu atau yang lain! Setidaknya, dia harus tahu perasaanmu, agar kamu lega! Sekalipun dia udah blok kamu! Kamu bisa cari cara yang lain! Sisanya, serahkan sama Tuhan! Dua tahun menyimpan perasan itu nggak gampang, V! Pikirkan perkataanku! Atau kau akan menyesal!" pekiknya tanpa keraguan.
Aku yang mendengarnya, lantas berhenti. Dalam diam, aku mencoba mengambil kendali, berusaha mencari jawaban.
"What should I do?!" batinku mulai mengadu.