Cerpen
Disukai
1
Dilihat
6,714
Cinta di Bawah Langit Pegunungan
Romantis

Di sebuah desa yang masih asri, dikelilingi oleh hamparan sawah hijau dan latar pegunungan menjulang, hiduplah seorang pelukis bernama Wirya. Pria berusia 27 tahun itu memilih meninggalkan hiruk-pikuk kota besar dan menetap di desa ini, tempat di mana waktu terasa bergerak lebih lambat. Sebuah desa yang tak pernah kehilangan hijaunya, tempat embun pagi masih menempel di dedaunan, dan suara gemericik sungai kecil menemani hari-hari yang tenang.

Wirya bukan berasal dari desa itu. Dia tumbuh di kota besar, tetapi setelah bertahun-tahun merasa hidupnya kosong, ia memutuskan mencari ketenangan. Desanya, yang diberi nama “Desa Gunung Asri,” benar-benar sesuai dengan namanya. Setiap hari, Wirya terbangun oleh semilir angin sejuk dan suara kicauan burung yang membangunkannya untuk memulai hari yang baru. Rumah kecil yang ditempatinya berada di pinggiran desa, menghadap ke gunung yang gagah berdiri dengan sawah-sawah yang membentang di kaki-kakinya.

Wirya jatuh cinta pada tempat itu. Setiap goresan kuasnya seakan membawa energi dari alam yang tak bisa ditemuinya di kota. Namun, bukan hanya alam yang memikat hatinya. Di desa ini, ada seorang wanita desa bernama Sari, yang sering kali terlihat membawa keranjang penuh sayuran hasil kebunnya. Sari adalah seorang gadis berusia 23 tahun, penuh keceriaan, dan memiliki kecantikan alami yang membuat semua orang di desa menyukainya.

Sari memiliki rambut hitam panjang yang selalu ia kepang sederhana, wajahnya lembut dengan kulitnya yang kecokelatan terkena sinar matahari, dan senyumnya selalu ramah pada setiap orang yang ia temui. Pertama kali Wirya melihatnya adalah saat ia duduk di tepi sawah, melukis pemandangan yang luar biasa indah. Di antara hijaunya padi yang tertiup angin, Sari berdiri di kejauhan, menata sayurannya. Wirya, yang jarang tertarik pada manusia sebagai objek lukisannya, tiba-tiba merasakan dorongan kuat untuk mengabadikan keindahan Sari di atas kanvasnya.

Hari itu adalah permulaan perasaan aneh yang mulai tumbuh di hati Wirya. Setiap kali ia mencoba menangkap keindahan alam desa, wajah Sari seolah menghantui benaknya. Bukan hanya kecantikannya yang sederhana, tapi juga aura kedamaian dan keceriaan yang terpancar dari dirinya. Wirya ingin mengenalnya lebih dekat, namun sebagai orang luar, ia merasa segan. Dia hanya bisa melihatnya dari kejauhan, membiarkan rasa kagumnya tumbuh pelan-pelan.

Suatu pagi, Wirya sedang melukis di tepi sungai saat tak disangka-sangka Sari muncul di belakangnya. "Melukis, ya?" suara lembutnya menyapa. Wirya terkejut dan menoleh, mendapati Sari tersenyum dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

"Iya," jawab Wirya sambil tersenyum, meskipun ada sedikit kegugupan. "Aku sering melihatmu lewat sini," lanjutnya tanpa bisa menahan diri.

Sari tertawa kecil, senyumnya menghangatkan pagi itu. "Ya, aku sering ke sini. Sungai ini tempatku mengambil air untuk kebun." Wirya hanya mengangguk, merasakan percakapan yang perlahan mulai mengalir lebih lancar.

Sejak hari itu, Wirya dan Sari mulai sering bertemu. Percakapan ringan di tepi sawah berubah menjadi perbincangan yang lebih dalam. Wirya mulai mengagumi Sari bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena kebaikan dan ketulusannya. Sari adalah gadis desa yang sederhana, namun memiliki hati yang besar. Dia merawat ibunya yang sakit dan bekerja keras di ladang setiap hari tanpa mengeluh.

 

"Aku suka desa ini," kata Wirya suatu hari ketika mereka berjalan bersama di jalan setapak di antara sawah. "Tapi yang lebih aku kagumi adalah orang-orang seperti kamu. Kamu tahu, di kota besar, segalanya terasa begitu cepat, begitu sibuk. Di sini, semuanya lebih nyata."

Sari tersenyum lembut. "Desa ini memang penuh dengan kehidupan, tapi semua itu juga tidak lepas dari kerja keras. Aku rasa, tiap orang punya cerita perjuangannya sendiri."

Wirya mengangguk. Ia merasa ada kedalaman dalam diri Sari yang membuatnya terkesima. Gadis itu adalah gambaran nyata ketangguhan dan kelembutan yang berpadu. Rasa cinta yang semula hanya kekaguman fisik kini berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih kuat. Wirya ingin melukis bukan hanya wajah Sari, tetapi juga jiwa dan hatinya yang tulus.

Namun, meski perasaannya semakin jelas, Wirya ragu untuk menyatakannya. Sari, dengan kesederhanaan dan kerendahan hatinya, tampak seperti bunga liar yang indah, tapi sulit dijangkau. Hari-hari berlalu, dan pertemuan mereka menjadi semakin sering, namun Wirya masih menyimpan rasa itu sendirian.

Suatu hari, saat senja mulai turun dan langit berubah menjadi jingga, Wirya mengumpulkan keberaniannya. Mereka sedang duduk di sebuah bukit kecil yang menghadap ke sawah, ditemani suara angin yang berdesir lembut. “Sari,” Wirya membuka pembicaraan dengan suara yang lebih serius dari biasanya, "Aku punya sesuatu yang ingin aku sampaikan."

Sari menoleh, menatap Wirya dengan matanya yang jernih. “Apa itu?” tanyanya.

Wirya menelan ludah, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. “Sejak pertama kali aku melihatmu, aku merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Awalnya, mungkin hanya kekaguman. Tapi semakin aku mengenalmu, semakin aku sadar bahwa perasaanku lebih dari itu.”

Sari terdiam sejenak, lalu menundukkan kepalanya. Wirya merasa degup jantungnya semakin kencang. “Aku... aku jatuh cinta padamu, Sari. Bukan hanya karena kecantikanmu, tapi juga karena hatimu yang lembut dan ketulusanmu.”

Suasana hening. Hanya suara angin dan kicauan burung di kejauhan yang terdengar. Wirya menunggu dengan cemas. Sari tetap terdiam, memandang ke arah sawah yang mulai gelap.

Setelah beberapa saat, Sari akhirnya bicara. “Wirya... aku tak pernah menyangka kau punya perasaan seperti itu.” Sari menghela napas, lalu menatap Wirya dengan mata yang berkilat di bawah sinar senja. “Aku juga merasakan hal yang sama.”

Hati Wirya berdebar tak karuan. "Benarkah?" tanyanya, nyaris tak percaya.

Sari mengangguk pelan. “Sejak kita sering bertemu, aku mulai merasa nyaman berada di dekatmu. Kamu membawa sesuatu yang baru ke hidupku, sesuatu yang mungkin aku butuhkan, tapi tak pernah aku sadari.”

Wirya merasakan kebahagiaan yang meluap di dalam dadanya. Ia tak bisa menahan senyuman yang menghiasi wajahnya. “Aku janji, Sari, aku akan selalu bersamamu. Di sini, di desa ini, di tempat yang membawa kita bersama.”

Malam itu, mereka berdua duduk di bukit kecil itu, berbagi cerita dan harapan, dengan langit yang penuh bintang menjadi saksi awal dari perjalanan cinta mereka.

Beberapa bulan kemudian, Wirya memutuskan untuk tinggal di desa itu lebih lama lagi, mungkin selamanya. Cintanya pada Sari dan desa yang damai ini memberikan arti baru dalam hidupnya. Di rumah kecilnya, Wirya melukis dengan semangat yang berbeda. Kini, ia bukan hanya melukis pemandangan alam, tapi juga melukis kehangatan cinta yang ia temukan di tempat yang tak pernah ia duga.

Cinta Wirya dan Sari tumbuh seperti sawah yang selalu hijau, dengan perjuangan dan kesederhanaan yang menjadi pupuknya. Tak ada yang terlalu cepat, tak ada yang terburu-buru. Mereka tahu bahwa cinta, seperti alam, membutuhkan waktu untuk tumbuh, namun ketika telah matang, akan menjadi sesuatu yang indah dan abadi.

Di ujung desa, di tepi sawah, sebuah kanvas besar tergantung di dinding rumah Wirya. Lukisan wajah Sari, tersenyum lembut di tengah hamparan sawah yang luas, menjadi saksi bisu perjalanan cinta mereka. Sebuah cinta yang tumbuh di bawah langit biru desa, diiringi angin pegunungan yang sejuk, dan disaksikan oleh keabadian alam yang tak pernah berubah.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)