Cerpen
Disukai
0
Dilihat
106
Cintai Aku Tuhan
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Andini mengagumi orang itu sejak masih duduk di bangku kelas satu seragam putih biru. Hanya dia seorang yang selalu menjadi harapannya untuk terus hidup dan menatap hari esok.

Dengan lantang orang itu berkata. “Tuhan Maha Pengasih, Tuhan Maha Penyayang. Dia mencintai semua hambanya tanpa terkecuali.”

Suatu hari sosok itu datang ke kampungnya. Dia adalah seseorang yang mengaku memiliki posisi mulia dalam agama Andini, maka sebut saja Beliau. Sang Ibu bertanya terkait dosa besar masa lalu, Beliau mengangguk-angguk sambil mengelus jenggot panjang, Beliau melirik Andini, dan hari itu Sang Ibu bilang bahwa hanya Andinilah satu-satunya penebus dosa, dan malam itu Andini tidur di ranjang Beliau tanpa sehelai pakaian, dan malam itu sprei ranjang Beliau bernoda darah, dan sejak hari itu Andini mengutuk Beliau.

Dia mengatakannya keras-keras pada Sang Adik. “Jangan terpengaruh jubah putih, dia orang munafik!” Sang Adik pun mengangguk paham.

Beliau telah membawa-bawa nama Tuhan dengan mengobral sifat agung-Nya yang Maha Pengasih serta Maha Penyayang. Terbalut jubah putih dengan sorban yang katanya milik kakek dari kakeknya, Beliau menunjuk anak gadis orang untuk digauli, dizinahi dan baginya itu disebut sebagai penebus dosa.

***

Sang Adik sudah beranjak dewasa, kini dia telah memakai seragam putih biru dan Andini memakai seragam putih abu.

Sang Wali Kelas membagikan formulir dalam kertas F4, berisi data diri pribadi yang menurut perintah agar para siswa menjawab sejujur-jujurnya.

Di sana tertulis nama ayah dan nama ibu. Andini termangu, lalu ia mengisi nama ibu dengan tangan sedikit gemetar. Nama ayah dibiarkannya kosong.

Ketika pengumpulan formulir, Sang Wali Kelas mengerutkan kening melihat milik Andini. Karena ia absen satu, maka otomatis formulirnya dibaca pertama kali.

“Andini, kenapa kamu tidak mengisikan nama ayahmu?”

Dengan perasaan campur aduk, Andini menjawab dengan suara tak terlalu keras. Untung ia duduk di bangku paling depan. “Saya tidak punya ayah, Pak.”

Sang Wali Kelas menampakkan ekspresi bersalah. “Maaf, tapi kamu harus tetap menuliskan namanya.” Kini suaranya ikut berbisik, tak ingin didengar murid lain.

“Saya tidak tahu siapa ayah saya, Pak.”

Kini Sang Wali Kelas tahu siapa ayah Andini. Ia tak mendesak lebih jauh, merapikan formulir para murid dan duduk di kursi guru. Dalam hati ia merasa iba karena salah satu muridnya adalah anak beribu tak berayah.

***

Menjelang akhir semester, tiba-tiba Andini dihampiri oleh seorang lelaki di kantin. Andini mengenalnya, dia adalah salah satu teman sekelas.

“Boleh duduk?” Sang Lelaki bertanya ramah.

Memang Andini duduk seorang diri karena dia sengaja menjauh dari kawan-kawan. Dia merasa begitu rendah diri dengan berjalan di sisi mereka sedangkan latar belakangnya tak berayah.

Namun, kalau ia menolak rasanya kurang sopan. Andini mengambil jalan tengah, ia tak menjawab melainkan memberi anggukan.

Sang Lelaki duduk di sebelahnya, meletakkan secangkir kopi susu hangat yang tadi dibelinya. “Kamu selalu menghindari orang-orang, kenapa begitu?”

Andini meliriknya dari ujung mata, dia adalah Sang Lelaki yang menempati absen sepuluh kalau tidak salah ingat.

“Memangnya kenapa kalau aku menjauh dari orang-orang?”

“Bukan apa-apa, aku hanya kasihan melihatmu tidak ada teman.” Sang Lelaki menyeruput kopi susunya sebelum melanjutkan. “Lihatlah di sana.”

Andini secara refleks mengarahkan pandang mata ke arah yang ditunjuk oleh Sang Lelaki. Di sana terlihat empat gadis duduk berkerumun di satu meja panjang, sesekali para gadis itu melirik tempatnya duduk bersama Sang Lelaki.

Para gadis itu adalah teman-teman sekelasnya.

“Kenapa dengan mereka?” Andini bertanya tidak paham.

Sang Lelaki tertawa renyah pada awalnya. “Mereka sering bilang penasaran dengan dirimu, mereka ingin berteman denganmu, tapi kamu selalu menjauh. Ayo, kita ke tempat mereka.”

Tanpa permisi, Sang Lelaki menarik tangan Andini. Andini mencoba melakukan perlawanan, tapi tarikan tangan itu terlampau kuat, maka tiba-tiba mereka berdua sudah tiba di hadapan para gadis dan Sang Lelaki berseru.

“Hei, Andini ingin bergabung, kenapa kalian tidak mengajaknya?”

Sang gadis yang berkuncir ungu tersenyum lebar. “Kami baru saja ingin mengajaknya, tapi kamu sudah duduk duluan di sebelahnya.”

Sang gadis berhijab menggeser tempat duduk. “Sini, duduk di sebelahku.”

Dan untuk pertama kalinya, siang itu Andini merasakan apa arti “teman”.

Seminggu kemudian, Andini baru berani menceritakannya pada Sang Adik.

“Kakak punya teman? Sejak dulu kamu selalu menghindar ketika diajak berteman.” Sang Adik membelalakkan mata.

Andini tersenyum-senyum. “Itu karena dia menarik tanganku dan memperkenalkanku pada mereka.”

“Dia siapa?”

Andini pun menyebutkan nama Sang Lelaki.

“Oh, kamu bahkan sudah hafal nama panjangnya. Kapan kalian jadi pacar?”

Pipi Andini memerah, dia menjewer telinga Sang Adik.

***

Sang Ibu sama sekali tak pernah menunjukkan sikap kasih sayang yang layak. Andini setiap hari hanya menumpang tidur di rumah, tak ada canda tawa, tak ada hal lain selain saling diam di ruang tengah saat makan bersama atau saling diam tanpa sapa ketika berpapasan di lorong menuju dapur.

Setelah beberapa hari saling diam, pada suatu siang mereka baru pertama kali terlibat dalam percakapan. Sang Ibu berkata.

“Kamu nanti di kamar saja, jangan keluar dan membuat suara. Atau nanti malam kamu menginap di rumah teman juga tak apa. Intinya kalau kamu di rumah, pura-pura saja agar tak ada orang di rumah.”

Andini pikir akan ada tamu yang tak diinginkan, ternyata ketika bulan muncul di langit, Sang Ibu menyambut seorang tamu dengan sikap manis. Dia adalah laki-laki asing yang tak Andini kenal.

Lalu sepanjang malam di kamar sebelah, yaitu kamar Sang Ibu, Andini sayup-sayup mendengar suara Sang Ibu yang terkikik kepada Sang Laki-Laki, lalu suara Sang Ibu yang mengeluh, lalu Sang Ibu yang menjerit pelan, lalu Sang Ibu yang merintih-rintih, lalu pagi pun datang.

Andini bertanya ketika Sang Laki-Laki sudah pergi.

“Ibu, bukankah ibu ingin menebus dosa masa lalu?”

Sang Ibu menatapnya tak suka. “Apa maksudmu? Tentang melahirkan kamu yang tanpa ayah? Tentang kamu yang anak haram?”

Andini merasa hatinya dirobek, tapi dia mengangguk perlahan.

“Bukankah Beliau sudah bilang bahwa kamu sudah menebus dosaku? Pengorbananmu tidak sia-sia, Tuhan sudah mengampuni dosaku yang dulu. Itu yang Beliau bilang.” Sang Ibu melanjutkan kesibukannya, menjahit kemeja hitam yang entah milik siapa.

“Itu baju siapa?” Andini ingat Sang Ibu tak pernah sekalipun menjahitkan bajunya yang robek atau rusak.

Sang Ibu melotot. “Jangan banyak tanya!”

Sejak hari itu Sang Laki-Laki jadi lebih sering datang ke rumah. Beberapa kali Andini menjadi bahan lirikan orang itu. Andini curiga dia mungkin akan jadi penebus dosa untuk kedua kali, maka ia memilih untuk mencari kesibukan selepas pulang sekolah.

Bekerja paruh waktu di kedai kopi dekat sekolah bukan pilihan buruk. Sang Manager merasa amat senang dengan kehadiran Andini karena itu sangat membantu pekerjaannya.

Uang dari bekerja paruh waktu itu Andini gunakan untuk keperluan sehari-hari dan uang saku. Mulai hari itu Andini berhenti minta uang kepada Sang Ibu dan Sang Ibu hanya diam saja dan Sang Ibu tampak tak keberatan justru senang.

***

Sang Adik bercerita padanya suatu sore.

“Ayah dan ibu tak bisa membelikanku seragam pramuka yang baru, uangnya dipakai untuk kebutuhan lain.”

Melihat wajah murung Sang Adik, Andini memeluknya dari samping. “Kapan perkemahan itu dilakukan?”

“Dua minggu lagi.”

Karena Andini dibayar per minggu, maka ia berpikir mungkin bisa sedikit membantu Sang Adik yang sudah selalu ada untuknya ini. Dialah satu-satunya orang yang tak pernah berpaling walau tahu segala hal tentang Andini. Sang Adik tahu tentang dosa masa lalu Sang Ibu, Sang Adik tahu tentang penebusan dosa Sang Ibu, Sang Adik tahu tentang Beliau dan dia ikut mengutuk, Sang Adik tahu Sang Laki-Laki yang akhir-akhir ini sering datang ke rumah.

Bagi Andini, Sang Adik adalah rumah yang sebenarnya.

Maka ketika gaji masuk ke rekeningnya, Andini bergegas menuju toko yang biasa menjual keperluan sekolah. Dia memilah-milah baju pramuka serta rok panjang yang menurutnya pas untuk Sang Adik.

Sore hari berikutnya sepulang sekolah, Andini minta bertemu dengan Sang Adik. Ia tanpa banyak kata menyerahkan tas kertas berisi seragam pramuka itu.

“Pakai ini ketika kemah nanti.”

Sang Adik membuka tas kertas tersebut dan terbelalak. “Kakak, ini ….”

“Kamu jadi pembina, pakaianmu harus bagus.” Andini tersenyum yakin.

Sang Adik melompat ke dalam pelukan Andini dan mereka tertawa bersama-sama.

***

Andini selalu yakin bahwa apa yang dikatakan Beliau adalah benar. Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan kini dia merasa amat bersyukur karena masih memiliki Sang Adik dan Sang Kekasih yang selalu menyayanginya.

Selepas pulang sekolah, Sang Lelaki yang kini sudah berganti status menjadi Sang Kekasih telah siap dengan motor tuanya. Andini sama sekali tak peduli dengan motor tua, dia amat mencintai Sang Kekasih.

Sekarang Andini sedang libur bekerja, maka Sang Kekasih sengaja mengajaknya ke sebuah taman yang paling indah di kota.

Masuk ke dalam tanpa dipungut biaya, tapi tetap harus bayar bila ingin membeli makan atau minum di sana. Namun, Sang Kekasih hanya ingin mengajak Andini duduk-duduk di kursi taman.

“Sebenarnya ada yang menggangguku dari kemarin, tapi aku tak berani bilang padamu.” Wajah Sang Kekasih tiba-tiba bersemu merah.

Andini mengerutkan kening bingung. “Ada apa? Katakan saja.”

Mereka diam dengan canggung, lebih tepatnya Sang Kekasih yang membuat kecanggungan itu makin lama menggantung. Dia menarik napas dalam, meyakinkan diri sendiri.

“Andini, aku … maksudku, kau sungguh cantik.”

Andini terbelalak. “T-terima kasih.” Pipinya memerah. “Jadi, ada apa?”

“Jadi ….” Sang Kekasih menggenggam tangan Andini, meremasnya. “B-bukankah wajar bagi sepasang kekasih untuk melakukan hal itu, seperti yang dilakukan anak muda lain?”

Andini masih belum mengerti arah percakapan, keningnya semakin berkerut dalam. “Apa maksudmu?

Sang Kekasih sepertinya sungkan untuk menjelaskan maksud yang sesungguhnya, maka dari itu dia mendekatkan wajah ke muka Andini.

Spontan Andini menjauh lalu bangkit berdiri. “Tunggu, apa yang kamu lakukan? Belum saatnya kita melakukan hal yang seperti itu!”

Akan tetapi, raut muka Sang Kekasih tiba-tiba mengeras. Jika tadi tampak merah karena malu, kini merah karena marah.

“Kamu perempuan rendahan!” Dia bangkit berdiri pula. “Sudah lama aku mengetahui bahwa kamu pernah menjual dirimu kepada Beliau, tapi aku tetap menjadi kekasihmu karena aku tulus mencintaimu!”

Wajah Andini pucat seketika. “A-apa maksudmu?”

Dengan tanpa ampun Sang Kekasih menunjuk hidung Andini. “Jangan bohong, aku sudah tahu dari seseorang yang jadi tetanggamu. Ibumu pernah bertanya soal penebusan dosa, dan kamu menjadi istri Beliau dalam satu malam. Aku sudah memaafkanmu untuk itu dan sekarang aku hanya ingin minta cium kamu menolak? Dasar pelacur!”

“Tunggu, kamu tidak tahu bagaimana yang sebenarnya!” Andini menarik tangan Sang Kekasih, berusaha untuk menjelaskan. “Dengarkan aku dulu, aku bisa menjelaskannya!”

Akan tetapi, Sang Kekasih melempar tangan Andini dengan kasar. “Cukup dengan penjelasan! Sekarang aku jadi semakin yakin bahwa kamu hanya main-main denganku. Aku sudah melupakan bahwa dirimu itu anak yang tidak jelas, pernah menjual diri kepada Beliau, tapi aku tetap mencintaimu! Sekarang inikah yang jadi balasanmu?”

“Tunggu, kamu—”

“Sudah, kita selesai di sini!” Tanpa mau mendengar penjelasan Andini, Sang Kekasih berbalik lalu pergi.

Esok hari, Andini menangis di hadapan Sang Adik menceritakan semuanya. Sang Adik tak segan-segan mengutuk Sang Kekasih sama seperti kutukan kepada Beliau.

Kisah mereka selesai di sana, di malam menjelang tahun baru padahal sudah terencana dengan matang terkait menonton kembang api bersama. Namun, hanya karena salah paham, cinta pun pupus sudah.

Malam itu, Andini mendoakan yang terbaik untuk kepergian Sang Adik di perkemahan mendampingi para adik kelas.

***

Sebenarnya Andini ingin mengajak Sang Adik pergi bersama menonton kembang api mengantikan Sang Kekasih yang kini sudah berubah status menjadi Sang Mantan. Namun, karena ada acara kemah hari ini, maka Andini terpaksa harus pergi seorang diri.

Dia duduk di puncak bukit yang ada di pinggiran kota. Bukit ini sebenarnya juga dijadikan tempat wisata, di bagian bawah ramai sekali orang-orang dengan tenda berbagai warna. Di tempat Andini tak ada seorang pun manusia karena di sini sama sekali tidak ada penerangan. Namun, masih dalam wilayah tempat wisata.

Andini menunggu datangnya jam 12 malam tepat saat pergantian tahun baru. Andini sudah siap dengan doa-doa yang akan ia panjatkan ke langit untuk didengar Tuhannya. Dia yakin Tuhan Maha Penyayang dan Pengasih, Andini yakin doanya akan didengar.

Ketika kembang api pertama yang meluncur dari pusat kota mewarnai langit malam, orang-orang di bawah bukit bersorak ramai. Andini melihat jam, sudah pukul 00.00. Maka ia tersenyum sendiri menyaksikan pemandangan kembang api tersebut.

Air mata pun mengalir turun. Sebelumnya dia sudah merencanakan ini dengan Sang Mantan, tapi malapetaka terjadi. Setelah itu dia ingin melihat bersama Sang Adik, tapi kesibukan menghalangi.

Andini sama sekali tak ada keinginan untuk melihat ini bersama Sang Ibu, karena hal itu sudah pasti amat tidak menyenangkan. Apalagi Sang Ibu sekarang pasti sedang bersenang-senang dengan Sang Laki-Laki yang selalu datang ke rumah setiap hari.

Andini menengadahkan tangan, menatap langit malam yang tampak indah penuh bintang. Ia tahu Tuhannya melihat, ia tahu Tuhannya mendengar. Maka Andini berbisik.

“Cintai aku, Tuhan.”

Dan keesokan harinya, Sang Bibi, ibu dari Sang Adik, menelponnya.

“Dia menyelamatkan adik kelas, sehingga dia yang kena gigit ular, dia meninggal di rumah sakit,” kata Sang Bibi sambil menangis keras.

Andini merasa sekujur tubuhnya lemas tak berdaya. Mukanya bahkan menjadi seputih kertas. Dia ingin tak memercayai apa yang baru saja didengar tadi. Benarkah apa yang baru saja dikatakan Sang Bibi?

“Bibi, apa benar begitu?”

“Benar,” ucapnya masih menangis, dan menyebut nama Sang Adik dengan isak tertahan. “Dia sudah meninggal, Nak.”

Andini menjatuhkan telpon genggamnya dan menatap langit siang hari itu, langit yang sama seperti langit malam tadi tempat ia membisikkan doa.

Kemudian dia menengadahkan tangan, berbisik ke langit. “Tuhan, aku memang manusia hasil dosa ibu. Aku pun telah melepas darah gadisku ke ranjang yang bukan ranjang suamiku. Aku memikul dosa ibu dan dosaku sendiri. Tapi, mengharapkan cintamu apakah juga termasuk dosa?”

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)