Masukan nama pengguna
Judul: Cinta di Antara Ayam Penyet
Seumur hidup, aku selalu percaya kalau jodoh itu seperti ojol yang datang tepat saat hujan deras—langka, penuh harapan, dan kadang salah alamat.
Tapi, aku tidak pernah menyangka kalau momen bertemu jodohku terjadi di sebuah warung ayam penyet, dengan kondisi aku yang sedang berjuang melawan level pedas setan.
BABAK 1: PERTEMUAN ABSURD
Malam itu, aku mampir ke warung ayam penyet langganan. Sebagai seorang pria yang percaya diri tapi sering gagal dalam percintaan, aku memesan ayam penyet dengan sambal level 10.
Bukan karena aku suka pedas, tapi karena aku sedang dalam fase hidup di mana harga diri lebih penting daripada kesehatan lambung.
Aku duduk di meja panjang, sendirian. Lalu, tiba-tiba ada suara lembut bertanya,
"Mas, boleh gabung? Meja lain penuh."
Aku menoleh. Di depanku berdiri seorang cewek.
Demi apa, cewek ini cantik banget. Kayak hasil editan Photoshop yang kesenggol tombol "Perfect."
Aku, yang biasanya jago ngomong kalau debat sama emak, mendadak lupa cara membentuk kalimat.
"E-e-e…" Aku seperti ikan cupang kehabisan air.
Tanpa menunggu jawaban, dia duduk. Aku hanya bisa melongo sambil mencoba terlihat cool (padahal gagal total).
Lalu, pesanan ayam penyetku datang. Aku mempersiapkan mental. Tapi baru satu suap…
GUBRAK.
LIDAHKU SEPERTI DIBAKAR NERAKA.
Aku langsung megap-megap. Keringat mengalir seperti orang yang baru disuruh ngaku salah sama emak.
Mataku berkaca-kaca. Perutku seperti ada naga yang sedang latihan napas api.
Sementara itu, cewek di depanku memperhatikanku dengan tatapan horor.
"Mas… lo kenapa?" tanyanya sambil menahan tawa.
Aku ingin menjawab, tapi yang keluar hanya suara “HHHUUUKKK!!!” seperti anjing laut sedang konser.
Tanpa pikir panjang, aku meraih gelas es teh dan GLUK GLUK GLUK… langsung habis dalam sekali teguk.
Cewek itu menatapku dengan ekspresi antara kagum dan kasihan.
"Mas, lo nggak kuat pedes, ya?" tanyanya sambil tersenyum kecil.
Aku ingin menjaga harga diri. Maka dengan suara serak, aku menjawab,
"Aku sih… suka pedas. Ini cuman… biasa aja…"
Tapi pada detik itu juga, perutku mulai bergejolak.
Tuhan… apakah ini saatnya aku meninggalkan dunia?
BABAK 2: MALU TAPI RINDU
Aku berhasil selamat dari tragedi ayam penyet level neraka. Tapi sayangnya, aku juga kehilangan martabat di depan cewek cantik itu.
Setelah kejadian itu, aku malu buat balik ke warung ayam penyet lagi.
Tapi takdir memang aneh. Beberapa hari kemudian, aku sedang di minimarket, mencari obat maag. Pas aku berdiri di kasir…
"Eh, Mas Sambal Neraka!"
Aku menoleh. Itu dia! Cewek ayam penyet itu!
Dia senyum lebar, sementara aku ingin menghilang ke dimensi lain.
"Lo masih hidup? Gue kira udah masuk UGD," katanya sambil ketawa.
Aku ingin membalas dengan joke keren, tapi otakku hanya memproses,
"Hehe… iya…"
Karena malu, aku langsung bayar dan kabur seperti maling ayam.
Tapi… setelah keluar dari minimarket, aku mendengar suara,
"Eh, Mas!"
Aku menoleh.
Cewek itu berlari kecil ke arahku, sambil senyum.
"Nama lo siapa?" tanyanya.
Aku terdiam. Otakku yang lemot akhirnya bekerja.
"Eh, aku Dani."
Dia mengulurkan tangan. "Gue Rina. Kayaknya kita jodoh, deh."
DEG.
Hatiku jungkir balik seperti piring yang jatuh dari jemuran.
Rina tertawa. "Santai, Mas. Gue cuma becanda."
Tapi aku tahu… dalam setiap becandaan, selalu ada sedikit harapan.
BABAK 3: AYAM PENYET DAN CINTA
Setelah pertemuan di minimarket, aku dan Rina mulai sering chat. Obrolan kita selalu konyol dan penuh tawa.
Suatu hari, dia ngajak ketemuan. Dan tentu saja… di warung ayam penyet.
Aku berusaha menjaga martabat kali ini.
Ketika pelayan datang dan bertanya, “Sambalnya level berapa, Mas?”
Aku tidak mau mengulang tragedi. Dengan penuh percaya diri, aku jawab,
"Level 1 aja, Mas."
Rina langsung ngakak.
"Dani, lo beneran cowok, kan? Masa level 1?"
Aku tersenyum penuh keyakinan.
"Rina, dalam hidup ini, kita harus tahu batasan diri. Aku lebih memilih terlihat lemah, daripada kehilangan harga diri untuk kedua kalinya."
Rina tertawa.
"Mas Dani, lo orang pertama yang gue kenal yang trauma gara-gara ayam penyet."
Aku tidak peduli. Yang penting, aku bisa melihat dia tertawa karena aku.
Di malam itu, sambil makan ayam penyet level normal, aku sadar sesuatu.
Kadang, cinta bukan soal kesempurnaan, bukan soal pamer keren.
Cinta adalah ketika lo bisa jadi diri sendiri, dan tetap diterima dengan tawa.
EPILOG: HAPPY ENDING ALA AYAM PENYET
Setahun kemudian, aku dan Rina jadi pasangan resmi.
Kami tetap sering makan ayam penyet, tapi aku tidak pernah lagi memesan sambal di atas level 3.
Dan ketika ada orang bertanya, "Gimana awal kalian ketemu?"
Rina selalu menjawab dengan senyum jahil, "Gue jatuh cinta sama Dani waktu dia megap-megap hampir mati gara-gara ayam penyet."
Aku hanya bisa pasrah.
Tapi kalau dipikir-pikir… kalau nggak ada ayam penyet itu, mungkin aku nggak akan ketemu dia.
Jadi, terima kasih, ayam penyet. Tanpamu, aku tidak akan menemukan cinta.
TAMAT.