Masukan nama pengguna
Hari ini seharusnya menjadi hari kematianku. Tapi aku belum mati. Sepertinya aku diberikan kesempatan oleh malaikat maut untuk merasakan hidup satu kali lagi di hari kematianku. Kalau itu memang benar, sudah seharusnya aku memanfaatkan momen ini dengan baik.
Aku ingat betul sebelum mati ada satu hal yang ingin sekali kulakukan. Bahkan, di kesempatan hidup kedua di hari terakhirku ini, tetap ingin kulakukan.
Menjumpai laki-laki itu, seseorang yang sangat kucintai melebihi cintaku kepada kedua orang tuaku.
Asal tahu saja, orang tuaku membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Aku adalah anak tunggal mereka. Meskipun kami bukan berasal dari keluarga kaya, kami bisa hidup berkecukupan karena kerja keras pemimpin di rumah kami, yaitu ayahku. Ah, aku jadi merindukan Ayah dan Ibu. Sayang sekali aku tak bisa menemui mereka menjelang ajal. Bagaimanapun, ini sudah menjadi suratan takdir yang tak terelakkan.
Aku dan laki-laki itu bertemu pertama kali di acara seminar yang diadakan fakultas kami, fakultas ekonomi dan bisnis. Kami berdua yang berasal dari jurusan berbeda bisa berjumpa di aula fakultas ekonomi karena seminar itu. Tak sengaja aku duduk di sampingnya. Dia melemparkan senyum manis ketika aku menanyakan apakah aku boleh duduk di sampingnya—mengingat banyak mahasiswa yang suka mem-booking bangku di samping mereka untuk tempat duduk temannya yang akan datang sedikit terlambat dengan meletakkan barang-barang tertentu, misalnya tas atau buku—makanya aku bertanya terlebih dahulu.
Bukan hanya senyumannya yang manis seperti gula, wajahnya juga tak kalah manis dengan hidung mancung, mata tegas berukuran sedang, dan bibir berwarna merah, yang kemudian dihiasi sepasang alis tebal juga bulu mata lentik. Kulitnya berwarna kecokelatan karena terbakar matahari, tipe warna kulit favoritku.
“Aku kira ada orang yang bakal duduk di sini,” ujarku waktu itu, aku menyelipkan beberapa helai rambut yang terjatuh menutupi mata sebelah kananku ke belakang telinga demi menutupi keterpanaan akan wajah rupawannya.
“Nggak ada kok,” jawabmu cepat. “Kebetulan bangkunya lagi kosong, jadi aku numpang letak tas sebentar.”
“Oh, begitu.” Aku akhirnya duduk tepat di samping laki-laki itu.
“Nama kamu siapa?” tanyamu yang seperti tak menyerah ingin mengajakku bicara. Ternyata kamu juga tertarik kepadaku, ya.
“Lena.”
“Edrian.”
Kamu mengulurkan tangan dan aku menyambut uluran tangan itu dengan antusias yang ditutup-tutupi.
“Kamu dari jurusan apa? Akuntansi atau ilmu ekonomi?” tanyamu lagi.
“Dari pertanyaan kamu, kayaknya kamu dari jurusan manajemen.”
“Kok tau?”
“Cuma jurusan manajemen yang belum kamu sebut. Kamu nggak pernah liat aku berkeliaran di gedung kelas jurusan kamu, makanya kamu tanya apakah aku dari jurusan ilmu ekonomi atau akuntansi.”
“Analisa yang bagus. Kamu udah cocok jadi asistennya Sherlock Holmes.”
Kami berdua terkikik geli. “Sssttt ....” Aku meletakkan satu jari telunjuk di atas bibir. “Seminarnya udah mau dimulai, sekarang ayo kita fokus dengerin pembicaranya. Nanti kita sambung lagi, ya.”
Lalu di tengah-tengah berlangsungnya acara seminar, aku membisikkan sesuatu di telinga dia. “Aku dari jurusan akuntansi.”
Sepulang dari seminar, ketika kami berdua sama-sama bangkit dari tempat duduk, kamu menahan pergelangan tanganku. “Boleh minta nomor hp kamu?”
“Keluar dulu, yuk. Di belakang ada yang lagi nungguin kamu buat keluar juga.”
Aku melihat deretan orang di belakangnya yang sedang berdiri mematung, menunggu agar dia segera berjalan keluar dari barisan kursi. Setelah berada di luar gedung aula fakultas, kami pun bertukar nomor ponsel. Benar sekali, di situlah awal dari hubungan spesial kami dimulai.
***
Sebelum memutuskan untuk menelepon Edrian, aku sudah melakukan tes kehamilan sebanyak lima kali menggunakan test pack. Pada awalnya, aku tak mau percaya. Layaknya seseorang yang sedang berada dalam fase penyangkalan. Namun, ciri-cirinya menjadi makin jelas setiap harinya. Mual dan muntah di pagi hari. Gampang mengantuk di setiap kegiatan yang kuikuti walaupun jam tidurku cukup. Aku juga lebih sering buang air kecil daripada biasanya. Terakhir, haid yang terlambat selama tiga minggu!
Aku pun memberanikan diri pergi ke apotek untuk membeli test pack. Tak tanggung-tanggung, aku membeli lima buah sekaligus! Pertama kali aku mencobanya di waktu malam pada hari di mana aku membeli test pack. Lalu aku mencobanya kembali satu kali dalam sehari selama empat hari berturut-turut di waktu berbeda. Di subuh hari, di siang hari, di sore hari, dan di waktu tengah malam. Hasilnya, tentu saja tak mengejutkan lagi, semuanya positif!
Setiap kali memperoleh hasil positif, aku pasti menangis sesenggukan karena tak mampu menahan kesedihan. Bayangan masa depan yang hancur berputar-putar di kepalaku. Bagaimana dengan Edrian? Apakah Edrian bersedia bertanggung jawab atas kesalahan kami berdua? Tidak, bayi di dalam kandunganku tidak salah, kelakuan kami berdualah yang salah.
Butuh keberanian cukup besar bagiku menelepon Edrian keesokan paginya. Aku tak dapat memperkirakan reaksi Edrian setelah mendengar kabar tersebut. Edrian pasti terkejut bukan main, tapi aku tak yakin dia akan langsung menawarkan diri untuk segera menikahiku.
“Sayang ... aku ... hamil,” kataku dengan napas tercekat. “Gimana ini? Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita bahkan belum tamat kuliah dan punya pekerjaan tetap. Nanti anak kita mau dikasih makan apa?”
“Kamu hamil? Sungguh, Na?” sahut Edrian di seberang telepon. Nada suaranya tiba-tiba meninggi karena terlalu kaget. “Padahal aku udah hati-hati banget, mungkin aku nggak sadar ....”
“Kenyataannya, aku tetap hamil, ‘kan? Kamu harus tanggung jawab, Dri! Kita harus menikah!”
“Ayo kita bicarain dulu masalah ini di tempat aku ya, Sayang. Kamu datang besok sore ke sini. Gimana?”
“Kenapa sore? Kenapa nggak besok pagi aja? Besok kan, hari Minggu. Mana ada kuliah di hari Minggu.”
Edrian terdengar menghela napas panjang. “Dengerin aku sebentar, Na. Besok pagi sampai agak sorean, aku udah bikin janji sama temen kampus buat nyelesain tugas kelompok kami.”
“Kelas apa?”
“Komunikasi bisnis.”
Aku pun mengalah. “Baiklah, aku datang ke apartemen kamu besok sore.”
***
Kami pacaran tak lama sejak pertemuan pertama kami di aula fakultas. Tepatnya sebulan setelah itu. Sungguh sebulan pendekatan yang indah, dipenuhi kisah-kisah manis nan romantis ala pasangan lagi kasmaran. Kencan di kafe-kafe hits. Nonton film ke bioskop. Belanja bareng. Hubungan kami berjalan sangat lancar—malah teramat lancar.
Hingga di bulan ketujuh perayaan tanggal jadian, kami memutuskan pergi ke hotel dan melakukan hubungan yang seharusnya tidak dilakukan oleh pasangan belum menikah. Aku memilih melepaskan segel keperawananku untuk Edrian.
Aku memejamkan mata. Apa gunanya menyesal?
Tak akan mengubah fakta bahwa aku hamil dan harus menanggung malu. Lebih baik aku bangun dan mulai bersiap-siap pergi ke apartemen Edrian. Di tempat itu jugalah kami sering bercinta, sudah tak terhitung berapa puluh kali kami melakukan hal terlarang itu di sana. Ya, kami hanya pergi ke hotel sekali. Selebihnya, kami berhubungan badan di apartemen Edrian yang tinggal sendirian selama kuliah. Orang tuanya mampu untuk menyewakan Edrian sebuah apartemen nyaman berisikan dua kamar pribadi.
Aku memerlukan waktu selama hampir satu jam untuk bersiap-siap mengunjungi kediaman Edrian. Mandi, memakai baju terusan lengan pendek berwarna salem, dan sedikit berdandan. Aku memoleskan make up senatural mungkin pada wajahku. Foundation dan bedak yang tipis, blush on berwarna merah muda yang cukup dioleskan tiga kali di masing-masing pipi, maskara, dan lipstik berwarna senada dengan blush on. Aku memilih tidak memakai eyeliner dan pensil alis hari ini.
Untuk apa repot-repot berdandan jika sudah tahu bahwa hari ini aku akan mati?
***
Edrian menyambut kedatanganku dengan sebuah pelukan. Dia sudah terbiasa melakukan itu sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di depan pintu apartemennya.
“Gimana keadaan kamu?”
“Apa?” tanyaku balik.
“Masih sering mual dan muntah di pagi hari? Kan, kamu sendiri yang cerita ke aku soal itu kemarin.”
Aku menggeleng cepat. “Herannya hari ini aku baik-baik aja. Sama sekali nggak ada mual.”
“Baguslah kalau gitu,” komentar Edrian lalu menggiringku masuk ke apartemen supaya bisa duduk di sofa bed ruang tamunya. Sofa bed berwarna biru tua itu dibelinya dari kakak tingkat yang sudah lulus. Kami juga pernah melakukannya di sana. “Kamu mau nonton film?”
“Boleh,” jawabku.
“Romance? Fantasi? Atau thriller?”
“Thriller.”
Lalu Edrian memutar film Gone Girl melalui aplikasi streaming film. Kami sudah menonton Gone Girl sebanyak sembilan belas kali. Biasanya kami memang memutar film hanya untuk menjadi latar belakang suara demi menutupi ‘keributan’ yang keluar dari mulutku.
Urutan kejadiannya masih sama persis berjalan seperti sebelum aku mati. Aku melihat ke sekeliling ruangan. Tak ada yang berubah. Sofa bed biru tua dan televisi di seberangnya, vas bunga yang diletakkan di samping televisi, AC yang menyala dingin, dan di atas meja berserakan beberapa bungkus kemasan keripik yang telah kosong.
“Tumben rumah kamu agak berantakan,” ucapku sekenanya, memecah keheningan yang menyelimuti apartemen Edrian. Sejak sepuluh menit lalu, yang terdengar hanya suara Edrian sedang menyiapkan minuman hangat untuk kami dari arah dapur. Edrian menghidupkan kompor untuk memasak air, dia mengambil dua cangkir dari dalam lemari gantung, sesaat dia sempat terdiam sambil memperhatikan rebusan air.
“Belum sempat aja diberesin,” balasnya. “Minum teh biasa nggak pa-pa, ‘kan?” Bahkan sebelum mendengar jawaban dariku, dia sudah menuangkan air yang mendidih ke dalam dua cangkir berwarna putih gading itu.
“Iya, nggak pa-pa,” sahutku.
Percakapan kami terdengar canggung, tidak seperti biasanya. Mungkin ini semua karena berita tentang kehamilanku. Tentu saja, Edrian pasti cemas. Sekelebat, bayangan kejadian yang pernah menimpaku sebelum aku dihidupkan kembali, melintas jelas dalam pikiranku.
Ya, aku akan mati. Setelah ini, aku akan pulang dari apartemen Edrian dan mengalami kecelakaan. Taksi yang membawaku pulang menabrak truk yang sedang melaju kencang ke arah kami. Pengemudi truk itu bersalah, tiba-tiba saja dia membelokkan kemudi ke arah kami. Sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, aku sempat teringat wajah Edrian.
Aku belum boleh mati, pikirku waktu itu. Aku nggak bisa melepaskan Edrian begitu aja dari tanggung jawabnya setelah menghamiliku. Dia nggak boleh hidup baik-baik aja sementara aku mati mengandung bayinya! Enak sekali dia malah punya kesempatan baru mendapatkan perempuan lain untuk dihamili!
Aku memutuskan bangkit dari sofa dan menghampiri Edrian yang masih mengaduk-aduk gula di dalam cangkir. “Eh, kamu masih suka teh yang manis?” ujar Edrian karena melihatku mendekat dan berdiri di sampingnya.
“Masih kok,” balasku sambil mengangguk dan tersenyum.
Pisau di dapur apartemennya tampak menggiurkan. Seperti yang pernah dia katakan kepadaku dahulu pada masa-masa awal kami berpacaran, “Kita harus terus bersama hingga maut memisahkan. Iya kan, Sayang?” Aku akan segera mewujudkan impiannya itu.
Edrian, mari kita terus bersama hingga maut memisahkan.
***
Seorang laki-laki berusia 21 tahun ditemukan tewas dengan leher tergorok di kamar apartemennya. Diduga pelaku pembunuhan laki-laki itu adalah kekasihnya sendiri berinisial LF (21 tahun). Namun, LF juga sudah ditemukan tewas tertabrak truk sepulangnya dari apartemen sang kekasih….