Masukan nama pengguna
Alya sudah tiga kali menatap layar laptopnya yang kosong. Bab III skripsinya masih seperti hatinya—buntu. Di perpustakaan fakultas yang dinginnya mengalahkan lemari es, dia justru sibuk memikirkan hal lain. Atau lebih tepatnya: seseorang.
“Dia duduk di situ lagi, ya?” bisik Rani, sahabat sekaligus partner curhat skripsi sejak zaman KRS-an kacau.
Alya mengangguk tanpa menoleh. Dia sudah hafal wangi parfum yang selalu menyelinap setiap kali Bima masuk perpustakaan. Wangi khas maskulin yang entah kenapa lebih mengganggu dibandingkan bunyi kipas tua di pojok ruangan.
Bima. Mahasiswa Teknik dengan reputasi lebih ramai dari seminar proposal. Dikenal sebagai cowok yang katanya pernah dekat dengan lima cewek beda jurusan hanya dalam satu semester. Tapi akhir-akhir ini, dia berubah. Bima lebih sering terlihat duduk di balik tumpukan buku—tepat dua meja dari Alya.
Awalnya Alya pikir hanya kebetulan. Tapi setelah tiga minggu berturut-turut dia menemukan Bima selalu duduk dalam jangkauan pandang, hatinya mulai tak tenang.
“Eh, dia berdiri. Eh, dia ke sini! Panik, panik, panik!” bisik Rani cepat.
Alya menunduk pura-pura membaca Metodologi Penelitian Kuantitatif. Padahal isinya sudah dibaca dua belas kali.
"Excuse me. Alya, ya?” tanya suara berat itu, memecah gemuruh di kepala Alya.
Alya menoleh pelan. “Iya?”
“Boleh ganggu sebentar?” tanya Bima, senyumnya cukup untuk mencairkan semua es batu di kulkas indekos Alya.
“Silakan,” jawab Alya pelan. Rani sudah pura-pura sibuk membuka-buka buku, padahal matanya jelas menguping.
“Aku... denger dari temen, katanya kamu jago banget bikin Bab III. Aku stuck banget, sumpah. Bisa minta tolong ajarin dikit?”
Alya mengerjap. “Aku juga belum selesai, kok…”
“Tapi setidaknya kamu ngerti alurnya. Aku mah cuma bisa bikin judul skripsi yang estetis,” katanya sambil tertawa.
“Judul kamu apa?” tanya Alya iseng.
“Pengaruh Rasa Sayang yang Ditinggalin ke Produktivitas Mahasiswa Semester Akhir.”
Alya nyaris tertawa. “Itu serius?”
“Enggak. Judul asliku mah teknis banget. Tapi yang barusan lebih menyakitkan, ya?” katanya sambil terkekeh.
Hari itu, Bima duduk di sebelah Alya. Mereka ngobrol, belajar bareng, dan entah bagaimana, rasa canggung itu menghilang. Sejak saat itu, Bima tak pernah absen menemani Alya di perpustakaan.
---
Tiga minggu kemudian, kedekatan mereka makin tak terelakkan. Bukan hanya skripsi yang jadi bahan obrolan, tapi juga hal-hal sepele: makanan favorit, dosen killer, bahkan masa kecil. Ternyata Bima bukan sekadar playboy berwajah manis. Dia punya sisi canggung saat cerita soal keluarganya, dan cara dia menyentuh naskah skripsi seperti sedang mengelus kucing kampung—penuh kehati-hatian.
“Aku suka kamu,” katanya suatu sore, saat mereka duduk di bangku taman kampus yang mulai sepi.
Alya menoleh cepat. “Hah?”
“Aku suka kamu,” ulangnya. “Sebenarnya dari dulu aku udah tahu kamu. Cuma ya... aku nggak berani. Kamu serius banget orangnya. Aku takut ditolak mentah-mentah.”
Alya diam.
“Kamu pikir aku main-main?” tanya Bima pelan.
Aya menatap langit jingga di atas kepala mereka. “Aku pikir kamu suka sama semua cewek yang duduk dekat kamu.”
“Enggak. Kalau semua cewek kayak kamu, mungkin iya,” katanya sambil nyengir.
Alya nyaris tersenyum. Tapi ia tahan.
“Aku cuma takut. Skripsi aja belum kelar. Hati juga belum sembuh sepenuhnya,” katanya jujur.
Bima menunduk. “Aku ngerti. Makanya aku nggak minta kamu jawab sekarang. Aku cuma... mau kamu tahu. Aku serius. Kalau kamu siap, aku tetap di sini.”
---
Malam-malam selanjutnya diwarnai pesan-pesan lucu dari Bima: meme skripsi, quotes motivasi palsu, sampai voice note konyol menyanyikan “Separuh Aku” sambil pura-pura batuk.
Sampai suatu hari, Alya menemukan semangatnya kembali. Ia mulai bisa menyelesaikan Bab IV-nya. Di pojok perpustakaan, Bima melompat kecil saat Alya bilang ia sudah ACC Bab III. “Tuh kan! Berarti metodeku manjur! Gombalin kamu bikin kamu semangat!”
Alya hanya menggeleng sambil tertawa.
Namun, kebahagiaan itu tak lama. Kabar datang: Bima tidak lulus sidang pertama. Data yang dipakai bermasalah, dan ia harus mengulang dalam waktu dua bulan.
“Maaf ya... kayaknya aku nggak bisa wisuda bareng kamu,” kata Bima malam itu lewat pesan suara. Suaranya lebih lelah dari biasanya.
Alya hanya bisa menatap layar.
Tapi dua minggu kemudian, dia muncul lagi. Di bangku taman yang sama.
“Aku nggak mau mundur. Aku nggak mau cuma jadi episode kecil dalam hidup kamu,” kata Bima tegas.
“Bima...”
“Aku mungkin gagal di sidang pertama. Tapi aku nggak akan gagal di kamu.”
Alya menahan air matanya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia percaya: cinta bisa datang dari tempat tak terduga—bahkan dari balik tumpukan skripsi.
---
Dua bulan kemudian, dua nama terpampang di daftar kelulusan fakultas. Alya dan Bima. Saling berdampingan seperti dua kutipan di halaman persembahan skripsi mereka.
Dan di hari wisuda, Bima berdiri di depan Alya, masih dengan senyum khasnya, membawa bunga dan satu flashdisk kecil.
“Ini?” tanya Alya sambil menerimanya.
“Skripsi revisi. Sama... satu folder penuh rencana masa depan,” jawabnya.
Alya tertawa. “Rencana masa depan?”
“Ya. Sama kamu. Mau, kan?”
Alya tak menjawab. Tapi senyum dan air matanya cukup menjadi jawaban yang tak butuh Bab V lagi.
---
Setelah hari wisuda itu, hidup Alya seperti berjalan lebih pelan. Bukan karena ia tak punya tujuan, tapi karena ia sedang menikmati perjalanan. Bima masih sama—sedikit menyebalkan, terlalu percaya diri, tapi selalu tahu bagaimana membuatnya tertawa, bahkan saat dunia terasa berat.
“Kamu yakin mau kerja bareng aku di start-up itu?” tanya Bima suatu malam di kafe langganan mereka.
Alya menyeruput es kopinya. “Yakin. Aku butuh tantangan. Dan... aku butuh kamu buat bantu aku pas panik di hari presentasi.”
Bima tertawa. “Jadi kamu butuh aku sebagai...?”
“Alarm hidup. Plus supir cadangan kalau aku telat bangun.”
“Khusus buat kamu, aku bisa jadi semuanya.”
Alya pura-pura memutar bola mata, tapi pipinya memerah.
Hari-hari di kantor baru tak jauh beda dengan masa kuliah. Mereka masih bertengkar soal makanan, rebutan colokan charger, dan saling ledek soal tulisan typo. Tapi di sela tumpukan pekerjaan dan lembur, cinta itu tumbuh. Perlahan, tapi pasti.
Sampai suatu malam, saat listrik kantor padam mendadak, dan hanya senter ponsel mereka yang menyala.
“Kamu pernah bayangin masa depan?” tanya Bima tiba-tiba, sambil duduk bersila di lantai.
“Sering.”
“Dan... aku ada di dalamnya?”
Alya menoleh, menatap wajah Bima yang diterangi cahaya redup. “Dari Bab III sampai daftar pustaka... kamu selalu ada.”
Bima tersenyum kecil. “Kalau gitu, kapan kita mulai Bab Baru?”
Alya menggigit bibir. “Maksud kamu?”
“Aku serius, Ly. Setelah semua proses... aku tahu satu hal: aku mau jalan bareng kamu, bukan cuma ke kampus atau ke kantor. Tapi juga ke masa depan.”
Alya tak langsung menjawab. Dia menatap langit-langit gelap, lalu menarik napas dalam.
“Kalau gitu, kita mulai dari pengantar dulu,” katanya.
Bima tertawa pelan. “Pengantar?”
“Iya. Pengantar untuk kisah kita. Biar lengkap. Nanti kita bisa tulis daftar isi, isi, sampai lampiran. Dan semoga, gak pernah ada kata ‘Daftar Pustaka’. Karena kita gak akan jadi masa lalu.”
Bima terdiam sejenak. Lalu dia menggenggam tangan Alya.
“Terima kasih udah jadi alasan aku bertahan.”
Alya membalas genggaman itu. “Dan kamu—alasan aku percaya bahwa cinta gak harus sempurna, asal tumbuh dari yang tulus.”
Lampu menyala tiba-tiba. Tapi mereka tak langsung berdiri. Di antara ruangan yang kembali terang, hanya hati mereka yang makin hangat.
---
Dua tahun kemudian, undangan berwarna biru pastel tersebar ke tangan sahabat, dosen, dan mantan rekan skripsi. Di atas undangan itu, tertulis dua nama yang dulu sering rebutan colokan dan skripsi.
Alya & Bima
“Bersama dalam lembar demi lembar kehidupan.”
---
Epilog: Lembar Revisi Terindah
Tiga bulan setelah pernikahan, Alya dan Bima resmi pindah ke kontrakan mungil yang tak jauh dari kampus tempat dulu mereka bertemu. Lucunya, kontrakan itu dulunya rumah dosen pembimbing mereka—yang akhirnya pensiun dan menjual rumahnya.
“Kita tidur di tempat yang dulu tempat revisi skripsi,” kata Bima sambil membenarkan bantal.
Alya mencibir. “Kalau mimpi buruk, jangan salahkan aku.”
Mereka sama-sama tertawa. Dinding rumah itu masih menyimpan aroma kertas, kopi, dan kenangan. Di ruang tengah, masih ada rak tua penuh buku dan satu foto hitam-putih dari zaman kampus.
Setiap malam, Bima punya kebiasaan baru: membaca ulang chat dan e-mail skripsi mereka dulu. Bukan karena ia rindu tugas akhir, tapi karena di sanalah ia jatuh cinta perlahan-lahan.
“Skripsi itu kayak jodoh,” kata Bima sambil menatap layar laptop.
Alya menoleh dari dapur. “Maksudnya?”
“Kadang kamu pikir kamu gak sanggup. Tapi kalau kamu sabar dan konsisten... ternyata bisa juga kelar. Dan hasilnya? Membahagiakan.”
Alya mendengus. “Kamu baru bandingin aku sama skripsi, ya?”
Bima mengangkat tangan. “Dalam konteks positif!”
Tapi bukan Bima namanya kalau tidak kelepasan bicara. Dan bukan Alya kalau tidak membalas dengan segelas teh tawar hangat—diminum sendiri sambil meninggalkan Bima ngambek di sofa.
Namun itulah mereka.
Romantis tidak harus dengan bunga atau lilin. Kadang cukup dengan berbagi mi instan di akhir bulan, atau duduk berdampingan menyusun anggaran rumah tangga pakai Excel sambil menyelipkan emot ketawa.
---
Beberapa tahun kemudian...
Di sebuah ruang kelas, Alya berdiri di depan mahasiswa baru dengan blazer cokelat muda dan senyum ramah.
“Nama saya Alya Rahma. Saya pengajar mata kuliah Penulisan Akademik. Dan hari ini kita mulai dengan satu pertanyaan: Apa arti cinta menurut skripsi?”
Para mahasiswa bingung. Tapi dari bangku belakang, seorang pria dengan rambut agak berantakan dan mata penuh semangat mengacungkan tangan.
“Cinta menurut skripsi adalah... sesuatu yang bikin kamu bertahan, bahkan saat kamu ingin menyerah.”
Alya tersenyum, mengangguk pelan. “Jawaban yang bagus, Pak Asisten.”
Bima menyeringai dari belakang. “Saya belajar dari dosen terbaik.”
Dan ketika kelas usai, mereka berjalan pulang berdua, melewati koridor yang dulu jadi saksi bisu: dari revisi, air mata, tawa, sampai cinta yang tumbuh pelan-pelan tapi mengakar kuat.
Cinta yang dimulai dari lembar skripsi... dan kini terus ditulis di setiap lembar hidup mereka.
---